"Tyas ayo!" sebuah suara membuat Tyas tersadar bahwa kini dia sudah sampai di bandara Ngurah rai, Bali.
Sopir keluarga yang menjemput sedikit terlambat karena salah informasi tentang jadwal kedatangan mereka. Mami akhirnya memutuskan mereka menunggu di sebuah kedai kopi Amerika sambil menikmat kopi dan kudapan manis.
"Oh, iya kak." Tyas segera beranjak, mengikuti orang tua dan Tara keluar dari kedai tersebut.
"Tyas, lihat apa?" Tara merangkul adiknya, seakan Tyas anak kecil yang bisa tersesat di tempat umum seperti ini.
Tyas memang tidak bisa mengindahkan pandangan dari punggung kokoh yang terlihat sedikit dikenali jika tidak salah, tetapi Tyas yang menanti orang itu berbalik untuk memastikan wajahnya gagal, karena lelaki itu tidak kunjung berbalik masih mengantre, memesan di kasir, lalu Papi mengabari sopir mereka sudah datang menunggu.
"Hm, sepertinya aku lihat seseorang."
"Siapa?" tanya Tara penasaran.
Tyas mengedikan bahu, tidak yakin. "Mungkin salah orang, hanya mirip."
Tara terkekeh, "Banyak orang yang mirip, untung kamu nggak keliru terus menghampiri. Bisa malu kan kalau kamu ternyata salah."
"Iya sih." Tyas juga tidak berniat menghampiri, justru dia akan menghindar jika memang orang yang dia lihat itu mengenalnya. Dia sedang bersama keluarganya, artinya Tyas tidak ingin dikenali siapa pun.
Berjalan, hingga pintu sebuah Alphard putih terbuka. Mami dan papi masuk lebih dulu baru di susul Tyas dan Tara. Mobil melaju menuju Villa pribadi milik keluarga. Sepanjang jalan Tyas lebih banyak diam karena memikirkan punggung kokoh tersebut, dia sudah dengar bahwa orang itu pun mengambil cuti di tanggal yang sama dengan Tyas.
Lalu Tyas menebak-nebak, untuk liburankah cuti yang diambilny? Menggeleng kecil, Tyas tidak habis pikir kenapa itu jadi urusannya?
"kamu kenapa? Kepala kamu sakit?" tanya Papi yang menangkap gerakan Tyas tersebut.
"apa Papi?" Mami siaga ikut bertanya pada Papi.
"Itu Tyas kepalannya gerak-gerak."
"Nggak mungkinkan kamu jetlag, Tyas? Penerbangan nggak sampai dua jam ko." Mami berdecak seakan jikalau pun itu terjadi adalah hal memalukan.
"Tyas baik-baik aja." jawabnya meyakinkan orang tuanya.
Lalu mami mulai membicarakan proses persiapan untuk acara besok malam dan ternyata cukup dihadiri hanya keluarga dan kerabat terdekat, seperti para teman-teman Tara juga di undang.
"Clarisa sudah sampai?" tanya Mami pada Tara yang baru saja mengakhiri telepon dengan calon istrinya.
"Sudah kemarin pagi, mi."
"Tyas, nanti ikut mami dan Clarisa untuk ambil pesanan baju."
"iya, mami." Mami memang yang mengatur semua, Tara serahkan semua pada Mami, dia tidak mau ribut dan ribet dengan hal-hal seperti itu.
"Tyas kamu ingat tante Melinda?" tanya mami di menit berikutnya, Melinda, seorang aktris terkenal di jaman Mami, menikahi seorang pebisnis sukses. Tyas ingat, karena Mami terlalu dekat dengan wanita itu, mereka tergabung dengan arisan sosialita.
"Bagaimana Tyas lupa, Mami sering cerita." Jawabnya bosan.
Mami terlihat kembali fokus pada ponsel. "putra sulungnya, seusia Tara. Belum menikah—"
"Mami berencana jodohkan aku dengan putra tante mel?" potong Tyas, mengerti arah pembicaraan Mami.
"Nggak sopan, Mami belum selesai bicara!" Mami mendelik kesal pada kelakuan Tyas menurutnya tidak baik karena memotong perkataannya.
Tyas menghela napas, dia melengos pilih menatap keluar jendela. "Apa pun yang Mami rencanakan, nggak akan terwujud. Ini bukan jaman siti Nurbaya, ini jaman emansipasi wanita, nggak ada kotak-kotakkan gender. Kalau Tara saja bisa menikah dengan pilihannya, Aku juga dong, walau aku anak perempuan." Tara dan Papi terkekeh, mendengar nada tidak suka Tyas.
"Tetapi bukan berarti kamu bebas pilih yang nggak sesuai keluarga kita, Tyas." Balas Mami terlihat tidak setuju. "Mami juga cukup waras pilih lelaki yang memang mami pikir pantas untuk kamu!"
"Pantas menurut Mami, kan? bukan menurutku?!"
"Tyas udahlah!" Tara menyentuh tangan adiknya, berusaha menghentikan perdebatan dua wanita penghuni mobil ini.
"Tyas udah dewasa, Mami. Dia pasti tahu mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri. Terutama menerima lelaki yang akan mendampinginya." Papi menambahi. Tyas tersenyum, mendengar kepercayaan kental pada kalimat tersebut.
Segera dia bergerak mencium pipinya "I love you, Papi!"
"I Love you to my girl" balasnya.
Pandangan mata Tyas bertemu dengan Mami. "Mami nggak akan lepas mengawasi kamu, Tyas." Katanya, yang benar saja mami mengancamnya?!
***
Aroma pantai begitu khas sejak beberapa jam lalu.
Surga dunia, banyak orang bilangnya begitu karena memang saat disini semua beban seakan tertinggal tidak membebani lagi. Suasana, pemandangan, budayanya semua terasa pas membuat siapa saja betah berlama-lama disana. Betah juga sih sama biayanya yang memang tidak sedikit, tetapi selaras dengan apa yang dia nikmati.
Sore itu Tyas dengan celana denim biru sebatas paha dan sebuah kaos bercorak abstrak yang sangat kebesaran sengaja dia buat simpul tali hingga perut ratanya terlihat. Wanita jelita itu berjalan menuju pantai sampai kaki-kakinya bisa merasakan butiran pasir putih yang hangat. Sedangkan keluarganya masih istirahat di dalam Villa.
Sebuah Villa mewah dengan nuansa etnik Bali, berada tepat di bibir pantai Jimbaran. Dua tahun lalu papi yang sering sekali mengajak keluarganya liburan ke Bali, memutuskan untuk mempunyai Villa pribadi, selain itu bisa untuk investasi juga. Harga Villa gampang naik setiap tahunnya, Papi yang melihat peluang itu tentu saja tidak berpikir lama untuk mempunyai satu.
Villa keluarga, dengan kolam renang besar yang membuat terasa berenang dipantai langsung karena menghadap laut. Ada empat kamar besar, dapur, ruang makan, ruang keluarga dan juga halaman luas dengan pohon kelapa berjajar memayungi.
Besok malam, acara tunangan Tara dilakukan, sementara keluarga calon istrinya menepati Villa yang berada tepat di samping Villa keluarganya.
Tara bahkan sudah menghilang sejak tadi, dia pasti sedang bersama calon istrinya tersebut.
Angin menerpa wajahnya, membuat anak-anak rambut yang lolos dari ikatannya bergerak. Tyas mengambil ponselnya, lalu mulai membidik Spot yang menarik perhatiannya. Terlalu asyik sampai dia tidak sadar sudah melangkah jauh dari Villa.
Ponselnya berdering—Mami calling.
"Kamu dimana?" langsung saja suara mami terdengar.
"di pantai, mi." Tyas memperhatikan sekeliling, dia baru sadar posisinya cukup jauh. Segera dia melangkah untuk kembali.
"Kembali ke Villa, kita akan ambil baju." Titahnya yang jelas akan menjadi malapetaka jika Tyas menolak.
***
Tyas terdiam tidak berminat seperti Mami dan Clarisa yang asyik memilih pakaian di sebuah butik mewah. Kembali fokus pada ruang chat bersama sahabat-sahabatnya.
Rere: Jadi lo benaran liburan?
Me: Bukan teh, ada acara keluarga. Kepo banget sih!
Rere: Ya habis lo mulai gak asyik, banyak rahasia!
Sita: Tyas bisa jaga rahasia? Benaran ini bukan berita bohong?"
Rere: Serius, ta. Tyas punya pacar nggak mau cerita. Sombong dia mentang-mentang pacarnya sultan.
Sita: Wah nggak asyik, Tyas! Kalau ke Sacred lotus nggak dapat jatah tiramisu gratis lagi dari gue.
Membaca komentar mantan atasannya, Tyas terkekeh.
Me: Please Teteh Sita tau banget gue lemah kalau bawa-bawa tiramisu! Jangan dong! Teh Rere jangan di percaya.
Mereka belum tahu saja, kalau Tyas justru terlalu pintar bermain perah. Tyas meringis dengan pikirannya tersebut, "Kedengarannya kenapa seram, ya?" Gumamnya lalu kembali pada obrolan Grup, Santi terlihat sedang mengetik sesuatu yang panjang, tetapi tidak muncul juga.
Me: Teh Santi mau ngetik apa? typing terus, kayaknya bakal panjang nih.. kabur ah.. wkwk
"Tyas, ini kamu coba!" Tyas mendongak, Mami sudah berdiri di depannya dengan tiga dress yang terlihat lebih cocok di pakainya dibanding wanita paruh baya seperti Mami.
"Mami serius mau pakai itu?" Ternyata Tyas tidak mendengar perintah Mami.
Mami memutar bola matanya jengah dengan kelakuan putrinya itu. "Simpan dulu ponsel kamu." titahnya yang langsung Tyas turuti. "Ini kamu coba sana!" Tyas mengambil tiga pakaian tersebut.
"Buat aku?"
"Iya, sudah sana. Clarisa juga lagi coba, Mami tunggu sini." Mami mengambil alih posisi Tyas tadi, duduk di sofa empuk berwarna hitam.
"Nggak usahlah, mi. Tyas bawa banyak baju kok." Di lemarinya saja masih banyak yang belum terpakai, lalu Mami sudah menyuruhnya membeli lagi. Geez! Tyas tidak mau di bakar baju-baju ini nanti di neraka, karena tuntutan membeli tetapi tidak di pakai. Mubazir sekali!
Mami terlihat tidak mau mengabulkan permintaan Tyas, dengan gayanya yang anggun malah mengambil sebuah majalah yang tersedia, duduk dengan kaki tersilang dan mulai membuka majalah tersebut.
Tyas tidak pernah menang jika mendebat sang Mami, dari pada berujung sia-sia jadi dia pasrah saja berjalan gontai menyusul Clarisa yang tampak masih di dalam bilik sebelahnya.
***
"Ka Tara menyusul kesini, mau ajak kami makan malam di luar." Kata Tyas begitu mereka keluar butik untuk kembali ke Villa.
"Ya sudah, mami pulang ke Villa duluan." Lalu bule calon mantunya yang berdiri di samping Tyas segera mendekat untuk cipika-cipiki dengan Mami, sementara Tyas tidak berniat melakukan itu. Buat apa? seakan mereka terpisah jauh saja, nanti di Villa juga bertemu kembali.
"Tyas, jangan ke mana-mana tanpa izin Tara dan jangan pulang terlalu larut. besok kita ada acara penting." Peringatan Mami, membuat Tyas mengangguk malas. Lalu mami masuk ke dalam mobil, menunggu mobilnya berlalu dari sana barulah Tyas dan calon kakak iparnya itu menuju restoran yang tidak jauh dari sana, tempat janjian dengan Tara.
Tyas sejujurnya belum begitu akrab dengan Clarisa, budaya yang berbeda membuat iya sedikit bingung untuk memulai obrolan, sehingga yang terjadi hanya berbincang seputar kabar saja. Padahal bule cantik di sampingnya ini sudah lumayan fasih berbicara Indonesia.
Begitu sampai mereka sudah melihat Tara yang menunggu di depan Resto. "Jadi nyamuk kan gue!" gumam Tyas yang merutuki diri karena mau saja di ajak Tara.
Lihat saja bagaimana Tara menghampiri, langsung memeluk Clarisa dan tanpa peduli ratapan Tyas yang kesal, lelaki itu memberi kecupan di bibir Sexy Clarisa.
"uwo... pantas saja minta nikah cepat-cepat, di tempat umum aja berani cium bibir, bagaimana di tempat sepi!" Cibir Tyas dan mendahului mereka masuk,
"Iri aja kamu!" tanpa peduli Tara menggerutu di belakang sana.
Pelayan resto yang berjaga di depan membuka pintu, lelaki berpakaian khas resto tersebut membungkuk "Welcome.. good evening, have a reservation?" tanyanya sopan.
Tara mengangguk, "Artara Rasyid." Sebutnya, lalu pelayan tersebut menunjukkan jalan menuju meja pesanan mereka, Tara tidak sedikit pun melepaskan rangkulan posesif di pinggang wanita bule berambut pirang tersebut, Tyas beralih mengikuti di belakang. Namun, langkahnya terhenti saat matanya yang sedang mengagumi interior Resto tersebut, berhenti di satu titik.
Melihat sosok yang ia lihat di bandara tadi, lelaki itu terlihat santai duduk di sebuah meja dengan seorang perempuan.
Tyas terpaku, "Dhito, sedang apa di sini?" bisiknya lalu saat melihat kepala itu hendak berbalik, sebelum Tyas bertindak bodoh sampai kehadirannya di sadari. Tyas berbalik, segara memilih keluar dari resto tanpa peduli Tara yang pasti akan kebingungan mencari keberadaan dirinya.
Dia bisa kabari Tara nanti, kabur adalah solusi satu-satunya untuk saat terdesak seperti ini.