Enam

3098 Kata
WARNINGWARNING !!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran Happy reading  Teringat email dari temannya beberapa hari lalu, Hanna berjalan ke balkon dan mencari kontak yang 'harus' ia hubungi. Lama menunggu, akhirnya terdengar sapaan, "Hallo" dari seberang sana. "Hallo, Kuda cina." "Yak, Hanna!! Kamu kah ini!?" "Hm." Hanna bergumam sembari mengangguk, seperti orang di seberang sana bisa melihatnya mengangguk. "Kau di mana? Sebentar." Hening beberapa detik. "Nomor Indonesia? Kau pulang ke Indonesia!?" "Aish! Rafe, bisakah tidak berteriak? Aku hanya ingin memberi peringatan padamu, jangan mengganggu Ailee lagi!" "Lumba-lumba betina itu mengadu?" "Kalau Ailee tidak bilang padaku, aku tidak akan pernah menghubungimu, Raf" "Astaga, Hanna! Setiap hari aku datang ke apartemenmu kalau kau mau tahu! Kenapa tidak bilang kamu akan pergi ke Indonesia?" "Kalau aku bilang padamu sebelum pergi, kamu akan menahanku dengan cara apa pun. Benar, kan?" "Tapi ini sangat mendadak!" "Kamu merindukanku? Sama, aku juga merindukanmu. Sudah ya, aku tutup." "Hanna." "Apa?" "Aku akan menyusulmu ke Indonesia." Hanna menghela napasnya. "Tidak perlu. Aku akan segera kembali ke sana." "Apa ada masalah di sana?" Hanna terdiam sejenak. Ya, masalah besar. "Bukan apa-apa, Raf. Aku sudah enam tahun tidak pulang." "Ini belum masuk waktu liburan. Katakan, Hanna, ada masalah apa di sana? Apa aku bisa membantu?" "Bantu aku dengan tetap fokus kuliah di sana. Jangan mencemaskanku. Aku baik-baik saja." "Hm, aku tidak berjanji. Jangan terkejut jika aku tiba-tiba muncul di depan rumahmu." Rafe menutup sambungan. Hanna menatap ponselnya jengkel. Kenapa hidupnya selalu dikelilingi oleh pria-pria pemaksa, sih? Bisma, Bagas dan juga Rafe. Mereka suka sekali memaksa Hanna walau berbeda konteksnya. Hanna masuk ke kamar lalu meletakkan ponselnya di sofa. * * * Sejak pulang dari kantor tadi, Bisma terus membuat dirinya sibuk di ruang kerjanya. Sudah dua hari ini ia dan Hanna tak terlibat perbincangan sesingkat apa pun. Hanya sedikit cekcok tadi pagi tanpa sahutan dari Hanna. Hanya Bisma yang memakinya. Hanna yang tak kunjung melihat Bisma masuk ke kamar menjadi bertanya-tanya. Apalagi ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Hanna memutuskan untuk ke ruang kerja Bisma. Hanna mengetuk pintu dengan pelan. "Pergi sekarang kalau kamu masih ingin hidup." Suara dingin dari dalam sana menyahut. Hanna menghela napasnya. Hanna mengatakan dalam hati bahwa ia harus lebih sabar menghadapi suaminya. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Hening. Hanna menggigit bibir bawahnya gusar. Sepertinya Bisma benar-benar tak ingin diganggu. Hanna memutar tubuhnya, tapi sebelum melangkah, pintu di belakangnya terbuka. Hanna kembali berbalik. Menatap Bisma sebentar lalu menunduk gugup. "Kalau tidak penting aku bersumpah akan menjatuhkanmu dari tangga," ancam Bisma sembari melipat tangannya di d**a. Hanna menciut, tanpa sadar ia melangkah mundur satu kali. "Cepat katakan!" sentak Bisma hingga bahu Hanna semakin bergetar. "Ayah ingin kita besok menemui beliau." "Untuk?" "Membicarakan percerai–" "Apa?" Bisma hampir berteriak memotong ucapan Hanna. "Siapa yang mengizinkanmu membicarakan ini terlebih dulu pada orang tuamu!?" bentak Bisma murka. "K-kamu bilang secepatnya kamu akan bi-bicara pada orang tua-mu," cicit Hanna masih pelan. Bisma mengusap wajahnya kasar. "Apa aku pernah bilang kau boleh mengatakan ini terlebih dulu pada orang tuamu!?" Hanna menggeleng. "Kukira kamu sudah bicara pada–" "Dasar tidak berguna! Menyusahkan saja!" Bisma segera berlari menuruni anak tangga. Hanna meringis pelan. Ia salah lagi? Tak lama suara Bisma terdengar lagi. "Cepat turun, Bodoh!!" Hanna menoleh lalu ikut menuruni tangga. * * * "Hanna akan bercerai!?" pekik Bagas saat ayahnya mengajak ia dan Nadine bicara malam ini. Hendra—Ayah Hanna memijit pelipisnya pelan. "Ayah rasa ini yang terbaik untuk Hanna." "Aku setuju," sahut Bagas semangat. Nadine menatap Bagas heran, baru kali ini Bagas antusias terhadap pembicaraan keluarga. "Apa masalahnya, Yah?" tanya Nadine khawatir. Hendra menghela napasnya. "Hanna bilang ini keputusan keduanya. Mereka tidak saling mencintai. Akan sulit bagi keduanya jika dilanjutkan," jelas Hendra. "Apa Ayah sudah bicara pada keluarga Bisma?" Nadine kembali bertanya. Hendra menggeleng. "Bisma lebih berhak atas ini. Yang Ayah sayangkan, kenapa tadi siang Hanna datang sendiri. Seharusnya mereka datang berdua, kan? Ayah rasa rumah tangga mereka memang tidak baik-baik saja." "Keluarga Atmaja akan segera menghubungi Ayah jika Bisma atau Anna sudah bicara pada mereka." Hendra mengangguk, mengiyakan ucapan Bagas. * * * Tanpa basa-basi Bisma segera menarik pergelangan tangan Hanna keluar dari mobil. Hanna menarik tangannya yang terasa perih bekas cekalan Bisma. Bisma menatapnya tajam. "Aku bisa jalan sendiri," ucap Hanna tak berani menatap Bisma. Bisma menghembuskan napasnya kasar lalu berjalan cepat menuju pintu rumah orang tuanya diikuti Hanna. Bisma membuka pintu begitu saja dan langsung masuk. "Ayah dan Ibu di rumah?" tanya Bisma pada salah satu pelayan di rumah itu. "Ada, Tuan muda. Nyonya..." "Hanna." Suara antusias itu terdengar memotong ucapan si pelayan yang kemudian undur diri. Bisma dan Hanna menoleh ke samping. Ibunya sedang berjalan cepat menghampiri mereka kemudian memeluk Hanna rindu. "Bagaimana kabarmu, Nak?" Casma mengusap surai coklat keemasan milik Hanna yang belum sempat Hanna ikat tadi. Hanna membalas pelukan ibu mertuanya canggung. "Baik, Bu. Ibu bagaimana?" Hanna mencoba terlihat baik-baik saja. Berbeda dengan Bisma yang semakin kalut. Bagaimana bisa setelah melihat perlakuan hangat ibunya pada Hanna ia mengatakan akan segera menceraikan gadis itu? "Ibu juga sehat, Sayang. Ah, ayo duduk." Casma menarik pelan tangan Hanna ke ruang tamu. Hanna bersyukur dalam hati saat Casma menarik tangannya yang baik-baik saja. Karena tangannya yang satu lagi masih terasa perih karena cekalan Bisma yang sangat kuat tadi. Bisma mengikuti keduanya. Menyusun kalimat yang tepat untuk bicara pada kedua orang tuanya. "Ayah, coba lihat siapa yang datang," ucap Casma begitu semangat dan setengah berteriak. "Siapa, Bu?" David keluar dari ruang kerjanya di lantai satu. "Senang sekali sepertinya," lanjutnya. "Menantu kita yang cantik datang," ucap Casma masih dengan nada yang bahagia. "Bisma, Hanna," sapa David lalu duduk di sofa single. "Ayah." Hanna balas menyapa. Casma dan Hanna duduk dalam satu sofa. Sedangkan Bisma sendiri duduk berhadapan dengan ayahnya. "Kenapa baru membawa Hanna ke sini, Bis?" tanya Casma pada putranya. Bisma menatap ibunya merasa bersalah, lalu beralih pada ayahnya. "Bisma sangat sibuk, Bu," jawab Bisma sekenanya. Ia bingung harus memulai dari mana. Bisma tak rela senyum cerah ibunya hilang begitu saja. "Ayah padahal sudah menyuruhmu untuk mengambil cuti," ucap David. Ia beralih menatap istri serta menantunya. "Ibu, tidak lupa kan dengan hadiah pernikahan untuk mereka?" "Ah ya, Ibu hampir lupa Ayah. Sebentar Ibu ambilkan." Casma segera berlalu menuju ruang kerja suaminya. Hanna semakin tak enak dibuatnya. Ia meremas jemarinya sendiri. "Kenapa kamu tampak gugup Hanna?" tanya David yang melihat gelagat tak nyaman Hanna. "Santai saja. Anggap rumah sendiri." Seulas senyum tulus tersungging di bibirnya yang terhias sedikit garis keriput di rahangnya. Hanna mengangguk lalu tersenyum canggung dan melirik Bisma yang menatapnya tajam. Beberapa saat keheningan menyapa kala dua orang pelayan menyajikan 4 gelas minuman dan beberapa makanan ringan. "Kapan kamu akan mengajak istrimu honeymoon, Bis?" Pertanyaan David membuat Hanna hampir tersedak salivanya sendiri. Bisma dan David saling menatap. David menyipitkan matanya melihat tatapan aneh Bisma. Seperti ada sesuatu yang pemuda itu tahan. "Astaga, Ibu hampir lupa di mana Ibu meletakkannya tadi. Maaf membuatmu menunggu lama, Hanna." Casma datang dengan map biru berisikan beberapa lembar kertas dan sebuah kotak pas tangan. Hanna memaksakan senyumnya. Ia benar-benar tak nyaman ada di situasi ini. Orang tua Bisma sangat baik dan hangat padanya. Hanna semakin gusar. Bisma memijit ujung pelipisnya yang pening. Apa-apaan ini? Bagaimana cara Bisma menyampaikan tujuan mereka datang kemari? David membuka suara. "Ini hadiah untuk pernikahan kalian. Tapi Ayah membuat suratnya atas nama Hanna. Tidak masalah, Bis?" David kembali menatap putranya. Bisma mendongak dan meminta map itu pada ibunya. Membaca apa yang tertera disana baik-baik. "Vila di puncak berlantai 3 itu?" Bisma memastikan. Sedikit terkejut untuk beberapa detik. Ayahnya mengangguk lalu menatap Hanna yang sangat kaget. "Ayah...," ujar Hanna pelan. "Ayo tanda tangan, Sayang." Casma merebut map tadi dari Bisma. Itu adalah surat untuk pengalihan nama sertifikat vila. Hanna menggeleng pelan. Ia ingin menangis, sungguh. Kedua mertuanya terlihat begitu baik-baik saja dengan pernikahan ini walau mereka tahu siapa gadis yang dicintai putra mereka. Dan waktu 3 minggu bukankah sangat singkat jika harus menerima Hanna sebagai seorang pengganti Calista yang bertahun-tahun menjadi kekasih Bisma? Tapi masalah utama di sini adalah Bisma yang tak bisa menerima Hanna dalam hidupnya! Bisma menganggap Hanna hanya seorang parasit yang akan terus membuatnya susah. "Hanna, kenapa?" Casma menatap Hanna khawatir karena gadis itu hanya diam dengan bibir sedikit bergetar menahan tangisnya. "Hanna... ti-tidak bisa, Bu, maaf," ucapnya menunduk, belum menerima bolpoin dari ibu mertuanya lantas menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. Ketulusan David dan Casma memporak-porandakan perasaannya. Gelanyar hangat sekaligus rasa bersalah memenuhi hatinya saat ini. Casma dan David tentu saja terkejut. Mereka bersamaan beralih menatap Bisma yang juga diam. "I-ibu, A-yah," ucap Hanna terbata. Susah payah gadis itu berucap di tengah kekalutan hatinya. "Maaf, tap-tapi kami ke sini untuk... membicarakan keputusan k-kami hari ini. A-aku dan Bisma..." "Tanda tangan, Hanna." Kalimat otoriter Bisma terdengar menyapa gendang telinganya, penuh ancaman. Hanna mendongak sedikit menatap Bisma bingung. "Aku tahu ka-kaau—" "Kubilang tanda tangan. Sekarang." Bisma menatap semakin tajam gadis yang berjarak dua meter darinya itu. "Apa-apaan ini? Ada apa dengan kalian?" tanya David bingung di tengah-tengah perdebatan tak jelas Bisma dan Hanna. Hanna kembali menunduk dan Bisma membuang muka. "Ada apa, Nak? Keputusan apa?" tanya Casma sembari menekan lembut bahu Hanna. Mencoba memberi ketenangan pada menantunya. Jelas sekali tubuh Hanna menegang saat ini. "Maaf, Ibu. Aku dan Bisma sudah sepakat—" "Hanna !" Bisma nyaris membentak.!!: typo(s), ucapan kasar dan perbuatan yang tidak patut dicontoh bertebaran Happy reading  Teringat email dari temannya beberapa hari lalu, Hanna berjalan ke balkon dan mencari kontak yang 'harus' ia hubungi. Lama menunggu, akhirnya terdengar sapaan, "Hallo" dari seberang sana. "Hallo, Kuda cina." "Yak, Hanna!! Kamu kah ini!?" "Hm." Hanna bergumam sembari mengangguk, seperti orang di seberang sana bisa melihatnya mengangguk. "Kau di mana? Sebentar." Hening beberapa detik. "Nomor Indonesia? Kau pulang ke Indonesia!?" "Aish! Rafe, bisakah tidak berteriak? Aku hanya ingin memberi peringatan padamu, jangan mengganggu Ailee lagi!" "Lumba-lumba betina itu mengadu?" "Kalau Ailee tidak bilang padaku, aku tidak akan pernah menghubungimu, Raf" "Astaga, Hanna! Setiap hari aku datang ke apartemenmu kalau kau mau tahu! Kenapa tidak bilang kamu akan pergi ke Indonesia?" "Kalau aku bilang padamu sebelum pergi, kamu akan menahanku dengan cara apa pun. Benar, kan?" "Tapi ini sangat mendadak!" "Kamu merindukanku? Sama, aku juga merindukanmu. Sudah ya, aku tutup." "Hanna." "Apa?" "Aku akan menyusulmu ke Indonesia." Hanna menghela napasnya. "Tidak perlu. Aku akan segera kembali ke sana." "Apa ada masalah di sana?" Hanna terdiam sejenak. Ya, masalah besar. "Bukan apa-apa, Raf. Aku sudah enam tahun tidak pulang." "Ini belum masuk waktu liburan. Katakan, Hanna, ada masalah apa di sana? Apa aku bisa membantu?" "Bantu aku dengan tetap fokus kuliah di sana. Jangan mencemaskanku. Aku baik-baik saja." "Hm, aku tidak berjanji. Jangan terkejut jika aku tiba-tiba muncul di depan rumahmu." Rafe menutup sambungan. Hanna menatap ponselnya jengkel. Kenapa hidupnya selalu dikelilingi oleh pria-pria pemaksa, sih? Bisma, Bagas dan juga Rafe. Mereka suka sekali memaksa Hanna walau berbeda konteksnya. Hanna masuk ke kamar lalu meletakkan ponselnya di sofa. * * * Sejak pulang dari kantor tadi, Bisma terus membuat dirinya sibuk di ruang kerjanya. Sudah dua hari ini ia dan Hanna tak terlibat perbincangan sesingkat apa pun. Hanya sedikit cekcok tadi pagi tanpa sahutan dari Hanna. Hanya Bisma yang memakinya. Hanna yang tak kunjung melihat Bisma masuk ke kamar menjadi bertanya-tanya. Apalagi ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Hanna memutuskan untuk ke ruang kerja Bisma. Hanna mengetuk pintu dengan pelan. "Pergi sekarang kalau kamu masih ingin hidup." Suara dingin dari dalam sana menyahut. Hanna menghela napasnya. Hanna mengatakan dalam hati bahwa ia harus lebih sabar menghadapi suaminya. "Ada hal penting yang ingin aku bicarakan." Hening. Hanna menggigit bibir bawahnya gusar. Sepertinya Bisma benar-benar tak ingin diganggu. Hanna memutar tubuhnya, tapi sebelum melangkah, pintu di belakangnya terbuka. Hanna kembali berbalik. Menatap Bisma sebentar lalu menunduk gugup. "Kalau tidak penting aku bersumpah akan menjatuhkanmu dari tangga," ancam Bisma sembari melipat tangannya di d**a. Hanna menciut, tanpa sadar ia melangkah mundur satu kali. "Cepat katakan!" sentak Bisma hingga bahu Hanna semakin bergetar. "Ayah ingin kita besok menemui beliau." "Untuk?" "Membicarakan percerai–" "Apa?" Bisma hampir berteriak memotong ucapan Hanna. "Siapa yang mengizinkanmu membicarakan ini terlebih dulu pada orang tuamu!?" bentak Bisma murka. "K-kamu bilang secepatnya kamu akan bi-bicara pada orang tua-mu," cicit Hanna masih pelan. Bisma mengusap wajahnya kasar. "Apa aku pernah bilang kau boleh mengatakan ini terlebih dulu pada orang tuamu!?" Hanna menggeleng. "Kukira kamu sudah bicara pada–" "Dasar tidak berguna! Menyusahkan saja!" Bisma segera berlari menuruni anak tangga. Hanna meringis pelan. Ia salah lagi? Tak lama suara Bisma terdengar lagi. "Cepat turun, Bodoh!!" Hanna menoleh lalu ikut menuruni tangga. * * * "Hanna akan bercerai!?" pekik Bagas saat ayahnya mengajak ia dan Nadine bicara malam ini. Hendra—Ayah Hanna memijit pelipisnya pelan. "Ayah rasa ini yang terbaik untuk Hanna." "Aku setuju," sahut Bagas semangat. Nadine menatap Bagas heran, baru kali ini Bagas antusias terhadap pembicaraan keluarga. "Apa masalahnya, Yah?" tanya Nadine khawatir. Hendra menghela napasnya. "Hanna bilang ini keputusan keduanya. Mereka tidak saling mencintai. Akan sulit bagi keduanya jika dilanjutkan," jelas Hendra. "Apa Ayah sudah bicara pada keluarga Bisma?" Nadine kembali bertanya. Hendra menggeleng. "Bisma lebih berhak atas ini. Yang Ayah sayangkan, kenapa tadi siang Hanna datang sendiri. Seharusnya mereka datang berdua, kan? Ayah rasa rumah tangga mereka memang tidak baik-baik saja." "Keluarga Atmaja akan segera menghubungi Ayah jika Bisma atau Anna sudah bicara pada mereka." Hendra