Tujuh

2192 Kata
WARNING!!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran Happy reading  "Hanna, kenapa?" Casma menatap Hanna khawatir karena gadis itu hanya diam dengan bibir sedikit bergetar menahan tangisnya. "Hanna ti-tidak bisa, Bu, maaf," ucapnya menunduk. Belum menerima bolpoin dari ibu mertuanya, lantas menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. Ketulusan David dan Casma memporak-porandakan perasaannya. Gelanyar hangat sekaligus rasa bersalah memenuhi hatinya saat ini. Casma dan David tentu saja terkejut. Mereka bersamaan beralih menatap Bisma yang juga diam. "I-ibu, A-yah," ucap Hanna terbata.  Susah payah gadis itu berucap di tengah kekalutan hatinya  "Maaf, tap-tapi kami ke sini untuk... membicarakan keputusan k-kami hari ini. Hanna dan Bisma—" "Tanda tangan, Hanna." Kalimat otoriter Bisma terdengar menyapa gendang telinganya penuh ancaman. Hanna mendongak sedikit menatap Bisma bingung. "Aku tahu ka-kamu–" "Kubilang tanda tangan. Sekarang." Bisma menatap semakin tajam gadis yang berjarak dua meter darinya itu. "Apa-apaan ini? Ada apa dengan kalian?" tanya David terlihat bingung di tengah-tengah perdebatan tak jelas Bisma dan Hanna. Hanna kembali menunduk dan Bisma membuang muka. "Ada apa, Nak? keputusan apa?" tanya Casma sembari menekan lembut bahu Hanna. Mencoba memberi ketenangan pada menantunya itu. Jelas sekali tubuh Hanna menegang saat ini. "Maaf, Ibu. Aku dan Bisma sudah sepakat–" "Hanna!" Bisma nyaris membentak gadis itu. Jemari Hanna saling meremas di atas pangkuannya. "Kita bicarakan lagi yang tadi. Sekarang, tanda tangan surat pengalihan nama itu," ucap Bisma mencoba tenang dan terdengar lembut. Ini pertama kalinya Hanna mendapat nada bicara lembut dari Bisma. Tapi ia tahu, di balik itu ada ancaman yang hanya akan berakhir menyedihkan jika Hanna tidak menurutinya. Maka gadis itu menerima bolpoin dari ibu mertuanya. Semuanya menatap jemari Hanna yang menggoreskan tanda tangannya di atas materai. "Oh, Hanna!" Casma memekik saat melihat luka di pergelangan tangan kanan Hanna setelah gadis itu menyelesaikan tanda tangannya. "Bukan apa-apa, Ibu." Hanna segera menarik pergelangan tangan yang tadi dikuasai Casma. David menatap Bisma yang mengangkat kedua bahunya tanda tidak tahu. Oh pantas saja tadi Hanna berani menarik tangannya yang diseret Bisma ke sini. Ternyata luka tadi pagi sampai membekas seperti itu. Tadi pagi saat Hanna membersihkan tempat tidur, Bisma yang melihatnya langsung marah dan menepis tangan Hanna dengan kasar hingga punggung tangannya membentur ujung nakas yang lancip. Bisma memakinya habis-habisan dengan mengganti bedcover dari lemari. Mengatainya menjijikkan dan peringatan keras untuk tidak menyentuh barangnya sedikit pun. "Kenapa bisa sampai seperti ini?" Casma kembali meraih tangan Hanna dan mengusap lukanya dengan hati-hati. Lukanya meningggalkan lebam merah dan sampai membiru di tepinya. David menatap Bisma dengan tajam. Bisma seperti sedang menghindar dari tatapan ayahnya. "Tadi pagi saat memberesi tempat tidur, tangan Hanna tidak sengaja membentur nakas, Bu. Hanya luka kecil." Hanna tersenyum lembut agar Casma tak khawatir. "Biar Ibu obati. Sebentar." "Ibu." Hanna menahan lengan Casma agar tak beranjak. "Ini sudah tidak sakit, Jangan khawatir, Bu." Casma menghela napasnya. "Lain kali hati-hati, ya." Hanna mengangguk patuh. "Satu lagi." Casma memberikan kotak berukuran sedang pada Hanna. "Apa ini, Bu?" "Buka saja, Sayang." Hanna membuka kotak dari Casma. Ia terkejut setelah tahu apa isinya. "Ibu... ini... berlebihan," ucap Hanna tak enak setelah melihat sebuah kalung dengan liontin permata unicorn kecil yang lucu. "Apa yang berlebihan? Kamu menantu Ibu. Itu hadiah dari Ayahmu saat ulang tahun pertama pernikahan kita. Ibu rasa di umur yang sekarang ini Ibu sudah tidak cocok memakainya. Ibu akan senang kalau kamu mau memakainya." "Ibu." Hanna memeluk Casma dengan penuh haru. Ia terisak pelan di bahu Casma. Menumpahkan sebagian bebannya di sana. Hanna terlalu tertekan saat ini. Dan kehangatan Casma membuat air matanya tak terbendung lagi. David berpindah duduk di sofa panjang dan mengisyaratkan pada Bisma agar duduk bersamanya. Bisma menghembuskan napasnya diam-diam dan menurut. "Kamu senang melihat kami bahagia?" tanya David sembari menatap lurus pada Casma dan Hanna. Bisma mengangguk dengan kepala tertunduk dalam. "Hanna gadis yang baik, hm?" Bisma tak bereaksi. Ia menolak kenyataan itu dalam diam. "Dia baik, tulus, terpelajar, sangat sopan dan juga cantik. Banyak prestasi akademik yang telah Hanna raih selama kuliah di Australia. Ayah bangga memiliki menantu seperti Hanna. Kamu beruntung mendapatkannya." David menghela napasnya berat. Menatap sejenak menantu dan istrinya yang masih larut dalam rasa haru. Isakan Hanna bahkan masih terdengar. David kembali menatap pada putranya. "Tapi Hanna tidak beruntung mendapatkanmu." Bisma mendongak menatap ayahnya tak percaya. "A-Ayah...." "Kamu bahagia melihat kami bahagia seperti ini. Tapi, dengan alasan apa pun kebahagiaanmu adalah segalanya untuk kami, Bisma." Bisma membalas tatapan lembut ayahnya dengan sendu. Ia merasa bersalah. "Ayah dan Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu." "Aku tahu, Ayah." Bisma kembali menunduk. "Ayah tahu ke mana arah pembicaraan kalian tadi." David menyentuh bahu Bisma dengan satu tepukan pelan. "Tapi bisakah Ayah meminta satu hal?" Bisma mengangguk-ragu. "Beri Hanna waktu untuk mencairkan hatimu." "Aku mencintai Calista, Ayah." Bisma tanpa ragu mengatakannya. Bisma menolak memberikan kesempatan pada Hanna atau wanita manapun untuk menggantikan posisi Calista di hatinya. "Cukup membiarkan Hanna menyentuh hatimu. Jangan terlalu menutupnya maka kamu akan tersentuh dengan ketulusannya." Bisma mengumpat kesal dalam hati. Ia tetap menolak. Menolak dengan garis keras!! "Tapi jika dalam waktu itu tidak ada yang berubah pada perasaan kalian, kalian bisa memutuskan apa pun." David tersenyum lagi. Keduanya terdiam sejenak saat Casma melepaskan pelukannya dengan Hanna. Wanita lembut itu mengusap kepala menantunya dengan segenap ketulusan seorang ibu. "Kalian sudah makan?" Hanna mengangguk. "Lebih baik malam ini kalian menginap di sini saja, ini sudah sangat malam." Casma menatap Bisma di seberangnya. Bisma mengangguk lalu berdiri. "Bisma istirahat dulu," ucap Bisma dan pergi dari ruang tamu. "Istirahat sana." Casma mengusap rambut Hanna dengan sayang. Hanna mengangguk. "Ayah, Ibu, Hanna istirahat dulu," pamitnya. Casma memberikan berkas yang baru saja ditandatangani Hanna dengan kotak perhiasan di atasnya pada Hanna. "Dibawa sekalian, Sayang." "Terima ,kasih Ayah, Ibu. Selamat malam " "Selamat malam," balas David dan Casma bersamaan. Hanna berjalan pelan sembari sedikit menunduk menuju kamar Bisma. Ia membuka pintu dengan hati-hati dan masuk ke kamar. Dilihatnya Bisma yang sudah menutup sebagian tubuhnya dengan selimut dan matanya menatap tajam pada Hanna yang setia menundukkan pandangan. Hanna meletakkan berkas dan kotak perhiasannya di sofa. Ia masuk ke kamar mandi dengan gerakan pasti. Jelas saja ia menghindari Bisma. Hanna menghidupkan air agar tak terdengar mencurigakan dari luar. Gadis itu menatap tajam gambaran persis dirinya dalam cermin. "Kamu hampir saja terlepas darinya, Hanna. Tapi kenapa semuanya runtuh begitu saja demi perasaan orang tua Bisma?" Hanna tak tega. Mereka terlalu baik padanya. Ia tak mungkin mengecewakan mereka. Air mata Hanna menetes lagi. Hanna segera membasuhkan air ke wajahnya. "Tenang, Hanna, tenang. Ini hanya sebentar." Ia menguatkan dirinya sendiri dan bersandar di tembok. * * * Bisma tahu, Hanna sedang mencoba menghindarinya. Tapi masalah mereka memang harus diselesaikan—minimal diperjelas malam ini juga. Ia tak mungkin mengatakan akan menceraikan Hanna saat melihat perlakuan orang tuanya yang begitu menyayangi Hanna. Bahkan, David belum pernah tersenyum pada Calista. Tapi Hanna, belum genap satu bulan mereka bertemu David sudah bisa yakin jika gadis itu adalah orang baik yang tepat mendampingi Bisma. Lima belas menit sudah Hanna di kamar mandi. Bisma membenarkan posisi tidurnya dan mulai memejamkan matanya. * * * Untuk kesekian kalinya, Hanna menghembuskan napasnya yang terasa sesak. Air matanya masih sesekali menetes walau ia berusaha menenangkan dirinya sendiri. Hanna keluar dari kamar mandi setelah yakin Bisma sudah tidur. Dilihatnya Bisma yang sudah memejamkan matanya menghadap kamar mandi. Hanna berjalan dengan sangat hati-hati menuju sisi lain kamar yang dipunggungi Bisma. Gadis itu duduk di lantai dan meraih kotak perhiasan dari Casma tadi. Hanna mengusap liontin mungil itu dengan pelan. Merasakan kasih sayang ibu mertuanya yang sangat tulus dan hangat dari sana. Air mata Hanna menetes lagi. Sebisa mungkin ia tak mengeluarkan isakannya. Sampai Hanna menutup mulutnya sendiri karena ia ingin berteriak. Hanna berlari ke kamar mandi dan terisak hebat di sana. Rasa sakit tentang kehidupan rumah tangganya terus menghantam pertahanan Hanna tanpa henti. Ia menikah dengan orang yang salah. Orang yang seharusnya menjadi adik iparnya kini malah menjadi suaminya. Orang yang Hanna bayangkan hanya sesekali ia lihat kini malah menjadi monster di setiap napasnya. Hanna memukul dadanya berkali-kali dan semakin terisak. Perih. Perlakuannya. Sikapnya. Kata-katanya. Nada bicaranya. Semua yang ada pada seorang Bisma Atmaja akan selalu menyakiti Hanna. "Ibu." Ia bergumam di sela isakannya. * * * Bisma yang memang belum tidur kini menatap langit-langit kamarnya. Suara tangis Hanna sudah tak terdengar. Terhitung sudah dua puluh menit lebih Hanna ada di kamar mandi dan tak kunjung keluar. Bisma tak tahu kenapa ia menjadi seperti ini. Ia tak pernah melakukan hal kasar pada wanita manapun. Ia sangat menghargai wanita karena mengingat ibunya juga seorang wanita. Ia sangat menghargai wanita. Tapi setelah mengenal Hanna, Bisma berubah. Menganggap wanita itu hanya parasit yang akan mempersulit hidupnya. Hanna menghancurkan mimpi besarnya untuk menikah dengan Calista. Hanna menjadi wanita paling sialan yang Bisma benci. Apa pun yang ada pada Hanna, Bisma membencinya! Sangat membencinya. Perjuangannya bersama Calista agar mendapat izin dari orang tua Bisma untuk menikah berakhir sia-sia karena kehadiran wanita itu—menurut Bisma. Padahal di sini Hanna adalah korban. Ia tak tahu apa-apa tapi ia yang menanggung beban paling berat dari semua yang bersangkutan. Hidupnya bahkan lebih hancur dari Bisma. Masa depannya ia khawatirkan. Bisma semakin kalut saat memikirkan apa yang harus ia katakan pada Calista nanti jika kekasihnya itu sadar dari koma. Bisma takut Calista tak ingin bersamanya lagi. Ia takut Calista kecewa. Bisma takut Calista akan meningggalkannya. Bisma menggeleng cepat. membuang pemikiran terburuk yang tadi menyerangnya. Bisma merubah posisinya menjadi duduk. "Keluarlah," ucap Bisma dengan sangat dingin. Bisma tak bisa bersikap baik pada Hanna. Tak lama pintu kamar mandi terbuka, menampakkan gadis bermata sembab yang ia samarkan dengan air dengan kepala menunduk. "Kamu belum tidur?" ucap Hanna mencoba tenang walau sangat sulit. "Sampai kapan kamu akan menjadi penjaga kamar mandi, huh?" Nada ketus itu membuat Hanna menggeser tubuhnya cepat agar tak berdiri di depan kamar mandi. "Kita harus bicara." Hanna mengangguk. "Tapi sebaiknya besok saja. Saat semakin larut, seseorang akan lebih emosional." "Apa aku memberikan pilihan padamu? Kubilang harus ya harus!" ucap Bisma tegas. Hanna mengembuskan napasnya pelan dari mulut agar lebih sabar lagi menghadapi Bisma yang memang semena-mena padanya. "Aku tidak akan menceraikanmu sekarang." Bahu Hanna jatuh begitu saja. Seperti baru saja mendengar berita terburuk dalam hidupnya. Hanna lemas. Harapannya terlepas dari Bisma seperti semakin jauh. Tapi gadis itu akhirnya hanya bisa mengangguk. Bisma mengernyit. "Kau ini wanita macam apa sebenarnya? Aku bilang akan secepatnya menceraikanmu kau mengangguk. Sekarang aku bilang menunda menceraikanmu kamu juga dengan mudahnya mengangguk. Kau ini punya perasaan atau tidak sebenarnya!?" ucap Bisma kesal sendiri. Hanna memejamkan matanya sejenak. Mencoba mengatur emosinya yang bisa meledak kapan pun. Dan ia memilih untuk bungkam saja. Sebenarnya ia bisa balik memaki, tapi Hanna memilih tidak melakukannya. Mungkin untuk saat ini ia masih bisa menahan diri. "Hei! Wanita tak tahu diri, kau bisu, huh!?" sentak Bisma semakin jengkel. "Tidak." Hanna menggeleng pelan tanpa menatap Bisma. Ia berharap obrolan malam ini segera berakhir. "Kau benar-benar sudah tak punya harga diri, ya, kau bahkan tidak memberikan penolakan sedikit pun. Atau ini yang kau mau? Kau tidak mau bercerai denganku karena suntikan dana perusahaanku ke perusahaan ayahmu, kan? Kau benar-benar sudah tidak punya harga diri. Dasar w************n! Apa bedanya kau dengan jalang di luar sana?" "Bisakah?" tanya Hanna dengan mendongak dan menatap tepat di mata Bisma. Bisma cukup kaget ketika mereka bertukar pandangan. Selama ini Hanna hanya menunduk saat bertemu dengannya. Hanya beberapa kali Hanna berani menatap Bisma sekilas. Tapi kini, Hanna menatap Bisma dengan lurus. "Apa aku bisa membantahmu? Apa aku bisa menolak keputusanmu? Tidak tahukah kamu kalau selama ini aku mencoba menjadi istri yang menghormati suaminya dengan hanya berkata ya ya ya dan ya walau aku ingin mengatakan tidak? Aku selama ini diam bukan karena semua yang kau tuduhkan itu benar, aku hanya tidak ingin hubungan kita semakin buruk jika aku melawanmu. Tapi apa, kau malah semakin semaunya sendiri. Membuat kita semakin sulit menghadapi ini. Bukan, bukan kita. Tapi aku. Aku sangat sulit menghadapimu. Apa kamu bahagia jika mempersulitku? Kau bahagia menyakitiku? Aku ingin sekali mengajukan banyak protes padamu. Jika saja aku tak peduli padamu, pada keluargamu dan Ayahku, aku pasti sudah lebih dulu mengajukan surat perceraian. Kamu pikir aku tahan dengan keegoisanmu?" Hanna mengagatupkan rahangnya kuat-kuat. Emosi sudah tampak menguasai rautnya yang selama ini terlihat lemah di hadapan Bisma. "Kamu pikir aku wanita tak punya hati? Kamu pikir ini tidak menyakitkan? Sakit, Bis. Setiap hari aku harus menjadi orang yang paling disalahkan di sini tanpa ada yang tahu jika aku merasa kesakitan juga. Aku punya rencana masa depan, seperti kamu dan Calista. Tapi kenapa seolah semua kekacauan ini adalah aku penyebabnya? Apa kamu pikir ini adil untukku? Kamu tidak pernah tahu apa yang aku rasakan tapi kamu... ah, ma-maaf. Aku sulit terkendali saat semakin malam. Maafkan aku. Maaf." Hanna keluar dari kamar itu sesegera mungkin. Ia tak tahan selama ini diam saja. Walau tidak dengan berteriak Hanna sudah cukup lega karena apa yang ia tahan selama ini terlontar malam ini. Bisma bungkam. Benar-benar tak percaya jika wanita yang baru saja berbicara banyak tadi adalah Hanna. Hanna istrinya yang selalu diam apa pun yang ia lakukan. Bisma masih diam dengan pandangan tertuju pada pintu yang tertutup oleh Hanna. "Wanita b******k!" umpatnya. Jangan lupa kasih tanggapan kalian di kolom komentar ya. Votenya juga gengs 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN