Arsya sengaja tidak mengabari Daisy jika ia sudah sampai di restoran Kembang Gula—tempat Daisy dan teman-teman kantornya menghabiskan waktu makan siang. Tapi Arsya juga sengaja memarkirkan mobilnya di dekat pintu masuk restoran tersebut. Dan tidak lama kemudian matanya menyipit ketika mulai melihat teman-teman kantor Daisy yang dikenalnya.
Sampai kemudian Reza keluar sambil mengobrol bersama temannya yang lain dan jantung Arsya serasa berhenti berdegup selama sepersekian detik karena ia tak menyangka bahwa Arkan yang pernah menjadi seorang penghalang dalam usahanya mendapatkan cinta Daisy kembali lagi ke kehidupan tunangannya.
Dan Arsya tidak menunggu lama untuk langsung keluar dari mobil begitu melihat Daisy berjalan dengan lemas sembari dituntun oleh Arkan yang memegangi bahunya dan membantu jalan Daisy.
“Daisy!” Panggil Arsya dan ia langsung menghampiri Daisy, kemudian menarik Daisy dari rangkulan Arkan.
“Sya?” Bahkan Daisy terlihat terkejut dengan kedatangan Arsya yang tiba-tiba langsung mengamit lengannya posesif.
Pada detik itu juga Daisy langsung menatap Arsya dan Arkan secara bergantian. Dua lelaki itu saling melemparkan tatapan tidak suka, sampai kemudian Daisy menengahi.
“Arkan, ini Arsya, tunanganku.” Ucap Daisy memperkenalkan.
“Oh, saya Arkan.” Kata Arkan memperkenalkan diri sambil mengulurkan tangannya. “Tadi malam Daisy banyak cerita tentang kamu.”
“Arsya, tunangan Daisy.” Jawab Arsya sambil menjabat tangan Arkan sama eratnya, kemudian mereka saling melepaskan tangan dengan cepat. Tapi kemudian Arsya melirik Daisy. “Tadi malam? Kalian ketemu tadi malam?”
“Sya—” Daisy hendak menjelaskan, namun Arkan lebih dulu kembali berucap.
“Secara enggak sengaja saya ketemu Daisy tadi malam. Saya akuntan dari bank pusat di Jepang, sekarang sedang ditugaskan di Indonesia.” Kata Arkan menjelaskan.
“Satu kantor sama Dai?” Tanya Arsya memastikan dan timbul rasa tidak suka makin besar pada Arkan.
Arkan hanya mengangguk dan tersenyum. Dirinya sampai kehilangan kata-kata ketika mendengar Arsya memanggil Daisy dengan panggilan ‘Dai’. Panggilan saya dari Arkan saat itu, kini Arsya juga memanggil Daisy dengan cara yang sama seperti Arkan dulu.
Daisy sepertinya merasakan hal yang sama dengan Arkan soal nama panggilan itu. Dan Daisy hanya bisa menundukkan kepala, menghindari tatapan Arkan yang kini menebak, apakah bersama Arsya yang memanggilnya ‘Dai’ membuat Daisy teringat dengan Arkan?
“Daisy juga pernah cerita tentang lo.” Kata Arsya menghilangkan keformalitasan. “Banyak cerita tentang lo juga, waktu itu.”
Arkan hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. “Tenang aja, gue dan Daisy juga cuma rekan kerja yang baik sekarang. Iya kan, Dai?”
“Iya.” Jawab Daisy singkat sambil tersenyum tipis.
Tanpa sadar rahang Arsya mengeras. Tidak suka mendengar Arkan menggunakan nama panggilan yang sama dengannya dan begitu lembut. Arsya kemudian makin menggenggam erat tangan Daisy dan makin merasakan panasnya kulit tubuh Daisy.
“Kita pulang sekarang ya, Dai?” Tawar Arsya.
Daisy hanya mengangguk, lalu menatap Arkan. “Pulang dulu ya, Ar?”
“Iya, hati-hati, Dai. Cepat sembuh.” Ucap Arkan.
Arsya hanya menundukkan kepala sebagai tanda pamit pada Arkan, ia kemudian merengkuh bahu Daisy dan membukakan pintu mobil pada Daisy. Ia bahkan juga memasangkan seatbelt untuk Daisy, namun terdiam sejenak dan menatap Daisy khawatir.
“Kenapa bisa sampai sakit gini sih, Dai?”
Daisy hanya tersenyum tipis. “I’m fine.”
“Kamu nggak terlihat baik-baik aja.” Arsya kemudian menutup pintu dan berlari kecil melewati bagian depan mobil dan kemudian duduk di bangku kemudi.
Daisy mengernyit, lagi-lagi merasakan setelan kursi penumpang depan yang beda dengan dirinya. Lalu Daisy melirik Arsya sekilas, padahal Arsya bukan orang yang suka berpergian dengan orang lain selain Daisy di mobil ini.
“Kamu habis pergi sama siapa, Sya?” Tanya Daisy tiba-tiba yang membuat jantung Arsya sampai hendak meloncat keluar karena begitu terkejut.
“Hah?” Ia lalu melirik Daisy sambil menyetir. “Oh, biasa, sama anak-anak.”
“Luna yang duduk di depan?”
“Iya.” Lagi, Arsya kembali berdusta mengatasnamakan Luna.
Daisy hanya mengehela napas sembari memijat pelipisnya yang berdenyut karena pusing. “Aku nggak suka kamu sering-sering pergi sama Luna.”
“Kenapa? Kan sama Endro dan Dany juga, Dai.”
“Aku nggak suka aja.” Jawab Daisy tanpa alasan yang jelas. Mungkin alasan sebenarnya karena Luna pernah mengaku pada Daisy kalau ia pernah menyukai Arsya dan sampai sekarang Luna juga belum menikah atau mempunyai kekasih.
“Oke kalau kamu nggak mau kasih alasan pasti.” Kata Arsya. “Aku juga nggak suka kamu pergi sama Arkan siang ini. Pakai acara dia rangkul-rangkul kamu waktu mau pulang lagi.”
“Sya, Arkan lakuin itu karena aku lagi sakit.”
“Oh ya? Mungkin cuma modus-nya dia doang. Teman-teman kamu kan banyak, kenapa harus Arkan?”
“Dia mau nganterin aku awalnya.” Jawab Daisy jujur. “Terus kamu datang.”
Dan Arsya langsung mendengkus kesal begitu mendengarnya. “Kalau aku nggak datang, kalian bakalan tetap terus rangkul-rangkulan dan Arkan nganterin kamu pulang gitu?”
Mobil yang dikendarai Arsya kemudian memasuki komplek perumahan Daisy dan Arsya kembali berucap, “terus apa maksudnya tadi malam kalian ketemuan? Kamu bilang kamu lembur, tapi nyatanya, Dai?”
“Sya, aku ketemu Arkan juga kebetulan sekali.” Jawab Daisy membela diri karena ia benar, tapi kepalanya makin berdenyut sekarang.
Mobil Arsya kemudian berhenti di depan rumah Daisy. Ia lalu menatap Daisy sepenuhnya dengan kesal.
“Mau kamu apa sih, Dai? Jangan dekat-dekat Arkan lagi! Kamu nggak ingat seberapa parah Arkan nyakitin kamu dulu, buat kamu terpuruk dan nggak mau bersosialisasi sama siapapun hanya karena putus cinta?! Aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Arkan.” Ungkap Arsya dengan penuh emosi.
Tanpa sadar mata Daisy berkaca-kaca, ia tidak menyangka kalau Arsya akan membentak-bentaknya hanya karena Arkan.
“Aku menyelesaikan urusanku sama Arkan tadi malam—”
“Urusanmu sama Arkan itu udah selesai sejak dia ninggalin kamu begitu aja!”
Daisy makin menatap Arsya tak percaya. “Kamu tuh nggak tahu apa-apa, Sya! Bisa nggak sih kamu dengerin aku dulu?!”
“Intinya aku nggak suka kamu dekat-dekat sama Arkan, Dai. Lagipula sebentar lagi kita mau menikah, resign ajalah dari pekerjaanmu itu dan fokus sama pernikahan kita.” Ungkap Arsya.
Hati Daisy makin bergemuruh marah, ia langsung melepas seatbelt dengan kesal. “Dasar egois!”
“Dai!” Arsya berteriak, tapi Daisy sudah turun dari mobil dan membanting pintu mobil Arsya dengan penuh emosi.
Arsya sampai memukul kemudi mobil dengan keras untuk meluapkan emosinya. Ia tak menyangka akan begitu emosi karena melihat Daisy bersama Arkan dan terus membela lelaki yang jelas-jelas sudah menyakitinya.
Arsya tidak ingin kehilangan Daisy, ia terlalu kalut dan tidak ingin perjuangannya untuk terus menjalin hubungan dengan Daisy harus sia-sia hanya karena Arkan.
***
“Zola,” Risa—teman satu team Zola di divisi pemasaran sosial media langsung menggeser kursi kerjanya sambil mengetuk meja kabinet Zola. “Makan siang dimana lo hari ini?”
Zola menghentikkan pekerjaannya dan menghela napas mengingat ia gagal makan siang dengan Arsya.
“Gue cuma ngambil mobil di bengkel, belum sempat makan siang.” Jawab Zola.
Kemudian Risa mengambil onigiri dan satu pack buah anggur dari mejanya dan meletakkannya ke meja Zola. “Makan sekarang, lo harus kuat!”
Zola tertawa kecil dan menerimanya. “Makasih, Sa.”
Risa mengangguk, lalu menamati Zola selama beberapa detik hingga akhirnya ia tak kuat lagi untuk mengatakan apa yang terjadi saat makan siang tadi di kantor.
“Makan siang ini, anak-anak tadi pada ngomongin lo.” Kata Risa yang membuat Zola terkejut.
“Kok bisa?”
“Banyak rumor tentang lo dan Pak Arsya. Katanya lo genit gitu ke Pak Arsya, padahal kan Pak Arsya udah mau married dan sebagian besar orang di perusahaan ini kenal calonnya Pak Arsya.”
Dan Zola pun sontak tertawa kecil menanggapinya. “Kok bisa ada rumor begituan sih?”
“Nggak tahu juga sih La darimana ada rumor begitu. Tapi ada yang bilang lo sering ngasih kopi buat Pak Arsya dan bahkan buatin bekal buat Pak Arsya.”
Zola sontak terdiam, sepertinya Shella—sekertaris pribadi Arsya sudah menceritakan yang macam-macam soal dirinya dan Arsya di kantor.
“Iya, La, beneran gitu?” Tanya Risa dengan ragu.
Zola hanya tersenyum kecil. “Banyak orang yang gue kasih kopi kan, Sa? Anak-anak divisi pemasaran, Bu Luna dan apa salahnya kalau gue juga kasih Pak Arsya?”
“Ya… nggak salah sih.” Risa menanggapi dengan sedikit canggung. “Tapi kayaknya lo harus sedikit jaga jarak deh sama Pak Arsya. Lo bisa benar-benar dianggap yang enggak-enggak sama orang kantor kalau terus godain Pak Arsya.”
“Godain gimana sih, Sa?” Zola sampai terbahak. “Aduh, gue terlalu baik sampai serba salah, ya?”
Risa hanya menyengir. Lalu menunjukkan sebuah foto di ponselnya. “Foto ini beneran lo sama Pak Arsya, kan?”
Mulut Zola langsung terkatup rapat. Ia menggeser layar ponsel Risa, melihat foto-foto yang diambil seseorang ketika Zola sedang bersama Arsya.
“Ada anak kantor yang lihat lo sama Pak Arsya di Dark Bar.” Kata Risa. “Gue nggak tahu apa yang sedang terjadi antara lo sama Pak Arsya. Tapi mungkin lo bisa jaga jarak, La. Pak Arsya sudah mau menikah.”
Zola terdiam, masih menamati foto itu. Arsya yang hanya mengenakan kemeja santai yang digelung sampai ke siku sambil memegang gelas cocktail dan sedang tersenyum sambil menatap Zola yang sedang menggenggam tangannya dan balas menatap Arsya di meja bar. Di foto itu dengan jelas tertangkap wajah Arsya dan Zola yang identik dengan tubuh seksi serta rambut pink ash miliknya.
“Gue sama Pak Arsya cuma melepas penat sebentar, nggak lebih.” Jawab Zola sambil mengembalikan ponsel Risa dan kembali berkutat dengan pekerjaannya. “Tangan gue cuma dua, Sa. Nggak bisa nutup mulut orang-orang yang ngomong jelek soal gue.”
Zola memang tidak nyaman dengan keadaan ini, tapi ia juga tidak ingin meninggalkan Arsya begitu saja setelah hubungan mereka makin dekat.
***
Arsya melamun dengan tatapan kosong di dalam lift yang menuju ke basement khusus untuk parkir petinggi perusahaan. Hati Arsya terasa sesak mengingat pertengkarannya dengan Daisy hari ini. Bahkan ketika Arsya menatap ponselnya lagi untuk melihat chat yang ia kirimkan untuk Daisy, wanita itu tidak mau membalasnya. Tidak mau juga mengangkat teleponnya.
Perasaan Arsya makin kalut, perasaan bersalah perlahan menggerogoti dirinya. Daisy sedang sakit, tapi Arsya malah bersikap egois dan membuat mereka berdua bertengkar. Arsya lalu menghela napas, memutuskan untuk ke rumah Daisy, menjenguknya dan meminta maaf.
Pintu lift kemudian terbuka dan Arsya melangkah keluar, namun baru beberapa langkah, dirinya langsung dibuat terhenti di tempat.
“Mas Arsya!” Zola langsung menghampirinya setelah menunggu di ruang tunggu VIP basement. “Aku nungguin kamu loh daritadi.”
Arsya mengernyit. “Ngapain?”
“Kamu hari ini kelihatan badmood banget. Aku mau ngajak kamu senang-senang.”
“Zola, aku—”
“Aku sudah beli dua tiket theater camp loh, Mas. Kita bisa nonton bioskop di dalam tenda gitu, seru kan?!” Zola lalu langsung mengamit lengan Arsya. “Kalau kamu sibuk, sebentar aja gimana? Sebentar… aja.”
“Nggak bisa, Zola. Aku ada urusan.” Tolak Arsya sambil melepaskan tangan Zola dari dirinya.
“Sebagai pengganti makan siang kita yang batal tadi, Mas. Yaaa?” Bujuk Zola. “Please?”
Arsya lalu menatap waktu di jam tangannya dan ia kemudian menatap Zola. “Aku nggak bisa sampai film-nya selesai.”
“Setuju!”
***
Mereka berdua berada di sebuah tenda piknik kecil yang muat untuk dua orang dewasa di sebuah taman yang dihadapannya terdapat layar lebar yang menampilkan sebuah film action yang terdapat unsur romantis juga di dalam ceritanya. Zola terlihat nyaman menikmati film itu, tapi tidak begitu dengan Arsya yang seperti menatap kosong kearah layar lebar.
“Kamu ngikutin jalan ceritanya ga sih?” Tanya Zola memecah lamunan Arsya sembari terkekeh.
“Hm? Ngikutin kok.” Arsya berusaha tersenyum, namun Zola langsung mengusap pipinya dengan lembut.
“Ada apa sih, Mas? Kamu kaya banyak pikiran gitu loh. Padahal aku ngajak kamu kesini kan juga buat refreshing.” Ungkapnya.
Arsya langsung mengalihkan tatapannya kearah lain. “Enggak, aku lagi kecapekan aja.”
“Maaf ya mas, malah ngajakin kamu kesini. Aku nggak tahu kalau kamu kurang cocok aku ajakin kesini.”
“Enggak, Zola. Aku yang terimakasih karena sudah diajak sedikit melepas penat.” Arsya kembali memaksakan senyum karena tidak enak hati membuat Zola kecewa. “Cuma lagi agak kalut juga.”
“Kenapa? Daisy ya?” Tanya Zola dan Arsya masih diam. Hingga Zola memposisikan tubuhnya benar-benar duduk menghadap Arsya. Ia mengusap tengkuk Arsya dan pipi lelaki itu dengan lembut. “Kenapa, Mas? Kamu bisa cerita sama aku. Siapa tahu aku bisa bantu.”
Tapi lagi-lagi Arsya mengalihkan tatapannya dari Zola dan tertawa lirih. “Ini masalahku sama Daisy. Jadi aku rasa cukup aku dan Daisy yang tahu masalahnya. Maaf ya, Zola.”
“Nggak apa-apa kalau kamu maunya gitu.” Tapi ucapan Zola kembali membuat Arsya menatapnya. “Aku cuma mau kamu bahagia. Setidaknya aku bisa membuat perasaan kamu membaik.”
Zola sudah terlalu putus asa akan apa yang terjadi setelahnya, ia memajukan tubuhnya dan memberanikan diri menempelkan bibirnya pada bibir Arsya dan mengulum singkat bibir atasannya itu, bibir lelaki yang ia kagumi. Tapi Arsya terlalu terkejut dan tak merespon. Hingga kemudian Zola melepaskan ciumannya dan menghela napas.
Zola menggigit bibir bagian bawahnya, menatap Arsya malu karena lelaki itu tidak ada respon apapun. “Maaf kalau aku lancang.”
Dan kemudian Zola yang dibuat terkejut saat Arsya menarik tengkuknya dan ganti mencium Zola. Jantung Zola seakan hendak meledak, ia memejamkan matanya secara perlahan, menikmati Arsya yang mulai mengulum bibirnya dengan begitu lembut namun menuntut.
Zola kemudian membuka bibirnya, sehingga lidah Arsya menulusup masuk kedalamnya dan saling bertemu dengan lidah Zola, saling mencecap rasa satu sama lain, bertukar saliva dan memperdalam ciuman mereka. Tanpa sadar, Arsya terus mendekatkan dirinya pada Zola sehingga Zola terbaring di dalam tenda.
Ciuman mereka makin dalam, mengabaikan film yang sedang terputar dan Zola melepaskan tangannya dari tengkuk Arsya, berganti dengan memeluk penuh tubuh lelaki yang ia kagumi itu dan benar-benar menghapus jarak diantara keduanya.