19. Bersyukur

1865 Kata
"Anjirr sumpah gue duluan yang lihat monyet, ah elu mah kagak pernah mau ngalah sama gue!" Rizal marah-marah karena tidak terima satu porsi terkahir batagornya harus diberikan kepada Azka. Padahal Rizal sudah melihat terlebih dahulu tapi Azka malah asal nyerobot saja memesan batagor yang tinggal seporsi itu. "Yaudah nih bagi dua, tuh kurang baik apa gue sama lo," ujar Azka berniat baik ingin membagi makanannya. "Males udah kena jigong lo, bau, mending gak makan daripada makan bekas jigong!" Azka mah bodoh amat, cowok itu mengendikan bahunya sambil lanjut makan. Wajar sih kalau Rizal tidak mau dibagi makanan olehnya. Masalahnya batagor Azka disajikan dalam wajah plastik yang diikat, jadi kalau mau makan harus digigit ujungnya terlebih dahulu yang otomatis jika Rizal ingin minta, harus melalui bekas gigitan Azka itu. Bisa dibayangkan kan bagaimana? "Pokoknya ngambek gue sama lo, Ka. Awas aja lo," Rizal masih setia dengan omelannya membuat Azka yang ingin makan dengan tenang jadi menghela napasnya kasar. Azka lalu menatap Rizal datar. "Apasih Jali, apa? Marah-marah terus cepet tua lo entar. Emang mau dapat umur pendek?" "Ck, berisik! Udah buruan tuh kelarin makan habis itu ikut gue beli nasi soto di depan. Laper nih!" gerutu Rizal masih belum ada habisnya. Azka hanya mengangguk, sampai kemudian cowok itu berdiri menepuk bahu Rizal sekali agar cowok itu menatapnya. "Ayo, gue antar," kata Azka. "Batagor lo belum habis, habisin dulu aja. Gak baek makan sambil berdiri. Mau jadi sapi lo?" omel Rizal membuat Azka tergelak. "Berisik! Udah ah buruan, kasihan debay dalam perut lo nunggu dikasih makan." Pletak! Sontak saja Rizal menggeplak kepala Azka dengan sekuat tenaga pula membuat Azka meringis mengusap kepalanya. "Sakit ayam! k*******n mulu lo kalau sama gue, heran dah!" protes Azka. "Debay, debay, cacing nih yang ada bukan debay!" Azka berdecak. "Iya serah lo ayam, serah! Udah ayo." Kedua cowok itu lalu berjalan menuju warung soto yang ada di pinggir jalan dekat rumah sakit. Iya, sekarang mereka sedang berada di rumah sakit. Menjenguk Mahesa awalnya. Namun, karena cacing dalam perut yang sangat tidak bisa diajak kompromi, jadilah Azka dan Rizal memilih untuk mencari asupan berdua. Sementara itu di dalam ruangan, sudah ada Laskar yang sibuk menyalin PR dari buku Kaylendra. Kaylendra sendiri asik membaca buku yang entah apa isinya. Lalu juga ada Selina yang setia menyuapi Mahesa makan. Sejak datang beberapa menit yang lalu, Selina sudah ditodong Mahesa dengan sepiring makanan. Dengan alibi belum makan dari pagi, Mahesa ingin Selina yang menyuapinya. Suapan ke sepuluh, dan Mahesa masih mangap, menerima makanan itu masuk ke dalam lambungnya. "Mau minum nggak?" tanya Selina mendapat gelengan kepala dari cowok yang saat itu sedang asik main game online. Selina menghela berat. Dia lalu kembali menyuapkan sesendok makanan untuk Mahesa. "Ayo aaa ...." Mahesa malah menggeleng dan menutup mulutnya rapat. "Kenyang, Lin," ujarnya. "Nanggung amat tinggal dikit nih, sekalian di habisin kenapa sih? Suka banget buang-buang makanan," omel Selina. Mendengar itu Mahesa langsung menatap Selina sambil tersenyum yang membuat Selina malah heran campur ketakutan. "Kenapa senyum-senyum kayak gitu?" tanya Selina ketus. "Lo mirip Mama gue, selalu ngomel kalau nggak ngabisin makanan," jawab Mahesa masih mempertahankan senyumannya. Entah jika sedang berhadapan dengan Selina, rasanya Mahesa ingin selalu tersenyum kepada gadis itu. "Ish! Apa sih. Semua orang juga bakal ngomel kali kalau lihat makanan nggak dihabisin. Mubadzir!" "Tuh, kan kalau marah-marah semakin mirip Mama," ujar Mahesa kembali menyamakan Mamanya dengan Selina. Semua itu benar adanya, Mahesa sama sekali tidak niat bohong bahkan menggombal. "Terserah deh! Kalau gitu mau ke toilet bentar gue. Nitip tas ya? Jangan diapa-apain!" Selina menaruh tasnya di kursi yang sebelumnya dia duduki. Gadis itu juga mewanti-wanti Mahesa agar tidak memngapa-apakan tas miliknya. Mahesa hanya mengangguk pelan. "Yaudah, sana aman tas lo sama gue nggak akan juga gue jual," kata Mahesa. Selina memutar kedua bola matanya malas. "Terserah lo Mahesa, terserah!" balasnya lalu melangkah pergi. Hanya menyisakan para cowok dalam ruangan itu. Setelah Selina sudah benar-benar tidak terlihat lagi, tangan Mahesa terulur mengambil buah pisang pada nakas, tanpa permisi cowok itu langsung melemparkan pisang itu tepat mengenai Kaylendra. "Anj—" umpat Kaylendra tertahan. Matanya sudah menatap Mahesa tajam. Laskar sampai ikut mengangkat kepalanya. "Ada apa sih?" tanya Laskar. "Apa?!" Kaylendra juga bertanya sambil menyentak. "Gue mau minta tolong," ujar Mahesa kepada Kaylendra. "Minta tolong kayak orang ngajak ribut!" Kaylendra mendumel, tapi tetap berdiri, menutup bukunya dan berjalan mendekati Mahesa. Sekesal apa pun Kaylendra kepada Mahesa tetap saja dia tidak akan bisa marah atau menolak permintaan cowok itu. Mengingat siapa yang membuat Mahesa jadi seperti ini. "Minta tolong apa?" tanya Kaylendra. "Tengokin Mama gue, lihat keadaannya baik-baik aja enggak?"Mahesa berkata serius. Masalahnya Mahesa terus kepikiran akan keadaan Mamanya. Bisa saja Kaylendra nekat keluar dari rumah sakit, tapi badannya masih lemas benar-benar lemas, mungkin juga efek kekurangan darah. Dengan tulus Kaylendra mengangguk. "Iya," jawabnya singkat. Mahesa lalu melihat tiang penyangga di sebelahnya. Dia terkekeh saat melihat kantong darah ikut menggantung di sana, tatapan Mahesa kemudian beralih pada tangan Kaylendra, ada plester untuk menutupi bekas tusukan jarum di sana. Melihat itu Mahesa tersenyum. "Harusnya lo gak usah kasih darah lo buat gue, badan udah kurus gitu juga," ujar Mahesa dengan nada bercanda. Kaylendra hanya tersenyum miring. "Harusnya gitu, biar lo cepet mati dan ngurangin beban negara." Ucapan Kaylendra menang sepedas itu untuk didengar. "Kalem dong, ngegas mulu. Tapi, makasih Kay, makasih juga udah bantu bayarin rumah sakit nyokap gue. Nanti kalau gue udah enakan gue bakal langsung ganti uang lo." "Terserah, gue cabut dulu," pamit Kaylendra. Mahesa melihat Kaylendra yang mulai mengemasi barang-barangnya. Bahkan dengan tega Kaylendra juga merampas bukunya yang dipinjam Laskar membuat Laskar protes marah. "Medit banget lo, ini tinggal dikit, Kay!" Kaylendra tidak menghiraukan dan tetap memasukkan buku itu ke dalam tas. "Lanjutin besok, sekarang gue mau balik," balas Kaylendra setelahnya. "Ck, yaudah sih gue pinjem dulu besok gue balikin Kay takut amat buku lo gue jual," ujar Laskar. "Eh Kar, tuh buku kan udah kayak separuh hidupnya Kaylendra. Lo kayak baru kenal Kay sehari aja. Mana pernah dia ngizinin bukunya dibawa sama kita-kita," sahut Mahesa menbuat Laskar berdecak. Kaylendra dari dulu memang seperti itu, tidak pernah ada sejarahnya Kaylendra meminjamkan buku untuk orang lain, termasuk temannya sendiri. Masalahnya dulu ... sekali, Kaylendra pernah melakukan hal itu, bukunya dia pinjamkan kepada Azka yang berkahir buku itu hilang. Iya kalau bukan buku penting, saat itu yang dihilangkan Azka adalah buku catatannya yang sangat berharga. Jadilah sampai sekarang Kaylendra kapok dan tidak ingin lagi meminjamkan bukunya kepada orang lain. "Lagian lo mau ke mana sih? Buru-buru amat masih jam segini juga," tanya Laskar melirik jam tangannya. "Ada urusan," jawab Kaylendra seadanya. Setelah itu Kaylendra langsung berpamitan untuk pergi. Aura dingin Kaylendra juga ikut pergi bersama pemiliknya. Cowok itu, Mahesa benar-benar bersyukur bisa punya teman seperti Kaylendra. Orangnya memang tidak banyak bicara melainkan langsung bertindak. Mahesa juga bersyukur, dikelilingi oleh orang-orang yang tulus mau berteman dengannya. Seperti Laskar, bisa dibilang Laskar begitu perhatian kepadanya yang tak jarang juga membuat Mahesa geli. "Itu luka lo kayak gitu masih sakit nggak?" Seperti ini contohnya. Entah sudah berapa kali Laskar menanyakan hal yang sama. "Nanya lagi gue kasih piring cantik lo!" sentak Mahesa. "Kan gue cuma tanya. Terus, badan lo gimana? Masih lemes? Gue beliin jus mau nggak?" Mahesa memutar kedua bola matanya malas. "Gue lemes karena badan gue sakit semua habis jatuh, bukan karena kurang gizi. Udah lo bisa diem aja nggak sih, ngapain kek jangan tanya-tanya mulu, bosen gue dengernya." Laskar menggerutu pelan. Cowok itu kemudian mengambil posisi rebahan di atas sofa memilih menonton film pada layar ponselnya. Mahesa yang melihatnya hanya geleng-geleng kepala. Hingga selang berapa detik kemudian dua perusuh datang. "SPADAAA DUA COGAN DATANG NICH!" begitu teriak Azka dengan heboh. Langsung saja Laskar melemparkan pisang yang tadi untuk Kaylendra kepada mulut Azka. "Berisik! Tau tempat gak lo!" marah Laskar. Azka mengusap-usap mulutnya yang sakit akibat pisang itu. "Ya maap, gitu aja marah kayak perawan lo." Azka dan Rizal mengambil duduk di sofa tempat Laskar. Pastinya setelah memaksa Laskar untuk untuk menggeser duduknya. "Lo dari luar cuma tangan kosong gini gak bawa apa-apa gitu?" tanya Laskar memperhatikan kedua temannya. "Emang mau bawa apa?" hanya Rizal balik. "Ya katanya mau cari makanan, mana? Lo gak ada bawa apa-apa gini." Rizal mengangguk paham. "Oalah ... makanan ta? Nih udah gue bawa kok tenang aja." "Mana?" Cowok sipit itu kemudian menunjuk perutnya. "Dalam sini lah, mungkin sekarang sedang diproses jadi t*i," balasnya dengan bahasa yang absurd membuat Laskar bergidik ngeri, sedangkan Azka dan Mahesa menahan tawa. "Dasar nggak inget temen lo, bawain gue cilok kek, apa gitu