4. Kontradiksi.

1452 Kata
Kita terpenjara di masing-masing dimensi, menikmati waktu sendiri hingga sunyi tak sekadar mengelabui. Kita tak pernah memutar arah, sebab dunia antah-berantah yang kita miliki entah kapan lekas punah. *** "Gue nggak pernah minta elo buat durhaka sama orangtua, El. Tapi gue sendiri yang bisa lo anggap sebagai penonton ini juga bisa menilai, buat apa lo lanjutin kalau enggak pernah cinta. Lo bakal tunangan sama dia, setelah itu pasti ada rencana nikah, kan? Lo perlu tahu, seorang istri harus dedikasikan seluruh hidupnya buat suami, terus kalau dalam hubungan rumah tangga kalian nggak pernah ada cinta di hati elo—" Lova menggeleng. "Gue nggak bisa lanjutin omongan ini, gue tahu kalau lo bisa berpikir." Guyuran air shower membasahi sekujur tubuh gadis yang berdiri di bawahnya, ia bergeming nikmati sesuatu yang dilakukannya tanpa peduli risiko nanti. Gadis itu menunduk sebelum akhirnya terduduk tak berdaya di ubin kamar mandi yang licin setelah disentuh tetesan air dengan intensitas sedang, Elsa menangis. Air matanya ikut membaur dengan dinginnya air shower. Bukan sekali dua kali Elsa lakukan hal yang sama, jika ia tengah rasakan sedih pasti putuskan masuk kamar mandi dan nikmati guyuran air shower seraya membiarkan air hujannya jatuh, tetesan pedih itu selalu berhasil disamarkan oleh air dingin yang menguliti tubuhnya. Sebab menangis tak ada dalam skenario yang ditulis Mentari, entah sedang apa dan di mana gadis itu harus selalu tersenyum meski terkadang Elsa sendiri lupa caranya tersenyum pada orang-orang. Jika sang sutradara mengarahkannya untuk lakukan adegan menangis, maka Elsa siap lakukan dengan senang hati tanpa penolakan, sedangkan orang lain lebih percaya kalau Elsa memang pandai melakukan peran melankolisnya di depan kamera, padahal tangisan yang ia tampilkan memang ekspresi terpendam selama bertahun-tahun bertahan menjadi yang bukan Elsa. Gadis itu menarik kaki, menekuk lutut sebelum memeluknya dan menenggelamkan wajah di sana. Hal sama yang ia lakukan hanyalah menangis tanpa melontar kata, hanya itu yang membuatnya sedikit tenang saat guncangan derita kembali menggoyahkan batinnya. "Kalau kamu terkenal, kamu bisa dapatkan apa pun yang kamu mau." "Itu Radit, dia kan pernah bilang ke awak media kalau lagi dekat sama seseorang, katanya Mbak Elsa, ya?" "Kamu mau jadi seseorang yang penting buat aku kan, El?" "Radit itu terkenal, dia udah jadi aktor besar. Mama yakin kamu bisa cinta sama dia, hidup juga perlu realistis, Elsa." Beberapa dialog dari orang-orang seakan mengitari kepalanya, membuat Elsa semakin pening untuk memikirkan, inginnya sehari saja ia hidup tanpa orang-orang yang membuatnya merasa mulai gila. *** Sekitar pukul delapan malam proses fitting baju masih berlangsung pada butik mewah yang biasa menjadi tempat langganan para selebritis, Elsa pun berada di sana dengan segala rasa bosan yang menggelayut manja di punggungnya, menambah beban yang semakin hari semakin berat saja. Gadis itu duduk di sofa bersebelahan dengan Radit, sedangkan orangtua mereka sama-sama sibuk memilih pakaian yang pas untuk dikenakan saat acara pertunangan lusa nanti, semua memang baru disiapkan mengingat kesibukan syuting di Puncak saat itu. Punggung Elsa bersandar nyaman pada bahu sofa, sedangkan paha kanan bertumpu pada paha kiri, kedua tangan gadis itu sibuk dengan urusan game online ketimbang memedulikan kekasihnya yang sedari tadi memperhatikan seraya menghela napas berat, Radit memang tipikal manusia yang sabar untuk hadapi manusia tak acuh seperti Elsa sekalipun beberapa kali gadis itu pernah membentak hanya karena sesuatu yang sepele, tapi mudah bagi Radit memaafkan tanpa perlu Elsa mengucapkan. Jatuh cinta itu mudah, tapi sakit hati juga lebih mudah. "Kamu tadi udah makan, El?" tanya Radit membuka percakapan, ia sangat berharap kalau gadis itu sudi melontar kata, tapi hanya anggukan kepala tanpa menoleh. Radit kembali hela napas yang kini terasa sesak kala masuk rongga d**a, perih. "Aku pengin bilang sesuatu." "Ya bukannya kamu emang lagi ngomong, kan?" Elsa menoleh, angkat satu alisnya dan tunjukan ekspresi seolah merasa aneh dengan Radit. "Iya, bisa kita bicara di luar? Mumpung mamaku sama Tante Mentari lagi sibuk sama urusan mereka." Elsa sudahi fokusnya dari layar ponsel, ia duduk dengan tegak dan perhatikan keadaan sekitar, Mentari dan Inggrid—ibu Radit—memang tampak berbicara dengan pemilik butik di dekat manekin yang kenakan salah satu gaun putih bak princes. "Oke, kita bisa ngomong di luar." Elsa beranjak lebih dulu meninggalkan Radit yang masih bergeming tatap punggung gadisnya, Elsa ada meski seakan tidak nyata, mungkinkah Tuhan sengaja mempermainkan penglihatan Radit dengan sebuah manipulasi wujud seorang gadis? Lucunya, Radit takkan pernah percaya. Kursi besi panjang bercat putih yang terletak di depan butik kini diduduki Elsa, beberapa pot bunga mawar serta krisan tertata rapi di depannya. Gadis yang kenakan dress kuning motif bunga itu menoleh saat Radit turut duduk di sebelahnya dengan jarak satu jengkal, orang lain tak perlu tahu seperti apa Elsa memperlakukan Radit di belakang awak media, sekadar memegang tangan saja Elsa enggan lakukan, gadis itu seringkali atur jarak dengan Radit. Lalu semua berubah kontradiksi jika berada di depan awak media, Elsa akan lakukan perannya sebagai kekasih yang baik agar semua orang percaya kalau hubungannya dengan Radit baik-baik saja, tapi sesuatu yang terucap menjadi kata tak berarti seirama dengan rasa. Radit bisa melihat raga Elsa, tapi tidak untuk hatinya, ia terlalu cinta sampai tak peduli kalau selama ini selalu jalani cinta sendiri. "Mau bilang apa?" Elsa mengawali pembicaraan. "Penting banget sampai orang lain nggak boleh dengar?" Radit mengangguk. "Buatku begitu, nggak ada masalah, kan?" Elsa menggeleng. "Bilang aja sebelum mereka panggil kita masuk lagi." "Kamu beneran mau tunangan sama aku kan, El?" Elsa mengangguk, "Kenapa tanya kayak gitu?" Radit menggeleng. "Nggak apa-apa, mungkin perasaanku aja. Kalau ada sesuatu yang mungkin mau kamu bilang sebelum lusa, bilang aja sekarang, El. Semua belum terlambat." Gadis itu menatap lekat manik Radit, ia tengah mencari sesuatu yang mungkin bisa terbaca dari sudut mata meneduhkan milik laki-laki itu, tapi Elsa tak bisa temukan apa-apa, ia juga tak mengerti kenapa Radit seakan memberikan permintaan terakhir, selama ini tak pernah sekalipun Radit menanyakan sesuatu yang seolah dipasrahkan semua pada Elsa. Gadis itu lagi-lagi menggeleng, ia tarik napasnya sebelum beranjak. "Aku nggak ada permintaan apa-apa kok, Dit. Aku cuma mau semua baik-baik aja, oke?" Radit tersenyum, semburat merah muda seolah menyinari wajahnya, keraguan yang sekilas datang itu sirna dalam sekejap. Ia biarkan Elsa kembali masuk butik, sedangkan laki-laki itu tatap wallpaper ponsel yang tampilkan wajah Elsa dan dirinya, mereka pernah langsungkan photoshoot dengan latar belakang sebuah kolam renang. "Maaf, aku nggak akan mikir yang macam-macam lagi sekalipun kamu emang selalu cuek, Elsa. Mungkin itu emang kamu yang seharusnya, aku cuma perlu selalu paham." *** Tangan-tangan itu menarik kain silver yang menutupi jeep merah kesayangannya, tapi mungkin dulu. Sekarang Satria justru terlihat seperti orang amnesia yang seolah tak mengenali salah satu barang kesayangannya, jeep merah pemberian sang ayah saat Satria masih kelas dua belas SMA, sebuah mobil yang begitu diidamkannya cukup lama. Namun, tatapan laki-laki itu seolah tak mengenali benda merah mengkilap di hadapannya, Satria seakan melumpuhkan segala ingatan yang terhubung dengan jeep itu. Satu tangannya masuk ke saku celana pendek yang ia kenakan, tangan lain loloskan kain yang tadi digunakan untuk menutupi mobil dari debu garasi rumah yang hampir empat tahun tak pernah dijamahnya, semua terlihat asing bagi Satria. Ia lakukan penerbangan dari Melbourne pukul 12.00 dan sampai di Jakarta sekitar 17.45, ia sudah kembali ke tanah kelahirannya. "Lo perempuan pertama yang naik mobil ini." Tiba-tiba saja dialog kelam itu numpang lewat di pikiran Satria hingga empunya seperti melihat ilusi sosok gadis yang duduk di sebelah kemudi dan tersenyum padanya dengan eboni yang begitu berbinar. Faktanya, ilusi bukanlah sesuatu yang nyata. Bola mata itu mulai bermasalah meski belum genap 24jam berada di rumah. "Gue bisa gila kalau kayak gini," gumam Satria sebelum putar tubuh tinggalkan garasi, ia benar-benar kehilangan minat tentang jeep merah yang begitu bersejarah di masa lalu. "Udah lihat mobilnya?" tanya Hasan yang kebetulan baru keluar rumah, ia berpapasan dengan Satria di depan pintu. "Udah, aku mau yang lain aja," tutur laki-laki itu. "Serius?" tanya Hasan kurang yakin, ia pikir Satria akan langsung senang setelah melihat mobil itu. "Ya, aku seriuslah. Kenapa? Papa nggak mau beliin aku mobil yang baru." "Bukan gitu, besok kita pergi ke showroom biar kamu bisa lihat mobil-mobil keluaran terbaru." "Oke, Satria capek, mau istirahat." Laki-laki itu masuk rumah tinggalkan sang ayah yang masih tak percaya dengan sikap berbeda sang putra, mungkinkah pikiran Satria memang telah berubah sejak tinggal di Melbourne selama bertahun-tahun itu. "Dia jauh lebih baik dari sebelum pergi ke Melbourne, papa kasih apa pun yang terbaik buat kamu, nak. Papa nggak akan biarkan kamu kenapa-kenapa, dan apa yang udah papa janjikan waktu itu sama Mentari pasti bisa wujudkan, kamu anak yang bikin papa bangga." "Saya akan bawa Satria pergi supaya dia tidak mengganggu putrimu lagi, saya bisa buktikan kalau putra saja bisa jauh lebih membanggakan ketimbang hinaan kejam kamu itu, Mentari." ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN