***
“Ya Allah, hamba adalah makhluk yang engkau ciptakan untuk beribadah padamu. Ya Allah, hamba telah lama meninggalkanmu. Ya Allah, bantu hamba kembali kepadamu.”
Ia berpaling matanya berkaca-kaca menjauh pergi dari sana.
“Dari mana kamu ?” seru suara itu menghentikan langkahnya.
“Sejak kapan kamu peduli? “
“Hey! Ingat saya akan selalu mengawasimu! Jangan lupa batasamu! Kau akan celaka jika mengambil langkah itu! “
“Saya tidak peduli! “
“Kamu harus peduli! Akan banyak siksaan atas pengkhianatanmu ini! Iblis tidak akan membiarkanmu! “
“Saya tidak peduli! Inilah jalan yang akan saya pilih!”
“Cintamu memang buta! “
***
“Ustadz akan cerita mengenai kisah setan dan penebang pohon yang beriman. Siapa yang mau mendengarkan?”
“Saya, Ustadz...” sahut satu santri disusul suara santri lain yang terdengar riuh. Mereka bahkan sampai mengangkat tangannya dengan heboh. Suara mereka memenuhi mushola.
“Jadi.... “kata Ilham, pelan. Namun mampu membuat semua santri secara spontan diam dan menyimak.
Ilham mulai bercerita,
“Ibn Al Jawzi menceritakan kisah ini, tentang seseorang yang tinggal di sebuah kota dan orang-orang yang tinggal di kota itu menyembah sebuah pohon. Mereka berkata bahwa pohon itu adalah dewa. Mereka bersujud, menyembah dan bertawaf mengelilinginya. Mereka memberi sesajen dan melakukan banyak hal buruk lainnya. Ini syirik, ini perbuatan yang amat Allah benci. Dosa besar setelah murtad. “
“Lalu ada seorang pemuda. Ia pemuda yang taat beribadah. Sebagai orang yang beriman dia ingin menumpas kesyirikan. Namun untuk menghindari keributan pemuda ini berencana untuk menebang pohon itu di malam hari saat semua orang tertidur.
“Begitu malam tiba, pemuda itu membawa kapak untuk menebang pohon. Lalu iblis datang dengan menyamar menjadi manusia, dan menghalangi pemuda itu.
“Mau ke mana kamu? “
“Saya akan menebang pohon.”
“Tidak boleh.”
“Saya akan lakukan.”
“Tidak.”
Pemuda itu tetap teguh pada niatnya untuk menebang pohon dengan niat Lillahitaallah, lalu terjadilah perkelahian antara pemuda ini dengan iblis yang menyamar menjadi manusia. Iblis kalah, di buat babak belur. Pemuda itu menang berkat ridho Allah SWT.
Iblis tidak kehabisan akal, ia mencari tipu daya lain untuk menghentikan pemuda beriman itu. Iblis membujuk pria itu. Iya mengatakan,
“Kau benar, penduduk di sini sudah terpuruk dalam kesyirikan. Mereka akan masuk ke dalam neraka. Kamu hanya akan menghabiskan waktu untuk menolong mereka. Lebih baik kamu kembali ke rumahmu, kamu tidak perlu berkerja. Saya akan memberi mu dua dinar setiap hari di pagi dan sore hari. Kamu bisa fokus beribadah kepada Allah SWT. Buat apa kamu memikirkan mereka?”
Pemuda ini mulai termakan tipu daya. Pemuda itu berpikir, ia membenarkan tipu muslihat iblis. Ia akhirnya pulang ke rumahnya dan tidak jadi menebang pohon. Keesokannya, pemuda itu melihat ada dua koin dinnar seperti yang dijanjikan, di pagi hari. Dua hari berturut-turut pemuda itu mendapat dua koin dinnar. Di hari ketiga, pemuda itu tidak menemukan dinnar lagi, ia kecewa, karena telah diikari.
“Oke, malam ini saya akan menebang pohon itu! “
Di malam hari, pemuda itu membawa kapaknya kembali. Ia hendak menebang pohon itu lagi. Lalu datanglah iblis yang kembali menyamar menjadi manusia. Ia menghalangi pemuda itu.
“Mau ke mana kamu? “
“Aku akan menebang pohon itu.”
“Tidak! Jangan! “
“Saya akan lakukan! “
“Jangan! “
“Aku harus! “
Pemuda itu kekeh ingin menebang pohon. Lalu kembali terjadi perkelahian seperti malam itu.
“Dan siapa yang menang? “
“Kali ini iblis, pemenangnya. Pemuda itu babak belur. Ia kalah.
“Kenapa saya kalah? Dipertarungan pertama, saya mengalahkanmu dan dipertarungan ini kamu mengalahkanku? “
Pemuda itu bingung, ia terheran-heran.
Iblis tersenyum lebar. Iblis menjawab.
“Dipertarungan pertama kau melakukannya karena Allah SWT, tapi kali ini kamu melakukannya karena dua dinar. Maka kau kalah! “
“Dari kisah ini, kita tahu bahwa kita bisa mengalahkan Iblis jika kau taat dan bertawakal kepada Allah SWT.
Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, kamu tidak dapat berkuasa atas mereka. Dan cukuplah Tuhan-mu sebagai Penjaga.” (QS. Al Isra’: 65).
.
.
“Inilah letak berbedanya antara alih ibadah dengan orang yang berilmu. Orang berilmu memiliki banyak kesempatan untuk menjadikan setiap kegiatannya menjadi ibadah. Orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu oleh tipu daya iblis. Iblis penuh dengan tipu daya. Ia menyihir batu seolah terlihat seperti emas. “
“Matur suhun pak kiyai.”
“Ingat nak, iblis punya banyak muslihat. Termasuk membuat jahat terlihat baik. Jangan sampai kamu terlena akan hal itu.”
***
“Mau ke mana kamu? “
Amina menoleh. Ia tersenyum simpul. “Hanya ingin berkunjung ke suatu tempat.”
“Mau ke mana? “ gadis berwajah oriental itu memutar bola matanya. Setahunya Amina sangat jarang untuk menjelajah tempat yang mereka datangi. Ini kali pertama ia hendak pergi ke luar.
“Ayolah, jangan penuh rahasia seperti ini! Kita sudah bersama-sama sudah lama tapi aku tidak pernah mengenalimu sedikit pun! Kau seperti puzzel yang hilang satu kotak.”
Amina tersenyum. “Kalo begitu, kau boleh ikut bersamaku.”
“Hem, aku berminat sebenarnya. Tapi ah, calon dokter gizi ini terlalu lelah.”
“Sudah kuduga.” Amina berbalik. “Aku pergi dulu.”
“Amina, jangan lupa di sini ada acara menyambut kedatangan rombongan kita. Jangan lama-lama pergi oke.”
Amina mengangkat tangannya membentuk isyarat ‘Oke'.
“Huft.. jika saja aku tidak lelah, aku pasti akan ikut bersamanya. Dia tidak bisa dipercaya dengan mudah.”
Amina mendengar keluhan itu. Ia belum berjalan terlalu jauh dari sana. Dan temannya juga memang sengaja mengatakan hal itu agar ia mendengarnya. Amina tersenyum simpul.
Tempat ini tidak berubah. Seperti sama saja sejak sepuluh tahun yang lalu. Amina bahkan seperti dipeluk udara. Ia menikmati udara ini.
“Amina ini berbahaya! Kenapa kamu terlibat hal ini, Nak! “
“Papa...”
“Kamu harus pergi dari sini atau nyawamu bisa terancam! “
“Tapi, Amina tidak ingin meninggalkan papa dan mama.”
Amina mendengus. Dengan mata terbuka, semua itu datang! Kenangan itu tidak hanya mengusik tidurnya tapi juga mengusik kehidupannya. Bahkan saat ia membuka mata dalam keadaan sadarnya! Semua itu! Itu menyakitkannya.
“Jangan pikirkan kami, Nak. Pikirkan saja dirimu.”
“Tapi, Ma... “
“Ayo Amina, kamu harus pergi sekarang.”
“Argh.....,” teriak Amina. Ia langsung menutup kedua telinganya dengan tangannya.
Amina terduduk di tengah jalan. Suara bising motor sahut-menyahut, mendengung di telinga Amina. Hampir saja ada kecelakaan karena Amina. Semua kendaraan kaget dan berhenti mendadak.
“Hey, Nona! Ada apa denganmu !”
Amina mendongak, matanya berlinang air mata. Ia memaksa tubuhnya untuk bergerak ke pinggir. Lututnya gemetar.
“HEY NONA!!! “
Teriakan itu membuat Amina ketakutan. Langkahnya berkali-kali tersandung di aspal. Orang-orang bukannya iba, malah semakin marah. Mereka terlalu terburu-buru dan tidak ingin ada penghambat. Mereka melihat Amina hanya sekedar orang gila.
“Mama, papa... “ Isak Amina. Ia ketakutan. Amina berlari semampunya. “K-ke mana...ke mana aku harus pergi. S-semua menakutkan! Ma, Pa,” racau Amina tidak jelas.
“Kak, kalo kakak sedih, kakak bisa ke rumah pohon...”
“Rumah pohon?”
“Rumah pohon. Yah. Rumah pohon.”
.
.
“Kak Amina... “ Suara Zahra terhenti. “Kakak pulang?” suara Zahra tertelan. Ia tidak percaya apa yang ia lihat. Apa ini mimpi? Zahra mencubit pelan tangannya. Ia merasakan sakit. Ini bukan mimpi. Zahra mendekat. Matanya berkaca-kaca.
“Kak...?”
“Zahra, kamu masih ingat, Kakak? “
Zahra mengangguk. “Kapan kakak pulang? Sudah lama? Kenapa tidak menemui Zahra ?”
“K-Kakak baru saja pulang. Maaf tidak mengunjungi. Kakak akan berkunjung ke rumah kamu.”
“Kak, sudah banyak yang terjadi. Zahra tidak lagi tinggal di rumah itu. Zahra sekarang tinggal bersama Bulek. Rumahnya tidak jauh dari rumah Zahra dulu.”
“Oh ya, kakak lupa.” Amina mengangkat kepalanya. “Maafkan kakak, kak jadi membuatmu sedih. Tidak seharusnya kakak membahas mengenai ini. Kamu pasti masih terluka mengenai kematian kedua orang tuamu.”
“Kakak sudah tahu abi dan umi meninggal dunia?”
“H-hem. Iya.”
“Siapa yang memberi tahu, Kakak? “
“H-hem, itu... “
“Ya Allah, tangan Kakak kenapa? Kenapa luka semua? “
“Ehm, tadi, pas di jalan, pas ke sini, hem, jatuh .”
“Ya Allah, Kak...” Zahra langsung membimbing Amina untuk duduk di batang kayu yang sudah tumbang.
“Aku gak bawa plaster atau obat apa pun. Tapi setahu ada beberapa rumput yang bisa dibuat jadi obat. Lumayan buat berhenti darah yang keluar.”
“Tidak perlu, Zahr. Sudahlah. Ini hanya luka kecil.”
“Tidak masalah, Kak. Hanya pertolongan kecil. Kakak tunggu di sini ya.”
“Zahr... !”
“Kak, bahaya kalo darah keluar terus. Sedikit-dikit menjadi bukitkan? Gimana kalo tahu-tahu darah kakak, habis? “
Amina tertawa. “Baiklah. Ternyata kamu masih Zahra yang dulu, tidak berubah. Masih keras kepala.”
“Kakak, tunggu di sini.”
“Zahr, jangan masuk hutan terlalu dalam. Di sana berbahaya ada banyak...” Amina terdiam. “Takut ada hewan buas,” sambungnya.
Zahra mengangguk dan pergi.
Amina menatap sekitar. Tiba-tiba ada angin kencang menerpa jilbabnya.
“Amina.”
Amina tersenyum. “Lama tidak bertemu.”
“Ya...”
“Terima kasih, karena sudah menjaga tempat ini.”
“Ya.”
“Bagaimana keadaanmu ?”
“Entahlah. Kenapa kamu kembali? “
“Karena ini sudah waktunya. Bersabarlah...”
“Saya harap semua ini segera berakhir.”
“Semua akan berakhir. Rencana kita, sudah berjalan.”
“Saya harus pergi sekarang.”
Amina tersenyum miring. “Kita akan akhiri semua ini.”
“Kak...,” panggil Zahra. Gadis itu membawa selembar daun kering di tangannya. “Aku sudah selesai meracik obatnya, untung Abi dulu sudah mengajarkannya, kak. Memang ala kadarnya, tapi insyallah ini akan sedikit membantu. Sini tangan Kakak, biar lukanya aku olesin ini.”
Amina mengulurkan tangannya ke arah Zahra. Dengan telaten Zahra mengobati luka gores di tangan Amina. Amina beberapa kali meringgis , sebagai respon atas rasa sakit lukanya yang beradu dengan daun yang Zahra racik.
“Sudah selesai,” kata Zahra, lega.
“Apa setelah ini kita bisa naik ke atas? Sudah lama kakak tidak masuk ke rumah pohon.”
“Ya, Kak. Aku juga sudah lama tidak naik ke atas."
“Kak....” panggil Zahra, menghentikan langkah Amina untuk naik ke rumah pohon.
“Kenapa? “ tanya Amina bingung. Zahra masih belum menaiki tangga. Dan malah menatap Amina dengan alis naik ke atas.
“Kakak, Lupa? “
“Lupa? “ Amina mengernyit bingung. “Apa yang dilupakan? “
Zahra tersenyum. “Doa.”
“Kita biasanya aja doa dulu sebelum naik ke atas. Itu peraturan yang kakak buatkan? “
Amina tertegun. Ia turun dari tangga. Berdiri, sejajar dengan Zahra.
“Ayo, mulai.”
“Mulai? “ lagi-lagi Zahra menatap Amina dengan dahi berlipat, di tambah seluas senyum tertahan.
“Apa lagi? “ bingung Amina.
“Biasanya kan, Kakak yang baca.”
“H-hem. Untuk hari ini, kamu saja.”
“Loh? Jangan bilang, kakak lupa? “ Zahra memicingkan matanya. Ia tertawa melihat respons Amina yang seolah maling yang tertangkap basah.
“Baiklah. Hari ini aku yang akan baca.”
Amina menutup mata, saat Zahra melafadzkan doa. Lalu mengusap wajahnya begitu Zahra mengatakan Aamiin.
“Sekarang boleh naik ke atas? “
Zahra tertawa kecil dan mengangguk. Keduanya lalu masuk ke dalam rumah pohon itu.
“Kak, di mana kakak tinggal sekarang? Di sini, kakak menginap di mana? “
“Kakak masih mondok. Dan di sini, kakak hanya dua bulan.”
“Kak, aku pernah dengar kabar kedua orang tua kakak kecelakaan? “
Amina terkesiap mendengar pertanyaan itu. Zahra melihat raut wajah Amina yang berubah. Zahra jadi merasa bersalah.
“Kak, maaf, tidak seharusnya, aku membahas ini.”
“Tidak masalah.” Amina tersenyum, kaku. “Apa yang kamu dengar benar. Kedua orang tua kakak, sama seperti kedua orang tuamu.”
“Ha? “
“Kata orang mereka kecelakaan. Bukti terlihat seperti itu.”
“Kak.” Zahra menyentuh tangan Amina, menyalurkan kekuatan dan semangat pada Amina. “La tahzan. Allah bersama orang-orang yang sabar. Insyallah.”
Amina tersenyum kecut. Ia melepas pelan tangan Zahra dari tangannya. “Terima kasih.”
Zahra balas tersenyum. “Jadi sekarang kakak sibuk apa aja? “
“Entahlah.” Amina menatap kosong. “Dunia ini penuh tanda tanya hingga aku terlalu sibuk mencari jawaban atas semua pertanyaan.”
“Sebenarnya pertanyaan seperti apa yang sedang kakak cari? “
.
.