Tiga

1349 Kata
Happy Reading Sepeninggal Bisma dari rumah, Hanna segera masuk ke dalam untuk membersihkan diri. Tubuhnya terasa membeku kala angin pagi yang dingin menerpa kulitnya juga pakaiannya yang basah akibat siraman tak manusiawi dari Bisma tadi. Baru empat langkah melewati pintu, dadanya kembali sesak melihat dinding di rumah itu terhiasi banyak sekali foto Bisma bersama Calista. Foto sejak kuliah hingga prewedding mereka masih terpajang indah disana. Tentu saja keindahannya tak memihak pada Hanna. Hatinya benar-benar harus lebih tebal setelah ini. Hanna menggeleng. Sesuatu yang masih dapat Hanna pastikan 'Ia tidak mencintai Bisma. Tidak sampai kapan pun.' Karena Hanna takut akan lebih sakit dari ini. Tidak mencintainya saja sudah senyeri ini rasanya. Apalagi jika Hanna sampai mencintainya? Apa Hanna siap untuk punya hati yang tak berbentuk? Bisma mencintai Calista. Bukan istrinya. Itu yang perlu diingat. Hanna mencari kamar Bisma untuk beristirahat sebentar setelah membersihkan diri. Punggungnya terasa sedikit ngilu karena benturan dengan lemari kemarin dan juga tidur bersandar di kursi kayu yang keras dan dingin tadi malam. Sebelum harapannya terpenuhi, ia kembali tercengang melihat puluhan foto Calista di kamar itu. Lebih banyak foto Calista sendiri daripada yang bersama Bisma. Jika seperti ini, Hanna yakin takkan bisa menggantikan posisi Calista di hati Bisma. Jangankan menggantikannya, menelusup sedikit untuk mencari celah kosong di hati pria kasar itu saja Hanna rasa tidak bisa. Bisma dipenuhi oleh Calista. Hanna meraih bingkai foto Calista di atas nakas. "Cepatlah sembuh. Priamu menunggu, Calista. Aku tidak bisa ada di posisi ini. Saat kau sadar nanti, Bisma akan tetap jadi milikmu. Aku menyayangimu." Hanna menghela napasnya berat lalu mulai memberesi isi kopernya ke lemari. Sesekali ia juga memperhatikan pakaian Bisma. Mencoba mengenali selera pria itu. "Lebih baik sekarang aku mandi." Hanna bersenandung kecil lalu masuk ke kamar mandi. * * Seperti permintaan Hanna, Bagas datang ke rumah sakit tempat Calista dirawat untuk memberikan-lebih tepatnya meletakkan- bunga dan buah pesanan Hanna sepulang kuliah. Terlihat sekali raut pemuda itu sangat malas. Bohong jika Ia mengatakan tak menyayangi Calista. Bagaimanapun dalam tubuh mereka mengalir darah yang sama. "Bagas." Bagas menoleh saat seseorang memanggilnya dari samping. Bagas mengernyit melihat siapa gadis yang sedang berjalan mendekatinya. "Kau tidak masuk kuliah hari ini," ucap Bagas. Bukan dengan nada bertanya tapi seperti mengingatkan gadis itu jika ia tidak masuk hari ini. Secara tidak langsung Bagas ingin tahu alasannya dan mengapa Ia malah ada di rumah sakit. "Adikku tadi pagi terpeleset di kamar mandi saat aku akan berangkat. Kau sendiri sedang apa kemari?" Gadis itu melirik apa yang Bagas bawa. "Kuharap dia baik-baik saja," tanggap Bagas tanpa menjawab pertanyaan teman sekelasnya itu. Gadis itu tersenyum maklum. Ia sangat hapal dengan tabiat Bagas yang satu ini. Hal pribadi pria itu memang sulit sekali dijamah. Bagas tak suka siapapun membahas kehidupannya. "Hanya sedikit terkilir. Tapi dokter mengatakan boleh pulang setelah infusnya habis." Bagas mengangguk. "Semoga adikmu menyukai buah, Rahma." Bagas menyodorkan sekeranjang buah segar di tangan kanannya pada gadis yang ia panggil Rahma tadi. Rahma tak langsung menerimanya. Ia mengernyit. "Bukankah itu untuk seseorang yang ingin kau jenguk di sini?" tanyanya heran. "Dia sedang koma. Aku tidak mungkin mengupaskan buah ini untuknya. Jadi lebih baik untuk adikmu saja. Katakan semoga ia lekas sembuh." "Ah, begitu ya. Terima kasih. Dan semoga cepat sembuh juga untuk seseorang yang ingin kau jenguk." Rahma menerima buah dari Bagas. Bagas mengangguk. "Aku pergi dulu." Hanya dengan anggukan Rahma, Bagas segera berlalu. Dan sampai Bagas pergi, Rahma belum tahu siapa yang akan Bagas jenguk. Bukankah pria itu sangat menutup diri? Mengatakan pada teman sekelasnya jika kakaknya koma pun ia tak mau. Sedekat apa pun teman Bagas, ia hanya bisa 'sedikit' terbuka pada Hanna. Tidak dengan siapa pun. Termasuk mamanya. "Dasar kaku." Rahma bergumam dengan senyum kecil kemudian melangkah berlawanan arah dengan Bagas. Saat masuk ke ruang rawat Calista, ada orang lain di sana. Wanita berusia lebih dari 50 tahun yang sangat Bagas kenal. "Kamu datang, Nak." Nadine menoleh ke pintu. Sedikit terkejut saat tadi melihat siapa yang datang. "Mama senang kau menjenguk kakakmu," lanjutnya lantas berdiri memeluk putranya. Bagas tak memberi respon berarti. Setelah sang mama melepaskan pelukannya, Bagas segera melewatinya dan meletakkan rangkaian bunga di nakas sebelah Calista berbaring. "Kau masih mengingat bunga kesukaan Calista." Nadine menanggapi dengan riang. "Hanna yang menyuruhku membeli tulip ini," ucap Bagas tak berminat pada pujian Nadine. "Buahnya kuberikan pada adik temanku tadi." "Bagas." "Karena Calista tidak akan memakannya," potong Bagas seperti tak peduli. "Jadi kau ke sini karena Hanna?" Nadine bertanya sedikit kecewa. Bagas terlihat sangat tidak peduli pada Calista. Bagas mengangguk. Masih enggan menatap Nadine. Ia hanya menatap ke arah Calista. "Lalu kaupikir Calista juga bisa melihat bunga favoritnya itu?" Nadine bertanya sarkastis. "Aromanya tercium sampai tempat Mama, kan? Setidaknya Calista bisa menikmati aromanya." Bagas mengangkat kedua bahunya pelan. Bertanda ia sedikit tak yakin dengan apa yang ia ucapan tadi. Bagas berbalik, berniat pergi. "Temani Calista dulu." Bagas mengernyit menatap mamanya. Nadine mengerti arti tatapan itu. "Mama akan pulang sebentar. Nanti malam mama akan kembali," ucap Nadine menjelaskan. Bagas mengangguk saja. "Terima kasih, Sayang. Kau putra terbaik mama." Nadine mengambil tasnya dan keluar dari ruangan Calista. Bagas memutar tubuh kemudian menarik kursi di sebelah Calista lalu duduk di sana. Bagas menatap Calista intens. Ia tersenyum kecil. "Bagaimana bisa aku lebih menyayangi Hanna daripada dirimu?" ujarnya dengan masih menatap Calista. "Cepatlah sembuh, Hanna tidak bisa ada di posisimu. Dia wanita baik, Ca." Pandangan Bagas menembus kaca jendela di ruang rawat itu. Ia menerawang jauh ke suatu masa. Beberapa kejadian di masa lalu terlintas jelas di pikirannya. 'Kau sombong sekali, bicara saja pelit.' 'Hihihi Bagas memang begitu, Han, dia sangat menghemat suaranya.' 'Hey, kau masih kecil, Bagas, seharusnya kau memperbanyak teman.' 'Apa masalahmu.' 'Astaga. Kau ketus sekali. aAu ini kakakmu tahu!' 'Sudahlah, Han, lebih baik kita bermain barbie di kamarku.' 'Untung saja Calista tak sepertimu. Dasar.' Tanpa sadar Bagas tersenyum mengingat masa kecil mereka. Bagas yang kaku dan dingin akhirnya hanya bisa luluh dengan Hanna. Gadis itu tak pernah menyerah untuk mendekati Bagas. Seberapa keras Bagas menolak dan menghindarinya, Hanna tetap mendekat. Hanya Hanna yang mengerti Bagas. Keinginan Bagas yang tak diucapkan Bagas pun Hanna tahu. Suara pintu yang dibuka dari luar membuyarkan lamunan Bagas. Tapi pemuda itu tak menoleh sedikit pun. "Kau di sini." Suara seseorang yang membuatnya sangat malas. Bagas tetap diam menatap Calista. Orang itu mendengus samar tanpa Bagas tahu lalu duduk di tepi tempat tidur Calista menghadap pada Bagas. "Kau sudah makan?" Bagas berdecih dalam hati lalu menatap orang di hadapannya. "Bagus kau datang. Jadi aku bisa meningggalkan Calista." Bagas pun berdiri. Tapi bahunya ditahan pria itu. Bagas memberikan tatapan mematikan padanya dan menyentak bahunya hingga tangan itu terhempas. Tak terlalu kasar, Bagas hanya tidak suka bersentuhan dengan orang sembarangan. "Kau terlihat sangat membenciku." "Di sini ada kekasihmu, apa tidak sebaiknya kita tidak membahas hal ini?" ucap Bagas jengah. "Beri aku satu alasan-" "Tuan Atmaja." Bagas memotong. Melipat kedua tangannya dengan tatapan angkuh. "Aku tidak menyukaimu. Tidak sampai kapan pun," tekan Bagas. Bisma menghela napasnya. "Kau tak suka aku bersama Calista?" "Lebih tak suka lagi saat kau bersama Hanna." "Kenapa?" Bagas membalik tubuhnya tanpa berniat menjawab pertanyaan Bisma. "Kurasa aku tak pernah melakukan kesalahan padamu." Bagas berhenti melangkah. Sebelah tangannya sudah menyentuh ganggang pintu. "Menghamili Calista menurutmu bukan kesalahan?" Bagas kembali menatap Bisma. Bisma seperti baru saja mendapat pukulan telak dari adik iparnya itu. Ia belum menanggapi. Hanya diam seperti berpikir. Benar juga, bagaimanapun menghamili seorang gadis sebelum menikah adalah... tapi, hey! "Kami melakukannya karena suka sama suka." Bisma membela diri. Mata Bagas memicing. Terlihat marah dengan jawaban Bisma. "Jadi itu bukan kesalahan?" Bagas bertanya sarkastik. Ia malas berdebat. Hal yang sama sekali tak ia minati 'menjelaskan'. Persis seperti sifat Hanna. Mereka adalah orang yang sama-sama lebih suka menghindar dari masalah daripada menyelesaikan masalah. Kesalahpahaman akan mereka biarkan jika dirasa meluruskannya tidak penting. "Aku yakin bukan itu masalahnya. Kau tak menyukaiku sejak Calista mengenalkanku pada keluarganya." Bisma masih menuntut jawaban sebenarnya. "Nah, sejak pertama bertemu pun aku sudah merasa kau bukan orang baik. Dan itu terbukti setelah Calista hamil. Apa sekarang aku punya satu alasan untuk menyukaimu? Sama-sekali-tidak." Bagas segera keluar dari ruangan menegangkan itu setelah menyelesaikan kalimatnya. Kritik dan saran masih sangat dibutuhkan gengs
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN