Antara Zola atau Daisy

2422 Kata
Daisy sontak menaikkan kedua tangannya keatas dan merenggangkan tubuhnya ketika hasil design miliknya sudah 70% jadi. Ia kemudian langsung melepas kacamatanya dan memijat pangkal hidungnya. Bagian atas kelopak matanya sedikit pegal karena sudah beberapa jam menatap layar untuk menggambar. Ia lalu meraih kopi miliknya, meminum isinya sambil membuka ponsel untuk mengecek pesan dari Arsya. Arsya: kalau gitu aku pulang duluan Dai Hanya pesan itu. Membuat hati Daisy sedikit merasa hampa karena Arsya tidak menuliskan pesan-pesan semangat yang lucu padanya, atau mengirimkan foto wajah Arsya setelah pulang kerja—cukup narsis memang, tapi hal tersebut yang membuat Daisy terpikat pada Arsya. Entah kenapa ia kemudian membuka galeri di ponselnya. Ia tersenyum tipis ketika memandangi foto-fotonya dan Arsya, juga foto-foto wajah Arsya. Daisy mengusap layar ponselnya seolah ia mengusap pipi Arsya. Daisy merindukan lelaki itu, namun kesibukan Daisy seolah memperangkapnya. “Dai, udah selesai?” Tanya Reza yang merupakan teman satu team Daisy untuk menyelesaikan project design promosi di shinkansen Jepang. “Belum lah, Rez.” Reza sontak berdecak. “Ya gue tahu lo belum selesai untuk hari ini.” Reza menekan kata-kata terakhirnya, membuat Daisy tertawa kecil. “Tapi kita harus mengistirahatkan mata dan pikiran. Apalagi elo tuh, belum juga mikir nikahan.” “Nikahan kan dipikirin bareng-bareng sama pasangan, Rez.” Jawab Daisy dengan santai sambil memasukkan barang-barangnya ke tas. Ia kemudian berdiri setelah selesai merapikan mejanya. “Yuk, balik.” Reza kemudian mengangguk dan bersama Daisy keluar dari kantornya. Setelah keluar dari lift dan sampai di lobi kantor, Reza lalu menatap Daisy. “Enggak di jemput cowok lo?” “Enggak, kasihan dia bakalan nunggu gue lembur terus. Lagian dia kan bukan supir gue yang harus setiap hari antar-jemput gue, Rez.” “Hehe, iya-iya gue tahu.” Sahut Reza. “Balik bareng gue aja lah kalau gitu.” “Nggak usah, apartemen lo kan deket sini. Jauh kalau harus nganter gue.” Tolak Daisy secara halus. Ia memang tidak ingin merepotkan Reza. Tapi Reza tetap bersikeras. “Terus lo mau pulang naik ap—” “Dai?” Panggilan dari seorang lelaki di belakang Daisy membuat Daisy dan Reza langsung membalikkan badan mereka berdua secara refleks. Dan Daisy menahan tubuhnya agar tidak limbung karena terlalu terkejut bertemu dengan Arkan lagi. Bagaimana lelaki itu bisa kembali kehadapannya setelah lebih dari lima tahun menghilang begitu saja. Lima tahun telah berlalu, sedikit banyak perubahan dari lelaki yang pernah memporak-porandakan hati Daisy setelah menghilang begitu saja. Namun mata Arkan dan tatapannya tidak akan pernah Daisy lupakan sampai kapanpun. Dan kini Daisy memilih tetap berdiri di tempatnya dan tidak kabur dari Arkan. “Benar kan ini kamu? Astaga, aku kira aku yang salah lihat.” Bahkan Arkan menghela napas lega setelah berhasil bertemu dengan Daisy lagi. “Ini… ada apa?” Tanya Reza yang memecah keheningan dan bingung dengan keadaan. Arkan juga terlambat sadar bahwa Daisy tentu saja mempunyai banyak dendam padanya. Ia kemudian berdeham untuk menetralisir kegugupannya yang baru saja datang karena Daisy terus diam. “Bisa kita bicara dulu, Dai? Sudah lama kita enggak ketemu.” Kata Arkan. Akhirnya Daisy menghela napas dan menatap Reza. “Duluan aja, Rez. Kayaknya orang ini lagi ada perlu sama gue.” “Beneran nggak apa-apa gue tinggal?” Tanya Reza memastikan dan Daisy hanya tersenyum lembut sembari mengangguk. Walaupun hati Daisy kemudian berdegup tak karuan dan ia ingin pergi dari Arkan sekarang juga. Namun sebelum ia menikah dengan Arsya, Daisy ingin mendapatkan jawaban yang selalu membuatnya bertanya-tanya, mengapa Arkan meninggalkannya begitu saja dan kini bisa ada dihadapannya? *** Arkan duduk tegap dihadapan Daisy yang sedang meminum kopi dingin dihadapannya dengan tenang. “Bukannya dulu kamu nggak suka kopi ya?” Tanya Arkan memecah keheningan. Bibir Daisy masih menempel pada sedotan dan tubuhnya masih sedikit menunduk karena ia tak mengangkat gelasnya dari meja. Ia begitu lelah malam ini dan terlalu banyak hal yang ia pikirkan setelah bertemu lagi dengan Arkan. Daisy pada akhirnya tersenyum, lalu melepaskan bibir dari sedotannya dan duduk tegap juga menatap Arkan dengan tenang. “Sudah lima tahun berlalu, banyak yang berubah.” Daisy lalu mengedikkan bahunya. “Aku semakin dewasa, semakin banyak kesibukan yang buat aku harus begadang dan kopi ternyata bisa membantu dan nggak seburuk itu rasanya.” Daisy kemudian berbicara lagi. “Jadi, setelah lima tahun yang berlalu, kenapa kamu tiba-tiba ada di kantorku?” “Aku konsultan keuangan dari bank pusat di Jepang dan mulai hari ini, aku juga mengurus di bank tempat kamu bekerja.” Jawab Arkan. “Kamu juga bekerja di bank itu?” Dan Daisy hanya tersenyum miring mendengarnya. “Ini hanya kebetulan atau kamu memang penguntit?” “Dai—” “Kamu tahu gimana susahnya aku untuk ngelupain kamu setelah kamu pergi begitu aja, Arkan? Pindah begitu aja ke luar negerti tanpa datang ke wisuda sekolah yang kamu janjikan untuk lulus bersama aku, enggak ada kabar lagi setelah itu.” Dan Daisy akhirnya tidak bisa menahan emosinya. “Kamu tahu gimana susahnya aku untuk buka hati ke lelaki lain saat itu? Kamu buat aku bingung, sebenarnya saat itu kita masih punya hubungan atau enggak?” “Dai, aku punya alasan.” Akhirnya Arkan membela diri. Karena tujuannya ia berada disini bersama Daisy juga untuk meluruskan segala kesalahpahaman ini. “Orangtuaku resmi bercerai menjelang hari kelulusan kita, Dai. Dan aku memutuskan untuk pindah ke New Haven, dimana kakek dan nenekku tinggal. Aku memutus semua komunikasi di Indonesia karena aku terlalu kalut, Dai. “Aku tidak bisa menerima perceraian orangtuaku dan semua pengkhianatan yang terjadi di rumah tangga mereka. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri saat itu.” Daisy langsung terdiam. Ia tak menyangka jika kedua orangtua Arkan yang terlihat harmonis selama Daisy mengenal Arkan ternyata penuh dengan pengkhianatan dibaliknya dan mereka sampai bercerai. Daisy juga tak menyangka lelaki dihadapannya ini menyimpan semua rasa sakit untuk dirinya sendiri. “Tapi tetap saja, kamu melupakan aku, Ar.” Ucap Daisy akhirnya. “Kamu lupa kalau kamu punya aku? Pacar kamu saat itu, kamu bisa cerita sama aku, kan?” “Cerita sama kamu nggak akan menyelesaikan masalahku.” Jawab Arkan yang kembali menusuk perasaan Daisy. “Tapi seenggaknya aku bisa bantu meringankan beban kamu.” Dan keduanya akhirnya terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain seolah melampiaskan emosi yang ada. Hingga akhirnya memutus kontak mata dan saling menghela napas. Daisy kemudian tertawa miris. “Mungkin ini kenapa kita nggak bisa bersama, Ar. Aku dan kamu terlalu sama, terlalu egois.” Arkan diam-diam menyetujui ucan Daisy. Lalu ia menatap sebuah cincin bertabur berlian yang ada di jari manis Daisy. “Kamu sendiri sekarang gimana?” Tanya Arkan sambil masih menatap cincin di jari manis Daisy. Daisy mengikuti arah pandang Arkan dan sontak menurunkan tangannya dari atas meja, terlalu canggung dengan itu. Arkan lalu tersenyum lembut dan menatap wanita yang pernah ia cintai itu. “Sudah menikah?” “Akan. Aku sudah bertunangan dengan dia.” Jawab Daisy. “Siapa lelaki beruntung itu?” Dalam pertanyaan itu, tersembunyi sebuah kecemburuan dan kekecewaan. Namun sayangnya, Arkan memilih mengalah pada takdir. Ia tak akan lagi bisa mengejar wanita hebat dihadapannya karena Daisy sudah menemukan calon pendamping hidupnya. Arkan juga salah karena dulu telah melepaskan Daisy begitu saja. Memang benar kalau penyesalan sering datang belakangan. “Namanya Arsya. Dia… lelaki yang paling percaya kalau aku yang akan menjadi pendamping hidupnya. Lelaki yang membantu aku bangkit dari keterpurukan dan rasa tidak percaya lagi dengan cinta setelah kamu pergi begitu saja.” Daisy kemudian tersenyum lembut. “Jadi, apa seharusnya aku bilang terimakasih karena telah pergi begitu saja saat itu? Kalau kamu nggak pergi, aku enggak akan bertemu Arsya.” Arkan tertawa kecil sembari menundukkan kepalanya. Bahkan nama mereka berdua hampir sama. “Jadi semuanya sudah terlambat ya, Dai?” Tanya Arkan. “Terlambat untuk?” “Memperbaiki hubungan kita.” Ada getaran kecil dalam hati Daisy ketika Arkan berucap seperti itu. Namun ia lalu menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Untuk memperbaiki hubungan kita menjadi pertemanan, itu tidak terlambat.” “Kamu tahu, Dai. Sekarang aku menyesal karena meninggalkan wanita sebaik kamu.” Kata Arkan sambil tertawa, membuat Daisy ikut tertawa juga. Hubungan mereka akan membaik, tapi untuk sebuah pertemanan. *** Dua buah cocktails di sajikan untuk Arsya dan Zola ketika mereka duduk di kursi bar. Arsya menatap cocktails tersebut dan kemudian memegang gelasnya dan mencicipinya, membiarkan rasa manis dan segar mint meresap kedalam cecapan lidahnya dan berakhir dengan rasa sedikit panas di tenggorokannya. Namun Arsya kemudian mengangguk, merasa cocok dengan cocktails yang disajikan. “Gimana?” Tanya Zola sembari menyesap cocktails-nya juga. Arsya tersenyum tipis. “Cukup menarik rasanya.” “Cocok?” Arsya lalu melirik Zola dan menyesap cocktailsnya lagi. “Cocok kalau datangnya sama kamu.” Zola sontak tertawa manis, Arsya dapat membuat jantungnya berdesir ketika memberikan rayuan tersebut. Sedangkan Arsya juga tak mengalihkan tatapannya dari wanita menyenangkan dihadapannya. Bahkan melihat Zola tertawa terlihat begitu manis dan membahagiakan. “Tempat ini dibuat nongkrong sendirian juga cocok kok, Pak.” Ucap Zola. Arsya kemudian mengedarkan pandangannya, memang benar cocok. Karena bar ini tidak terlalu ramai, hanya ada beberapa pengunjung dan alunan musik klasik lama malah menenangkan di bar, memberikan sebuah relaksasi ketenangan. Berbeda dengan bar yang lain, yang penuh dengan musik EDM dan gemerlap lampu diskotik, bau asap rokok dan suara berisik para pengunjung. Bar ini begitu eksklisif dan memberikan ketenangan. Mungkin Arsya nantinya akan datang kesini. Tapi untuk mengajak Daisy kemari jelas tak mungkin, tunangannya itu tidak terlalu bisa minum alcohol dan hal itu membuat Arsya juga tak terlalu sering meminum alkohol. “Kamu sering kemari?” Tanya Arsya. “Kadang, kalau lagi stress banget.” Namun jawaban Zola itu membuat Arsya tertawa. “Orang kaya kamu bisa stress juga?” Dan tawa itu menular pada Zola. “Orang kaya saya? Emang saya orangnya kaya gimana? Saya juga manusia yang bisa stress loh, Pak.” “Kamu terlalu ceria untuk orang yang bisa punya masalah.” Kata Arsya sambil meminum cocktailnya lagi. Zola mengulum senyum. “Saya ceria juga untuk menutupi masalah saya.” Arsya terdiam sejenak, menamati wajah cantik Zola yang begitu mulus tanpa cela. “Kamu tuh kaya selalu ngasih energi positif ke orang lain, Zola. Kalau ada kamu hawanya senang dan menyenangkan.” “Jadi saya kaya taman bermain gitu ya?” Canda Zola. Arsya tertawa karena itu. “Taman bermain yang terbuka untuk umum?” Zola masih tersenyum, ia memajukkan tubuhnya dan berbisik di telinga Arsya. “Untuk Pak Arsya saja saya baru terbuka. Cuma Pak Arsya, yang boleh memasuki saya.” Arsya mengernyit dengan kata-kata ambigu itu. Tapi ketika Zola menjauhkan diri, ia menahan pergelangan tangan Zola, sehingga wajah wanita itu berhenti tepat dihadapan wajahnya. Mata bulat itu mengerjap menatapnya bingung. “Mungkin kita bisa untuk enggak terlalu formal saat sedang diluar pekerjaan Zola.” Kata Arsya. “Jangan panggil saya ‘Pak’ karena saya nggak setua itu. Umur kita juga jelas nggak terlalu jauh.” Zola sontak tertawa dan menjauhkan diri dari Arsya, membuat Arsya timbul perasaan sedikit kecewa ketika melepaskan kulit tangan yang lembut itu. “Terus saya harus panggil Pak Arsya dengan panggilan apa?” Tanya Zola sambil tertawa kecil dan Arsya hanya mengedikkan bahunya. “Boleh panggil Mas Arsya?” “Hah?” Arsya sambil tertawa geli mendengarnya. “Iya, Mas Arsya. Boleh kan, Mas?” Kata Zola sambil menggenggam tangan Arsya tanpa rasa canggung sedikitpun. Alkohol ini membuat dirinya merasa enteng untung mengungkapkan isi hatinya dan melakukan apapun yang ia inginkan. Arsya kemudian mengangguk meng-iyakan. “Iya, boleh, Zola.” Mereka berdua tersenyum sembari saling tatap. Tapi masih ada keraguan dalam diri Arsya ketika menatap tangan Zola yang menggenggam tangannya. Arsya masih belum berani untuk balas menggenggam tangan Zola, karena ia masih teringat dengan Daisy. *** Arsya: lagi dimana Dai? Arsya menatap chat yang hanya dibaca Daisy setelah terkirim tiga puluh menit yang lalu itu. Tidak biasanya Daisy belum mengabarinya sama sekali dari pagi dan hal itu sedikit membuat Arsya menjadi resah. “Mas,” Zola yang baru selesai membayar biaya perbaikan mobilnya di bengkel kemudian menghampiri Arsya yang menemaninya mengambil mobil siang ini. Zola kemudian mengembalikan kartu atm milik Arsya. “Makasih udah dibayarin, tapi lain kali nggak usah.” “Loh, kenapa?” Arsya tertawa kecil sembari menerima kartu itu kembali. “Aku nggak enak sama kamu, Mas. Aku kan juga punya uang sendiri.” “Iya, aku tahu.” Zola lalu mengerucutkan bibirnya. “Pokoknya kali ini aku yang bayarin makan siang. Kamu nggak boleh nolak.” Arsya tertawa dan mengangguk, namun ia lagi-lagi menatap ponselnya karena tak kunjung mendapatkan jawaban chat dari Daisy. “Kita mau makan siang dimana, Mas?” Tanya Zola. “Terserah kamu aja, bebas.” “Yaudah deh, di Grand Indonesia aja gimana?” “Boleh.” “Yaudah aku ambil mobil dulu ya, Mas.” Zola kemudian pergi mengambil mobilnya dan Arsya hanya mengangguk. Arsya kemudian berjalan menuju mobilnya sembari bermain ponsel membuka laman i********:. Ada instastory terbaru dari Reza yang merupakan teman satu kantor Daisy. Arsya membuka instastory itu, melihat bahwa mereka sedang makan siang di restoran yang bernama Kembang Gula. Namun yang menarik perhatian Arsya sampai ia mengulangi melihat instastory itu lagi karena ia melihat wajah seorang lelaki yang dikenalnya. Seorang lelaki yang pernah mengisi hati Daisy, lelaki yang sulit Daisy lupakan dan membuat Arsya berjuang untuk mendapatkan hati Daisy. Ada Arkan disamping tunangannya, tertawa dengan akrab seolah tidak pernah terjadi apa-apa diantara mereka. “Ini nggak mungkin. Kenapa bisa dia disini?” gumam Arsya heran. Tapi ketika ia mengulang rekaman instastory itu, benar kalau lelaki itu adalah Arkan. Dan Arsya tidak mau Daisy dekat-dekat lagi dengan lelaki yang begitu Daisy cintai dulu. Arsya kemudian segera menelepon Daisy, panggilan pertama tidak diangkat, dan Arsya menelepon lagi. Sampai panggilannya diangkat dan Arsya seketika bernapas lega untuk sejenak. “Dimana, Dai?” Tanya Arsya mengetes kejujuran Daisy. “Di Kembang Gula, Sya. Lagi makan siang sama anak-anak kantor.” Jawab Daisy terdengar santai. “Kenapa?” Kenapa katanya? Arsya bahkan sudah kebingungan sendiri karena tidak ingin Daisy bertemu lagi dengan Arkan. Tapi Daisy kemudian berbicara lagi. “Aku nggak enak badan dari pagi, jadi kayaknya habis ini aku pulang.” “Kamu sakit? Pulang sama siapa?” “Diantar teman.” Jawab Daisy lamat-lamat. Arsya sontak mengernyitkan dahi. “Siapa? Reza?” “Bukan, Reza.” Lalu Daisy terdengar menghela napas. “Reza habis sini harus langsung balik kantor.” “Aku jemput.” Kata Arsya dengan cepat, bersamaan dengan itu mobil Zola berhenti di dekatnya dan Zola membunyikan klakson mobil. Arsya mengangkat tangannya, mengisyaratkan Zola untuk menunggu. “Nggak usah, Sya. Kamu kan pasti repot.” “Pokoknya aku jemput.” Bahkan ada nada tidak mau dibantah dari Arsya. “Tunggu disitu.” Arsya kemudian menutup ponselnya dan ia menghampiri Zola yang masih di dalam mobil, tersenyum manis dari kaca mobilnya yang terbuka. “Makan siang kita mungkin lain kali aja ya, La.” Kata Arsya. Raut wajah Zola langsung kecewa. “Loh, kenapa, mas?” “Daisy sakit. Aku mau jemput dia dulu.” Ia lalu memundurkan langkahnya. “Next time, oke?” Zola bahkan hanya bisa pasrah, akhirnya mengangguk dan melambaikan tangan pada Arsya yang terlihat sangat buru-buru masuk ke mobil dan pergi begitu saja meninggalkan Zola. Zola kemudian menghela napas dan terdiam. Memang benar, ia harus sadar kalau Zola bukan siapa-siapa bagi Arsya. Hanya sekedar teman untuk menghilangkan penat, tidak lebih. Wanita yang dicintai Arsya tetaplah Daisy.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN