18. Panik

2012 Kata
"Kay mending lo angkat deh tuh hp-nya Mahesa dari tadi geter mulu siapa tau penting." Azka sudah muak mendengarkan ponsel Mahesa yang terus berdering berulang kali. Sambil mendesah berat, Kaylendra mengambil ponsel Mahesa yang ada di sebelahnya. Dilihatnya nomor penelfon yang tidak dikenal. Kening Kaylendra mengernyit, cowok itu lalu berjalan sedikit menjauh. "Siapa?" Laksar bertanya kepada Azka, tapi Azka menggeleng. "Gak tau, dari pada ribut sendiri tuh hp," jawabnya terdengar malas. Mereka lalu memilih diam. Kini keempatnya sedang berada di lorong rumah sakit tepat di depan ruang UGD di mana Mahesa dilarikan. Sudah hampir setengah jam mereka menunggu. Namun, belum juga ada kabar tentang perkembangan Mahesa. Rizal yang duduk paling pojok terlihat sangat khawatir. Rizal paling tidak bisa mengatur ekspresinya. Kalau sedih ya sedih, senang yang senang, Rizal terlalu payah kalau harus disuruh berpura-pura. Sementara itu Kaylendra yang telah menggeser tombol hijau pada layar ponsel langsung mendekatkan benda pipih tersebut pada telinganya. "Halo," Kaylendra terlebih dahulu menyapa. "Halo Mas Mahesa, Ibu Mas. Semua obat-obatan sama alat-alat rumah sakit akan segera dilepas jika Mas Mahesa belum bayar biaya rumah sakitnya. Ibu nggak akan bisa bertahan tanpa semua alat itu Mas." Seketika tubuh Kaylendra langsung menegang seperti terkena sengatan listrik bertegangan tinggi. Wajahnya boleh tetap tenang, tapi pikirannya. Pikiran Kaylendra lari ke mana-mana. Ibu Mahesa dalam keadaan gawat sedangkan Mahesa sendiri juga sama. Kini perasaan bersalah terus datang mengeroyok Kaylendra. Andai Kaylendra tidak menyuruh Mahesa untuk ikut balapan. "Halo Mas? Mas Mahesa masih ada di sana kan? Atau kalau enggak Mas Mahesa langsung datang ke rumah sakit aja bicara langsung sama dokternya untuk minta keringanan lagi." "Mas Mahesa?" "Halo?" "M—Mahesa k—kecelakaan, ini saya temannya." Kini gantian orang di seberang sana yang tiba-tiba terdiam. Kaylendra menggigit bibir bawahnya kuat. "Kecelakaan?" "Dia ikut balapan liar, dan kecelakaan," Kaylendra semakin memperjelas. Entah apa yang akan terjadi setelah ini. "Innalillahi, kok bisa sih? Sekarang bagaimana keadaannya?" suara itu terdengar panik. Kaylendra hanya bisa menggeleng. "Belum tau masih diperiksa, tapi tenang saja soal biaya Mamanya biar saya yang bayar. Dua puluh menit saya sampai di sana." "Tapi—" Tuuutt .... Kaylendra buru-buru mematikan sambungnya. Tidak mau lagi mendengarkan segala kelanjutannya. Setelah itu tubuh Kaylendra seorang kehilangan tenaganya. Kaylendra memundurkan langkah, menyandarkan punggungnya pada dinding rumah sakit. Dengan kasar Kaylendra mengusap wajahnya. Semua ini salahnya, Mahesa dan Mamanya seperti ini semua salah Kaylendra. "AAARGGGH! g****k!" Siapa sangka cowok paling dingin, paling tenang dan minim ekspresi seperti Kaylendra bisa sekacau ini? Melihat temannya yang nampak tak sedang baik-baik saya. Azka pun menepuk paha Laskar meminta izin untuk menghampiri Kaylendra. Setelah Laskar mengangguk barulah Azka berjalan ke arah cowok itu. Saat tau yang kecelakaan tadi adalah Mahesa. Laskar langsung hilang kendali. Laskar menghajar Kaylendra saat itu juga. Menyalahkan Kaylendra atas semua yang terjadi. Bersyukur karena banyak warga yang membantu memisahkan keduanya. Kalau tidak mungkin Kaylendra akan habis di tangan Laskar. Saat mendapatkan pukulan demi pukulan tadi, Kaylendra juga sama sekali tidak melakukan perlawanan karena tau jika semua ini salahnya. "Kay, ada apa?" Azka berdiri di depan Kaylendra. Kedua tangan Azka menyentuh bahu Kaylendra hingga untuk pertama kalinya Azka melihat Kaylendra menitihkan air mata. "Ada apa Kay? Tadi telfon dari siapa?" Kaylendra masih diam belum bisa menjawab. Sampai Azka harus mengguncangkan tubuhnya baru keluar isakan dari cowok itu. Namun, dengan cepat Kaylendra menghapus kasar air matanya. "Gue cabut dulu, nanti hubungi gue kalau udah tau gimana keadaan Mahesa." Azka menatap Kaylendra tidak percaya. Tangannya menahan Kaylendra yang akan pergi. "Jawab gue dulu ada apa? Lo kau ke mana?" tanya Azka. "Ada urusan. Lo sini aja tungguin Mahesa. Tenangin Laskar sama Jali." "Kay." Senyum tipis Kaylendra perlihatkan untuk Azka. "Gue gak pa-pa. Gue cabut dulu jangan lupa kabarin kalau Mahesa sadar." "Tapi lo mau ke mana dulu njing?" Azka kehilangan kesabarannya. Tapi ini Kaylendra. Cowok dingin tanpa ekspresi. Dengan gerakan pelan Kaylendra menjauhkan tangan Azka dari pergelangan tangannya. Lalu dengan langkah besar dia pergi meninggalkan lorong rumah sakit itu. "KAY! LO MAU KE MANA?" "KAYLENDRA ANGKASA!" Kaylendra sengaja menebalkan telinganya. Dia terus berjalan tidak memperdulikan teriakan Azka. **** Keesokan harinya, Mahesa baru terbangun karena silauan matahari yang menembus masuk ke dalam kamar rawatnya. Mata cowok itu menyipit berusaha menyesuaikan cahaya. "Ssttt ...." Rintihan keluar dari mulut Muhesa tepat saat cowok itu berusaha menggerakkan tangan kanannya. Perih seketika Mahesa rasakan. Perlahan Mahesa mencoba untuk mengubah posisinya menjadi duduk. Namun, kepalanya langsung terasa berat membuat Mahesa mau tak mau harus kembali berbaring. Sungguh, demi apa pun Mahesa tidak suka terlihat lemah seperti ini. Hingga dia tiba-tiba teringat akan satu hal. Mahesa langsung melihat sekelilingnya. Mencari suatu benda yang akhirnya dia temukan di atas nakas. Di sana juga ada selembar note. Segera Mahesa membacanya. Bos, kalau lo udah siuman langsung kasih tau kita ye? Tadinya mau nginep cuma lo taukan kita kayak gimana? Jadi maaf banget, gue, Akza, sama Jali harus pulang. Belakang case hp lo ada duit entar lo pesen makan aja pakai gojek kalau enggak lo chat gue biar gue samperin. Laskar Mahesa meremas kertas note itu. Peduli setan, pasti teman-temannya kemarin mengikutinya ke arena balap. Kalau tidak bagaimana mereka bisa tau jika Mahesa kecelakaan. Melupakan teman-temannya, Mahesa langsung membuka ponselnya, mencari nomor seseorang di sana. Dahi Mahesa mengerut bingung saat melihat nomor yang sama baru saja melakukan panggilan kemarin malam. "Bodo amatlah!" Mahesa kembali menghubungi nomor yang sama. Tak lama sambungan terhubung. "Halo Sus?" "Mas Mahesa? Mas sudah sadar? Gimana keadaannya sekarang?" Tunggu dulu, bagaimana Suster Kania bisa tau keadaan Mahesa sekarang? Kini sangat banyak pertanyaan dalam kepala Mahesa. Cowok itu sampai merasa pusing. "Halo Mas? Baik-baik saja kan?" "Baik Sus, keadaan Mama gimana? Nggak ada masalah kan Sus? Biayanya gimana? Nanti deh habis ini Mahesa cari pinjaman dulu nanti habis itu Mahesa ke rumah sakit buat bayar biaya Mama." "Mas Mahesa nggak perlu, pihak rumah sakit, kasih keringanan lebih jadi Mas Mahesa fokus saja dulu dengan kondisi Mas sekarang. Kalau perlu apa-apa bisa bilang saya." "Suster tau dari mana kalau saya kenapa-kenapa?" tanya Mahesa mengintimidasi. "Emm .... temannya Mas Mahesa." "Siapa?" "Kaylendra." Sekarang Mahesa tau. Cowok itu menganggukkan kepalanya. "Yaudah Sus, tolong jagain Mama ya? Nanti kalau sudah ada enakan Mahesa akan ke sama." "Iya Mas, cepat sembuh." "Iya." Setelah itu Mahesa langsung mematikan sambungan telponnya. Tangan Mahesa kembali bergerak mencari nomor seseorang. Setelah ketemu, tanpa basa basi Mahesa segera mengetikkan pesan untuknya. Mahesa : [Kay, gue mau ketemu sama lo] [Penting] [Jangan bilang yang lain dulu] Tanpa Mahesa sangka pesannya langsung dibaca oleh Kaylendra. Tak lama pesan balasan pun tertampilkan pada layar ponsel cowok itu. Kaylendra : [Jm ke7 gue ke sana] Sekarang Mahesa tidak tau harus melakukan apa. Diliriknya pada selang infus pada tiang penyangga di sebelahnya, di samping itu juga ada kantong darah. Segitu parahkah posisi jatuhnya kemarin? Mahesa terkekeh. Satu nama terlintas di kepalanya. Rafael. Lihat saja cowok itu, berani dia buat masalah dengannya. Gara-gara Rafael, Mahesa gagal membawa uang untung Mamanya. Mahesa yakin jika Rafael tidak curang, pasti dia sudah membawa uang itu. "Tunggu aja balasan gue Rafael." **** "SELINA! ASTAGA LIN, LO HARUS TAU INI LIN!!" Selina menatap heboh Anggi dan Gisel yang baru saja datang dari luar kelas. Kedua teman berisiknya itu langsung menunjukkan sebuah chat dari seseorang. Di sana juga ada foto dan videonya. "Iw! Itu apaan njir!" refleks tangan Selina menjauhkan ponsel Anggi dari depan wajahnya. Selina paling tidak kuat melihat darah-darahan seperti itu. "Lihat dulu sampai selesai, Selina!" omel Gisel. "Males ah, itu video apa sih? Kecelakaan? Gak, gue mual kalau lihat darah sebanyak itu!" kata Selina tetep kukuh untuk mendorong ponsel Anggi agar jauh dari pandangannya. Anggi berdecak kesal. "Gue cepetin aja ya videonya." "Ada darahnya nggak?" tanya Selina mengantisipasi. "Dikit," balas Anggi. Setelah itu Anggi kembali menunjukkan layar ponselnya pada Selina. Mata gadis itu menyipit takut hingga saat terlihat wajah orangnya, barulah Selina langsung melotot. "MAHESA?" pekik Selina. "Anggi! Gisel! Ini video beneran apa hoax? Itu Mahesa, Nggi! Mukanya mirip banget sama Mahesa." Melihat Selina yang mulai berteriak tak tenang. Gisel pun mencoba untuk menenangkannya. "Tarik nafas dulu terus buang." Bukannya mengikuti saran Gisel. Selina malah terus menggeleng kuat, menatap kedua temannya secara bergantian. "Ini bohongkan, Nggi? Bilang sama gue kalau semua ini nggak bener. Mahesa sekarang baik-baik aja kan?" "Gue mau cari Mahesa." Spontan Anggi menahan tangan Selina yang hendak pergi. "Apa Nggi? Gue mau mastiin kalau Mahesa baik-baik aja!" dengan Selina. Tatapan Anggi berubah sendu. "Segitu khawatirnya lo sama Mahesa? Dia bukan siapa-siapa lo Lin, tapi kok rasa cemas lo sebegini besar? Jangan-jangan lo emang udah ada hubungan sama Mahesa?" tuduh Anggi. "Bukan waktunya debat. Gue mau ketemu Mahesa!" "Lin!" "Apalagi Anggi?!" "Itu video beneran Mahesa. Sekarang dia nggak masuk sekolah. Percuma lo cari juga sekeliling sekolah tetep gak bakalan ketemu." Selina terdiam. Pandangannya menatap Anggi dengan datar. Bagaimana bisa? Perasaan kemarin Mahesa baik-baik saja. "Lin," panggil Anggi berusaha menyadarkan Selina namun gadis itu masih diam. "Kalau lo mau nanti katanya Laskar sama yang lain mau jenguk. Lo bisa ikut biar gue yang bilang nanti," kata Anggi. "Gue takut, Nggi." Anggi tersenyum tipis, gadis itu melihat Gisel sekilas lalu menganggukkan kepala. "Gue tau perasaan lo udan mulai berubah buat Mahesa. Nggak pa-pa, awalnya gue juga ragu sama Laskar tapi sekarang? Lo lihat sendiri kan? Mereka baik." Perlahan Selina memutar kepalanya, menatap Anggi dan Gisel secara bergantian. "Kalau Mahesa kenapa-kenapa gimana?" tanyanya. "Nggak akan! Tuh lihat, kalau dia kenapa-kenapa nggak mungkin kan dia telfon lo." "Ha?" Gisel melirik ponsel Selina yang tergeletak di atas meja. "Mahesa calling tuh, angkatlah masa didiemin 'calon pacarnya'." Mendengar itu, dengan buru-buru Selina langsung meraih ponselnya. Nama yang tertera di layar benar-benar nama Mahesa. Rasanya ketakutan Selina lenyap saat itu juga. Tanpa pikir panjang, Selina langsung menggeser tombol hijau di sana. Sementara itu Anggi dan Gisel mengambil duduk di belakang meja Selina. Memilih memperhatikan dalam diam. "Halo, Mahesa," sapa Selina terlebih dulu. Ada rasa gugup yang berusaha selina tutupi. "Lo di mana?" Sambil menggigit bibir bawahnya Selina memperhatikan sekitar. "Kelas," jawabnya pelan. Terdengar tawa dari seberang sana. "Kok ketawa, ada yang lucu ya?" "Kenapa lo ngomong bisik-bisik gitu? Aneh!" "Malu tau!" balas Selina sedikit membentak namun tetap dengan suara lirih. "Buka chat coba, Lin." "Kenapa?" "Buka aja, tapi jangan matiin dulu telfonnya." "Iya," jawab Selina sambil mengalihkan panggilan ke beranda chat. Nama Mahesa ada di paling atas. Segera Selina membukanya. Saat itu juga detak jantung Selina rasanya berhenti seketika. "Gimana, Lin?" Mahesa bertanya menyadarkan Selina. Bagaimana tidak shock. Bisa-bisanya Mahesa mengirimkan foto luka-lukanya kepada Selina. Dikira sopan kah seperti itu? "Sa, serius luka lo separah itu?" tanya Selina pelan-pelan. "Jaket sama celana gue sampai sobek. Sakit Lin, biasanya kalau gue luka lo yang obatin." "Nanti sore gue ke sana gimana? Duhhh kasian banget, kok bisa sih sampai kayak gitu?" tanya Selina. "Biasalah cowok." "Ck, gue tadi juga udah lihat sih video lo kecelakaan. Serem darahnya banyak banget. Tapi lo gak pa-pa kan? Nanti sore ke sana ya gue?" Lagi, Selina mendengar Mahesa tertawa. "Santai gue udah biasa. Nanti lo ke sininya nunggu Kaylendra jemput ya?" "Lah kenapa? Gue bisa sendiri kok." "Bahaya, kalau nggak mau nggak usah ke sini." Selina berdecak kesal. "Iya, iya udah terserah. Sekarang lo lagi apa? Sudah makan? Eh Mama lo gimana? Papa lo tau?" "Gue tutup dulu, mau makan." Selina tau jika Mahesa berusaha menghindari obrolan tentang keluarganya. Namun, Selina hanya ingin sedikit peduli terhadap cowok itu. "Sa, gue—" Tuutt .... Panggilan Mahesa putuskan sepihak. Terdengar helaan napas kasar dari Selina. Salah ngomong, Mahesa memang gampang tersinggung. "Gimana Lin? Mahesa aman?" Dari belakang Anggi menongolkan kepalanya di sebelah Selina. Selina mengangguk. "Aman kok, kalau kata siapa waktu itu Kay, atau Laskar pernah bilang kalau Mahesa itu keturunan Hercules, tahan banting." "Sa aja! Udah ntar jenguk sana," ujar Gisel. "Buruan officialin hubungan biar bisa dobel date sama gue," kata Anggi cengengesan. "Yeee pikiran lo!" sentak Selina. "Tapi sekarang udah nggak panik kan?" tanya Anggi menggoda membuat Selina tertawa. "Nggak, dari suaranya aja gue tau kalau Mahesa baik-baik aja." "Bagus deh, kalau lo masih kepikiran kan gak bagus juga." "Kenapa Nggi?" "Bentar lagi kan ada ulangan, takut aja nilai lo turun hanya karena mikirin Mahesa yang statusnya belum jelas itu." "ANGGI DEMI APA? GUE LUPA!!!!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN