Kau membuatku seolah alami turbulensi, bahkan setiap hari tanpa henti. Tak usah datang membawa sekeping hati, sebab semua yang kuharapkan telah mati.
***
Kaki kirinya tak sengaja menginjak remote televisi yang tergeletak di permadani tebal dan berada di dekat ranjang besarnya, seketika televisi plasma yang menempel di dinding kamar Satria menyala dan tampilkan acara infotainment yang biasa tayang pukul sebelas siang.
Laki-laki itu tak acuh dan memilih baringkan tubuhnya di ranjang, AC kamar sudah dinyalakan, dan niatnya tidur siang akan segera terealisasikan. Bola mata itu mulai terpejam meski suara pembawa acara di televisi mulai memenuhi indra pendengarannya.
"Tepatnya besok pagi, acara pertunangan aktris cantik Elsa Naomi dan pasangan tampannya Raditya Angkasa akan berlangsung tertutup di Hotel Grand Canyon, Jakarta. Ditemui di lokasi syuting beberapa waktu lalu, Radit sendiri begitu excited membagi kabar bahagianya dengan para wartawan, sedangkan Elsa sendiri terlihat diam hingga membawa mobilnya melaju pergi. Sikap tak acuhnya itu membuat warganet bertanya-tanya, mungkinkah pertunangan pasangan yang sudah menjalin hubungan selama setahun ini nyata adanya?"
Kepala Satria refleks menoleh pada layar televisi, ia pun beranjak duduk tatap benda yang tampilkan sosok Elsa begitu diam ketika dikejar-kejar wartawan dengan segudang pertanyaan hingga perempuan itu masuk mobilnya, ekspresi keterdiaman yang Elsa pamerkan tiba-tiba membuat pikiran Satria menimbun sesuatu tentang pertanyaan ada apa?
Lalu, layar plasma berganti tampilkan Radit yang terlihat dikelilingi oleh wartawan, laki-laki itu tersenyum seraya menanggapi santai beberapa pertanyaan yang diajukan terhadapnya.
"Iya, doakan yang terbaik ya buat saya sama Elsa. Semoga semuanya berjalan lancar."
Ekspresi datar Satria tunjukan mentah-mentah, entah ia harus sakit hati atau apa sekarang, semua sudah berlalu cukup lama, berbagai macam doktrin sudah Hasan tanamkan hingga anak lelakinya mengikuti aturan yang ada termasuk melupakan segala hal yang berhubungan dengan Elsa.
Sepasang manusia yang pernah jalani hubungan rumit itu bahkan belum bertemu, tapi melihat Elsa di televisi rasanya sudah cukup membuat Satria yakin kalau gadis itu baik-baik saja, bahkan tampak berbeda.
Mungkin benar jika kepergiannya ke Melbourne akan ubah banyak hal termasuk hubungan rumit mereka yang kini temukan titik terang alias tak perlu dipertanyakan lagi harus seperti apa kelanjutannya, seperti apa yang bisa Satria lihat sekarang, gadis itu sudah miliki kekasih dan siap melaju ke jenjang pertunangan.
Bukankah semua yang ia lihat sudah cukup mengartikan kalau Elsa memang bahagia setelah ditinggal pergi dengan terpaksa?
Satria mendesah, ada sepercik rasa nyeri yang menyerang ulu hatinya, sejuta rasa rindu cukup lama ia pendam dalam hati dan terpupuk berhari-hari hingga tumbuh menjadi skala besar. Namun, sekarang sesuatu yang selalu menyiksanya selama bertahun-tahun itu seakan telah mengabur setelah angin besar meniupnya kencang, tersapu tanpa sisa.
Bernapas pun terasa begitu sesak, dadanya seakan ditekan sekuat tenaga dari dua sisi, nyeri yang semula terasa seperti gigitan semut kini menjalar ke sekujur tubuh. Semenyakitkan itu mengetahui sosok yang begitu dirindukannya telah menjadi milik orang lain, kini Satria seratus persen mempercayai kalimat sang ayah sebelum ia berangkat ke Melbourne beberapa tahun lalu, telinga itu mendengar dengan baik, tapi hati benar-benar menolak untuk percaya.
"Satria, bukan niat papa bikin kamu putus asa, tapi ini fakta. Kamu sama Elsa nggak akan bisa sama-sama, buat apa kamu berjuang sekuat tenaga kalau Mentari nggak pernah lihat kesungguhan kamu. Papa juga sakit lihat kamu begini, kalian punya kehidupan yang lebih baik di masa depan, kita pergi dan lupakan apa pun yang terlewat di Jakarta."
Ekspresi datar itu berubah sendu, sorot matanya meredup hingga pemiliknya menunduk hela napas berkali-kali guna menetralisir rasa sesaknya.
"Gue yang salah, gue yang lagi-lagi pergi tinggalin elo tanpa kepastian, dan kalau gue yang harus marah karena semua ini bukannya itu egois, El? Mungkin kita emang nggak seharusnya ketemu, gue nggak akan muncul lagi dan rusak kebahagiaan elo." Ia menengadah, matanya merah dan berkaca.
***
Matahari semakin bergerak turun ketika angka pada arloji di tangan kanan Radit sudah tunjukan pukul lima sore, ia sendiri tengah kemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang meskipun jalanan sore itu lenggang. Gadisnya duduk bersandar di jok seraya memejamkan mata setelah sepasang headset terpasang di telinga.
Radit biarkan Elsa menikmati lelapnya yang bisa dipastikan tak nyaman karena berada di dalam mobil, gadis itu benar-benar rasakan lelah usai selesaikan sesi gladi resik bersama Radit di Hotel Grand Canyon—tempat mereka akan langsungkan pertunangan esok hari, pasalnya sebelum gladi resik pun Elsa baru selesaikan sesi pemotretan untuk sebuah produk kosmetik, sebab ialah aktris yang dijadikan ambassador.
Kesibukan adalah teman Elsa, tapi sepi juga tak pernah sirna. Bola mata itu bisa melihat banyak orang, bibirnya pun sanggup berbicara, tapi jiwanya benar-benar rasakan sepi saat begitu banyak orang yang tak bisa mengerti akan dirinya.
Ibaratkan seseorang tengah berdiri mematung dengan tatapan tanpa ekspresi di antara banyaknya orang yang berlalu-lalang dan menyapa dirinya, itulah Elsa.
Jika Elsa pandai berdelusi di depan cermin, ia akan lakukan dan menganggap dirinya adalah tokoh pantomim yang bisa lakukan segala hal tanpa batas, tapi ia masih Elsa yang sama, yang hanya bisa menatap cermin dan dapati rupa sendiri tengah diam tanpa ekspresi. Tak ada wujud pantomim dirinya dalam cermin.
"Langsung antar aku ke rumah ya," ucap Elsa setelah matanya terbuka, tapi punggung dan kepala itu masih bersandar dan tatap keadaan di luar jendela mobil usai Elsa menekan sesuatu, ternyata Radit tak lebih menarik dari suasana sekitar, ia tak mampu membuat Elsa berfokus padanya.
"Nggak jadi makan dulu?" tanya Radit menoleh sejenak.
"Enggak, badanku udah kayak remuk. Mending istirahat kan buat persiapan besok, makan bisa jam berapa aja," ujar Elsa.
Radit tersenyum masam. "Maaf ya kalau semua aktivitas itu bikin kamu makin capek, El." Ia hela napas berat.
"Dit, apa semua orang bisa berpura-pura?" tanya Elsa tiba-tiba, dan Radit mengernyit mendegarnya.
"Pura-pura apa?"
Elsa tak menyahut, ia tertegun pada sosok manusia yang tadi sempat dilihatnya karena eboni itu masih fokus memperhatikan keadaan di luar jendela mobil.
Sosok yang baru saja keluar dari minimarket bersama pria yang ia kenali, dua manusia itu lama tak dijumpa, dan salah satunya adalah penyumbang patah hati terhebat dalam hidup Elsa.
Dia, kenapa dia ada di Jakarta?
Bukannya dia udah mati.
"Elsa? Kamu nggak apa-apa?" Bahkan suara Radit tak bisa mengusik Elsa seolah gadis itu sudah memasang tembok tebal di sisi telinganya.
Gadis itu masih sanggup bernapas sekalipun dadanya terasa sesak, bola matanya berkaca hingga sesuatu meluruh tanpa izin. Buru-buru Elsa usap air matanya sebelum Radit menyadari sesuatu, gadis itu pun naikan kaca mobil dan tatap lurus ke depan, ia masih bergeming.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Radit tampak cemas.
"Nggak apa-apa, cepetin dikit ya laju mobilnya biar aku cepat sampai rumah."
"Oke."
***
Mobil menepi di depan gerbang rumah, Pak Karsa yang masih setia menjadi satpam rumah pun keluar dari pos dan mendorong gerbang hingga terbuka lebar.
"Makasih udah diantar pulang," ucap Elsa sebelum bergegas turun, ia sungguh tak bisa sembunyikan sendu di wajahnya.
"El, tapi ...." Kalimat Radit mengapung di udara, ia mendesah dan biarkan Elsa pergi melewati gerbang yang terbuka lebar. "Pasti dia capek banget sampai kayak gitu, istirahat ya, El."
Gadis itu sendiri tak bisa lagi membendung air mata yang sudah sangat ia tahan ketika berada di mobil, begitu melewati ambang pintu utama langsung ia tumpahkan air hujannya yang mewakili rasa sakit setelah bertahun-tahun Elsa biarkan di sudut hati. Kini apa yang sempat dirasakannya kembali mengapung setelah manusia penyebab patah hati itu kembali terlihat di Jakarta.
"Gue nggak mungkin salah lihat, itu pasti dia, kan?" Gadis itu bergumam seraya menapaki anak tangga dengan cepat, sesekali ia menyeka air mata meski tetap saja kembali menetes lebih deras.
Brak!
Elsa membanting pintu kamar dan menguncinya, ia menjatuhkan tubuh di ranjang dan menarik bantal untuk menutupi wajahnya yang semakin basah.
"Dia itu nggak ada, harusnya nggak pernah ada. Dia udah mati!"
Elsa sesenggukan, ia tak sedang berakting di depan kamera untuk adegan menyedihkan. Gadis itu beranjak sebelum lepas flat shoes dan melangkah tanpa alas kaki hampiri kamar mandi, tangannya bergerak nyalakan kran air hingga air shower mulai menetes layaknya hujan. Gadis itu berdiri di bawahnya seraya rekatkan telapak tangan pada tembok di depannya.
Malam itu usai Elsa pulang dari bandara setelah tak temukan Satria yang memang tengah melangsungkan penerbangan dari Jakarta ke Melbourne, gadis itu menangis tiada henti, ia masih melangkah tanpa alas kaki dan biarkan kakinya disentuh kerikil atau aspal jalan yang kasar. Tak peduli apa pun yang mungkin membuatnya berdarah, perih dalam batin jauh lebih menyiksa.
Sekalipun Elsa tak pernah menyangka kalau Satria akan pergi meninggalkannya, bahkan sejauh itu, tak ada sepatah kata juga.
Semua seperti mimpi buruk, tapi yang Elsa hadapi benar-benar nyata.
Gadis itu terduduk lemas tepat di ambang pintu yang terbuka, ia menangis seraya menyentuh leher yang terasa sakit, gadis itu menunduk biarkan rambutnya menutupi wajah.
"Ngapain pulang? Kamu tadi kabur, kan? Udah dapat apa yang kamu mau?" Suara Mentari terdengar, wanita itu mendekat dan berdiri di depan Elsa yang masih menunduk. "Udah, sana kejar dia. Bukannya dia laki-laki impian kamu? Manusia yang pasti buat kamu bahagia, kan?"
Elsa mengeepalkan tangan, ia beranjak dan tatap tajam sang ibu. "Rencana apa yang Mama perbuat sama dia pergi lagi, pasti semua karena doktrin dari Mama, kan? Sama kayak dulu sebelum aku ke Jepang, kenapa Mama selalu egois."
"Rencana mama?" Mentari tertawa seolah mengejek. "Mama nggak ngapa-ngapain kok, harusnya kamu mikir Elsa, dia itu cuma manfaatin kamu aja. Dia perkosa kamu, bikin kamu sakit hati lagi dan pergi tanpa rasa tanggung jawab. Apa itu yang dinamakan laki-laki?"
"Dasar b******n!" Elsa memukul tembok di depannya hingga kulit yang menutupi buku-buku jarinya terlihat kemerahan. "Lo nggak pernah hidup di mata gue! Lo udah mati!"
***