mengangguk, mengiyakan ucapan Bagas. * * * Tanpa basa-basi Bisma segera menarik pergelangan tangan Hanna keluar dari mobil. Hanna menarik tangannya yang terasa perih bekas cekalan Bisma. Bisma menatapnya tajam. "Aku bisa jalan sendiri," ucap Hanna tak berani menatap Bisma. Bisma menghembuskan napasnya kasar lalu berjalan cepat menuju pintu rumah orang tuanya diikuti Hanna. Bisma membuka pintu begitu saja dan langsung masuk. "Ayah dan Ibu di rumah?" tanya Bisma pada salah satu pelayan di rumah itu. "Ada, Tuan muda. Nyonya..." "Hanna." Suara antusias itu terdengar memotong ucapan si pelayan yang kemudian undur diri. Bisma dan Hanna menoleh ke samping. Ibunya sedang berjalan cepat menghampiri mereka kemudian memeluk Hanna rindu. "Bagaimana kabarmu, Nak?" Casma mengusap surai coklat keemasan milik Hanna yang belum sempat Hanna ikat tadi. Hanna membalas pelukan ibu mertuanya canggung. "Baik, Bu. Ibu bagaimana?" Hanna mencoba terlihat baik-baik saja. Berbeda dengan Bisma yang semakin kalut. Bagaimana bisa setelah melihat perlakuan hangat ibunya pada Hanna ia mengatakan akan segera menceraikan gadis itu? "Ibu juga sehat, Sayang. Ah, ayo duduk." Casma menarik pelan tangan Hanna ke ruang tamu. Hanna bersyukur dalam hati saat Casma menarik tangannya yang baik-baik saja. Karena tangannya yang satu lagi masih terasa perih karena cekalan Bisma yang sangat kuat tadi. Bisma mengikuti keduanya. Menyusun kalimat yang tepat untuk bicara pada kedua orang tuanya. "Ayah, coba lihat siapa yang datang," ucap Casma begitu semangat dan setengah berteriak. "Siapa, Bu?" David keluar dari ruang kerjanya di lantai satu. "Senang sekali sepertinya," lanjutnya. "Menantu kita yang cantik datang," ucap Casma masih dengan nada yang bahagia. "Bisma, Hanna," sapa David lalu duduk di sofa single. "Ayah." Hanna balas menyapa. Casma dan Hanna duduk dalam satu sofa. Sedangkan Bisma sendiri duduk berhadapan dengan ayahnya. "Kenapa baru membawa Hanna ke sini, Bis?" tanya Casma pada putranya. Bisma menatap ibunya merasa bersalah, lalu beralih pada ayahnya. "Bisma sangat sibuk, Bu," jawab Bisma sekenanya. Ia bingung harus memulai dari mana. Bisma tak rela senyum cerah ibunya hilang begitu saja. "Ayah padahal sudah menyuruhmu untuk mengambil cuti," ucap David. Ia beralih menatap istri serta menantunya. "Ibu, tidak lupa kan dengan hadiah pernikahan untuk mereka?" "Ah ya, Ibu hampir lupa Ayah. Sebentar Ibu ambilkan." Casma segera berlalu menuju ruang kerja suaminya. Hanna semakin tak enak dibuatnya. Ia meremas jemarinya sendiri. "Kenapa kamu tampak gugup Hanna?" tanya David yang melihat gelagat tak nyaman Hanna. "Santai saja. Anggap rumah sendiri." Seulas senyum tulus tersungging di bibirnya yang terhias sedikit garis keriput di rahangnya. Hanna mengangguk lalu tersenyum canggung dan melirik Bisma yang menatapnya tajam. Beberapa saat keheningan menyapa kala dua orang pelayan menyajikan 4 gelas minuman dan beberapa makanan ringan. "Kapan kamu akan mengajak istrimu honeymoon, Bis?" Pertanyaan David membuat Hanna hampir tersedak salivanya sendiri. Bisma dan David saling menatap. David menyipitkan matanya melihat tatapan aneh Bisma. Seperti ada sesuatu yang pemuda itu tahan. "Astaga, Ibu hampir lupa di mana Ibu meletakkannya tadi. Maaf membuatmu menunggu lama, Hanna." Casma datang dengan map biru berisikan beberapa lembar kertas dan sebuah kotak pas tangan. Hanna memaksakan senyumnya. Ia benar-benar tak nyaman ada di situasi ini. Orang tua Bisma sangat baik dan hangat padanya. Hanna semakin gusar. Bisma memijit ujung pelipisnya yang pening. Apa-apaan ini? Bagaimana cara Bisma menyampaikan tujuan mereka datang kemari? David membuka suara. "Ini hadiah untuk pernikahan kalian. Tapi Ayah membuat suratnya atas nama Hanna. Tidak masalah, Bis?" David kembali menatap putranya. Bisma mendongak dan meminta map itu pada ibunya. Membaca apa yang tertera disana baik-baik. "Vila di puncak berlantai 3 itu?" Bisma memastikan. Sedikit terkejut untuk beberapa detik. Ayahnya mengangguk lalu menatap Hanna yang sangat kaget. "Ayah...," ujar Hanna pelan. "Ayo tanda tangan, Sayang." Casma merebut map tadi dari Bisma. Itu adalah surat untuk pengalihan nama sertifikat vila. Hanna menggeleng pelan. Ia ingin menangis, sungguh. Kedua mertuanya terlihat begitu baik-baik saja dengan pernikahan ini walau mereka tahu siapa gadis yang dicintai putra mereka. Dan waktu 3 minggu bukankah sangat singkat jika harus menerima Hanna sebagai seorang pengganti Calista yang bertahun-tahun menjadi kekasih Bisma? Tapi masalah utama di sini adalah Bisma yang tak bisa menerima Hanna dalam hidupnya! Bisma menganggap Hanna hanya seorang parasit yang akan terus membuatnya susah. "Hanna, kenapa?" Casma menatap Hanna khawatir karena gadis itu hanya diam dengan bibir sedikit bergetar menahan tangisnya. "Hanna... ti-tidak bisa, Bu, maaf," ucapnya menunduk, belum menerima bolpoin dari ibu mertuanya lantas menggigit bibir bawahnya kuat-kuat agar tangisnya tak pecah. Ketulusan David dan Casma memporak-porandakan perasaannya. Gelanyar hangat sekaligus rasa bersalah memenuhi hatinya saat ini. Casma dan David tentu saja terkejut. Mereka bersamaan beralih menatap Bisma yang juga diam. "I-ibu, A-yah," ucap Hanna terbata. Susah payah gadis itu berucap di tengah kekalutan hatinya. "Maaf, tap-tapi kami ke sini untuk... membicarakan keputusan k-kami hari ini. A-aku dan Bisma..." "Tanda tangan, Hanna." Kalimat otoriter Bisma terdengar menyapa gendang telinganya, penuh ancaman. Hanna mendongak sedikit menatap Bisma bingung. "Aku tahu ka-kaau—" "Kubilang tanda tangan. Sekarang." Bisma menatap semakin tajam gadis yang berjarak dua meter darinya itu. "Apa-apaan ini? Ada apa dengan kalian?" tanya David bingung di tengah-tengah perdebatan tak jelas Bisma dan Hanna. Hanna kembali menunduk dan Bisma membuang muka. "Ada apa, Nak? Keputusan apa?" tanya Casma sembari menekan lembut bahu Hanna. Mencoba memberi ketenangan pada menantunya. Jelas sekali tubuh Hanna menegang saat ini. "Maaf, Ibu. Aku dan Bisma sudah sepakat—" "Hanna !" Bisma nyaris membentak. Tinggalkan komentar ya dan love ya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN