Jangan dekat!

1583 Kata
“Kak, temenin beli jilbab yuk..” “Mager.” “Ayo dong, Kak. Pliss... “ “Ya udah, mau ke mana? “ “Tokoh muslimah di pengkolan depan aja. Kita ke sana pakai motor aja. Kakak yang bawa motor. Oke.” “Yap. Jangan lupa pakain helm.” “Sip. Aku ambil dulu. Dua helmnya.” Zahra memilih diam selama mengendarai motor. Maryam juga melakukan hal itu, dia tidak ingin Zahra menjadi tidak fokus mengendarai motor. Keduanya sampai di toko, Maryam segera berhambur masuk ke toko meninggalkan Zarah. “Aku duluan ya, Kak.. nanti kita ketemuan di kasir ya, Kak.” Maryam langsung berhamburan masuk ke dalam toko meninggalkan Zarah. Gadis itu amat antusias hingga tidak sabar menunggu Zarah memakirkan motornya. Dua menit berikutnya, Zarah menyusul Maryam. Zarah melihat-lihat gamis dan pernak-pernik jilbab, ia tertarik untuk menyusuri varian koleksi hijab, Zarah menyusuri, mencari jilbab yang mampu menarik perhatiannya. “Mbak, ini harganya berapa ? “ Zarah menengok, ia seperti mengenal suara itu dan benar saja Kelvin pemilik suara itu. Pria itu tengah memegang sarung dan peci di tangannya. Zarah memperhatikan dalam diam, hingga orang yang Zahra perhatian itu berjalan menjauh, menuju kasir. Membayar semua itu dan pergi. “Buat apa Jin itu peci dan sarung? “gumam Zarah. “Kak, dari tadi aku nungguin Kakak. Ternyata Kakak di sini. “ Maryam langsung menggandeng tangan Zarah, tanpa berniat meminta izin terlebih dahulu pada Zahra. “Yuk, kak, kita pulang dah lapar. Kangen masakan Mama,” desak Maryam, merasa Zahra tidak mengindahkan ajakannya. Zahra mengembalikan fokusnya, lalu mengangguk setuju. Keduanya langsung pulang. “Kak, besok-besok, kita belanja di sana aja yuk, Kak. Mbak-mbaknya baik dan ramah juga. Selain itu harga gamisnya ekonomis tapi tetap modis banget sesuai untuk kantong pelajar. Kakak tadi liatkan gamis-gamisnya ?” “Iya, liat beberapa.” “Baguskan ya.. “ “Iya. Janji temenin aku ke sana lagi, minggu depan.” “Insyallah... “ “Oh iya, Kak. Mama bentar lagi Ulangan Tahun. Aku pengen beliin gamis buat Mama. “ “Ide bagus. Entar kita patungan aja gimana? “ “Setuju. Kita buat kue juga yuk, Kak. Brownis cokelat, Mama suka banget, topingnya parutan keju dan cokelat. Best bangetkan.” “Asstagfirulllah... “ ucap Zarah tiba-tiba. Motor berhenti di tengah jalan. Terdengar suara letupan pelan pada ban motor Zarah. “Kenapa Kak? “Maryam langsung turun dari motor. “Ya Allah, ban motornya pecah.” “Ya Allah, terus gimana Kakak? “ “Bantui kakak dorong motornya ke tepi jalan, dek.” Keduanya lalu mendorong motor itu. “Tampal ban ada gak di dekat sini ya? “ tanya Zahra, bingung. Maryam mengangkat bahu, pertanda tidak tahu. “Bannya kena ranjau ya, Kak? “ “Iya, nih..” Zarah mengamati lebih dekat ban motornya. Jika di paksakan terus berjalan maka kerangka motor nya rusak. Motor ini salah satu kenangan-kenangan abi dan Umi yang Zarah miliki. “Au, panas banget di sini.. “gumam Maryam, wajah gadis itu merah bak tomat. Zarah jadi tidak tega. “Kamu pulang duluan aja. Naik angkot atau ojek online, biar Kakak pesenenin ojeknya.. “ “Eh, gak usah, Kak... masa gue mau ninggalin Lo sih. Gue bantuin ngurus motor dulu, baru kita pulang bareng.” “Udah, gak papa. Pulang aja.” “Idih. Ogah. Mana mau pulang, ninggalin Lo di sini. Entar kalo Lo di culik cogan gimana? Gak punya temen berantem lagi deh gue... “ Zahra terkekeh. “Apaan sih, Dek.” “Habisnya, Lo sih.. jangan paksa gue pulang.” “Iya, iya.. Bawel ihh.” “Terima kasih pujiannya, Kak.” Maryam tertawa. “Ya udah, kamu neduh gih di warung sana. Biar kakak cari caranya. Kamu kan suka pingsan kalo kelamaan kena sinar matahari, mana terik gini.” “Ih, itukan dulu Kak...” protes Maryam. “Wajah kamu udah pucat banget gitu, masih mau bilang kuat ? Udah sana, jangan protes muluk, deh bocah... “ “Gak mau...” “Zahra ...” Kedua saudara itu kompak menoleh ke sumber suara, meski hanya nama Zahra yang di panggil. “Siapa, Kak? “ bisik Maryam. Zahra menghela nafas panjang. “Temen sekelas.” “Oh temen kak Zahra, toh... “ Maryam manggut-manggut, di belakang Zahra. “Siapa namanya Kak? “ “Kenapa ada di sini? “tanya Zahra mengabaikan pertanyaan Maryam. “Apa kamu butuh bantuan saya? “ “Enggak per—“ “Iya, Kak. Ban motor kita pecah kena ranjau,” sela Maryam. Maryam tersenyum lebar. “ Kakak temennya kak Zahra kak? Aku Maryam, adik sepupunya Kak Zahra. Kalo kakak siapa namanya?” “Saya Kevin.” “Oh, kakak murid baru itu ya...?” “Dek, kamu kenal sama Ji—“ Hampir saja. “Kelvin.” Ralat Zahra. “Kenal dong kak. Orang satu sekolah tahu semua. Pasti Kakak gak pernah liat mading ya? “ “Emang ada apa? “ tanya Zahra bingung. Zahra memang jarang atau hampir tidak pernah melihat majalah dinding, alasannya ya, karena mading berada jauh dari kelasnya. Dan berada di lokasi yang jarang Zahra datangi. “Nama Kak Kelvin udah jadi tranding topik di mading. Katanya kak Kelvin bakal di jadiin salah satu kandidat prince buat drama pensi tahun ini.” “Ha? “ Zahra tidak habis pikir. Apakah semudah itu mendapat tempat di dunia hanya karena ‘Good Looking.’ Kenapa semua orang lebih mudah menerima mereka yang di anggap cakap dalam hal fisik. Tampan, seolah tolak ukur bahwa hatinya juga setampan wajahnya. Miris. Bagaimana bisa, fisik menjadi tolak ukur segumpal darah di dalam kalbu? Mereka tertipu. “Kak, bengong apa sih? “ tanya Maryam, menyadarkan Zahra dari lamunannya. “Zahr, biar saya bantuin,”kata Kelvin. Zahra hendak menggeleng untuk menolak, tapi aksinya gagal. Maryam sudah terlebih dahulu mengangguk beberapa kali bahkan tersenyum sangat lebar. “Alhamdulillah, akhirnya bisa pulang,” seru Maryam girang. Maryam menyekat keringat di dahinya. Gadis itu langsung tersenyum pada Zahra. “Wah, teman-teman kakak baik-baik semua ya. Kak Ilham, Kak Kelvin.” Kelvin mendengar nama Ilham dan berdeham pelan. “Zahr, biar motormu saya bawa ke bengkel dekat sini. Kalian bisa pulang naik ojek atau angkot. Kalo motornya udah selesai, nanti saya antar ke rumah kamu. Alamat rumah kamu di.. “ “Di jalan cempaka nomor lima,” sahut Maryam, cepat. Gadis itu mengibas-ngibaskan tangannya di udara, lalu tersenyum canggung. “Yuk Kak, pulang. Kak Kelvin, titip motornya ya. Terimakasih sebelumnya, Kak.” Maryam langsung menarik lengan Zahra, untuk menyeberang dan memberhentikan angkot. Zahra mengikut saja dan tidak lagi menoleh ke arah Kelvin. Kelvin menatap kepergian keduanya, terutama kepergian Zahra yang sedikit pun tidak berkata apapun. Benarkah kini ia sedang belajar seni menyakiti diri? Kelvin teringat perkataan Stefani. Entahlah. Kelvin tersenyum simpul, ia menyukai rasa sakit ini. “Sebuta itukah cinta, hingga membuat jin lupa diri.” Sepasang mata menatap dari jauh Kelvin yang berdiri di sisi motor dan Zahra yang baru saja naik angkot. “Kak, Kayaknya kakak gak akrab ya sama kak Kelvin?” tanya Maryam. Ia tahu jelas gerak-gerik Zahra jika ia tidak merasa nyaman. Zahra mengangguk sekilas. “Kenapa, kayaknya kak Kelvin baik deh.” “Hanya kayaknya.” Zahra menghela nafas panjang. “Lah terus nyatanya apa?” “Dek, percaya ada jin gak?” “Percayalah, Kak. Di Al-Quran kan ada.” “Dia jin.” “Serius? “ “Serius. Makanya jauh-jauh dari dia.” Maryam spontan tertawa. “Bisa aja Lo kak. Gak gitu juga konsepnya. Emang ada jin ganteng gitu ?” “Pokoknya jauh-jauh dari dia,” tegas Zahra, serius. “Iya. .iya.. bawel.” Zahra menghela nafas panjang. Ia sengaja memberitahu Maryam mengenai siapa ‘Kelvin’ agar jin itu tidak bisa mempengaruhi Maryam. Zahra tidak ingin terjadi hal buruk pada Maryam. *** “Kak, mau masak ya? “ “Iya. Kayaknya bulek lagi gak enak badan.” “Mau masak apa?” “Ayam goreng dan bening katu.” “Wah enak tuh, Kak. Aku bantuin ya.” “Gak usah. Kamu jagain bulek di kamar aja.” “Tapi Mama lagi tidur juga, Kak. Mending aku bantuin kakak, entar kalo cepat selesaikan, Mama bisa langsung makan dan minum obat.” Zahra menimbang perkataan Maryam. “Ya udah, yuk masak.” “Aiii captian.” Maryam dan Zarah berbagi perkerjaan. Maryam mencuci piring kotor, sedang Zarah fokus masak. Setelah selesai mencuci piring, Maryam juga membantu memotong-motong sayur. Sepuluh menit makanan telah terhidang di meja makan. “Wah, keliatan enak-enak banget, Kak. Gak sabar mau makan.” “Kalo gitu Kakak panggil bulek dulu ya.” “Oke Kak.” Zarah membuka pintu kamar bulek yang setengah terbuka. Zahra mengangkat kepalanya. Ada Stefani di sana. Stefani hendak mencakar bulek yang sedang tidur. Zahra berlari dan menghentikan tangan Stefani. Zahra menarik tangan Stefani, keluar dari kamar bulek. “Jin! Apa mau kamu, Ha!!! “ kesal Zahra. Ia menghempas keras tangan Stefani. Taring Stefani spontan terlihat. Ia menggeram kesakitan karena Zahra tadi mencekram tangannya dengan membaca doa. “Bulek sedang sakit, saya tidak ingin membuat bulek merasa cemas. Jadi pergilah dari sini! Jika tidak...kali ini saya tidak akan memaafkan kamu! “ Stefani menggeram. “Kamu akan menyesali perbuatan mu, Zahr! “ “PERGI!! “ Stefani meloncat keluar jendela. “Kak.” Maryam mengagetkan Zahra. “Mama belum bangun?” “Hem, belum.” “Aku banguni mama deh. Udah lapar nih. Kakak malah begong di situ aja, kayak abis liat vampire aja.” “Ha? Dari mana kamu tahu? “ “Ih, serius amat sih, Kak. Orang asal aja kok.” “Gak lucu!” ketus Zahra. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN