20. Hujan dan suka

1925 Kata
Pagi ini kota Jakarta diguyur sedikit hujan, Selina yang baru saja turun dari angkot harus berlarian untuk menuju ke dalam sekolah. Gadis itu mengangkat tasnya di atas kepala menggunakannya untuk menutupi kepala agar tak terkena air hujan. Sampai di depan gerbang, Selina sempat berhenti untuk melihat dirinya sebentar, habis basah sepatu dan kaos kaki Selina. Banyak bercak coklat tanah basah. Selina berdecak kesal, sementara dirinya harus lari lagi untuk sampai di koridor. Melihat murid lain yang enak saja berjalan santai keluar dari parkiran memakai payung. Astaga apa tidak ada yang ingin menebengi Selina untuk sampai di koridor saja? Selina mengedarkan pandangannya mencari orang yang mungkin bisa dia mintai tolong, hingga tiba-tiba saja sebuah benda mengahalau bagian kepalanya. Selina bisa merasakan dari cahaya yang tiba-tiba gelap. Gadis itu mendongak untuk memastikan, dan benar saja, sebuah jaket telah terbentang di atas kepalanya. Sedikit menengok ke samping, sosok cowok dengan rambut lepek acak-acakan dengan beberapa luka lebam di wajah tersenyum kepadanya. "Mau bareng enggak?" tanya Mahesa dengan suara rendah dan seraknya. "Bareng gimana orang lo nggak bawa payung, sama aja bohong kalau pakai jaket. Gue cari yang pakai payung biar sepatu sama kaos kaki gue nggak kotor," kata Selina. Spontan Mahesa melihat ke bawah, tepatnya melihat sepatu Selina. Cowok itu tertawa pelan melihat sepatu Selina yang berwarna hitam dengan sedikit aksen putih, serta kaos kaki putih tingginya harus memiliki motif alami dari tanah. "Kok ketawa sih? Ngeledekin mulu ah males!" kesal Selina membuang wajahnya tidak mau melihat Mahesa. Sungguh, wajah Selina jika sedang marah seperti itu sangat menggemaskan. Mahesa lalu menyingkirkan jaketnya yang membuat Selina meliriknya. Selina jadi menatapnya penuh ketika Mahesa dengan sengaja menghentikan seorang murid yang berjalan dengan payung di tangannya. Murid laki-laki itu kelihatan ketakutan saat dihentikan oleh Mahesa. "Kasih sini payung lo sama gue," kata Mahesa galak membuat murid laki-laki itu ketar-ketir di tempatnya. "Terus gue pakai apa bang?" tanyanya. Dari cara bicaranya saja Mahesa sudah menebak jika dia adik kelas. "Ck, lo kan cowok pakai jaket juga. Lihat cewek gue kasihan nanti kehujanan. Mana sini payung lo!" "Mahesa! Udah jangan ih!" Selina berusaha menahan Mahesa. Namun, Mahesa kan orangnya keras kepala. Dia tidak peduli, dia tetap merampas payung murid laki-laki itu. "Yaudah ini bang, tapi nanti sampai di koridor balikin ya?" pesan murid itu. "Bawel amat lo kaya Bu Fitri, iye gue balikin." Murid laki-laki itu lalu memberikan payungnya. Mahesa mengambilnya dengan kasar membuat mata Selina membulat. "Sa!" tegur Selina mencoba lebih galak, tapi Mahesa tidak menggubris. Selina kemudian melihat murid laki-laki itu. "Makasih ya," ujar Selina sedikit lembut. "Iya sama-sama Kak, kalau gitu gue duluan." Selina mengangguk seraya tersenyum. Melihat hal itu, Mahesa jadi memutar kedua bola matanya malas. Sudah seperti cowok-cowok yang posesif terhadap pacarnya. Mahesa langsung menarik lengan Selina begitu saja. Mahesa bahkan tidak memperdulikan protesan Selina. "Ish Mahesa mah, jangan lari sama aja bohong! Kotor juga nanti!" "MAHESA!" Cowok badung itu terus menarik tangan Selina hingga sampai di tengah lapangan, Mahesa berhenti, dilihatnya Selina yang sudah menggerutu dengan kesal. "SAMA AJA KOTOR SEPATU GUENYA!" sentak Selina marah-marah di tengah lapangan. Volume hujan yang semakin besar membuat suara Selina teredam. "Maaf, habisnya gue nggak suka lihat lo senyum dan ramah sama cowok lain, sedangkan sama gue jutek kayak kucing habis melahirkan," balas Mahesa juga dengan sedikit teriak. Entah kenapa, cara bicara Mahesa sungguh membuat candu Selina. Apalagi jika setengah teriak seperti itu. Suaranya jadi agak tertahan. Pokoknya sopan deh untuk masuk telinga. "Emangnya lo siapa gue ngelarang-ngelarang gue senyum dan ramah sama cowok lain?" tanya Selina sengaja dengan nada menggoda. Mahesa tertawa. "Gue bukan melarang, Selina. Gue hanya enggak suka. Melarang sama enggak suka itu dua suku kata yang berbeda, artinya juga berbeda. Masa lo anak bahasa nggak tau itu sih? Gue aja yang sering bolos tau." Selina berdecak kesal. "Males ah sama lo! Udah ayo lanjut jalan lagi," kata Selina. "Lo marah?" tanya Mahesa. "Iya gue marah! Udah ayo buruan hujannya makin deras, Mahesa ish!" Seperti kesukaan Mahesa bertambah satu, selain suka melihat Mamanya tersenyum. Sekarang Mahesa juga suka melihat Selina marah. Wajahnya lucu, jika tidak ingat ini di sekolah, mungkin Mahesa sudah menghabisi wajah gemoy itu. "Yaudah ayo." Akhirnya Mahesa mengajak kembali Selina untuk berjalan. Keduanya berdekatan, sangat dekat hingga bahu mereka saja sampai bersentuhan. Bahkan agar Selina tidak kehujanan sama sekali, Mahesa sampai rela memberikan sepertiga payungnya untuk Selina membuat sebagian tubuh Mahesa harus lembab kena cipratan air. Tanpa Mahesa dan Selina sadari, dari atas lantai tiga. Laskar dan Anggi sudah memperhatikan keduanya. Di samping mereka juga ada Kaylendra, Azka, Rizal, dan Gisel. Mereka sedari tadi menggosipkan hubungan Mahesa dan Selina. "Asli! Gue yakin bentar lagi mereka bakal jadian!" celetuk Anggi penuh semangat sambil menatap orang-orang di hadapannya. "Gue masih pada pendirian awal kalau Mahesa nggak akan secepat itu suka sama cewek. Apalagi ini Selina yang baru dia kenal," sanggah Laskar. "Justru itu poinnya! Baru kenal aja udah segitu perhatiannya, mustahil kalau enggak ada rasa," balas Azka. "Setuju!" "Ya tetep aja, Mahesa bukan tipe kayak gitu. Dari dulu tuh Mahesa paling anti sama yang namanya cewek." Laskar tetap mempertahankan opininya membuat Anggi geram sendiri. "Terserah lo deh, Laskar. Sekarang gini, jika satu cowok yang sama sekali nggak peduli dengan cewek, terus tiba-tiba secara dadakan kayak tahu bulat jadi perhatian sama satu cewek, apalagi coba artinya kalau bukan karena cinta?" Anggi menjelaskan pendukung pendapatnya. "Kasihan?" tanya Laskar menebak. "Ck, iya kalau elu, Kar. Modal kata kasihan eh taunya cinta beneran," sindir Azka mengingat alasan dulu Laskar menjadikan Anggi sebagai kekasihnya karena kasihan dan tidak mau Anggi diganggu cowok-cowok genit sekolah karena Anggi cantik, tapi taunya malah Laskar memang telah suka Anggi juga dari awal. Terima kasih karena posisinya di Titan yang sangat menguntungkan, Laskar jadi bisa mengambil hati Anggi dengan segala bujuk tipu rayunya. "Bener tuh, emang Mahesa itu lo, modus di balik kata kasihan. Padahal demen dari awal. Huu dasar!" ujar Anggi kepada Laskar. Laskar tertawa geli. "Ih apa sih Nggi, kan demi dapat hati kamu sama buat jagain kamu, apapun bakal aku lakuin." Mendengar bualan itu membuat perut Azka dan Rizal bergejolak. Kedua cowok itu bersamaan memperagakan gaya orang mau muntah. "Huek! Kresek mana kresek!" kata Azka berjalan seolah dengan mencari benda yang diucapkannya barusan. Dengan kesal Laskar lalu menendang tong sampah yang tak jauh darinya ke arah Azka. "Tuh gede! Muntahin sana semua isi dalam perut lo, sekalian sama jeroannya biar mati sekalian. Heran julid bener lo sama gue!" Laskar marah yang malah membuat yang lainnya tertawa. Termasuk Anggi pacarnya sendiri. Mereka menertawakan Laskar, hanya satu yang cuma tersenyum tipis, siapa lagi kalau bukan Kaylendra. Sudah dari tadi diam, kalau ada yang lucu cuma senyum sedikit. Definisi irit yang sebenarnya adalah Kaylendra. Irit dalam segala hal. **** Setelah guru pengajar keluar. Selina langsung diajak Anggi dan Gisel untuk ke kantin guna mengisi perut. Selina menolak, dengan alasan tidak lapar, padahal Selina hemat uang. Perekonomian keluarganya yang sedang memprihatinkan membuat Selina harus hemat dari sekarang. Bahkan Selina yang biasanya tidak pernah bawa air minum, sekarang jadi membawa air minum sendiri. "Beneran nih, lo nggak ke kantin?" tanya Anggi sekali lagi memastikan dan Selina tetap menggeleng. "Kalian aja udah, gue mau catet-catetin ini aja sekali mau ke perpus habis ini buat cari buku-buku arsip soal ujian tahun lalu," ujar Selina. "Apa lo mau nitip aja? Sini biar gue beliin, nanti makannya bareng, gimana?" "Enggak Nggi, gue beneran nggak lapar. Udah sana kalian aja." "Yakin ya? Kita tinggal nih," kata Gisel. Selina mengangguk mantap. "Iya! Udah saja byeee!!" gadis itu sampai berdiri mendorong kedua temannya agar cepat-cepat pergi. Setelah memastikan tidak lagi terlihat, Selina langsung mengeluarkan botol minumannya. Mengaliri tenggorokannya dengan air yang menyegarkan itu. Bohong sekali kalau Selina tidak lapar. Perutnya jelas sudah sangat keroncongan. Tapi apa boleh buat, alhasil Selina hanya mengganjal rasa laparnya dengan air yang dia bawa. Selina lalu melihat jam pada ponselnya. Tenang, hanya tinggal beberapa jam lagi bel pulang dan Selina bisa makan di rumah. Untuk mengalihkan rasa laparnya, Selina memilih untuk iseng-iseng mengerjakan lks yang kosong. Memang dasarnya sudah pinter, ditambah lagi dengan Selina itu anaknya tekun, jadilah dia dengan sangat mudah mengisi setiap pertanyaan di sana. Entahlah, Selina pintar di semua bidang, kecuali satu, seni budaya. Gadis itu agak kesusahan kalau harus disuruh menggambar. Paling mentok saat menggambar, Selina dapat delapan puluh, pas KKM. Saat tengah asik membaca soal. Tiba-tiba saja Selina dikejutkan dengan sebuah botol minum lengkap dengan makannya, muncul di atas meja Selina. Perlahan Selina mengangkat pandangannya. Mencari tau orang baik mana yang telah berinisiatif memberinya makan. "Gue kalau perut kosong tuh suka nggak fokus belajar. Kayak lo gini contohnya. Mana ada sejarahnya membaca dengan mata bergerak cepat untuk melihat dan memperhatikan bahan tertulis untuk mencari serta mendapatkan informasi di sebut sekilas?" Selina refleks melihat buku lksnya. Gadis itu masih diam. Otakanya mendadak ngelag. Hingga Mahesa kemudian mengambil alih pulpennya. Mencoret jawaban awal Selina dan menggantikannya dengan jawaban baru. "Kalau kayak gitu namanya scanning, sama kayak lo kalau lagi scan sesuatu pakai mesin, geraknya nya juga cepet kan untuk memindai suatu informasi?" kata Mahesa menatap Selina meminta pendapat. "Kok lo bisa tau?" tanya Selina curiga, masalahnya Mahesa sering bolos, jarang masuk kelas, ya aneh saja kalau mendadak pintar. Mendengar pertanyaan Selina membuat Mahesa tertawa. "Memang apa sih yang Mahesa nggak tau?" balasnya dengan menggoda sambil menaik-turunkan alisnya. "Ish apaan sih! Nyebelin banget!" rutuk Selina. Tidak membalas, Mahesa malah menyodorkan makanan yang dia bawa untuk Selina. "Makan cepet," kata Mahesa. Selina ingin, tapi gengsinya lebih besar. Selina tetap menggeleng. "Gue nggak lapar," jawabnya masih dengan alasan yang sama. "Makan Lin, nanti lo sakit." "Emang peduli apa kalau gue sakit? Lo bukan siapa-siapa gue kan? Nggak ada untungnya juga kan buat lo? Udah sana ih gue mau ngerjain soal lagi. Gue nggak lapar," Selina masih setia menolak. Mahesa menghela napasnya panjang. "Gue emang bukan siapa-siapa lo, gue cuma mau kasih perhatian gue buat lo. Cukup Mama gue yang sakit, lo jangan. Nanti kalau kalian berdua sakit, nggak ada lagi yang bisa gue jadiin alasan untuk melanjutkan hidup." Selina terdiam mendengar penuturan Mahesa. Apa cowok itu sedang mengigau? Kenapa ucapannya terdengar tulus. Selina jadi goyah. Namun, tidak! Selina tetap harus jual mahal. Duhh maaf ya cacing, aku tau makannya enak banget tapi enggak dulu untuk sekarang, batin Selina saat melihat betapa lezatnya makanan yang Mahesa bawa. "Enggak Sa, gue beneran nggak lapar," Selina menolak terus. Mahesa lalu membuka bungkus makanannya tanpa ada satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Setelah semua terbuka. Mahesa kembali menyodorkannya kepada Selina dan kali ini Mahesa sambil berdiri. "Makan ya? Perhatiin juga kesehatan lo," ujar Mahesa setelah itu langsung pergi dari hadapan Selina. Selina kembali terdiam. Dalam otaknya berpikir kenapa Mahesa harus sebaik ini? Selina tau jika Mahesa sebenarnya orang baik, tapi kenapa hanya dengan Selina? Selina hanya tidak ingin merasakan dirinya spesial di hadapan Mahesa. Selina hanya tidak mau saja mengulang apa yang telah terjadi di masa lalu, saat Selina terlalu percaya diri, eh yang dia dapat malah penghianatan. Selina cukup capek dengan yang namanya cinta. Namun, Mahesa. Dia sepertinya berbeda. Mahesa yang Selina kenal dari kelas satu hingga sekarang adalah Mahesa yang nakal dan urakan. Namanya sering seliweran di toa sekolah, bukan karena prestasi melainkan karena masalah. Mahesa juga cowok yang setiap senin Selina lihat selaku berada di barisan istimewa. Entah karena telat atau karena tidak memakai atribut sekolah lengkap. Kini Selina seakan melihat sisi lain dari Mahesa. Sisi di mana Mahesa tidak seburuk apa yang dulu Selina bayangkan. Selina yakin, sebenernya Mahesa juga anak yang pintar, hanya saja Mahesa malas dalam segala hal. Mengutamakan rasa tidak sukanya. Membayangkan Mahesa tidak terasa membuat Selina senyum-senyum sendiri. Apakah dirinya mulai suka dengan cowok badung itu?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN