Hembusan angin menerpa wajahnya. Ia menatap lekat langit malam. Matanya terpejam sebagai respon menikmati angin yang berhembus menerpa sehelai kain yang terpasang dikepalanya.
“Jangan! Jangan ganggu mereka! “
“Ayah! Ibu! “
Bruk!
“TIDAK!!!”
Gadis itu membuka matanya kembali. Ia meringgis. Kejadian itu sudah lama, tapi rasanya seperti baru. Setiap ia menutup mata maka semua kesedihan itu mengalir deras. Membuat ia takut untuk menutup matanya.
“Jangan sedih... “
Gadis itu menoleh. Kalimat itu tidak terdengar lagi seperti kalimat hiburan baginya, ia terlalu sering mendengarnya. Dan Seperti biasa gadis itu hanya akan mengangguk seraya mengulas senyum kecil di wajahnya. Bertahun-tahun itulah yang ia lakukan. Tidak ada hal lain.
“Apa kau sudah makan? “
“Belum.”
“Kenapa? “
“Belum lapar.”
“Apa dengan menyesali masa lalu akan membuatmu kenyang? “
“Ya, mungkin.”
“Sudahlah. Makanlah. Jangan menyiksa dirimu sendiri untuk sesuatu yang telah terjadi. Kita akan meneruskan perjalanan.”
Gadis itu tersenyum kecut. Lawan bicaranya sudah beranjak keluar dari tandu tempat mereka beristirahat sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Gadis itu menatap dirinya, ia menangis tiba-tiba. Suara tangisnya sudah terlatih untuk tidak terdengar. Ia sudah alih dalam menyembunyikan perasaannya. Tidak ada gunanya orang lain tahu dukanya, pikir gadis itu.
“Oh, ayolah, Amina. Aku sudah bosan membujukmu makan. Kau bisa sakit jika begini terus! “ suara nyaring menghentikan tangis gadis itu.
Gadis itu melirik, terlihat sepasang mata mendelik menatapnya. Kepalanya menyundul ke dalaman tendah. Gadis bermata sipit dan kulit putih itu menghela nafas melihat temannya yang selalu suka membuatnya bingung.
“Kenapa kau repot-repot membujukku makan? Aku bukan bocah. Jika aku lapar, aku akan makan.”
“Dan kau akan makan setelah dua hari. Bahkan orang berpuasa saja tidak begitu. Tubuh juga punya hak! Semua yang kita miliki ini hanya titipan, jadi berlakulah baik, agar sang kuasa tidak mengambil kembali milik-Nya. Kau boleh sedih tapi jangan larut seperti ini! Bahkan hewan pun tahu hak atas tubuhnya! “
“Apa kita akan berjalan lagi? “
“Yah, mungkin akan pergi sebelum kau berpikir untuk makan.”
Gadis itu tertawa pelan. Entah kenapa kalimat itu terdengar lucu di telinganya.
Gadis berwajah oriental itu mengernyit, bingung. “Baiklah, aku tidak cocok bercita-cita menjadi dokter alih gizi sepertinya aku akan berubah haluan menjadi komedian.”
“Sudahlah. Aku akan makan, calon bu dokter.”
“Serius? “
“Ya.”
“Kau tahu apa yang aku bawa untukmu? “
“Tahu. Hal yang tidak enak.”
“Semua makanan itu enak.”
“Yap. Setuju. Kecuali makanan yang kau bawa, tentunya.”
“Amina...!”
“Maaf. Jangan marah lagi.”
“Ah, sudahlah, kau sudah mau makan, maka itu cukup. Kita akan pergi setelah itu.”
“Berapa lama perjalanan kita? “
“Mungkin satu hari lagi kita akan sampai ke tempat tujuan.”
“Oh, baiklah.”
“Kalo begitu, aku harus mengurus yang lain. See you. Assalamualaikum.”
Amina tersenyum kecil, begitu temannya itu pergi. Ia lalu mengambil wadah makanan dan diam-diam membuangnya keluar jendela setelah memastikan temannya itu tidak akan datang lagi.
“Maaf, jika lama. Makanlah. Kau pasti lapar. Selamat makan.” Amina tersenyum kecut.
“Kau tahu, aku akan kembali ke sana dan aku sangat cemas...”
