Two Faced

1886 Kata
Tara berhasil membuatnya setuju ikut ke acara bersama teman-temannya malam ini. Hal yang mengecewakan karena dengan cara Tara, kenapa harus bilang Mami? tentu saja Mami tidak melewatinya untuk membuat Tyas hidup normal versi Mami. "sekali-kali kamu perlu ikut Tara nongkrong, itu bagus untuk berburu jodoh potensial." Karena menurut Mami, tempat nongkrong Tara adalah tempat strategis untuk menemukan calon jodoh potensial dan memenuhi kriteria keluarga Rasyid. Biasanya Tyas yang kerap melontarkan 'Jodoh potensial' pada teman-temannya, tetapi kini mendengar mami yang mengatakan malah terdengar tidak nyaman. "Teman kamu ada yang jadi pengacara juga, kan? masih single?" Mami beralih pada Tara yang terlihat bersalah pada Tyas, karena Mami jadi punya alasan untuk mendikte Tyas lagi. "Ma, kalau udah waktunya Tyas juga akan menemukan jodohnya." Tara enggan memperpanjang, apalagi setelah melihat Tyas yang diam saja. "Bukan itu pertanyaan Mami!" "Ada, Tapi aku yakin Tyas akan menemukan lelaki yang sesuai dengan dirinya. Iya kan, Tyas?" "Iy-" "Sesuai keluarga Rasyid." Tyas menghela napas saat Mami mengoreksi, tidak memberinya kesempatan bicara. "Kalau gitu Mami akan menunggu lama melihat Tyas menikah." Tyas memberanikan diri menatap Mami, Tara menarik napas dalam-dalam karena tahu perdebatan itu tidak akan singkat. "Kenapa begitu? Selain nggak tertarik mengikuti kesuksesan Papi dan Tara, kamu juga mau keras kepala menentukan pendamping hidupmu?" Ketus sang mami. "Nggak ada yang salah dengan itu Mami, Tyas yang akan menjalani pernikahannya." Tara ada di pihak Tyas. "Pernikahan seperti apa? pilihan hidup adikmu itu selama ini sudah sesuka hatinya dan Mami nggak akan biarkan kamu atau Papi mendukung-nya lagi! Apalagi soal jodoh nggak bisa sembarangan dan main-main. Kita harus tahu asal usulnya, jangan seperti beli kucing dalam karung." Mami lalu berdiri, memberi tatapan mengawasi pada putrinya. "Dengar Mami kan, Tyas?" "Pilihan hidup Tyas memang selalu salah di mata Mami. Mungkin Mami akan berhenti mengkritik kalau Tyas menurut saja." meski tidak nyaman-lanjutnya dalam hati. "Baguslah, seharusnya sejak dulu kamu punya pikiran dewasa seperti itu!" Langkah Mami yang selalu terlihat anggun itu melangkah meninggalkan Tyas dan Tara di ruang tamu. "Tyas-" Tara mendekat hendak meminta maaf karena membuat adiknya harus lagi-lagi menghadapi kritikan Mami. Tetapi, Tyas malah berdiri dengan pandang lurus tidak menatap padanya. Senyum kecil tampak Tyas paksakan. Tyas menahan air mata yang selalu siap meledak kapan saja, jika habis berhadapan dengan Mami. "Jam delapan, kan? jangan pulang malam-malam ya, ka. Besok Senin, aku kerja." Katanya dan berlalu dari sana. Tara menatap sendu pada punggung adiknya yang terlihat rapuh tersebut. Tara sama khawatirnya dengan Mami saat Tyas memiliki pilihan untuk hidupnya. Awalnya, dia tidak setuju melihat Tyas yang memilih hidup sangat sederhana tanpa mau ada bayang-bayang nama Rasyid di belakangnya. Tetapi, ketika Papi mendukung, saat itulah Tara berpikir keras-apa yang membuat Papi setuju, dan tidak mengkhawatirkan Tyas? Kepercayaan, satu hal yang Papi yakini bahwa apa yang Tyas pilih adalah jaminan untuk membuat Tyas bahagia. Walaupun apa yang sudah Papi perjuangkan selama ini untuk kebahagiaan keluarganya, istri dan anak-anaknya. Tetapi, kebahagiaan hanya dapat diukur dengan kepuasan batin diri sendiri dan Papi tidak bisa menjamin bahwa semua yang dia beri ini bisa membuat keluarganya bahagia menurut versi mereka masing-masing. Begitu pun, ketika Tara memilih merantau dan memulai semuanya dari nol di sana. Padahal jika Tara mau dia tinggal menikmati dan menjalankan apa yang sudah Papi bangun, itu hak anak-anaknya. Dan Papi benar, Tara merasakan puas di setiap keberhasilannya, walau pun dari kasus kecil saja dia bisa sangat puas karena ada perjuangan untuk mendapatkannya. Mungkin itulah yang dirasakan adik-nya, Tyas. Walau hidup sederhana yang bahkan gaji dengan jatah bulanan dari orang tuanya, ibaratkan satu banding lima. Itu jauh lebih berharga, karena Tyas mendapatkan dari hasil usahanya sendiri. *** Tyas mematung di depan cermin panjang dari kayu jati dengan ukiran di setiap sisinya. Cermin yang terlihat angkuh. Ia menarik napas dalam-dalam. Merasa lucu karena di tempat yang paling dia kenali, mengapa dia begitu asing. Sementara di tempat asing, dia bisa jadi diri sendiri. Mini Dress berwarna baby purple, diatas lutut sedikit, berbahan satin hingga jatuh mengikuti lekuk tubuh dan di bagian bawah sedikit mengembang, bagian leher bulat dengan lengan di bagian atas terbuka memperlihatkan kulit mulusnya, terdapat kerutan yang membuat gaun semakin manis saat di kenakannya. Riasan wajah disesuaikan, walau Tyas tetap menjaga agar terlihat natural tidak berlebihan. Semua dia lakukan, agar mami tidak memiliki alasan untuk mengkritiknya lagi. Walau sebenarnya, Tyas lebih nyaman memakai celana Jeans dan kaos usang. Gaun manis ini menjadi pilihan diantara semua pakaian yang ada di lemarinya. Semua pakaian itu, Mami yang memaksanya membeli setiap kali Tyas dipaksa ikut menjelajah dari satu butik ke butik lain, atau setiap ada launching produk baru dari brand International dan Mami menjadi tamu VVIP. Tyas menggeleng kecil saat ingatan dia kembali pada saat sahabatnya, sita, terlihat bingung untuk memilih barang-barang seserahan. Mantan atasannya itu benar-benar terlihat asing dengan katalog-katalog tersebut, sementara Tyas berhasil berpura-pura asing pada brand-brand yang sebenarnya sangat dia kenali atau dipaksa akrab oleh Mami. "Terkutuklah kamu, Tyas. Kalau sampai mereka tau siapa dirimu!" monolognya, begitu merasa bersalah pada para sahabatnya karena telah menyembunyikan identitasnya. Tok...tok..tok.. "Tyas, sudah selesai? Kakak tunggu di bawah." "Iya!" jawab Tyas berteriak, lalu kembali memastikan tampilannya sudah normal versi Mami. *** Tyas berhasil lolos dari kritikan Mami, saat menemukan orang tuanya sedang duduk santai di ruang keluarga. "Tyas ikut? Tumben." Lirik Papi menatap istri dan putri tersayangnya tersebut yang terlihat sangat manis. "Pasti kamu yang ikut ambil andil, kan?" tebakan Papi seratus persen tepat. Tyas mendekat lalu mencium pipi Papi dan Mami. "Tyas berangkat dulu." Papi mengangguk "Tara, jaga adikmu." lalu memberi peringatan pada si sulung karena tahu tempat nongkrong seperti apa pilihan anak muda jaman sekarang ini. "Siap, Papi!" lalu Tara merangkul adiknya keluar dari kediaman orang tuanya. "Sayang, kamu jangan terlalu keras sama putri kita." Atensi suaminya kini sepenuhnya pada wanita yang di cintainya itu. Tantri menghela napas, dia membalas tatapan teman hidupnya itu. "Kamu yang paling tahu betapa aku sangat sayang sama putri kita." "Iya, aku tahu. Kamu sayang sama Tyas, tapi tolong sedikit saja kamu percaya sama putri kita. Sejauh ini, Tyas bisa buktikan bahwa dia bisa jaga kepercayaan kita, kan?" "Kamu nggak akan pernah mengerti, aku nggak akan berhenti khawatir saat putriku memilih tinggal sendiri!" Ungkapnya. "Tara nggak kamu khawatir, kan? Dia malah memilih tinggal di bagian bumi lain, jauh dari kita." "Karena aku jauh lebih mengkhawatirkan Tyas di banding Tara. Sudahlah kamu laki-laki nggak akan mengerti perasaan aku, sebagai ibu yang telah melahirkan anak-anaknya." Tutupnya, lalu dia berlalu dari sana. Menurut wanita paruh baya tersebut, sampai kapan pun sang suami tidak akan pernah mengerti bagaimana perasaan dia selalu tidak tenang setelah mendapati putri satu-satunya hidup dengan pilihannya sendiri. Bahkan, Tantri tidak percaya sang suami bisa tenang-tenang saja dengan itu semua. *** Tara tidak sedikit pun menjauhi adiknya, beberapa teman akrabnya selama sekolah menengah atas berkumpul di sebuah kelab malam yang lebih di d******i kalangan atas. Tempat itu terlihat ramai dan sesak menurut Tyas. Tara sudah memperkenalkan Tyas pada beberapa temannya yang datang bersama para pasangan. Ada yang sudah menikah, bertunangan atau pasangan kekasih. Tyas mendengus kesal-kata Tara, ada yang single tetapi yang di dapati Tyas mereka semua sudah double. Suara musik di ruang VIP itu lebih normal di banding saat Tyas berjalan di bagian luar tadi, bau asap rokok, parfum dan alkohol bercampur kompak membuat dia sakit kepala. Beberapa minuman tersaji bersama makanan-makanan ringan, Tara terlihat asyik saling bertukar cerita hidup dengan teman-temannya yang juga hidup tampak sama normalnya dengan Tara. Tyas benar-benar bosan, dia melirik Tara di sampingnya, ia kembali meneguk minuman yang seperti air teh kurang warna tersebut. Sementara Tara tidak membiarkan Tyas menyentuh minuman lain selain segelas minuman yang terasa seperti minuman soda biasa, sengaja di pesankan Tara untuknya. "Ka, jangan mabuk!" Tyas menarik lengan Tara, memberi dia sekali lagi peringatan. Tara mendekatkan tubuhnya dan berbisik, "Kamu bisa menyetir? Kenapa aku khawatir." Oke, Tyas paham mungkin ini alasan lain Tara mengajaknya. "awas aja, benaran mabuk, pulang sendiri!" ancamnya lalu berdiri. "Mau ke mana, Tyas?" "Toilet." "Kakak antar-" "Ya Tuhan, Ka. Aku bukan anak di bawah lima tahun yang nggak bisa baca petunjuk dimana arah menuju toilet!" selanya cepat, lalu keluar dari ruangan tersebut. *** Tyas mencuci tangan, toilet di kelab malam ini bersih dan wangi. Tidak seperti bayangan dia selama ini atau memang harga menentukan segala kualitas. Jika dilihat dari kelab yang di datangi oleh kalangan atas, pasti fasilitas harus sesuai harga yang para tamu bayar saat masuk dan menyewa ruang disini. Tyas saja sampai melongo ketika tahu berapa harga yang harus dibayar untuk bisa bersenang-senang di kelab malam ini. senilai satu bulan gajinya kerja di BM Hotel! Orang-orang yang datang kesini sudah pasti terlalu banyak penghasilannya, sampai dibuang-buang percuma di tempat yang seperti ini. mencari liburan? Geez.. Liburan menurut Tyas ke pantai atau gunung, atau berburu makanan enak bukan tempat ramai dan berisik seperti ini. Tyas berjalan kembali ke ruang yang di tempati kakaknya dan dia menelan ludah saat termakan omongannya sendiri. "Duh, tadi ruangan nomor berapa!" decaknya mulai khawatir akan daya ingat otaknya. Meski tidak yakin dia berdiri di sebuah ruangan dengan nomor 277, ia tetap mengulurkan tangan menyentuh hendel pintu, dan membukanya lalu dia mematung saat melihat pasangan di dalam sana. Seorang perempuan duduk di pangkuan laki-laki, bahkan bagian bawah dress ketat yang dipakai wanita itu sampai tersingkap. Tyas tahu apa yang mereka lakukan saat suara cecap terdengar, ruangan yang cukup terang membuat Tyas melihat live show tersebut. Itu ciuman yang cukup panas, sampai Tyas hampir menggigit bibir bawahnya sendiri. Kakinya terasa seperti di paku, tetapi dia terus memaksa sampai dengan gerakan cepat dan tidak siap Tyas berbalik dan menimbulkan kegaduhan saat Heels yang dipakainya... Bruk! Tidak seimbang dan jatuh. I hate Heels! Rutuknya dalam hati. "Maaf saya salah ruangan!" Tyas memekik dan dua pasang mata lain terkesiap langsung menjauhkan tubuh mereka. Tyas segera berdiri, dia membungkuk tanpa berani menatap wajah pasangan yang baru saja jadi live show untuknya itu. "Sekali lagi maaf atas kecerobohan saya telah mengganggu kalian. Silakan dilanjut!" Tyas menggigit bibir bawahnya saat kalimatnya terlalu asal dan lebih terdengar meledek. "Tyas?" panggil sebuah suara familier menghentikan kaki Tyas yang hendak berbalik keluar dari ruangan tersebut. Kini Tyas lebih terkesiap dan hampir memekik saat melihat dan mendapati siapa pasangan di depannya yang baru saja berciuman panas itu. "Pak Dhi-dhito.. Ibu Lu-luna?" Tyas segera mengerjapkan mata untuk sekali lagi memastikan. "Kamu sedang apa di sini Tyas?" Luna atasan Tyas itu terlihat biasa saja, sementara Dhito hampir tidak berkedip melihat dan bertemu Tyas di sini, terutama tampilan wanita itu terlihat berbeda dan dia akui.. sangat manis. Tyas tergagap mencari jawaban untuk pertanyaan tersebut, tiba-tiba dia bingung dengan situasi sekarang. Terlebih beragam pertanyaan muncul dikepalanya, Luna dan Dhito menjalin hubungan? "Sa-saya disin-" "Tyas, kamu disini?" Tyas menoleh begitu mengenali suara Tara, pintu yang masih terbuka membuat Tara bisa mengenali adiknya yang terlihat salah masuk ruangan. "Kamu salah ruangan, kita tepat di sebelah." Tangan Tara langsung memeluk pinggang adiknya dan mendapati wajah Tyas yang terlihat pucat. "Aku lupa nomor ruangannya." Bisik Tyas, lalu dia menunduk tidak berani menatap pada pasangan di depan sana. Tara menangkap ada yang salah dari tingkah Tyas, dia segera menatap pasangan di depannya dan melihat pakaian mereka yang tidak rapi. Tara tahu Tyas masuk di saat tidak tepat. Menemukan ide, dia segera menyeringai "Maaf atas gangguan ini, pacar saya sepertinya lupa nomor ruangan kami. Sebagai ganti rugi biar saya yang bayar pesanan kalian." Tyas langsung mendongak, mengerutkan kening saat Tara malah berbohong dan mengakuinya sebagai pacar-what's wrong with Tara?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN