Zahra mondar-mandir di tempat wudu mushola. Ia terus mengulang wudunya. Terlalu banyak hal yang Zahra pikirkan hingga ia tidak fokus dengan wudunya. Zahra selalu merasa bahwa ia melewatkan sesuatu hingga terus mengulanginya. Dan ia sudah mengulang ketiga kalinya, Zahra merasa bingung, apa ia sudah membasuh mukanya sebanyak tiga kali atau baru dua.
Zahra menghela nafas panjang. Ia diam sejenak, memberhentikan wudunya. Zahra teringat pesan Abinya,
“Rasa was-was berasal dari setan. Tetapkan hati dan mohon perlindungan Allah dari bisikan setan yang terkutuk.”
“Astagfirullah....,” gumam Zahra pelan. Ia menetapkan hati mengambil wudu. Dan akhirnya ia selesai dengan wudunya. Zahra bergegas masuk musholah sekolah.
Zahra mengambil mukena dan menggunakannya, saat hendak mendirikan salat, lagi-lagi kepalanya dipenuhi hal yang membuat Zahra tidak fokus. Salah satunya mengenai alasan kenapa dia berada di musholah saat jam pelajaran berlangsung.
Zahra di keluarkan dari kelas bu Ampat untuk pertama kalinya. Pertama kalinya Zahra mendapat minus dan untuk pertama kalinya Zahra melewatkan pelajaran MTK wajib. Dan pelaku penyebab itu adalah Kelvin—vampire itu.
Zahra membuang nafas kasar. Ia terus beristigfar, berkali-kali hingga pikiran mengenai kenapa jin itu datang ke sekolah ini sirna di kepala Zahra. Setelah pikirannya kembali netral. Zahra segera menunaikan salat wudu di lanjutkan dengan dua rakaat salat duhha. Dalam sujudnya, Zahra berdoa agar terlindung dari godaan setan yang terkutuk, terhindar dari kebatilan dan melihat dengan jelas apa yang benar dan apa yang batil hingga ia tidak salah dalam melangkah.
“Assalamualaikum Warahmatullah.” Zahra mengakhiri salatnya. Ia berdoa untuk keselamatan dirinya, orang di sekitarnya dan negaranya. Tidak lupa Zahra mendoakan kedua orang tuanya dan saudara semuslim yang telah berpulang dalam keribaan Allah.
Zahra melirik jam yang tergantung di barisan salat pria. Pelajaran bu Ampat sudah selesai. Zahra menghabiskan waktu hukumannya di musholah. Setidaknya hal itu lebih bermanfaat ketimbang dia berdiri di depan pintu kelas, atau ngerumpi di taman. Kata abi, waktu adalah teman dan juga musuh. Teman bagi yang pintar menjaga dan musuh bagi yang lalai. Sebagai anak muda, Zahra juga sering menyepelekan soal waktu. Ia suka terlena dengan waktu luang. Zahra sadar hal itu, tapi terkadang dia mengabaikannya dan berakhir ia selalu menyesal telah melewatkan banyak waktu berharganya.
Zahra meraih ponselnya. Ia mengetik sebuah pesan untuk Sarah. Menanyakan perihal bu Ampat yang sudah keluar dari kelas atau belum. Zahra mengeluarkan ponselnya, dia hendak mengirim pesan teks pada Sarah. Hal itu membuat langkah Zahra jadi tidak awas, Zahra tanpa sengaja menabrak orang dari arah berlawanan.
Ponsel Zahra terjatuh. Zahra segera memungut ponselnya. Itu kesalahan Zahra.
“Maaf, sudah menabrak kam—“
“Hay.”
Suara itu mengintrupsi perkataan Zahra.
Zahra mengangkat kepalanya.
“Bertemu lagi. Ck. Sungguh menyebalkan,” desis Stefani, tajam.
“Kamu?” Zahra menyoroti penampilan Stefani. Ia menggunakan seragam sekolah persis yang Zahra kenakan. “APAAN INI? “ kesal Zahra.
“Ckck..” Stefani berdecak. “Saya tidak datang ke sini untuk menjawab pertanyaan kamu.”
Stefani melirik pergelangan punggung tangan Zahra. Terlihat plester menutupi bekas goresan yang ia ciptakan.
“Aw! “
Stefani menarik plester itu, secara tiba-tiba. Zahra meringgis, kesakitan.
“Jangan coba-coba untuk menutup goresan itu dengan plester ! Ini tidak akan baik untuk kamu!”
“Siapa kamu yang berhak mengatur hidup saya!”
“Ck, gadis bodoh! Karena kebodohan kecil kamu, kami datang ke sini. “
“Kebodohan kecil apa? Saya tidak melakukan apa pun! Jadi pergi dari sini!”
Stefani tersenyum miring, ia melangkah, melewati Zahra yang masih mematung di tempatnya. Ia melangkah tenang, kearah berlawanan dengan arah tujuan Zahra. Ke lorong kelas IPA.
“Plester itu kesalahan bodoh mu,” desis Stefani, setelah langkahnya dua puluh jengkal dari tempat Zahra.
Zahra menatap goresan di punggung tangannya. Ia memang menutup goresan itu dengan plester, berharap goresan itu cepat mengering dan sembuh. Tapi dugannya salah, meski sudah di plester dan diberi obat, luka itu masih terlihat sama seperti waktu itu. Masih basa. Seolah goresan itu baru saja ia dapatkan.
Zahra berbalik mengejar Stefani.
“Luka apa ini? “ Zahra mencegat langkah Stefani tepat di koridor lorong kelas IPA.
Stefani menatap tajam Zahra, karena sudah berani menghentikan langkahnya.
“Jawab! “ desak Zahra. Zahra menahan lengan Stefani, Stefani berpura-pura kesakitan, pada hal sebenarnya hal itu sama sekali tidak menyakitkan Stefani, mengingat dia bukanlah manusia. Namun Stefani mencari iba.
“Aw, sakit... “ Stefani berteriak lirih. Semua mata jadi menyorot kearah mereka berdua. Zahra terlihat bak orang jahat sekarang.
“Ayo jawab.” Zahra tidak peduli tatapan semua orang. Dia butuh jawaban.
“Jawaban apa? Saya murid baru di sini. Kenapa kamu membully saya? “
“Jawab dengan jujur, Stefani! Jangan bersandiwara!”
“Aw, sakit. Lepaskan tangan saya.. Saya mohon.” Stefani berpura-pura menangis. Ia berhasil mendapatkan simpati semua orang.
“Dia anak IPS kan? Pantas saja sikapnya bar-bar. “
“Liat, penampilannya syari banget, tapi no akhlak. Dasar munafik.”
“Jilbab aja panjang, tapi hati busuk.”
“Ngapain sih anak IPS ke sini ?”
“Iya, ih. Usir aja.”
“Stefani, jawab yang sebenarnya, atau mereka akan tahu siapa kamu... “
Zahra mengabaikan semua desas-desus itu.
Stefani menyunggikan senyum sekilas pada Zahra, seolah mengejek Zahra akan aksinya yang terlalu frontal.
Zahra geram. Tidak akan ia lepaskan lengan Stefani, Zahra bergumam membaca ayat Qursi. Seketika Stefani seperti terbakar. Ia berteriak kencang dan refleks menghempas tangan Zahra. Zahra terpental dan punggungnya menghantam tembok. Zahra meringgis kesakitan. Stefani berpura-pura menangis, menarik simpati.
“Kenapa dia jahat pada saya? Apa salah saya? “ tangis Stefani. Semua orang langsung mengerumuni Stefani. Iba pada jin itu dan tidak peduli pada korban sesungguhnya—Zahra.
“Cukup Stefani! Cukup! Tolong jujur saja! “Zahra membela kerumunan itu, mengabaikan rasa nyeri dipunggungnya. “Saya hanya ingin tahu luka apa ada—“
“Kenapa kamu jahat pada saya? Apa saya pernah melukai mu? Tapi kita baru saja bertemu tadi...” potong Stefani. “ Saya hanya ingin sekolah dengan tenang di sini. Saya tidak mau mencari masalah dengan siapa pun.”
“Eh, anak IPS. Jangan pikir Lo bisa bully orang di sini! “
“Iya. Apa-apaan sih. Bar-bar banget. Udah sana balik ke kandang, jangan sok jago di sini! Kami gak sama kayak kalian, otot terus yang dikeluarin, otaknya di simpen buat pajangan doang.”
“Otaknya nganggur terus. Kasihan otaknya berkarat, makanya gak bisa mikir.”
Zahra tidak peduli pada cercaan mereka. Mereka tidak mengenal Zahra, jadi buat apa peduli pada pendapat orang yang hanya memandang dari status seseorang.
“Udah pergi sana....”
Salah seorang gadis mendorong Zahra, menjauh dari Stefani. Stefani tersenyum miring saat tatapan mereka tidak sengaja bertemu.
Bukan hanya satu gadis tapi ada tiga gadis bergantian terus mendorong Zahra. Zahra terdesak terus ke belakang, ia tidak menyadari ada pot bunga di belakangnya. Kaki Zahra tersandung pot itu. Zahra kaget, keseimbangan tubuhnya hampir oleh, beruntun ia bisa mengembalikan keseimbangan tubuhnya, tapi tidak dengan pot itu. Pot itu bergerak jatuh dan secepat kilat, tiba-tiba Kelvin ada di sana. Menahan pot itu jatuh ke tanah.
Tanpa sadar semua orang menahan nafas, entah karena kaget akan kehadiran Kelvin dalam hitungan detik atau merasa lega karena pot itu tidak jadi pecah.
Kelvin membenarkan pot itu di posisi semula. Ia berdiri di hadapan Zahra. Zahra langsung mundur menjauh. Kelvin berjalan menuju Stefani.
“Kita harus bicara! “
Stefani membuang wajah.
“Siapa kamu? “cicit gadis yang tadi mendorong Zahra.
Kelvin menoleh. Gadis itu beringsut mundur. Ngeri, melihat tatapan tajam yang Kelvin lemparkan.
“Pelindung Zahra. Jadi jangan pernah berani menyakiti ZAHRA. “ Kelvin sengaja menekan kata akhirnya seraya melirik ke arah Stefani. Memberikan isyarat peringatan pada Stefani.
“Zar, kita harus bicara.” Kelvin menghentikan pergerakan kaki Zahra, Zahra sudah terlalu muak di sana. Ia ingin pergi.
“Tidak ada yang harus kita bicarakan, Kelvin,” desis Stefani.
“Ada banyak hal, Stefani! “jawab Kelvin, tajam. Membukam Stefani untuk menolak.
“Saya tidak ingin terlibat dalam drama kalian!” Zahra kembali melangkah.
“Zahra, saya tidak meminta tetapi memaksa.”
Zahra menoleh, tatapan sengit otomatis terpancar dari mata Zahra. Zahra muak dengan drama dua vampir itu. Jangan lupa, bahwa Zahra tidak suka kehadiran mereka di sekolah atau pun dalam hidup normalnya!
“Dan saya tidak peduli! “ ketus Zahra.
*
*
“Zar, ribut apa sih di lorong IPA? Tumben-tumbennya anak ‘lempeng' pada berisik,” komentar Sarah. Gadis itu celangak-celunguk, mencuri-curi pandang kearah lorong sebrang.
“Pelajaran belum dimulai? “ Zahra malah balik bertanya.
“Belum. Kayaknya jam kosong deh.”
“Ck... “ Zahra berdecak, lalu masuk ke dalam kelas.
“Zar, Lo liat Kelvin gak? Di mana ya dia, tiba-tiba ngilang.”
“GUE GAK PEDULI! “ Sentak Zahra tanpa sadar telah membentak Sarah.
“Lo kenapa dah, Zar? “ Sarah mengamati ekspresi kesal dari air muka Zahra.
Zahra beristigfar, menyadari kesalahannya. “Maaf, Sar. Aku gak masuk bentak kamu,” sesal Zahra.
“Is Okey...,” jawab Sarah. “Tapi Lo kenapa sih? Gak biasanya Lo marah.. Lo haid ?”
Zahra menggeleng.
“Eh, tangan kamu luka? “ Sarah menarik tangan Zahra tanpa permisi.
Zahra buru-buru menarik tangannya. “Sar, kamu jadi gak pinjam catatan MTK punya aku? “
“Ha? Eh, iya, bolehkan? Entar aku ambil pas pulang sekolah.“
“Eh, tapi boleh, materi ini aku gak nyatet. Aku pinjam punya kamu dulu ya... besok baru aku pinjamin kamu catatan aku ?”
“Oh iya, boleh aja sih. Entar aku kasih deh. Sekarang aku lagi nyari Kelvin ih... takutnya nanti tiba-tiba ada guru dan dia belum masuk. Apa jangan-jangan dia nyasar ?” hipotesis Sarah, membuat Zahra menghela nafas panjang.
“Gimana menurut kamu Zar? Apa aku cariin Kelvin, tah? “
“Gak perlu. Dia gak akan nyasar.”
“Eh, iyakah? Kok kamu tahu...? “
“Dia gak sepolos yang kamu kira. Dia— “
“Dia apa?”
“Sar, boleh pinjam sekarang gak buku catatan MTKnya. Kayaknya enak nyatet sekarang deh, jadi kalo ada yang gak aku ngerti, aku bisa minta ajarin kamu.” Zahra segera mengalihkan pembicaraan.
“Ide bagus tuh. Kuylah.” Sarah setuju. Mereka kembali ke meja.
Zahra menghela nafas lega. Ia hampir saja mengungkapkan kebenaran Kelvin. Kelvin adalah jin dan untuk apa dia berada di sekolah?!
dia vampire — batin Zahra.
***