**
Sejak tadi Zahra sibuk menyusuri tiap rak buku di perpustakaan. Mata gadis itu bergerak lincah, memperhatikan dengan seksama setiap buku guna mencari buku yang sejak dua jam tadi ia cari.
Sarah dan Kerly ikut menemani, tentu saja bukan untuk membaca atau repot-repot menyusuri rak bersama Zahra. Keduanya sibuk ‘ckrek..’ sana-sini. Berbagai gaya foto sudah mereka lakukan, bergaya ala anak kutu buku yang sangat suka membaca, bergaya seperti seorang model membaca buku yang terlihat anggun dan elegan. Sampai gaya anak kecil yang riang mengacak buku di atas meja. Semua sudah mereka lakukan, tapi Zahra masih saja belum menemukan apa yang ia cari.
Zahra menghela nafas panjang. Ia lelah.
“Zahr, udah belum sih? “bisik Kerly. Di perpustakaan tidak boleh berteriak, jika boleh mungkin Kerly sudah meneriaki Zahra sejak tadi.
Zahra menggeleng pelan. Dengan lesu ia kembali ke meja yang sejak tadi di duduki Kerly dan Sarah.
“Ya udah, berarti gak ada buku di sini. Entar kita beli aja, Zahr. Gak usah sedih gitu dong,” hibur Kerly.
Sarah mengangguk setuju. Ia mengarahkan kamera ponsel pada Zahra.
‘Ckrek.’
Sarah tertawa. Pose Zahra sudah seperti model ala-ala candid.
“Hem. Tapi perasaan aku pernah liat deh buku itu di sini.”
“Mungkin ada yang pinjam. Makanya gak ada.”
“Huft... “ Zahra menjatuhkan punggung di senderan kursi. “Kalian mau balik ke kelas? “
“Iya nih. Ponsel gue lowbat,” jawab Sarah.
“Ya udah kalian duluan aja ke kelas. Aku entar deh, masih mau di perpustakaan. Mau baca-baca n****+ bentar di sini. “
“Beneran gak papa kita tinggal? “tanya Kerly.
“Beneran.” Zahra mengangguk pelan.
“Oke kalo gitu. Kita balik ke kelas ya, Zahr. See...”
Zahra masih mengamati rak buku. Sebenarnya ia masih belum puas untuk mencari buku itu. Zahra kembali beranjak dari kursinya.
“Bu, buku yang kemarin tentang geografi istimewa ada yang pinjam ya, Bu? “ Zahra menghampiri guru penjaga perpustakaan.
“Emang kenapa?”
“Saya butuh buku itu buat memperdalam wawasan saya, Bu. Besok ada persentasi, Bu.”
“Oh.” Wanita paru baya itu mengangguk pelan. “Ya udah, kamu cek aja di buku ini.” Wanita itu memberikan buku catatan perpustakaan.
Zahra riang bukan main, tanpa banyak ba-bi-bu, Zahra langsung menyusuri setiap nama peminjam tiga hari yang lalu. Batas waktu pinjam buku di perpustakaan hanya tiga hari dan maksimal meminjam dua kali untuk buku yang sama hal ini di lakukan agar satu buku tidak di hanya di baca satu siswa tapi seluruhnya.
Dan menurut Zahra, kemungkinan besar pinjam buku itu berada di pekan ketiga dan pekan ke empat. Tapi ternyata dugaannya salah.... tidak ada yang meminjam buku yang Zahra cari.
“Ketemu siapan yang pinjam? “ tanya bu guru yang sejak tadi sibuk mencatat stok buku yang baru masuk.
“Belum, Bu,” jawab Zahra, lesu. “Kayaknya gak ada yang pinjam, Bu.”
“Kalo gak ada yang pinjam, berarti kemungkinan ada di kardus. Kemarin pas ada renovasi, banyak buku yang di pindahkan dulu ke kardus biar gak rusak. Kardusnya ada di gudang perpus, ibu belum sempat buat keluarin. Coba kamu cek di sana.”
“Iya, bu. Terimakasih sebelumnya.”
“Iya.”
“ Eh, Kelvin. Ngapai dia di sini? “
Zahra hendak mendekati Kelvin tapi namanya tiba-tiba di panggil guru penjaga perpustakaan. Zahra berbalik.
“Tolong, bantu ibu buat tutup sedikit gordennya.”
Zahra kembali melihat kearah di mana ia melihat Kelvin. Kelvin sudah tidak ada di sana. Zahra langsung menyetuju permintaan bu guru. Ia beralih ke jendela perpustakaan yang terletak sedikit tinggi dari tubuh Zahra, Zahra harus menggunakan kursi untuk meraih jendela kaca.
Zahra melihat ke arah luar. Ada Ilham terlihat marah pada seekor kucing. Zahra tertarik rasa penasaran, ia mengamati Ilham. Ilham tiba-tiba memukul kucing itu. Zahra kaget.
“Dia kenapa? “ gumam Zahra.
Zahra dongkol dan langsung menutup gorden. “Ternyata dia tidak sebaik yang aku kira.”
.
.
“Hust... kamu tidak akan bisa menipu saya. Pergilah! “
“Meow ....”
***
“Mau ke mana, Dek? “
“Mau ke kajian, Kak.”
“Malam-malam gini. Entar pulangnya bisa jam 12 malam. Kamu mau pergi sendirian ?”
“Tergantung. Kakak mau ikut gak? Aku udah izin sama Mama, kata Mama gak papa. Soalnya aku gak pulang, mau nginep di rumah temen mama yang kebetulan dekat situ.”
“Oh... ya udah kakak juga ikut deh. Nemenin kamu sekali cari ilmu.”
“Tumben, Lo gak malas gerak kak? Kesambet jin apa? “
“Ckck..” Zahra berdecak. “Jangan sebut jin!”
“Sensitif banget sih. Udah sana kak, siap-siap.”
“Oke.”
Zahra langsung kembali ke kamarnya yang berseberangan dengan kamar Maryam. Tidak butuh waktu lama, Zahra sudah selesai. Ia memilih memakai gamis hitam dan Jilbab senada. Zahra juga memakai masker untuk mengantikan peran cadar.
“Kenapa pakai hitam-hitam gini, Kak? “ bingung Maryam.
“Biar gak mencolok aja.”
Keduanya lalu pergi. Tempatnya lumayan jauh dari rumah bulek. Mereka naik taksi agar lebih aman. Taksi mengantar mereka ke acara tempat berlangsungnya kajian. Kajian itu diadakan di lapangan terbuka, sehingga banyak sekali yang datang, baik akhwat atau pun ikhwan. Di tengah-tengah ada sebuah triplek pembatas antara akhwat dan ikhwan agar tidak terjadi campur baur.
Acara berlangsung dengan khitmad. Kajiannya tidak hanya di isi oleh satu ulama tapi banyak ulama hebat yang juga menyampaikan dakwahnya. Udara malam yang dingin sama sekali tidak memadamkan semangat semua orang, termasuk Zahra dan Maryam, semakin larut acara semakin khidmat yang mereka rasakan. Tepat pukul dua belas malam, acara selesai di tutup dengan doa dan shalawat bersama. Rasanya Zahra tidak ingin beranjak dari sana. Ia masih ingin terus menikmati kelezatan makanan rohani.
“Kak, kita harus pulang ke rumah. “
“Loh, kenapa, Yam? “
“Kak, tiba-tiba aja, guru aku minta besok semua murid harus datang ke sekolah. Semua harus datang khususnya sekretaris kelas.”
“Ya udahlah. Besok pagi kita pulang. Habis subuh besok, kita pulang. Sekarang udah malam, kita gak mungkin pulang ke rumah sejauh itu.”
“Nah, makanya kak. Kita gak bisa pulang besok pagi. Kakak tahu sendirian di Jakarta itu rawan macet apa lagi kalo pagi. Sedangkan pertemuan kami itu jam tujuh pagi. Gak keburu tahu, Kak.. “
“Tapi Dek bahaya kalo kita pulang jam segini. Kita ini cewek loh, Dek. Serem kalo terjadi apa-apa di jalan.”
“Kitakan naik taksi ini, Kak. Bisa minta anter sampai depan rumah. Apanya yang bahaya ?” kata Maryam menyakinkan. “Setujukan, Kak... Pliss.... “
“Ya udah... ayo pulang. Entar malam makin kelamaan.”
Maryam tersenyum puas. Mereka langsung pulang menggunakan taksi.
Zahra menatap jendela mobil. Masih banyak kendaraan lalu-lalang yang menghiasi kota Jakarta. Jakarta memang kota yang tidak pernah tidur. Meski tengah malam, di jalan tetap ramai dipenuhi kendaraan lalu lintas.
“Kak, aku ngantuk deh. Aku tidur bentar ya, kak. Kalo dah sampai bangunin.” Maryam menutup mulutnya yang hendak menguap.
“Iya.”
Taksi yang Zahra naiki melaju dengan kecepatan normal. Semua berjalan lancar, mereka hampir sampai ke rumah. Taksi tiba-tiba oleng. Mobil itu menepi.
“Maaf, Neng. Kayaknya ban pecah deh, kena ranjau.”
“Terus gimana, pak? “ tanya Zahra bingung.
“Hem. Mana bengkelnya jauh lagi dari sini.”
“Kenapa kak? “ Maryam mengucek pelan matanya.
“Ban pecah, Dek.”
“Astagfirullah, terus gimana dong, Kak?”
“Gak, tahu.”
“Gak terlalu jauh sih Kak kalo jalan.”
“Tapi ini udah malam, Dek. Gak aman kalo jalan. Kita tunggu sampai mobilnya di benerin aja.”
“Ihh... lama tahu, Kak. Entar malam makin malam. Kita jalan aja yuk. Lewat jalan desa aja biar gak sepi banget.”
“Hem. Tapi...”
“Ayolah, Kak... “
“Ya udah deh...”
Lagi-lagi Zahra mengalah pada keinginan Maryam. Zahra tahu ini bereskio tapi dia selalu sulit untuk menolak keinginan sepupunya itu.
“Dek, kenapa tiba-tiba diam? “
Maryam refleks menggigit bibir bawahnya. “Maaf, Kak. Aku baru ingat satu hal.”
Pasti berita buruk—batin Zahra. Jantungnya refleks saja langsung berdegup kencang.
“Akhir-akhir ini para penduduk sering melihat penampakan, seseorang yang lari dengan sangat cepat. Beberapa juga melihat penampakan itu mengambil hewan peliharaan mereka,” bisik Maryam.
Zahra cemas mendengar hal itu. Tapi ia berusaha untuk tetap terlihat tenang. Meski lewat jalan desa, malam tetaplah malam, di desa karena banyak penampakan membuat warga desa takut untuk keluar malam. Alhasil jalan desa lebih sepi dari jalan komplek. Tidak ada satu orang pun yang mereka temui. Bahkan para peronda yang biasanya ada di pos penjaga juga tidak ada di sana.
Maryam sudah membisu seribu bahasa. Gadis itu mempercepat langkahnya. Zahra mengimbangi langkah Maryam. Dalam hati Zahra terus berdoa.
“Kak,” lirih Maryam. “Aku mendengar ada langkah kaki di belakang kita. Kakak, dengar juga ?”
Zahra mengangguk pelan, mengiyakan pertanyaan Maryam. “Tenang...jangan lupa berdoa. Allah lah sebaik-baiknya pelindung.”
Maryam mengangguk kaku. Mereka makin mempercepat ritme langkahnya. Derap langkah kaki yang terdengar samar, kini terdengar makin jelas di telinga keduanya. Wajah Maryam seketika pucat. Ia tegang dan tidak berani menoleh ke belakang.
“Maryam, dengar. Saat kakak bilang lari. Kamu harus lari ke kanan. Kakak akan mengeco. Oke.”
“Tapi Kak. Aku gak mungkin ninggalin kakak! “
“Maryam! Jangan keras kepala. Kamu harus pergi ke sana. Kamu harus minta bantuan orang lain. Kamu lari bukan buat nyelametin diri kamu sendiri, tapi juga menyelamatkan diri kita. Kamu ngerti!” bisik Zahra.
Maryam mengangguk.
Derap langkah itu, semakin mendekat.
Srak..
Srak...
Jantung Maryam berdegup tidak karuan, tangannya keringat dingin.
“Dek... “ Zahra melemparkan tatapan aba-aba.
Maryam mengangguk kaku.
“Lari! “ seru Zahra.
Maryam langsung berlari kencang ke kanan, meninggalkan Zahra yang sekarang juga tengah berlari. Maryam selamat. Zahra kini yang dalam bahaya. Zahra menoleh ke belakang. Ia melihat taring menyundul dari sosok yang mengikuti mereka, di tangannya ada sebuah kapak. Mata Zarah terbelalak ia teringat sosok berjubah hitam yang telah membunuh kedua orang tuanya. Dia sosok yang sama, sosok berjubah hitam yang telah membunuh kedua orang tuanya.
“Dia.... “
Ingat malam itu, berdatangan membuat lutut Zarah gemetar, kepalanya terasa pusing, tubuh Zahra terasa kaku untuk digerakan. Zahra menoleh dan sosok itu sudah ada tepat di belakangnya. Sosok itu mengangkat kapaknya di hadapan Zarah, Zarah terhempas ke tanah saat mundur ketakutan.
“Ya Allah, tolong hamba... “ lirih Zahra.
Tiba-tiba sosok berjubah itu terpental saat hendak menjatuhkan kapaknya pada Zahra. Ada sesuatu yang bergerak cepat dan menghempasnya menjauh dari Zahra.
Zahra terisak. Ia memeluk lututnya, ketakutan.
“Kak Zahra... “ Maryam langsung memeluk Zahra. Maryam datang bersama warga untuk menolong Zarah.
.
.
“Maaf, Ma.. mama jangan nangis lagi dong.”
“Bulek.” Zahra meraih tangan bulek. “Alhamdulillah Zahra dan Maryam baik-baik saja.”
Bulek menatap tajam Zahra dan putrinya. “Kalian tuh ya, iya alhamdulillah kalian baik-baik sekarang. Gimana kalo tadi, kalian kenapa-napa! Kalian gak baik-baik aja...gimana ?”
“Mama udah ngelarang kamu buat pulang malam, Maryam! Makanya Mama ceritain kabar itu sama kamu! Kamu tahukan kita baru aja kehilangan kita, orang tua Zahra. Kamu mau juga kehilangan Zahra? Kamu tahukan, di luar itu masih belum aman buat Zahra! Pelakunya masih belum ditangkap! Dan tadi...,” bulek terisak.
Maryam diselimuti perasaan bersalah, Zahra memeluk Maryam untuk menghilangkan rasa sedihnya. “Semua ini bukan kesalahan kamu saja. Seharusnya sebagai kakak, aku lebih berpikir matang.”
“Kak, maafin gue. Gue salah. Mama benar, seharusnya gue gak maksa buat pulang... “
“Maafin kakak juga.”
“Sekarang lebih, baik kalian tidur. Kita bicarakan semua besok pagi.” Bulek beranjak dari sofa. Ia kembali ke kamar dengan suara tangis yang masih terdengar.
Zahra merasa bersalah. Ia tidak bisa tidur. Maryam sudah tertidur setelah lelah menangis, sesekali dalam tidurnya masih terdengar suara tangis.
Zahra beranjak dari kasur, ia pergi ke dapur untuk mengambil air minum. Zarah melihat bayangan yang berlari cepat di luar dari gorden, Zarah menyimbak gorden.
“Kelvin...”
“Zahra. Maaf, jika mrnganggu kamu. Tapi saya mengkhawatirkan keadaan kamu.”
“Terima kasih karena Kelvin tadi telah menolong saya tadi. Bayangan yang mendorong sosok jubah hitam itu pasti kamu kam? “
“Kenapa kamu belum tidur? “
“Belum bisa. Saya merasa cemas. Siapa sosok itu? Kenapa dia membunuh Umi dan abi?“
“Saya pernah dengar katanya dzikir bisa menenangkan hati. Dan kamu juga bisa melaksanakan salat tahajud di jam segini. Bukankah salat tahajud adalah ibadah yang paling dengan Allah ? Mungkin hati kamu akan tenang setelah itu.”
“Dari mana kamu tahu? “
“ Saya jin yang telah hidup lama, jelas saya juga tahu akan hal itu meski belum mengimaninya.”
“Jika kamu sudah mempelajarinya semua itu lalu hal apa yang menghalangimu untuk beriman kepada Allah ?”
**