camilan ini enggak. Perut sendiri yang dipikirin." "Laskar, udah berisik jangan banyak omong! Nggak capek dari bayi ngomong mulu?" balas Azka. "Aish! Lu mah! Udahlah mau nonton aja gue." Kedua bola mata Rizal membulat seketika. "Wihhh nonton apa tuh. 1821 ya?" "1821 you head!" sentak Laskar. "Terus apa? Lihat dong bwang," Rizal memanjangkan lehernya untuk mengintip, setelah tau apa yang Laskar lihat, Rizal langsung tertawa kencang. Azka dan Mahesa yang tidak tau apa-apa menatap Rizal kebingungan. "Ka, temen lo hati-hati takut ketempelan," ujar Mahesa lawak. Laskar juga mengernyit bingung. "Ngetawain apa sih lo? Ada yang lucu?" Dengan segenap tenaga Rizal berusaha menghentikan tawanya. "Lihat, badan dong gede kayak satpam tapi masa tontonannya Upin-Ipin sih mas? Ya Allah sakit banget perut gue!" "Eh, emang apa yang salah sama tontonan Laskar? Kayak lo nggak pernah aja, Malih, Malih." Mengabaikan teman-temannya yang meributkan duo botak. Mahesa malah jadi bertanya-tanya ke mana perginya Selina. Masa ke toilet lama banget? "Woi Ka, lo tadi lihat Selina nggak?" tanyanya kepada Azka. Cowok yang awalnya sibuk debat dengan Rizal itu lalu menggeleng. "Nggak lihat, emang dia ke mana?" tanya Azka balik. "Toilet, tapi belum balik." "Mau gue tengokin nggak? Siapa tau nyasar gitu?" Azka inisiatif ingin menolong mencarikan tapi Mahesa menolak. "Jangan, biarin aja mungkin habis ini balik," katanya. "Oke." Hingga setelah itu ponsel yang ada di atas kursi yang sebelumnya Selina duduki tadi, tiba-tiba bergetar. Mahesa melihat ke arah pintu, belum ada tanda-tanda Selina datang. Langsung saja Mahesa mengambil ponselnya. Ada beberapa pesan di sana. Dari nomor tak di kenal, saat akan membukanya, naas ponsel Selina dipassword. Mahesa menghela kecewa. Diletakkannya kembali ponsel itu. Padahal Mahesa sudah kepalang kepo. Dan tidak berselang lama, akhirnya Selina kembali juga sambil merapikan rambutnya. "Kamar mandinya pindah ya Lin? Lama banget dari jaman Meganthropus kagak balik-balik," celetuk Azka. Selina hanya tersenyum canggung. Tanpa menjawab pertanyaan Azka, Selina duduk di tempatnya semula. "Dari mana aja?" tanya Mahesa terdengar seperti mengintimidasi. "Emm dari toilet lah," jawab Selina gugup. "Lama banget." "Biasalah namanya juga panggilan alam, Sa." Selina terkekeh setelahnya. "Oh ya, Sa. Gue pulang duluan nggak pa-pa ya? Udah sore takut Mama nyariin." Tanpa banyak tanya Mahesa mengangguk. Kemudian Mahesa menatap Azka. "Ka, anterin Selina pulang," katanya. "Eh nggak usah!" tolak Selina merasa tidak enak. "Lo cewek, bahaya pulang sendiri." "Aduhh Sa, udah biasa kok." "Diantar Azka, atau nggak pulang?" Mahesa malah mengancam. Akhirnya mau tidak mau Selina berdiri. "Yaudah iya, lo cepet sembuh." "Hm." Selina lalu menghela napasnya panjang. Menatap Azka dengan malas. "Ayo, Ka," ujar Selina sambil jalan diikuti Azka tepat di belakangnya. "HATI-HATI BAWA CEWEK GUE! LECET DIKIT GUE PENGGAL PALA LO!" "Wihh ngeri banget bwang," celetuk Rizal. "Diem lo!" semprot Mahesa langsung membuat Rizal kicep. "Damai." Laskar hanya tertawa pelan. Memilih diam melanjutkan tontonannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN