Cinta

1623 Kata
“Kenapa abi suka menulis? “ “Simpelnya karena menurut abi, menulis itu seperti mendedikasikan diri untuk tetap hidup meski tidak hidup selamanya. Dengan begitu, kalo Zahra rimdu abi, Zahra bisa baca tulisan Abi.” “Zahra gak perlu baca tulisan Abi kalo zahra rindu abi, Zahra tinggal datang ke kamar Abi dan peluk Abi.” Zahra menyekat air matanya. Ia teringat pertanyaan sederhana yang dulu pernah ia lontarkan pada abi. Zahra polos yang tidak mengerti apa arti perpisahan, dia belum mengerti bahwa yang berawalan pasti memiliki akhir dan pertemuan langkah awal menuju perpisahan. Zahra tidak tahu hal itu. Ia pikir, kapan pun ia merindukan abi, ia akan dengan mudah berlari dengan kaki kecilnya dan memeluk Abi. Dan saat perpisahan itu datang, Zahra baru mengerti apa yang abinya katakana. Apa yang abi katakan sangat benar. Abi tidak ada lagi di sisinya tapi Zahra selalu merasa bawah abi selalu hidup melalui tulisan-tulisannya. Abi bukan penulis yang memproduksi buku secara massal. Abi hanya hobi menulis dan menjadikan buku untuk arsip pribadi. Membaca tulisan Abi, membuat Zahra merasa tengah berbincang dan bertukar pikir dengan Abi. Zahra memeluk erat buku itu. Ia sangat rindu abi memeluknya. “Abi buku mana yang abi suka peluk ?“ “Abi suka peluk anak Abi, Zahra.” “Oh, serius Bi. Buku yang mana? “ “Buku ini.” “Kenapa buku warna hijau ini, Bi? “ “Karena buku ini tentang perasaan abi begitu Zahra lahir ke dunia.” Mata Zahra membuka. Ia teringat buku itu. Zahra mencarinya di rak. Tapi tidak ada. Zahra keluar kamar. “Bulek, apa semua buku abi sudah di bawa ke sini semua?” tanya Zahra pada bulek yang tengah bersantai menonton televisi. “Ada beberapa buku yang masih ada di sana. Bulek tidak bisa membawanya kemarin. Kotaknya penuh.” “Oh....” Zahra tersenyum lega. Setidaknya ia tahu bawa buku itu tidak jatuh di jalan. “Memangnya kenapa? “ “Bulek, ada buku kesayangan abi yang tertinggal di sana. Apa boleh Zahra mengambilnya ke rumah? “ tanya Zahra. Bulek menimbang. Ia terlihat ragu untuk memberikan izin. Zahra meyakinkan bulek melalui senyum lebarnya yang mengatakan ‘aku baik-baik saja, bulek'. Bulek menyakinkan dirinya dan mengangguk setuju. “Hati-hati, jangan pulang lama-lama ya, Sayang.” Bulek tersenyum mengiringi kepergian Zahra. “Zahra pergi Bulek. Assalamualaikum.” Zahra pergi setelah menyalami tangan bulek. Bulek menatap punggung Zahra yang sudah berjalan menjauh. Zahra berjalan dengan perasaan senang. Sesampai di rumahnya. Zahra masih melihat garis polisi di sana. Kasus pembunuhan kedua orangtuanya masih terus berlanjut, bulek yang mengurus semuanya termasuk datang ke pengadilan. Sejauh ini belum di temukan apapun mengenai siapa sosok berjubah hitam itu. Semua terlalu rapi, hingga polisi belum menemukan bukti adapun. Zahra juga belum terlibat aktif sebagai saksi karena bulek takut Zahra tertekan dengan semua ini. Sejujurnya Zahra juga tidak tahu apapun, mengenai sosok itu. Ia sama sekali tidak melihat wajah sosok itu. Zahra tidak tahu, apakah kesaksian akan memberi bantuan atau tidak untuk polisi. Zahra tidak masuk ke dalam rumah, ia berjalan ke gudang belakang. Semua buku milik abi di taruh di gudang belakang. Di sana tidak ada garis polisi. Zahra tidak perlu menuduk untuk masuk ke gudang. Tidak ada yang berubah di sana. Semua tetap sama sejak terakhir kali Zahra datang ke sana. Yap....hari yang sama dengan insiden itu. Hanya ada sedikit debu yang terlihat di sana, jika umi masih ada, mungkin umi akan langsung membersihkan debu yang sejak dulu menjadi musuh utama Umi. Umi bukan hanya membersihkan debu, tapi juga mengepel semuanya. Sampai semua terlihat mengkilap. Zahra tersenyum membayangkan betapa hebohnya umi jika melihat debu ada di sudut sana. Bukan hanya heboh, tapi umi juga akan terus bolak-balik ke gudang untuk memastikan tidak ada debu di sana lagi. Mata Zahra menyusuri setiap sudut ruangan. Ia beralih ke rak khusus tempat abi sering menulis. Zahra meniup debu di atas buku. Ia mengambil semua buku di sana dan menumpuknya. Zahra mencari wadah untuk membawa buku milik abi. Mata Zahra menyusuri setiap barang di gudang. Ia melihat satu buku yang terjatuh dari rak. “Hampir ada satu yang tidak terbawa,” gumam Zahra. Zahra membungkuk. Ia meraih buku di bawah rak. Bertepatan dengan itu terdengar derap pintu gudang terbuka, Zahra menoleh. Ada sepasang kaki di hadapan. Hati Zahra getar-getir, ia mendongkak wajahnya dan ternyata itu.... “Maryam.” Zahra terduduk. Lega dan lemas. Ia pikir, sosok hitam itu kembali. Maryam menelisik wajah Zahra, dahinya berkerut, melihat wajah Zahra yang terlihat tegang dan keringat dingin muncul di dahinya. “Kenapa kak? “ Zahra menyekat kering di dahinya. Ia segera bangkit. “Kenapa kamu ada di sini? “ “Hem. Mama tadi nyuruh nyusulin Kak Zahra di sini.” Maryam menantap sekeliling. Ia lalu beranjak ke kontak deskop. Klik Seketika gedung menjadi terang. Maryam tersenyum puas. “Gini kek Kak, kan lebih enak. Masuk ke sini susah banget deh kak. Takut kena garis polisi.” “Bantuin kakak bawa buku ini ya,” pinta Zahra. Maryam mengangguk setuju. “Eh, tunggu dulu Kak. Kaca dari kak Ilham masih di sinikan? “ “Oh iya.” Zahra berjalan ke nakas, tempat di mana umi meletakan semua barang kecil di sana. Zahra mendapatkan kaca itu. Tapi matanya malah tertarik pada secarik kertas usang yang di bungkus plastik putih. Dahi Zahra berkerut. “Mana kacanya kak? “tanya Maryam. “Sini.... “ Zahra mengambil kaca itu dan begitu saja memasukkan kertas usang itu ke dalam saku jaketnya. “Ini.” “Masih bagus.” Maryam tersenyum. “Yah...masih bagus. Kakak berencana untuk mengembalikannya pada Ilham.” “Kenapa? Kaca ini sudah milik kakak kan? Biar aku aja yang simpan, Kak.” Maryam menyimpan kaca itu di dalam jaketnya. “Soalnya, kaca di kamar aku pecah. Jadi aku butuh kaca, selagi menunggu mama membeli kaca yang baru. Jadi boleh ya, Kak....” “Hem. Silakan saja.” Zahra berbalik dan mengambil buku. Maryam mengikutinya dan membawa buku sisanya. Keduanya lalu pulang. “Kak, ke rumah pohon yuk...” “Ngapain? “ “Liat-liat aja. Udah lama kan kakak gak ke sana.” “Hem...” “Ayo dong Kak. Mumpung deket sini.” Zahra menimbang sejenak dan akhirnya mengangguk setuju. Sebenarnya ia juga rindu rumah pohon miliknya dan Amina—sahabat Zahra. Rumah pohon, merupakan rumah-rumahan yang abi buat untuk Zahra dan Amina. Dulu mereka berdua suka bermain di pinggir hutan dan saat ulang tahun Zahra, Amina meminta bantuan abi untuk membantunya membuat rumah pohon. Rumah pohon, jadi hadiah terindah bagi Zahra. Zahra dan Amina hampir setiap hari bermain di sana, tapi setelah Amina pergi, Zahra jarang ke sana dan lama kelamaan malah hampir tidak pernah lagi. Maryam tahu rumah pohon karena tidak sengaja melihat foto Amina dan Zahra. Maryam memaksa Zahra mengajaknya ke rumah pohon dan Maryam hanya pernah diajak Zahra sekali ke sana. “Masyaallah... tempatnya bagus banget.” Maryam berdecak kagum. Di depan rumah pohon, berderet pohon minus yang tertata rapi. “Kak, kenapa sih Lo jarang ke sini? “ Zahra mengamati rumah pohon itu. Ia tersenyum saat melihat ada ukiran di sana. ‘Zahra—Amina' ukiran itu Amina yang membuatnya, sepuluh tahun yang lalu. Zahra mendongka ke atas. Mengabaikan pertanyaan Maryam. Zahra langsung naik ke rumah pohon. Langkahnya yang sejak kecil sudah terbiasa naik tangga kayu, sudah terlatih. Dua menit, Zahra sudah sampai. “Kak, pulang yuk. Aku lupa kalo ada PR,” teriak Maryam. Mengurungkan niat Zahra untuk masuk ke dalam rumah pohon. Segera Zahra turun. Maryam sudah menunggu di bawa dengan buku-buku yang mereka bawa tadi. “Ayo, pula—“Kalimat Zahra terhenti. Zahra kembali menoleh. Ia yakin, tadi ia melihat sesuatu di sana. Di balik pohon itu. Langkah Zahra bergerak maju. “Mau ke mana, Kak? Bukunya di sini bukan di sana.” Maryam menahan tangan Zahra. Zahra kembali menoleh ke arah tadi. Ia bepikir sejenak dan mengurungkan niatnya. “Ayo, pulang.” “Kak Amina, masih belum ada kabar, Kak ?” “Belum.” “Emang kak Amina ke mana sih, Kak? “ “Kakak tahunnya dia mondok. Dan sejak itu gak pernah ketemu lagi. Orang tua kak Amina juga langsung pindah setelah itu.” “Oh ya... Emang ke mana kak? “ “Waktu itu pernah dapat kabar, kedua orangtua Amina kecelakaan mobil.” “Astagfirullah....” “Jadi kakak gak tahu Amina di mana sekarang. Dia pernah kirim surat, dan isi suratnya cuman bilang dia baik-baik saja dan sudah punya rumah baru kayak yayasan gitu. Terus dia bilang bakal pulang lagi setelah semuanya selesai.” “Kak, kak Amina orangnya Gimana sih kak? Baik banget ya? “ “Iya. Dia sahabat yang baik.” “Kakak gak mau ke rumah pohon karena gak ada kak Amina, iyakan? “ “Iya.” “Berarti jarang dong Kakak ke rumah pohon.” Zahra mengangguk, membenarkan. “Tapi kok, rumput-rumput di sana, gak sepanjang rumput di sekitarnya. Kayak ada yang bersihin dan ada yang merawat gitu, Kak. Lo perhatiin gak kak... Gak mungkin tempat yang gak dikunjungi bertahun-tahun tapi tetap bersih kayak gitu.” Zahra termenung. Kenapa ia baru sadar. “Apa mungkin ada yang tahu rumah pohon selain kakak dan kak Amina?” “Kayaknya gak ada deh.” Zahra ragu. Apa mungkin ada yang tahu rumah pohon selain mereka? Tapi siapa dan apa untungnya menjaga rumah pohon? *** “Yeyeye... pulang.” Sorak riuh siswa di kelas begitu mendengar bel berbunyi nyaring. Guru merapikan bukunya lalu keluar kelas setelah selesai membaca doa bersama. “Zahr, Lo belum mau pulang? “ tanya Sarah. “Belum. Mau piket dulu. Tolong bilangi Maryam buat pulang duluan aja, ya, Sar.” “Oke.” Sarah meraih tasnya. “Gue pulang duluan ya. See you.” Zahra dan dua teman piketnya langsung membersihkan kelas. Mereka membagi tugas. Zahra kebagian membersihkan kaca jendela. Kedua temannya menyapu dan ngepel lantai. Setelah selesai semua, Zahra langsung pulang. Sekolah sudah nampak sepi. Sepertinya Zarah pulang paling akhir. “Bodoh!” Di ujung koridor Zahra tanpa sengaja melihat Stefani dan Kelvin yang tengah berbicara. Zahra segera menyembunyikan dirinya di balik dinding. “Kenapa?! Bahkan sampai detik ini kamu tidak menjadikan Zahra apapun! Kapan kamu akan menjadikan Zahra sebagai bagian dari kita karena Zahra merupakan pasangan yang dipilih iblis!? Apa rencana kamu Kelvin?! “ “Tidak ada. Saya mencintai Zahra, saya tidak ingin menjadikan Zarah apa yang tidak ia inginkan. Saya tidak ingin membuat Zarah sedih.” “Cinta kamu untuk Zarah tidak akan pernah terbalas. Perbedaan itu akan selalu menghalangi. Kalian berbeda dunia. Dan Zarah tidak mungkin menerima kamu, sebesar apapun kamu mencoba!” “Tidak masalah. Saya hanya ingin Zahra bahagia.” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN