Satu

1658 Kata
Happy Reading Rencana yang sudah disusun dengan matang bertahun-tahun lalu kini hancur sudah. Pernikahan konyol ini sekarang mengikatnya. Masih segar dalam ingatan Hanna bahwa beberapa minggu lalu ia masih tertawa di benua lain bersama teman-temannya. Tapi karena kecelakaan yang dialami saudara perempuannya, Hanna harus rela meninggalkan Australia dan kembali ke Indonesia untuk menggantikan Calista sebagai pengantin wanita. 2 minggu lalu, Hanna menghubungi Calista untuk minta maaf karena tak bisa menghadiri acara pernikahannya. Calista tentu saja kecewa, tapi ia tak bisa memaksa Hanna karena memang Calista tahu Hanna punya alasan kuat kenapa selama 6 tahun ini tidak sekalipun kembali ke Indonesia. Tapi seminggu yang lalu ayahnya menelepon agar Hanna segera pulang. Hanna mengambil penerbangan ke Indonesia secepatnya. Ia khawatir jika terjadi apa-apa dengan ayahnya. Dari bandara hingga ke rumah, wajah ayah dan adik laki-lakinya tampak tak baik-baik saja meski mereka mencoba menyambut kedatangan Hanna dengan hangat. Semua pertanyaan Hanna di dalam hati terjawab ketika sesaat sampai di rumah, ayahnya menyuruh Hanna untuk naik ke ruangannya. Hendra memberi tahu bahwa Calista kecelakaan dan saat ini masih koma. Ayahnya tak punya pilihan lain selain mencarikan pengganti pengantin wanita karena pihak keluarga calon mempelai pria mengancam akan membatalkan semua kerja sama kedua perusahaan jika Hendra tidak bersedia menjadikan Hanna sebagai pengganti. Hendra mencintai Hanna, sangat. Tapi Hanna tak tahu bahwa beberapa tahun terakhir perusahaan ayahnya mengalami penurunan harga saham yang sangat tajam hingga banyak interstor yang menarik investasi mereka dari perusahaan Hendra. Di sana perusahaan keluarga calon suami Calista menawarkan kerja sama yang disambut dengan senang hati oleh Hendra. Pemikiran Hendra dalam kerja sama ini tidak ada hubungannya dengan hubungan putra pitri mereka, tapi Hendra salah. Ibu dari calon suami Calistqa begitu semangat saat mengatakan ia butuh menantu pengganti dan dengan spesifik menyebutkan Hanna. Hendra benar-benar tak tega mengorbankan putri kandungnya itu, tapi ia juga memikirkan ratusan ribu orang yang menggantungkan hidup mereka pada perusahaan Hendra yang merangkak stabil lagi. Belum selesai rasa sedihnya mendengar Calista koma, Hanna dihadapkan pada permintaan ayahnya untuk menggantikan posisi Calista di hari pernikahannya. Banyak hal yang melintas di kepala Hanna, seperti bagaimana pendidikannya setelah ini karena ia sedang sangat bersemangat menjalani S2-nya dan sudah semerter 5. Lalu kenapa harus dia dan kenapa harus mencarikan pengganti? Apakah mereka tidak bisa menunda dan menunggu Calista sadar? Ia bingung. Ditambah jet lag yang belum hilang. Hanna rasanya ingin lari sekencang mungkin dari keadaan ini. Tapi tatapan memohon dari Hendra tak bisa ia tepis. Hendra adalah ayah terhebat bagi Hanna. Hanna dididik dengan disiplin yang ketat juga limpahan kasih sayang hingga ia bisa menjadi seperti sekarang. Wanita tangguh yang cerdas tapi tak mencoba menutup mata pada lingkungan sekitarnya. Wanita itu tak pernah ragu membantu orang lain. Hanna msaih teringat jelas kalimat terakhir Hendra saat ia akan keluar dari ruang kerjanya. "Hanna, maafkan Ayah. Ini untuk keluarga kita." Hari kedua Hanna di sini, keluargnya bertemu dengan keluarga Bisma, tunangan Calista. Jika saja meja itu tidak ada orang lain, Hanna mungkin sudah membeku saat itu. Tatapan Bisma begitu dingin dan menusuk ke arahnya. Pria itu terlihat sangat tidak menyukai Hanna. Ibu Casma, yang sekarang menjadi mertua Hanna. Beliau sangat baik. Sikapnya terlalu hangat jika mengingat status Hanna di sini yang hanya mengganti posisi calon menantunya. Gadis yang dicintai putranya digantikan oleh Hanna dan beliau masih bisa bersikap baik pada Hanna, tentu saja Hanna bingung. Sedangkan ayah Bisma tak menunjukkan ekspresi yang berarti padanya jadi Hana sulit menyimpulkan apakah David menyukainya atau membencinya seperti Bisma. David selalu ramah pada Hendra dan hanya bicara seadanya pada Hanna meski sesekali tersenyum. Hanna tersentak saat mobil yang ia tumpangi berhenti tiba-tiba, membuyarkan semua lamunannya tentang kejadian seminggu terakhir ini. Gadis itu menatap pria di sebelahnya bingung. "Turun," ucap Bisma datar. "Apa?" Hanna sedikit tak percaya dengan apa yang ia dengar baru saja. "Kau tuli, huh!? Kubilang turun sekarang!" bentak Bisma akhirnya. Ini pertama kali Bisma membentaknya. Tapi ini bukan pertama kalinya Bisma bersikap kasar padanya. Hanna memejamkan matanya sejenak untuk menenangkan dirinya. Kemarin malam setelah pernikahan mereka berlangsung, mereka menginap di rumah orang tua Hanna sebelum pindah ke rumah Bisma yang telah ia siapkan untuk Calista. Bisma menyudutkannya di lemari kayu yang membentur keras punggung Hanna dan memberikan peringatan pada gadis itu. "Pernikahan ini hanya untuk nama baik keluarga. Tidak lebih. Jadi, jangan melewati batasanmu atau kau akan menyesal di sisa hidupmu." Tentu saja Hanna sakit hati walau ia sama sekali tidak mencintai Bisma. Tapi statusnya sekarang adalah istri Bisma. Haruskah Bisma bersikap sekasar itu padanya? Tidak bisakah Bisma bicara baik-baik padanya? Hanna menghela napasnya pelan. Melawan Bisma bukan pilihan yang tepat saat ini. "Tapi aku harus pergi ke mana?" tanya Hanna bingung. "Kaupikir aku peduli? Kalau bukan karena ibuku yang menyuruhku untuk menikahimu, aku tidak akan sudi melihat wajahmu!" Kembali. Ucapan pedas dengan nada ketus itu menusuk hati Hanna. Pernikahan ini juga bukan keinginannya. Tapi kenapa seolah semua kekacauan ini adalah perbuatan Hanna? Bukankah di sini ia juga korban? "Ah, sial!" runtuk Bisma tiba-tiba. "Ibu bisa marah jika kau sampai hilang." Bisma mengambil kertas dan bolpoin di dashboard mobilnya lalu menuliskan sebuah alamat di sana. "Ini alamatnya. Terserah kau akan ke sana dengan apa. Turun sekarang, aku tidak ingin mobil mahalku lecet terkena kulit kotormu." Bisma melemparkan kertas yang ia lipat itu ke pangkuan Hanna. Tanpa bicara lagi, Hanna mengambilnya dan segera keluar dari mobil Bisma. Cukup untuk malam ini. Pikiran Hanna belum benar-benar jernih. Ia tak ingin keadaan semakin keruh dengan memperpanjang perdebatan. "Ambil kopermu!" teriak Bisma dari dalam mobil. Hanna menarik kopernya di bagasi yang baru dibuka Bisma dari dalam. Mobil Bisma segera melaju meningggalkan Hanna yang sedang kebingungan. Hanna menatap alamat dari Bisma tadi. Helaan napasnya yang panjang terdengar. Ia tak tahu daerah ini. Hanna sudah 6 tahun tak menginjak kota ini. Tentu saja banyak sekali yang berubah. Gedung-gedung pencakar langit semakin memenuhi kota ini. Ini kota yang besar. Dan beruntungnya kota ini tak pernah tidur. Pada pukul 9 malam, jalanan masih ramai dengan kendaraan yang berlalu lalang. Bangunan-bangunan di sisi jalan juga masih terang. Banyak cafe dan minimarket yang buka 24 jam. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana dan mengagumi sesuatu yang sama sekali tidak mengagumkan?" sindiran dengan suara seseorang yang amat ia hafal itu membuatnya sedikit kaget. "Bagas." "Bukan, David Becham." Hanna tersenyum menyadari kehadiran adiknya di sana. "Kau ingin mati beku, Ann?" Bagas kembali menyindir karena Hanna tak kunjung menghampirinya. Hanna mendekati Bagas dengan motor sportnya. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Hanna mencoba terlihat baik-baik saja. Tapi ia memang merasa lebih baik sekarang karena kehadiran Bagas. "Cepat naik," suruh Bagas tak ingin membahas lebih tentang hal ini. Ia melepaskan jaketnya dan memberikannya pada Hanna. Dengan senang hati Hanna menerimanya. Bagas memang mengikuti mobil mereka sejak dari rumah tadi. Dan firasatnya benar, akan terjadi sesuatu pada Hanna di jalan nanti. Hanna naik ke motor Bagas "Bagaimana koperku?" "Mereka akan membawakannya." Bagas menunjuk ke belakang dengan ibu jarinya tanpa menoleh. Hanna menengok ke belakang. Di sana ada 3 pemuda seumuran Bagas yang melambai padanya. Hanna tersenyum canggung. Ia tahu itu teman-teman dekat Bagas. Hanna memang pernah memaksa Bagas untuk mengirimkan beberapa kegiatannya di kampus. Memastikan bahwa adiknya memang berkuliah dengan baik. Dan akhirnya Hanna mengingat beberapa orang yang ia kira dekat dengan Bagas karena beberapa foto mereka terlihat selalu bersama Bagas. "Kau seperti seorang pelindung untukku," ucap Hanna setengah berteriak karena Bagas melajukan motornya dengan kencang. "Ke mana kita sekarang?" tanya Bagas tak ingin merespon ucapan Hanna baru saja. "Ke alamat in-" "Maksudku kau ingin ke mana, Ann? Ke bandara langsung atau kita cari hotel dulu untuk kau menginap semalam?" "Apa maksudmu?" tanya Hanna tak mengerti. "Kau tidak berniat datang pada si b******k itu, 'kan?" "Bagas, dia suamiku sekarang." Nada Hanna terdengar sedih dan penuh beban. Menyebut Bisma sebagai suaminya pun ia kaku. Ada sesuatu yang terasa ngilu di dalam sana. "Sudah kubilang sejak awal, aku tidak rela kau menikah dengannya. Dia bukan pria yang tepat untukmu, Ann." "Tapi semuanya sudah terjadi. Antar aku ke rumahnya, ya?" pinta Hanna sedikit memohon. "Kau ini bodoh atau apa? Kau bisa pergi darinya sekarang juga. tapi kau malah meminta nerakamu," dengus Bagas tak mengerti pada kakaknya. "Apa kau menyusulku untuk ini?" "Bahkan jika saat ini pria itu belum menurunkanmu dari mobilnya, aku akan menghadangnya dan menghabisinya." "Bagas..." "Aku serius. Memangnya kau pikir untuk apa aku mengajak teman-temanku, huh?" "Keroyokan," ucap Hanna bermaksud mencairkan suasana tapi Bagas tak menjawab. "Apa kamu mengenal Bisma sejauh itu?" "Aku tak mengenalnya." "Lalu kenapa kamu seperti ini?" "Tatapannya padamu membuatku muak setengah mati. Kontras sekali dengan yang biasa dilakukannya pada Calista." "Sejauh apa kamu tahu tentang hubungan Bisma dan Calista?" "Tidak banyak. Bertahun-tahun mereka berpacaran aku tak pernah sekali pun mengobrol dengan pria itu. Aku hanya sesekali melihat mereka berdua saat Calista membawanya pulang." "Aku tak yakin pernikahan ini hanya untuk mempertahankan nama baik keluarga. Bagaimana menurutmu?" tanya Hanna. "Aku tidak tahu." "Ayah pasti bercerita padamu." "Demi Tuhan aku tidak tahu, Anna," ucap Bagas menekan nama panggilan Hanna yang ia berikan dulu. Ia rindu pada kakaknya ini. Begitu pun sebaliknya. "Sialnya aku selalu percaya padamu." Hanna memukul pelan bahu Bagas. "Yang kutahu hanya mereka berencana menikah lalu Calista kecelakaan dan kedua keluarga sepakat untuk menjadikanmu penggantinya, tidak termasuk aku di dalamnya. Perlu digaris bawahi, aku menentang pernikahan ini." "Tapi kau tak berani mengatakannya pada Ayah," ledek Hanna yang tak ingin terbawa suasana. Ia tahu Bagas sangat menyayanginya, dan Bagas tidak mungkin membiarkan Hanna terluka. "Aku sudah bicara pada ayah dan ayah bilang kau akan baik-baik saja. Menyebalkan, bukan?" Bagas berdecak jengkel. Hanna tertawa kecil. "Jangan begitu. Ayah tahu apa yang terbaik untuk kita." "Hubungi aku minimal 4 kali sehari." "Kenapa kamu menjadi seprotektif ini? Kamu dulu bahkan tidak peduli aku ada atau tidak." "Lakukan saja." "Kamu lebih banyak bicara sekarang. Aku senang. Adikku ini tidak lagi sedingin dulu padaku," ucap Hanna melenceng dari topik. Bagas tak menanggapinya. Hanna memeluk perut Bagas. "Kurasa sejak seminggu lalu kita bertemu, aku belum mengatakan ini." "Apa?" tanya Bagas pelan. "Aku merindukanmu, Bagas." Yang suka jangan lupa vote dan comment ya
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN