Tadi siang Dhito sampai di kampung halamannya, Bali. Sudah mengabari sepupunya untuk segera menjemput. Tetapi, Dewa, lelaki berusia sembilan belas tahun itu terlambat. Dhito terpaksa harus menunggu, memilih membeli kopi di kedai Amerika. Saat sedang mengantre dia merasa sedang di perhatikan, lantas Dhito segera berbalik namun tidak menemukan siapa pun yang dia kenali.
Seperti malam ini, ketika sepupunya menyeret dia ikut makan malam di sebuah resto yang ada di kawasan Jimbaran. Dhito pun merasakan hal yang sama, dia segera berbalik sampai alisnya berkerut saat melihat sosok perempuan yang tergesa berjalan cepat keluar Resto.
Dhito segera berdiri, namun Fanya mencegahnya “Kenapa, Dhit?”
“Gue mau memastikan sesuatu.”
“Kita sudah pesan makan, dhit!” keluhnya, membuang waktu Dhito.
“Gue balik lagi kesini, suami lo bentar lagi sampai, kan?” lalu tanpa menunggu lagi dia segera menuju pintu karena terburu,
Tap!
Dia harus berbenturan dengan langkah orang lain yang juga tergesa ingin keluar.
“Sori, saya nggak sengaja!” kata lelaki itu.
Dhito akan mengangguk tetapi gerak kepala terhenti saat matanya mengenali wajah lelaki di depannya. Walau hanya sekali bertemunya langsung, tetapi setelah itu Dhito mencari tahunya, sangat mudah. Sesuai perkataan Luna, lelaki itu memang terkenal.
“Kita pernah bertemu, kan?” katanya lagi yang juga mengenali Dhito.
Dhito mengangguk pelan, “Saya rekan kerja Tyas Larasati” Membenarkan.
“Oh astaga! gue mengerti sekarang!” decak lelaki itu seakan menemukan jawaban dari soal yang sulit.
Dhito mengerutkan kening, “Sori maksudnya?”
Seperti sadar dia hampir salah berbicara, lelaki itu lalu menggeleng kecil. “Bukan apa-apa.” elaknya.
Lalu Dhito yang sadar dia sudah terlambat untuk memastikan, memilih kembali ke meja yang di tempatinya tadi, sama seperti lelaki itu yang kembali masuk lalu naik ke lantai dua resto ini.
Jika Artara Rasyid ada disini, mungkinkan dugaan dia benar jika yang tadi dilihatnya adalah Tyas Larasati? Lalu kenapa Tyas pergi tergesa seperti itu?
Sisa malam itu, Dhito tidak fokus sama sekali. Makan malam terasa hambar, Fanya mengomel karena dia terus saja tertangkap melamun sampai akhirnya Dhito memilih pulang ke rumah orang tuanya.
***
Ibunya baik-baik saja, walau Dhito melihat wajahnya terlihat pucat dan terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Tetapi, Ibunya tetap berkata semua baik-baik saja serta senang mendapati Dhito akhirnya mau pulang untuk menengoknya.
Suasana Pagi di rumah orang tuanya sangat dia rindukan, aroma khas, suara ramai berasal dari musik gamelan khas Bali yang di putar menandakan beberapa murid ibunya sudah memulai latihannya. Ibunya begitu mencintai budaya Indonesia, meski menikah dengan lelaki yang masih ada keturunan luar, tetap hal itu tidak memudarkan rasa cintanya pada kesenian yang kaya ini. Pernah menjadi penari terkenal di masanya, memenangkan berbagai penghargaan sampai ke mancanegara, dan bertemu dengan ayahnya.
Sudah hampir delapan tahun ayahnya tiada, sang ibu memilih fokus menjalankan sanggar tari. Bahkan menolak ajakan Dhito untuk ikut dengannya menetap di Bandung.
“Nak, sarapannya sudah siap.” Suara ibunya terdengar bersamaan ketukan pintu.
Dhito merenggangkan tangan ke atas, dia mengambil ponselnya, sudah pukul delapan pagi.
“Iya, bu. Dhito mandi dulu.” Jawabnya, lalu segera pergi ke kamar mandi.
Rumah orang tuanya cukup besar, dengan di desain khas bangunan Bali. Di bagian depan lebih luas, dibangun bale sekapat yaitu bangunan yang berbentuk seperti gazebo dengan empat tiang yang kini dipakai untuk latihan para murid ibunya.
Alat musik tradisional gamelan khas Bali pun berjajar apik di rumahnya ini. suasana yang membuat dia terkadang rindu rumah. Berbanding terbalik dengan kehidupan modern saat Dhito berada di apartemennya.
Selesai mandi, memakai celana olahraga berwarna Grey dan kaos polos berwarna hitam, Dhito keluar kamar menuju meja makan, membuka tudung saji dan tersenyum melihat pecel—sayuran yang telah dikukus diberi sambal kacang pedas, dan lauk pendamping seperti tempe bacem, ayam kalasan dan rempeyek kacang yang renyah.
Selain menari ibunya pintar memasak.
Dhito menikmati makanan tersebut, rasa yang khas ini jauh lebih enak di banding makanan resto semalam.
***
“Kamu nggak keluar, nak?” Dhito tersenyum menatap ibunya datang menghampiri ia yang sejak tadi duduk memperhatikan para anak-anak tampak lincah itu sedang mengerakkan tangan, badan dan kaki. Tari tradisional Bali, menurutnya paling komplet karena seluruh badan dapat bagiannya, bahkan matanya saja bergerak khas. Indah sekali.
Danita Rosalind, ibunya itu memakai kain batik dan selendang kuning yang mengikat pinggang, sementara bagian atas memakai kebaya putih sederhana khas Bali. Ibunya memiliki paras anggun dan memikat, bahkan di usianya yang sudah lima puluh tahun, kecantikan tersebut masih nyata.
“Ke mana bu?”
Ibunya tersenyum hangat, “Keluar main menemui teman-teman kamu.”
“Malam kan sudah, keluar sama Fanya dan suaminya. Kalau teman, ibu tahu Gege, Joshua dan Steve juga menetap di Bandung.”
Ibunya mengangguk, musik gamelan yang mendayu indah menjadi latar suasana menjelang siang itu. “Teman wanita, ibu rasa kamu nggak menemu-kan di Bandung karena mau cari gadis Bali.”
Dhito sudah tahu ujung-ujungnya pembicaraan itu akan ke mana. “Ibu ini ya!” keluhnya tetapi dia terkekeh sendiri, “Kalau sudah ada pasti Dhito bawa, kenalkan pada Ibu.”
“Artinya kalau kamu membawa perempuan ke sini, dia spesial.” Kata Ibunya.
“Tentu saja, karena untuk jadi wanita spesial harus dengan restu wanita spesial pertama dalam hidupku.” Katanya, membuat senyum lebar ibunya terbit.
Dhito adalah putranya yang begitu menghormati, sayang padanya. Anak itu memang kerap nakal dengan tingkah-tingkahnya, tetapi itu wajar karena Dhito anak lelaki. Selama itu masih di taraf wajar, tidak diluar batas.
“Ibu nggak sabar menanti hari itu datang.”
***
Sudah dua hari berlalu Dhito berada di Bali. Pagi ini, dia menemani sepupunya, Dewa untuk ikut surfing di pantai Balangan. Pemandangan pantai sangat menawan karena diapit dua berbatuan karang besar, garis pantai yang cukup panjang, panorama sunset indah, pasir pantai yang putih dan hitam cukup lembut, ada juga yang datang hanya untuk bersantai di pinggir pantai, duduk di atas pasir sambil mendengarkan suara ombak air laut menyenangkan juga menenangkan.
Selain itu Balangan, menjadi surganya berselancar. Deru ombaknya yang besar jadi arena yang menyenangkan, sekaligus menegangkan. Peselancar di d******i dari kalangan turis mancanegara.
Untuk Dhito, Surfing adalah salah satu olahraga favoritnya sejak remaja meski sudah setahun tidak melakukan, dia tidak sama sekali lupa teknik-tekniknya.
Membiarkan matahari membakar kulitnya, Dhito bahkan hanya memakai swim shorts, berwarna dasar grey dengan motif stars bagian atas, sementara bagian bawah garis-garis berwarna putih. Otot-otot kencang, membuat para pengunjung wanita disana tidak pernah berpaling. Dhito mengusap wajahnya yang basah terkena air laut, terasa asin saat tidak sengaja masuk kedalam mulutnya. Dia berjalan dengan sebelah tangan membawa papan selancarnya.
“Lo memang sekeren itu, kak!” decak Dewa memuji bagaimana tadi Dhito begitu mahir berdiri di atas papan selancarnya, menatang ombak tinggi yang datang. Dhito menggeleng kecil mendengar pujian tersebut, “Lo padahal sudah setahun nggak balik, kan?”
“Iya setahun, tadi juga gue agak khawatir sih, takut juga.” Apalagi ombak Balangan tidak disarankan untuk pemula, dhito juga takut terjadi insiden yang berbahaya, untuk mengatasi kram di dalam air dan segala macam risiko fisik, dia memang tidak pernah lupa untuk pemanasan sebelum ini.
“Lo juga sudah ahli sekarang.”
“Iyalah ahli, gue kan calon atlet selancar terbaik Bali sekarang.” Ujarnya pongah. Dhito terkekeh mendengar cita-cita sepupu dari pihak Ibunya ini. lelaki muda, dengan kemauan keras. Dewa bahkan tingginya sudah setara dengannya, memiliki kulit coklat terbakar sempurna karena sering latihan surfing, Dewa sangat tahu bagaimana memanfaatkan wajahnya yang rupawan dengan menggoda para kaum hawa selalu tertarik padanya.
Keluarga ibunya memang berhasil menurunkan keturunan rupawan juga.
“Kak..” Dewa berhenti berjalan, membuat dhito pun ikut berhenti. Dhito menoleh, mengedikan dagunya sebagai pertanyaan “Lo kenal cewek itu, dari tadi memperhatikan lo terus.”
“Sebelah mana?” Dhito malah menangkap dua orang bule melempar senyum dan pandangan tertarik padanya, para wanita mancanegara yang berbaring dengan pakaian yang hampir telanjang, hanya sedikit kain menutupi bagian pribadinya.
“Bukan itu!” kata Dewa lagi, memang sih sejak tadi banyak yang menatap penuh minat pada kakak sepupunya, tetapi ada satu yang menurutnya aneh.
“Arah jam tiga.” Bisiknya, lalu Dhito segera mengarahkan pandangannya sampai dia melihat wajah jelita seseorang sangat dikenali, mereka sama-sama tercengang dan seperti menyadari sesuatu wanita itu segera berbalik dan berjalan dengan cepat, menjauh dari posisinya tadi.
Dhito tidak ingin kedua kalinya kehilangan jejak wanita yang semalam dia pastikan bahwa memang punggung itu milik jelita ini, yang juga sedang mencoba melarikan diri.
“Gue titip, wa!” menyerahkan papan surfingnya, Dhito segera berlari.
“Mau ke mana, ka? Lo kenal?” teriak Dewa
“Mengejar cewek itu, Ya, gue sangat kenal!” jawabnya tidak kalah teriak, Dewa tersenyum mendengar nada yakin tersebut.
“kejar sampai dapat, ka! Dia cantik juga!” guraunya yang tidak mendapat tanggapan lagi, Dhito sudah berlari mengejar Tyas Larasti.
Ya, perempuan dengan Dress bagian atas begitu terbuka karena hanya ada tali yang tersimpul di lehernya, panjangnya hanya sebatas lutut bermotif bunga, dengan dasar warna kuning, dia adalah Tyas Larasati.
Tanpa di sadari, Dhito tersenyum membentuk seringai. Siapa yang menduga, takdir membuat mereka bertemu di Bali.
Wanita itu terlihat kesulitan berlari karena pakaiannya dan juga pasir yang di injaknya. Dhito yang cukup bersahabat, membuat dia cepat menyusul sampai Tyas hanya berada dua langkah di depannya.
“Tyas Larasati, tunggu! Kenapa kamu harus menghindar?!” teriaknya, ternyata dia harus berusaha keras seperti anak remaja yang main kejar-kejaran hanya untuk berhasil menarik tangan Tyas..
Hup!
Refleks wanita itu tertarik kuat hingga Dhito tidak seimbang dan tubuhnya jatuh terlentang, sementara Tyas dalam dekapan, menimpanya.
Deg.. deg.. deg..
Degup jantung keduanya tidak terkendali, karena baru saja berlari juga karena posisi begitu melekat dengan wajah yang sejajar dan pandangan mata bertemu. “Saya mendapatkan kamu!” Bisik Dhito membuat jelita dalam pelukannya mengerjap.