“Lagi ngapain sih, Zhr? Keliatan asik banget,” tanya Kerly yang sejak tadi sibuk dengan mie ayam yang mereka pesan. Zahra dan kedua sahabatnya sedang makan siang di kantin.
Zahra tersenyum.
“Lagi mulia artikel perbedaan setan dan iblis. Kalian tahu gak? “ Suasana kantin cukup ramai, namun Zahra tidak terusik sedikit pun. Ia tetap fokus pada layar gawainya. Jari-jemarinya bergerak lincah diatas layar ponsel. Hal ini karena isinya sedang mengalir jadi ia tidak terlalu terusik dengan ramainya sekitar.
“Bukannya sama aja ya,” jawab Kerly, polos. “Emang ada bedanya, yang gue tahunya pokoknya itu sama-sama jahat, biasanya gitu sih di film horor.”
“Beda tahu. Setan itu sifat sedangkan iblis itu nama. Nah setan, bisa juga dari golongan jin dan manusia. Setan sendiri artinya adalah menjauh. Jin dan manusia yang menjauh dari jalan dan kebenaran Allah SWT di kategorikan setan. Sedangkan iblis itu nama untuk jin yang membangkang pada Allah SWT.”
“Oh bedanya.” Kerly mengangguk kecil.
“Makanya kurangin deh nonton film horor. Bukannya apa-apa sih, tapi film horor suka berlebihan mengambarkan soal iblis dan kawan-kawannya. Kayak terlalu memuji mereka gitu. Iblis yang bisa menyelakai manusia, atas seizin Allah, apa hebatnya? Toh bahkan manusia yang dzolim juga bisa bunuh manusia, atas arifin Allah SWT. Semua itu bisa terjadi atas seizin Allah SWT. Film horor suka menabur stigma doktrit yang sadar gak sadar mempengaruhi alam bawa sadar manusia. Ujungnya apa, manusia jadi takut sama iblis, merasa tidak ada daya dan merasa iblis bisa berbuat apapun. Iblis gak sehebat itu, karena nyatanya manusia khlifah di dunia, jangan lupa itu...” Zahra tersenyum simpul.
“Zahr, Lo berantem sama anak IPA itu ada masalah apa sih? “ tanya Sarah yang baru saja selesai memesan minuman.
Zahra teringat mengenai perbuatan Stefani. Zahra memilih mengabaikan pertanyaan Sarah.
“Zar, apa hukumnya berantem dalam islam? “tanya Sarah lagi. Kali ini ia yakin akan mendapat respon Zahra. Dan benar saja, Zahra langsung melirik kearah Sarah, mengabaikan kenyamana gawenya.
Sarah tersenyum lebar. Strategi berhasil—batin Sarah girang.
“Dulu Lo bilang gak boleh berantem. Lo juga suruh gue baikkan sama tuh biang cabe,” sambung Sarah.
“Iya Zahra, biasanya Lo paling menghindari yang kayak gini. Bukannya Lo pernah bilang, kalo musuhan sama orang lebih dari tiga hari, gak nyium wangi surga,” tambah Kerly, ikut nimbrung. Ia greget menunggu jawaban Zahra.
Zahra menyimpan gawainya, entah kenapa sekarang ia jadi malas menulis lagi. Stuck. Ia terus teringat ulah Stefani yang mencari gara-gara, ditambah tadi pagi Zahra tidak sengaja melihat Stefani menangis di hadapan Ilham, Zahra dongkol akan tipu daya jin itu.
“Tapi kali ini beda,” sahut Zahra datar.
“Ha? Beda apa? “ Sarah makin penasaran.
“Mereka Itu musuh semua orang.” Lagi-lagi Zahra menyahut datar.
Kerly dan Sarah makin bingung.
“Apaan sih, princess muslimah.. Lo ngomong sepatah-sepatah. Buat otak gue kerja keras aja, udah siang nih, otak gue dah lelah bet,” protes Sarah, keki.
“Gue serius. Jangan dekat-dekat sama mereka, apa lagi mengikuti langkah-langkah setan.”
Hening. Zahra menunggu respon keduanya.
“Segitu bencinya Lo sama Kelvin,” gumam Sarah.
Kerly menepuk pelan bahu Zahra, seolah mengatakan bahwa ia akan mendukung Zahra dan memaklumi segalanya.
“Is oke, kita bakal terus ada buat Lo. Lo bisa cerita sama kita... Gue tahu Lo gak akan membenci tanpa alasan. Kita akan di sisi Lo. Tapi gue rasa dibenci apa pun Lo sama Kelvin, gak pantas Lo nyebut dia setan, itu kedengaran kasar. Gimana kalo ada anak lain yang dengar, kita gak suka kalo orang-orang bergosip tentang sahabat kami.”
Zahra mengerutkan dahi. Ia tidak salah berbicara. “Tapi Kelvin dan Stefani memang setan dari golongan jin. Mereka jin Kafir. Aku tahu itu karen—“
“Zahra.”
Kelvin tiba-tiba berdiri dihadapan meja Zahra. Ia menatap lurus pada Zahra, sedangkan Zahra sudah jelas membuang muka. Menghindari kontak mata dari jin itu.
“Zahra kita harus bicara.”
“Apa? Biarkan saja di sini,” jawab Zahra datar.
Terdengar suara hembusan nafas berat keluar dari mulut Kelvin. Kelvin membungkuk dan meletakan sesuatu di atas meja.
“Ini. Semua sudah benar. Maaf tidak bisa mengantarkan motornya ke rumahmu.”
Zahra mengenali benda itu. Itu kunci motor miliknya.
“Di mana? “
“Di bengkel dekat pengkolan itu.”
“Di mana ingin bicara? “
Kelvin menoleh. “Di depan perpustakaan.”
“Dua menit.” Zahra melangkah mendahului. Kelvin menatap kepergian Zahra.
“Ini sebenarnya kode apa sih? Apa coba maksudnya dua menit. Terus Kelvin diam aja di sini,” cicit Sarah tidak tahan mengometari apa yang sedang terjadi.
Kelvin masih mematung di tempatnya, bahkan saat Zahra benar-benar tidak terlihat lagi di sana.
“Gue berasa nonton drakor tapi kali ini suaranya di mute. Gak ngerti gue,” komentar Sarah lagi saat Kelvin mulai melangkah, menyusuri jalan yang Zahra tadi lewati.
“Udahlah, minum tuh es Lo. Dah cair.”
“Eh, iya, ya ampun. Lupa dah gue gara-gara semua ini.” Sarah heboh sendiri. Terkadang menurut Kerly, Sarah sebelas-dua belas sejenis Willy. Bedanya, kadang Sarah normal dan Willy enggak. Bercanda Willy....
“Stop di situ.” Zahra menghentikan langkah Kelvin. Kelvin berdiri sejauh lima belas langkah kaki dari Zahra.
“Zahr, kenapa kamu tidak menepati janji? “
Zahra mengerutkan kening. Berusaha terlihat mencerna perkataan Kelvin. Ia tahu arah pembicaraan Kelvin. “Janji apa? “
Kelvin berdecak pelan. “Janji untuk merahasiakan segalanya dan —“
“Dan... “
“Dan saya sudah percaya padamu.”
“Lalu ?”
Zahra membuang muka, Kelvin menatapnya tajam.
“Kamu tahu apa yang kita bicarakan. Jangan berpura-pura tidak tahu, Zahr.”
“Baiklah. Yang kita bicarakan bahwa kalian meminta saya berjanji untuk merahasiakan segalanya, lalu kalian akan membiarkan saya kembali di kehidupan normal saya. Begitukan janjinya? “
“Ini sudah sering kamu katakan Zahr. Apa kamu tidak bosen mengatakannya terus. Saya tidak akan pergi dari sini. Masih ada yang harus saya lakukan di sini.”
“Saya TIDAK AKAN BOSAN mengatakan hal itu, sampai kalian pergi dari sini. Ini bukan dunia kalian. Saya tidak peduli pada urusan kalian di sini!!”
“Tidak. Saya memang mencintai kamu, tapi hal itu tidak akan membuat saya lemah.”
“Kamu memang tidak pernah mencintai siapa pun. Cinta yang kamu miliki itu palsu, sepaslu dirimu! Cinta yang kata kamu itu, hanya ambisi.”
“Zahra. Tolong rahasiakan segalanya. Saya mohon.”
“Tidak.”
“Zahra. Saya mohon. Biarkan saya mulai mendekatkan diri pada -Nya.”
‘Nya’, Zahra menoleh.
“ZAHRA AWAS!!! “
Secara cepat, tiba-tiba tubuh Zahra di terdorong ke belakang.
BRUK.
Pot bunga dari lantai dua, jatuh tepat di kepala Kelvin. Semua orang kaget, termasuk Zahra. Ia kaget dan tegang. Pot itu seharusnya jatuh tepat di kepalanya jika Kelvin tidak mendorongnya. Kelvin menyelamatkanya.
“Ya ampun. Tolong, panggilkan anak PMR, ada yang terluka di sini,” teriak guru penjaga perpustakaan.
Entah kenapa Zahra berjalan mendekati Kelvin.
“Maaf, saya tidak bisa mengunakan kekuatan saya di depan banyak orang,” kata Kelvin, pelan.
Kesadaran Zahra belum sepenuhnya kembali. Zahra masih terpengaruh shock. Ia hanya merespon dengan mengangguk pelan.
“Jadi... “
“Jadi apa? “
“Jadi kali ini bantu saya. Jika mereka membawa saya ke UKS atau Rumah Sakit, mereka akan tahu siapa saya.”
“Ha? “
“Tolong....”
“T—tapi, saya harus apa? “
“Lakukan apa saja. Berbohonglah sedikit, tidak masalahkan? “
****
“Apa Stefani di balik semua ini? “ Zahra menunggu di luar UKS.
“Entahlah,” sahut Kelvin. Kelvin harus berpura-pura berbaring di kasur UKS. Sebenarnya ia tidak mau hal ini, apalagi aroma minyak kayu putih di ruangan ini. Sangat tidak Kelvin sukai.
“Akan saya tanya hal itu,” kata Zahra, sebelum pergi dari sana.
Zahra hendak kembali ke kelas. Tapi secara kebetulan ia bertemu Stefani. Entah mau kemana jin itu, ia tidak terlihat dari arah kelasnya.
“Kamu sengaja ingin mencelakai saya kan?” seprot Zahra.
“Saya tidak mengerti apa yang kamu bicarakan. Minggir saya mau lewat.”
“Jangan berpura-pura tidak tahu mengenai pot bunga itu, Stefani. Cuman kamu yang membenci saya di sini.”
Stefani tersenyum miring. “Ouh... dan itu artinya ada orang yang juga membencimu selain saya.” Senyum Stefani berubah menjadi tawa mengejek.
“JANGAN membalik fakta. Kamu yang melakukan ini semuakan?! Gara-gara kamu untuk pertama kalinya saya berbohong.”
“Saya tidak melakukan semua itu.”
“BOHONG! “
“SAYA BERKATA BENAR.” Stefani menatap tajam Zahra.
“Saya akan membawa kamu ke kantor kepala sekolah. Kamu akan dikeluarkan dari sini. “ Zahra menarik tangan Stefani.
Stefani menggeram kesal, melepaskan lengannya.
“Sudah saya katakan, saya tidak melakukan hal itu. SAYA BERKATA BENAR! “
“Saya tidak percaya, padamu, Ji—“
“Yang Stefani katakan adalah benar. Sejak tadi ia di kelas dan baru keluar sekarang.” Ilham mengintrupsi perkataan Zahra. “ Cobalah untuk bertabayun dulu.”
“Ta—tapi.. “
“Stefani, sebentar lagi pelajaran Fisika akan di mulai. Kembalilah ke kelas kamu,” kata Ilham mengabaikan Zahra.
***