Masalah luka

2152 Kata
*** “Ma, mau keluar boleh gak ? Pengen jajan.” “Udah jam berapa ini, kamu mah,” tolak bulek. “Ma, baru jam delapan. Pengen makan martabat cokelat. Di depan doang, deket sini Ma.” “Besok aja.” “Ma, pengennya sekarang,” kekeh Maryam. “Gak usah.” “Ma....” rengek Maryam. “Bareng kak Zahra deh.” Zahra melirik begitu namanya disebut. Sebenarnya sejak tadi Zahra berusaha tidak terlibat drama martabak manis, Maryam. Alis mata Zahra terangkat, Zahra ingin protes. Maryam langsung melempar kode keras agar Zahra tidak protes. Zahra akhirnya mengalah dan kembali fokus dengan remot televisi yang sejak tadi terus ia ganti untuk mencari siaran televisi yang bagus tapi Zahra belum juga menemukannya. Entahlah, kenapa stasiun televisi sekarang seperti kehilangan gairahnya, tidak seasik dulu, seingat Zahra. “Kamu mah ya, ini udah malam. Dari tadi udah keliatan mendung.” “Bentar doang, Ma. Boleh ya,” rayu Maryam. Hening. Bulek memilih bergabung bersama Zahra yang akhirnya menghentikan pergerakan jarinya di stasiun berita. “Ma, Maryam bawa payung deh, biar kalo tiba-tiba hujan, gak ke hujanan. Oke. Sekarang boleh kak, mam? “ “Aneh-aneh aja berita sekarang. Kriminal makin serem aja,” kata bulek, tidak meredam perkataan Maryam. Zahra mengangguk setuju. Ia meraih pop corn dan menawarkannya pada bulek. Dengan senang hati bulek, bergabung makan pop corn. “Gak ngerti lagi, Bulek. Jadi malas buat dengar berita. Pejabatnya bukan buat prestasi malah korupsi.” “Itu sebabnya orang-orang alim dan saleh gak boleh takut buat maju ke politik. Kalo kita takut, dunia politik bakal dikuasai oleh mereka yang dzolim.” “Bener banget tuh, Bulek. Abi juga bilang gitu.” “Tapi politik gak akan semanis martabak manis,” sela Maryam. Bulek dan Zahra menoleh, seolah baru menyadari kehadiran Maryam yang berada di sana. Maryam cemberut. “Mama...,” rengeknya, manja. “Boleh ya.... “ Bulek menghela nafas panjang. “Terserah kamu deh. Mama mau istirahat. Jangan lama-lama perginya.” Bulek beranjak dari sofa menuju kamarnya. Maryam tersenyum lebar. Ia langsung beringsut duduk mendekati Zahra. “NO.” “Kak... mama aja udah izinin tahu.” “Malas ah, Dek.” “Layanan protes ditutup. Buruan siap-siap, keburu malam kalo protes muluk.” Maryam menarik paksa tangan Zahra untuk beranjak dari sofa dan mendorong pelan tubuh Zahra agar menjauh dari sofa, bersiap-siap di kamarnya. “Dasar pemaksaan,” dengus Zahra. Zahra berjalan gontai menuju kamar. Di kamar, Zahra meraih rok hitam dan jilbab instan berwarna pink pastel untuk ia kenakan. Maryam sudah lebih duluan siap, ia menunggu Zahra di ambang pintu. “Kuy...,” serunya riang. Mereka memilih untuk berjalan kaki karena memang tempat yang mereka tuju terbilang dekat dan tidak perlu repot membawa motor. “Dek, setahu kakak, jam segini ramai orang beli martabak kan? “ “Hem, paling ngantri bentar, Kak,” jawab Maryam, santai tanpa beban. “Segala sesuatu itu emang harus diperjuangin, termasuk beli martabak manis. Butuh perjuangan untuk memetik kemanisannya. By :ula-ula tangga.” Zahra tidak mengerti. Biarkan saja. “Kak, ada qoutes bagus. Mau denger gak? “ “Gak.” “Oke. Jadi gini qoutesnya. Bertemanlah sepi, karena ramai belum sepi.” Abaikan—batin Zahra lagi. “Satu lagi kak.” “Kita di tulis dalam buku yang sama, sebagai titik dan koma, terus seirama, meski tak bersama, bagai kalimat tanpa nama.” “Bagus, Dek.” “Bagus ya, Kak….” Maryam tersenyum, puas. “Kamu yang buat? “ “Jelas, kak….” Maryam tersenyum lebar. “Jelas bukan aku yang buat, kak. “ “Sudah kakak duga.” Zahra tersenyum simpul. “Maksudnya? “ tanya Maryam sengit. “Apa judul novelnya? “ tanya Zahra, mengalihkan perhatian Maryam. “Hem. Tabir di Balik Cadar.” “Judulnya bagus.” “Iya. Alex dan Aisyah, juga cute gimana gitu, kak. Apa lagi pas bagian Aisyah mulai suka sama Alex.” “Genre spiritual? “ “Iya, kak.. Jadi kisahnya tuh, mereka saling benci. Klise sih, si Alex benci sama Aisyah, karena dia pake cadar gitu kak. Terus Alex mati-matian, cari cara biar bisa ngusir Aisyah dari hidupnya. Pokoknya Alex tuh benci banget sama Aisyah, Kak, sangking bencinya dia mencoba buat mempermalukan Aisyah. Aisyah gak sengaja nampar Alex. Alex mau balas dendam, eh gak tahunya mereka malah di grebek dan dinikahi malam itu juga.” “Ih. Pokonya seru deh, Kak. Aku belum baca sampai habis sih. Aku kepo banget sama alasan kenapa Alex benci sama cadar, terus peristiwa apa yang menghantui Alex sampai hubungan Alex dan papanya yang gak harmonis, perjuangan Aisyah buat lepas dari kebencian Alex.” “Setelah kamu, Kakak mau juga dong baca.” “Sip, Kak,” jawab Maryam. “Satu lagi kata-kata yang, ngenah banget. ‘Jilbab itu kewajiban bukan pilihan.’ “Jadi status kamu, ngambil di situ? “ “Iya kak…” “Good.” “Kak, ternyata emang rame,” kata Maryam, ketika mereka sudah sampai di depan lapak martabak manis. “Ya udah, nunggu. Pesan gin, sana.” “Oke.” Zahra duduk di kursi plastik yang di sediakan. Lapak martabak manis itu ada di pinggir jalan raya. Zahra mengamati jalan raya yang terlihat meriah dengan kehadiran banyak lampu jalan berwarna-warni yang menarik penglihatan. Lalu lalang kendara motor dan mobil juga menjadi daya tarik. Seolah kota ini tidak pernah sepi. Selalu ada yang meramaikan segalanya. Zahra sangat suka suasana malam, entah kenapa. Setiap berpergian di malam hari, ada sesuatu yang berbeda. Zahra teringat perkataan Umi, umi juga suka suasana malam. Umi pernah bercerita bahwa malam hari identik dengan nilai spiritual. Di mana seorang mukmin biasanya mendekatkan diri pada sang khalik di malam hari. Di saat semua terlelap. Yap....malam hari memiliki banyak rahasia di balik gelapnya. “Kak...” “Udah selesai? “ “Bentar lagi, Kak. Pesanan kita, lagi di buat.” “Oke.” Maryam dan Zahra menunggu. Tidak lama, martabak telah selesai. Maryam merogoh sakunya, hendak membayar. “Pak, apa pesanan saya sudah selesai? “ Zahra mengangkat kepala. Ilham ada di sana. Ilham sedikit terkejut mengetahui ternyata ada Maryam dan Zahra di sana. Ilham tersenyum kecil pada Maryam yang sudah duluan tersenyum. Sedangkan pada Zahra, tidak. Zahra pun tidak membuang muka dari Ilham. “Iya, sudah selesai. Itu di situ. Tinggal ambil aja.” Ilham mengangguk lalu mengambil dua kantong kresek berisi martabak. Ia kebingungan untuk membawa satu lagi kantong kresek miliknya. Ilham berdecak bingung. Maryam menghampiri. “Yang itu punya Kak juga?” Ilham mengangguk, canggung. “Hem, terus gimana kakak mau bawa yang itu? Gimana kalo aku dan kak Zahra bantu bawa? “ “Eh...” “Gak papa, Kak. Gak perlu sungkan gitu. Kita gak keberatan kok. Iyakan, kak Zar?“ Maryam menoleh pada Zahra. Zahra langsung mengangguk pelan. “Yuk, Kak.” Maryam menenteng satu tali kresek dan satunya lagi Maryam. Mereka berdua membawa satu kresek berisi sepuluh kotak martabak berdua. . Ilham berjalan di depan mereka dengan menenteng dua kantong kresek. Tidak ada percakapan yang mengudara sampai ke pondok. Entah kenapa Maryam juga memilih diam. “Terima kasih,” ucap Ilham. “Sama-sama kak Ilham.” Maryam tersenyum lebar. “Kalo gitu, kita pamit pulang sekarang ya, Kak. Udah malam.” “Tunggu.” Ilham menahan langkah keduanya. “Sudah malam, tidak baik jika kalian pulang berdua saja. Biarkan saya mengantar kalian.” “Eh...gak usah, Kak. Gak papa, santai aja. Masih belum malam banget kok,” tolak Maryam. “Daerah sekitar pondok lumayan sepi, kalian liat sendiri. Biarkan saya mengantar kalian sebagai bentuk terima kasih. Tolong jangan menolak.” Ilham menoleh pada Zahra. Maryam menimbang. “Gak ngerepotin, Kak ?” “Gak.” “Kalo gitu. Oke deh.” “Tunggu sebentar ya, saya pinjam mobil pondok sama pakde dulu.” “Iya, Kak.” Ilham pergi mengambil kunci. “Kak, kenapa dari tadi diam aja. Gak sama kak Ilham juga dari tadi. Ada apa, Kak? “ *** “Maryam. Boleh pinjam pulpennya? “ “Nih.” Maryam meminjamkan pulpen miliknya. “Maryam, tangan kamu kok gak sembuh-sembuh sih? Tangan kamu kenapa? “ Maryam segera menyembunyikan goresan luka yang ada di punggung tangannya. Maryam menarik lengan bajunya agar menutupi luka itu. “Cuman luka.” “Oh gitu...” Bel berbunyi. Semua murid duduk rapi di kelas. Guru masuk ke kelas. Jam pelajaran sudah di mulai. Guru meminta semua murid mencatat apa yang di tulis di papan tulis. Maryam langsung merogoh tasnya mencari buku catatannya, tapi ia tidak menemukan buku catatan miliknya. Maryam merasa cemas namun berusaha untuk tenang. Maryam lalu mengeluarkan semua buku miliknya dari dalam tas. Ia memeriksa kembali. Buku itu tetap tidak ada. Maryam ingat betul, ia membawanya. Maryam mengingat-ingat, ia ingat buku catatannya ada di.... yap. Di laci mejanya. Maryam tersenyum puas. Guru melihat senyum Maryam. Dan salah paham. Guru meminta Maryam untuk mengerjakan soal yang ada di papan tulis. Maryam kaget, ia bahkan belum sempat mencatat tapi beruntung Maryam sudah belajar materi atom kimia. Maryam berdoa dalam hati, ia tersenyum melihat soal yang sepertinya bisa ia kerjakan. Maryam mengambil spidol. Ia sangat bersemangat mengerjakan soal hingga tidak menyadari lengan baju yang menutupi punggung tangannya tersingkap. Tanpa Maryam sadari, semua orang malah fokus pada tiga goresan berwarna kuning di punggung tangan Maryam. Bukan hanya siswa tapi bu guru juga memperhatikan itu. Maryam sudah selesai. Ia menghela nafas lega. Lalu berbalik, menunggu pernyataan bu guru. Bu guru tersenyum, kecil. “Jawabannya benar.” “Terima kasih, Bu.” Maryam tersenyum puas. Maryam menyerahkan spidol kembali pada bu guru. Bu guru tanpa sengaja, teralihkan fokus pada luka di punggung tangan Maryam. Maryam mengikuti arah mata bu guru. Maryam baru menyadari, semua murid di kelas menatapnya dengan dahi berkerut. “Kamu boleh kembali ke duduk.” Maryam buru-buru kembali ke kursinya. Ia langsung menyembunyikan tangannya begitu sampai di kursinya. . . . Maryam berjalan gontai menyusuri koridor. Perasaan sedang tidak baik. Tidak ada plaster atau perban di UKS, dan di kantin juga tidak menjual plaster luka. Maryam merasa bingung luka apa yang ada di tangannya. Ia tidak pernah mengalami kondisi seperti ini, ia juga bukan pengidap riwayat debetes sehingga menyebabkan luka lama mengering. Saat di cek ke dokter. Dokter bilang tidak ada apa pun yang terjadi. Maryam memilih untuk menghentikan langkahnya di taman sekolah. Ia duduk di sana sembari mengingat kejadian itu, kejadian di mana ia mulai memiliki luka itu. “Udah bangun ?” “Kak, apa tadi gue mimpi? Gue liat bayangan hitam dan dia nyakar gue.” Maryam kaget. Ia memangan punggung tangannya yang benar seperti terkena cakaran. “Luka ini? “Mata Maryam mengerjap. Lukanya sama seperti di dalam mimpinya barusan. “Makanya kalo tidur, jangan lupa baca doa.” Zahra duduk di sebelah Maryam. Maryam masih terpaku. “Jadi tadi cuman mimpi? Terus luka ini, Kak? “ “Besok hari jumat. Kita akan potong kuku, besok. Oke.” “Ehm. Iya kak.” Tidak ada yang aneh—pikir Maryam. Sekali lagi. Tetap sama, ia tidak menemukan jawaban apapun. Maryam termenung setelah itu. Ia terus berpikir serius hingga tidak menyadari ada orang yang berjalan ke arahnya. “Ngapain di sini, Dek? “tanya Zahra. Maryam kaget. “Eh.” “Lagi duduk aja, Kak,” jawab Maryam. “Kenapa sedih gitu? “ “Sotoy.” Maryam menghela nafas. “Kamu gak bisa bohong sama kakak.” “Hem...” “Kenapa sedih? “ Maryam mengangkat tangannya ke arah Zahra. “Luka apa sih ini, Kak? Luka kita kan hampir sama tuh, kakak dapat luka itu dari mimpi juga? “ “Hem... “Zahra bergumam pelan. “Huft.. gue malu tahu kak. Orang kek ngeliat aneh gitu, bukan temen aja tapi guru juga. Gue jadi minder banget.” “Maaf, ya.. “ “Maaf apa? Emang Lo buat salah?” Maryam memutar bola matanya. “Entah sampai kapan luka ini ada. Hem.... “ “Hem..., maaf mengganggu.” Zahra dan Maryam menoleh ke sumber suara. Kelvin ada di sana. “Saya punya obat untuk menyembuhkan luka itu,” kata Kelvin. Mata Maryam langsung berbinar. “Benaran, Kak? “ Kelvin mengangguk, pasti. Zahra bertanya tanpa suara. Beruntung Kelvin bisa memahami. “Karena ini ulah, Stefani. Maka saya berhak membantu kalian,” bisik Kelvin. Zahra mengangguk mengerti. “Apa obatnya, Kak? Kakak tahu ini luka apa? “ tanya Maryam, bersemangat. “Iya. Luka itu akan sembuh jika di obati dengan ramuan khusus. Saya akan membuatkannya untuk kalian. Tapi untuk sekarang belum ada....mungkin dua sampai tiga bulan lagi.” Maryam menghela nafas kecewa. Zahra meraih tangan Maryam. “Is Okey. Nanti kita beli handsock, biar lukanya ketutup selama Kelvin buat obatnya. Oke” hibur Zahra. “Oke.” Maryam mengangguk pelan. “Makasih ya, kak Kelvin.” “Kenapa masih sedih? Semangat dong...,” kata Zahra kembali menghibur Maryam. “Iya, Kak. Gak sedih lagi kok. Kan bentar lagi ada obatnya.” Maryam tersenyum lebar. “Tidak akan kubiarkan,” desis sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan mereka dari jauh. “Luka itu tidak boleh sembuh atau.... “ ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN