“Sadaqallahualzim...”
Pengajian telah usai. Semua anak duduk, mengerumuni Ustadz muda itu. Mereka duduk membentuk posisi melingkar dengan ustadz yang berada di tengahnya.
“Jin dan manusia adalah makhluk ciptaan Allah SWT. Mereka diciptakan dengan tujuan sama seperti kita, yaitu beribadah kepada Allah SWT.
"Tidaklah Kami ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Az-Zariyat 51: Ayat 56).
“Selain itu jin juga makan, menikah dan beranak pinang sama seperti kita. Dalam sebuah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan,
فَلَا تَسْتَنْجُوا بِهِمَا فَإِنَّهُمَا طَعَامُ إِخْوَانِكُمْ
”Janganlah kalian melakukan istinjak dengan tulang dan kotoran, karena itu makanan saudara kalian (dari jin).” (HR. Ahmad 4149, Muslim 450, Turmudzi 3258, dan yang lainnya)
“Nah, dari hadis ini kita sudah tahu apa makanan jin kan? Mereka juga makan tapi berbeda dari apa yang kita makan. Makanan mereka tulang dan kotoran.”
“Ustadz, jadi jin itu ada yang baik juga? “tanya mereka lagi.
“Ada. Sama seperti manusia ada yang memilih beriman dan ada yang memilih ingkar. Hal ini di jelaskan dalam surah Al-Jinn ayat 11.”
Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَأَنَّا مِنَّا الصّٰلِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذٰلِكَ ۖ كُنَّا طَرَآئِقَ قِدَدًا
"Dan sesungguhnya di antara kami (jin) ada yang saleh dan ada (pula) kebalikannya. Kami menempuh jalan yang berbeda-beda."
“Siapa besok yang mau menghafal surah Al-jinn? Ustadz bakal kasih hadiah menarik untuk yang bisa menghafal surah Al-Jinn. Siapa yang mau?? “ tanya Ustadz. Seketika musholah langsung ramai dipenuhi suara para santri yang berlomba mengangkat tangan, saling sahut-sahutan mengenai mereka yang ingin mendapatkan hadiah itu.
“Ya sudah, Ustadz akan siapkan banyak hadiah buat kalian yang hafal. Oke.”
“Oke, Ustadz,” sahut mereka kompak.
“Nah, sekarang waktunya kita pulang, ayo mari bersama-sama kita membaca doa pulang...”
“........”
“Ustadz....,” panggil seorang gadis kecil, berkerudung putih tadi. Ia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun ragu.
“Iya, ada apa? apa ada barang kamu yang ketinggalan di dalam musholah?”
“Gak ada Ustadz. Hem... sebenarnya.”
“Ada yang ingin ditanyakan? “
Gadis kecil itu mengangkat kepalanya, lalu mengangguk pelan. “Ustadz, apa nabi Muhammad SAW, juga berdakwa pada bangsa jin ? “
Ustadz muda itu tersenyum. “Masyallah, pertanyaan kamu sangat menarik. Insyallah, besok akan ustadz jawab. Oke... Sekarang waktunya pulang.”
“Makasih, Ustadz.” Gadis kecil itu mengangguk lalu tersenyum lebar dan segera berlari mengejar teman-temannya yang sudah berjalan duluan, meninggalkannya.
***
“Gajah makan kawat, GAWAT !” teriak Maryam heboh.
Zahra yang sejak tadi fokus pada perkerjaan sekolahnya, mendadak terdistrak setelah mendengar teriakan heboh Maryam. Zahra sempat melirik ke arah Maryam, tidak ada hal berbahaya yang terjadi pada sepupunya itu. Hanya terlihat Maryam memegang pipinya dengan mata bulat telur dan mulut setengah terbuka. Biar Zahra tebak, Maryam pasti melupakan sesuatu.
Zahra kembali mengumpulkan fokusnya.
“Kak...,” panggil Maryam, kali ini suara Maryam tidak berefek banyak pada kefokusan Zahra.
Zahra berdeham, menyahut panggil Maryam.
“Kak, aku lupa beli jangkar,” keluh Maryam.
“Terus....?” sahut Zahra, seadanya. Ia sedang sangat fokus.
“Dan besok diwajibkan membawa jangkar di pelajaran pak Bidin, guru matematika segalak seantero jagat raya dan maya.”
“Lebay,” kometar Zahra, masih seadanya.
“Kak, beneran gue takut. Mana pelajaran pertama lagi. Mana sempet beli di koperasi.”
“Terus? “
“Terus, terus muluk, Kak. Dikira gue kang pakir, Ula-ula tangga..”
“Hem...jadi teori ini tuh gitu, toh..,” Zahra bergumam, ia sama sekali tidak peduli akan protes yang Maryam ajukan.
“Kak, Lo denger Gue kan ?”
“Hem.”
“Kak.. Ihh....”geram Maryam, merasa diabaikan. “Oke, Fiks. Ayo kita ke IndoApril, pokoknya Kakak harus temenin aku.”
“Jam segini? “ Zahra menoleh. Ia melihat jam dinding sudah menujukan pukul setengah sembilan. “Gak. Ini udah malam. Gak baik keluar jam segini.”
“Kak, ini Jakarta loh, Kak.... jam setengah sembilan masih sore lagi. Masih banyak orang di luar.”
“No.”
“Kak... ini urgen loh... “
“No.”
“Kak, temenin.”
“Big No.”
“Oke fiks, aku pergi sendiri.”
“Kenapa gak besok aja sih? “ protes Zahra. Jelas dia tidak akan membiarkan sepupunya itu pergi sendirian.
“Tadikan udah aku bilang, Kak.”
“Ya udah, besok aja.”
“Lo mah, Kak. Pengen banget liat adiknya sendiri di hukum.” Maryam cemberut.
“Temani gue ke IndoApril ya, Kakkkkkkk....” Maryam memasang wajah super melas.
******
Keduanya sampai di depan toko grosir IndoApril. Dan benar perkataan Maryam, jam segini indoApril masih sangat ramai. Zahra jadi enggan masuk, ia tidak suka berdesak-desakan apa lagi sama yang bukan mahram.
“Kakak tunggu di luar aja ya,” kata Zahra menghentikan langkahnya di teras toko itu.
“Yakin mau nunggu di luar, Kak? Takutnya lama loh kak. Soalnya ramai gini, pasti antri.”
“Hem, ya udah, gak papa, kamu aja yang masuk. Gih buruan, biar gak makin lama.”
“Oke, dokiyy... “Maryam buru-buru masuk ke toko itu.
Tidak banyak yang bisa Zahra lakukan di sana, selain berdiri. Sebenarnya di sana ada banyak tempat duduk dan meja kecil untuk sekadar duduk atau mengobrol bersama teman seraya menunggu. Tapi mirisnya, semua kursi penuh diisi para muda-mudi yang duduk berpasangan. Zahra menduga mereka berpacaran, hal itu terlihat jelas dari interaksi mereka. Miris. Terlebih sepertinya mereka sebaya dengan Zahra.
Lama Zahra menunggu, Maryam tidak kunjung terlihat, kaki Zahra mulai terasa pegal kelamaan berdiri. Beruntung saat itu ada muda-mudi yang mungkin terkena ilham untuk pulang. Buru-buru Zahra duduk di kursi itu, sebelum ada yang mengisinya.
“Alhamdulillah,” gumam Zahra. Zahra baru hendak duduk, melonggarkan otot kakinya, tapi tepukan pelan di bahunya menghentikan pergerakan Zahra.
“Kak.. “
“Udah beli jangkarnya? “
“Udah.”
“Mana? “
“Ada. Eh, tunggu, bentar Kak... “
“Tunggu apa ?”
“Hallooo, Kakak, di sini...,” teriak Maryam tiba-tiba mengabaikan pertanyaan Zahra. Zahra refleks mengikuti arah mata Maryam.
“Eh, mas kaca,” gumam Zahra saat melihat sosok pria yang berjalan ke arah mereka. Orang yang Zahra panggil ‘mas kaca' itu terlihat membawa banyak kantong keresek di tangannya.
“Ho’oh... namanya kak Ilham, Kak.. “ sahut Maryam.
“Ini jangkarnya,” Ilham menyerahkan jangkar milik Maryam. Ia hendak langsung pergi setelah memberikan benda kecil itu.
“Eh, tunggu, Kak Ilham. Ingat gak, sama Kak Zahra?”
Ilham mengangguk, pertanda ia ingat pada Zahra. “Kemarin kita juga ketemu di toko di sebrang sana.”
“Dan mas Kaca bilang, kita gak akan ketemu lagi. Ternyata takdir berkata lain. Jadi mulai sekarang mau di panggil apa? Mas atau kak? “
“Saya masih SMA kelas dua.”
“Wah, berarti seumuran dong sama kak Zahra,” sahut Maryam.
“Hem, jadi saya enaknya manggil apa nih? Ilham aja?”
“Hem, terserah. Senyamannya aja.”
“Oke. Mas kaca aja. Udah cocok.”
“Oh iya, Kak. Karena bantuan kak Ilham, kita bisa pulang cepat kak. Coba kalo gak ada kan Ilham, masih lama ngantrinya.”
“Eh, kok bisa? “tanya Zahra.
“Iya, jadi tadi pas aku mau bayar, aku liat kak Ilham yang lagi ngantri mau bayar, terus aku nitip deh, barang ini sama kak Ilham. Gitu kak.”
Zahra manggut-manggut seraya ber'oh' riang.
“Kalo gitu saya pamit pulang. Assalamualaikum,” ujar Ilham.
“Waalaikumsalam. Hati-hati, kak Ilham. Gumoawah, oppa. Syukron katsiron, Akhi,” seru Maryam sembari mengiringi langkah Ilham yang mulai menjauh.
“Dan terima kasih, Mas kaca..” sambung Zahra.
Ilham menoleh, ia mengangguk sekilas sebelum langkahnya makin menjauh.
“Mas kaca beli apa sih? Banyak banget,” tanya Zahra kepo.
“Kalo gak salah, beli mainan buat anak-anak.”
“Buat anak siapa? “
“Buat anaknya mungkin.” Maryam tertawa pelan.
“Dia masih SMA, Maryam.”
“Oh iya lupa.”
“Terus buat anak siapa? “
“Hem, entar aku cari agen khusus buat stalker. Oke. Biar kakak gak kepo lagi.”
“Apaan sih, Dek.”
“Habisnya, Kakak kepo banget sih.”
“Kan cuman mau tahu aja.”
“Kak Ilham suka tempe bukan tahu.”
Oke. Lawakan itu sudah basi. Tapi sekali lagi, Zahra malah tertawa mendengarnya.
***
“Pagi semua. Lee Min Hoo kw 1 is back,” seru Willy, yang baru saja masuk ke kelas.
“Waalaikumsalam,” sahut Zahra.
Willy nyengir pada Zahra yang sedang piket membersihkan papan tulis.
“Hooohhh, Lee Min Hoo, lupa ucap salam.” Willy mengaruk tengkuk kepalanya yang tidak gatal. “Mari kita reply ulang,” gumam Willy. Ia berbalik, dan berjalan mundur, kembali ke depan pintu.
“Assalamualaikum, everybody... Willy is back. Jangan sedih, jangan galau, ada Willy in the here,” teriak Willy dengan suara aduhai melenggar hingga jagat raya—lebay. Tapi suara Willy benar-benar mengusik ketenangan daun telinga.
“Waalaikumsalam,” gumam Zahra.
“Gak usah teriak bisakan, Will,” protes anak di kelas.
“No worry. I fine,” jawab Willy, nggak nyambung. Anak berambut cepak itu lalu berlenggang ke bangkunya tanpa beban, ia menaruh tas di atas meja dan kembali berjalan mondar-mandir gak jelas.
“Everybody...” teriak Willy lagi.
“Will ! Ini masih pagi! Jangan buat gue berdosa karena getok kepala Lo.” Sarah masuk ke kelas dengan kedua tangan yang menempel di telinga, menutup rapat telinganya yang terkena polusi suara Willy.
“Eh, tenang-tenang. Jangan ada k*******n di antara kita. Kita cinta damai, pisss..,” ujar Willy. Ia beringsut mundur begitu melihat raut wajah garang Sarah.
“Huft...,” dengus Sarah. Sarah melepaskan tas ransel mininya di kursi. Sarah langsung menumpuk kedua tangannya di atas meja lalu menenggelamkan wajahnya di dua tumpukan tangannya itu.
“Begadang lagi, Sar? “tanya Zahra.
“Iyap,” sahut Sarah, ia mengangkat sedikit kepalanya. “Begadang baca novel.”
“Ckckck...” Sudah Zahra duga.
“Novelnya seru banget, aku gak bisa tidur kalo belum baca sampai tamat. Hari ini juga gak ada PR.“ Sarah menenggelamkan kembali wajahnya ke dalam tumpukan tangannya.
“Ada,” jawab Zahra kalem.
“Ada? “gumam Sarah, masih belum sadar.
“PR MTK wajib.”
“APA? “ teriak Sarah tiba-tiba. Kesadarannya langsung balik sepenuhnya. Matanya yang tadi sayup seketika membulat sempurna. “Serius, Lo Zahr? “
“Duarius. Hari ini MTK di jam pertama,” sahut Zahra masih kalem.
“OMG...” Sarah terduduk kembali di kursinya, shock. “Kok gue lupa sih? “ Sarah frustrasi sendiri.
“Udah aku bilang, hobi baca n****+ itu boleh, tapi jangan berlebihan. Segala yang berlebihan itu gak baik tahu, Sar.”
“Princess Muslimah, Ini bukan waktu yang tepat buat ceramah. Mendingan Lo bantuin gue buat PR sekarang. Lo udah selesaikan? “
“Udah.”
“Gue nyontek ya,” pinta Sarah. Sebenarnya Sarah tahu jawaban apa yang ia dapat dari Zahra. ‘memberi teman contekan sama saja seperti membunuh teman sendiri.’
“Mem—“
“Oke. I know,” potong Sarah cepat, sebelum Zahra kembali memulai ceramahnya. “Ya udah, sekarang kamu ajarin aku aja,”
“Oke. Setuju.”
Bel berbunyi nyaring, bertepatan dengan Sarah yang baru saja menyelesaikan PR MTK nya. Gadis berambut sebahu itu menghela nafas panjang, lega. Sarah melepaskan pulpen yang sejak tadi menempel di tangannya.
“Uhh, tepat waktu,” gumam Sarah seraya merenggangkan jari-jemarinya yang sejak tadi ia paksa kerja rodi.
“Udah selesai? “ cicit Zahra.
Sarah mengangguk, bangga. “Thank princess muslimah. Rumus singkatnya sangat membantu. Besok gue pinjam ya catatannya. “
“Sipp.”
“Oiii. A4....” teriak Willy dengan nafas tersengal-sengal.
Kode yang Willy bawa seperti magic, dalam sekejap membuat kelas menjadi sepi senyap seperti tanpa penghuni. Rombongan anak game yang berkerumun seketika duduk manis di kursi mereka masing-masing. Cewek-cewek rumpi yang rempongnya bukan kepalang, langsung senyap bak bangsawan. Sarah yang sedang asik melakukan perenggangan jemari, seketika berhenti dan langsung melipat tangannya di atas meja, bak anak rajin yang siap belajar. Kelas yang gaduh bak pasar, seolah telah berubah menjadi kastil yang tenang dan anggun.
Tidak lama derap langkah berat, masuk ke dalam kelas. Suasana tegang langsung menyerebak, memenuhi ruangan kelas.
“Zahr, Kerly mana dah kok belum datang?” bisik Sarah yang baru menyadari Kerly tidak ada di sebelahnya.
“Hem, dia sakit katanya...,” balas Zahra, tanpa menoleh. Pandangan mata Zahra fokus ke depan, ke arah guru berusia sekitar 40 tahun, Bu Ampat.
“Kumpulkan PR sekarang!” katanya pelan, namun langsung membuat gentar para murid. “Yang tidak buat silahkan keluar.”
“Ada lima orang yang keluar.”
Semua murid di kelas sontak menahan nafas. Ada lima orang yang keluar, itu tandanya akan ada razia dadakan. Bu Ampat bergerak maju, menuju deretan bangku pertama
“Pake Lipstik. Min satu.”
“Rambut lebih dua centimeter, tidak sesuai peraturan sekolah. Min satu.”
“ Rok di kecilin, min satu.”
“Celana diketatin, min satu.”
“Tidak ada lambang di baju. Min satu.”
“List sepatu warna putih. Mim satu.”
Jantung Zahra berdeguk kencang. Sebenarnya tidak ada yang perlu Zahra khawatirkan, tapi tetap saja mendengar derap langkah berat bu Ampat mendekat, membuat jantung Zahra mengelar disko, dag-dig-dug di ruangan jantung. Di tambah lagi tatapan tajam bu Ampat yang dihiasi bingaki kacamata kedodoran dan selalu jatuh di tengah hidung bu Ampat, membuat kesan seram mengelayut pada bu Ampat.
Bu Ampat menelaah Zahra dengan sesama. Tidak ada yang melanggar aturan.
“Bagus... “gumam bu Ampat.
Zahra menghela nafas yang tampak sadar sejak tadi ia tahan saat bu Ampat berada di hadapannya.
“Bagi murid yang mendapat min, buat satu buku tentang rumus MTK. Cetak dan buat seperti buku.”
“Yahhh.... “ keluh Sarah, dari arah belakang. Zahra refleks menoleh.
“Kamu kena minutes? “ cicit Zahra.
Sarah mengangguk kecil. Ia memajukan bibirnya. “Lipglos..,” kata Sarah tanpa suara.
“Oh.. Lagian...ckckck... “ Zahra menggeleng-geleng tanpa sadar. Ia sebenarnya sudah berkali-kali mengingat Sarah untuk tidak memakai make up ke sekolah.
“Zahra! “
Zahra kaget. Ia langsung memutar tubuhnya ke depan, terlihat Bu Ampat menatap tajam ke arahnya. “ Dari pada kamu mengobrol di kelas, lebih baik kamu panggil murid baru di ruangan guru,” perintah bu Ampat.
“ Iya, Bu.”
Zahra buru-buru keluar kelas, dia sangat gugup dan takut sampai lupa menanyai nama murid baru itu. Zahra menghela nafas panjang. Dia jadi seperti orang bodoh mondar-mandir di ruang guru. Tidak terlihat murid baru di sana. Zahra buru-buru memutar langkahnya ke ruang TU.
“ Assalamualaikum, Pak. Permisi Pak, tadi kata bu Apmat ada murid baru di kelas 11 IPS 2.”
“Oh iya. Ada dua orang. Yang satunya masuk kelas IPA dan yang satunya IPS.”
“Ehm, kalo boleh tahu yang masuk IPS namanya siapa, Pak? “
“Oh, dia tadi kayaknya nyari kelas deh. Coba kamu cek, mungkin udah di kelas.”
“Iya, Pak.” Zahra buru-buru kembali ke kelas. Di kelas terlihat bu Ampat sudah memulai pelajarannya. Dengan langkah ragu, Zahra mengetuk pintu kelas.
“Assalamualaikum, Bu.”
“Waalaikumsalam. Masuk. “
Zahra mengedarkan pandangnya, mencari murid baru di kelas. Ada seseorang yang duduk di bangku sebelah Sarah, ia terlihat asik mencatat di bukunya.
Zahra menghela nafas lega. Tugasnya ternyata telah selesai. Zarah kembali duduk ke posisinya.
“Zahr ...ada pulpen lagi gak? “ bisik Sarah dari arah belakang. Zahra mengangguk. Ia menyerahkan pulpen tanpa menoleh.
“Nih Kelvin, pulpennya,” kata Sarah.
“Kelvin? “ Zahra refleks menoleh.
“Hai..”
Mata Zahra membulat sempurna. “Ngapain kamu di sini? “
“Belajar.”
“BOHONG! “ teriak Zahra tanpa sadar.
“Zahra! “ Bu Ampat menatap tajam Zahra. Zahra tersadar.
“Keluar dari kelas, Sekarang! “
***