Dua

1237 Kata
Happy Reading Dirinya begitu bahagia malam ini. Dua jam kemudian Hanna sampai di rumah Bisma. Ia tak langsung ke sini tadi. Bagas memaksanya mampir untuk makan malam dulu karena di rumah tadi mereka tidak sempat makan karena Bisma bilang sedang buru-buru pada Ayah Hanna. Tak terasa saking asiknya mengobrol dengan teman-teman Bagas, malam semakin larut. Tapi Hanna senang karena teman-teman Bagas memang orang yang baik. Bahkan mereka mudah bergaul hingga Hanna bisa cepat akrab. Ia memaksa Bagas segera pulang padahal Bagas ingin memastikan Hanna masuk ka dalam rumah dan benar-benar aman. Hanna membalik tubuhnya saat motor Bagas sudah tak terlihat. Ia berjalan pelan menuju pintu utama. Diam sejenak untuk mempertimbangkan ia harus mengetuk pintu dulu atau langsung masuk saja. Jika mengetuk, Hanna takut Bisma akan terganggu. Mungkin saja pria itu sudah tidur. Pikirnya. Tapi jika langsung masuk, Hanna merasa itu kurang sopan walau sekarang Bisma adalah suaminya. Hanna menarik napasnya perlahan lalu menghembuskannya dari mulut. Ia mengangkat tangannya ke udara dan mulai mengetuk pintu. Belum ada tanda-tanda pintu akan dibuka jadi Hanna kembali mengetuknya. Hanna menyerah. Ia akan masuk saja. Krek krek Pintunya terkunci dari dalam. Hanna menghembuskan napasnya berat lalu duduk di kursi kayu dengan ukiran indah di sebelah pintu. Untung saja ia sudah makan, jadi hanya tidur semalam di luar rumah Hanna rasa bukan masalah besar. Gadis itu mendapati sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya. 'Segera istirahat.' Hanna tersenyum. Adiknya. 'Sepulang kuliah, tolong belikan buah dan bunga ke tempat Calista ya.' 'Tidak mau.' 'Nanti uangnya kuganti.' 'Wahh kau mendadak kaya setelah menikah dengan pewaris Atmaja group itu." Hanna terkekeh lalu mengetikkan balasan untuk Bagas. 'Pokoknya harus mau. Nanti kutraktir permen kapas.' 'Tidak lucu, Nona. Itu makanan untuk bocah perempuan yang masih ingusan.' 'Tapi manis untukmu, adikku.' 'Lagi pula Calista juga tidak bisa makan buahnya.' 'Ya sudah, bunga saja. Jangan pelit.' 'Aku sedang menghemat, haha...' 'Benarkah kau di sana sedang tertawa? Wah sayang sekali aku tidak melihatnya.' 'Aku semakin tampan sekarang.' Hanna menahan tawanya membaca balasan Bagas. Kenapa masih ada orang yang bisa memuji dirinya sendiri? 'Aku mengantuk. Selamat malam, adikku yang manis.' 'Selamat malam, Anna Effendi.' Hanna meletakkan ponselnya di atas meja kecil yang memisahkan kursinya dengan kursi di seberangnya. Gadis itu mengatur posisi duduknya agar lebih nyaman untuk tidur. * Dari dalam kamarnya, Bisma mendengar suara motor berhenti di depan rumah. Ia melirik jam dinding. Pria itu tersenyum sinis. "Baru 2 hari menikah saja kau sudah bersikap murahan," ucapnya yang mengira Hanna datang bersama pria lain. Bukan seorang tukang ojek atau adiknya. Bisma tak berpikir ke sana. Apalagi yang ia dengar adalah suara motor sport, semakin meyakinkan penilaian Bisma tentang Hanna malam ini. Murahan. Wanita penggoda. Hanya tanggapan negatif yang ada di otak Bisma jika menyangkut istrinya. "Tidur saja di luar. Atau di tempat selingkuhanmu. Aku tidak sudi rumahku diinjak w************n sepertimu." Bisma menyeringai dan kembali fokus pada laptopnya. Seharusnya ia mendapat cuti menikah sebulan dari kantor ayahnya, tapi untuk apa Ia mengambil cuti. Toh ia takkan pergi berbulan madu dengan Hanna, kan? Bahkan membayangkan seharian ia melihat gadis itu saja sudah membuatnya malas. Jemari Bisma berhenti bergerak di keyboard laptonya. Ia tiba-tiba mengingat sesuatu. Bulan madu? Dadanya terasa sesak mengingat voucher bulan madu pernikahannya yang kemarin ia bakar. Calista memilih Paris sebagai tempat bulan madu mereka. Tapi, sekarang bahkan wanita itu tak ada di sampingnya. Menemaninya tidur, membangunkannya dengan tingkah jail Calista biasanya dan saling bercerita ketika keduanya sedang dalam pelukan hangat. Mereka memang biasa berhubungan di luar batas. Tak heran jika Bisma sangat merindukan wanitanya saat berada di tempat tidurnya. Saling memeluk untuk memberi kenyamanan satu sama lain. Air mata Bisma menetes mengingat beberapa momen manis bersama tunangannya itu. Ia sangat mencintai Calista. Bahkan Bisma yakin tak akan ada seorang pun yang bisa menggantikan posisi wanita tercintanya itu sampai bumi berhenti berputar. Ia tidak hanya kehilangan pernikahannya bersama Calista, tapi Bisma juga kehilangan calon bayinya yang sedang Calista kandung. Calista keguguran saat mengalami kecelakaan. Dan itu membuat Bisma terpukul berkali-kali. Bayi itu yang membuat orang tuanya merestui pernikahan mereka. Tidak, Ibu Bisma tak pernah mengatakan bahwa ia merestui hubungan keduanya. Ia hanya bilang, 'Nasi sudah menjadi bubur. Kau seorang pria jadi sudah seharusnya kau bertanggung jawab.' Casma tak pernah menyukai Calista sebagai kekasih Bisma. Ia punya alasan kuat atas itu. Dan rasa tidak sukanya semakin menggunung kala tahu wanita itu hamil di luar nikah. Walaupun bersama putranya. Tapi tetap saja, wanita yang hamil di luar nikah bukanlah wanita yang baik menurutnya. Bukankah kehormatan seorang wanita terletak pada kesuciannya yang hanya akan ia berikan kepada suaminya? Bisma meraih foto Calista di nakas sebelah tempat tidurnya. Ia mengusap foto itu dengan lembut. Seakan sedang menyentuh sesuatu yang sangat berharga dan rapuh. "Sampai kapan pun, aku akan tetap mencintaimu, Sayang. Aku akan menunggumu." Pagi menjelang. Udara segar bercampur embun menyejukkan pagi yang cerah. Musim kemarau kali ini tidak terlalu panas di Indonesia. Hingga menciptakan hari-hari yang cerah tanpa rasa panas berlebih. Bisma sudah rapi dengan setelan jas resminya untuk ke kantor. Langkahnya terhenti sebelum ia lebih jauh lagi dari pintu. Bisma melupakan seseorang yang tadi malam tidur di depan sini. Pria itu meraih selang air untuk menyiram tanaman dan mengarahkannya pada Hanna. Seketika Hanna terbangun karena terkejut. Bajunya sudah basah kuyup sekarang. Bisma mematikan airnya dan menatap benci pada Hanna. "Dasar pemalas. Apa kau ratu di sini hingga bisa bangun sesukamu!?" Bentak Bisma tanpa belas kasih sedikit pun. Hanna hanya menunduk dalam diam. Tidak, Ia tidak boleh melawan suaminya. Hanna mengingat kalimat itu dengan baik. 'Jika Hanna sudah besar dan punya suami nanti, orang pertama yang harus Hanna patuhi perintahnya adalah suami Hanna' 'Seperti Ibu yang selalu mematuhi Ayah?' 'Ya. dengan begitu Ayah akan semakin mencintai Ibu, Nak.' "Kau tuli atau bisu, huh?" Sentak Bisma kesal karena Hanna hanya diam. "M-maaf," ucap Hanna pelan tanpa berani menatap Bisma. "Kau bisa melakukan apa pun. Tapi tidak jika merusak nama baikku. Berhenti menggoda laki-laki di luar sana. Apa kau tak punya harga diri? Apa kata orang jika mereka tahu perempuan tak berguna sepertimu yang berstatus sebagai istriku menjalin hubungan dengan pria lain! Kau ingin menghancurkanku, huh " Hanna bingung dengan maksud ucapan Bisma. Tapi Ia hanya bisa diam. Menjawab pun ia rasa percuma. Lagipula jika ada seribu orang pun yang datang dan memberitahu Bisma jika Hanna adalah gadis baik-baik, Bisma juga tidak akan percaya. Hanna buruk dimata Bisma. sudah. "Apa kau tak bisa bersikap sedikit saja lebih terhormat? Apa di luar negri kau hanya sibuk menjadi w************n?" Oh ini keterlaluan! Bisma tak tahu apapun tentang Hanna, tapi pria itu menghina istrinya seenaknya. sesuka hatinya. Apapun yang ada dipikirannya ia lontarkan tanpa memikirkan perasaan pihak lain. Tapi apa, Hanna hanya mampu diam. Salahkan juga sikapnya yang terlalu sering menyepelekan kesalahpahaman. Hanna bukan orang yang suka memusingkan kesalahpahaman. Cukup Ia sendiri dan Tuhan yang tahu bagaimana Hanna sebenarnya itu sudah cukup baginya. Ia tak peduli dengan penilaian orang lain terhadapnya. Hanna hanya akan menjelaskan sebuah kesalahpahaman jika ia rasa itu penting. Apa kesalah pahaman Bisma ini tidak penting? Hanna menjawab tegas dalam hati. Menjelaskan apapun pada pria ini adalah hal yang percuma. Bisma mendengus. Keterdiaman Hanna ia artikan sebagai kebenaran. Hanna tak menyuarakan pembelaan terhadap dirinya, jadi Bisma rasa semua yang ia ucapkan itu benar. Hanna memang w************n. "Menjijikkan. Bagaimana bisa orang tuaku memilihmu sebagai pengganti Calista?" Bisma berdecak belum terima. Tapi waktu memaksanya untuk segera pergi. Bisma sedikit berlari memasuki mobilnya dan meningggalkan Hanna yang masih setia mematung di tempatnya. Berikan kritik dan saran gengs
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN