Hiruk-pikuk keramaian tak sanggup menepis sepi,
Aku sendiri.
Malam penuh kerlip pun tak bisa usir sunyi, semuanya kembali menyadarkan kalau aku masih sendiri.
***
Beberapa koper besar tertata rapi di dekat meja ruang tamu apartemen yang ditinggali Satria selama hampir empat tahun setelah sang ayah memindahkannya tinggal di Melbourne, setelah semua kekacauan yang Satria buat, dan setelah begitu banyak luka yang Satria rangkai untuknya sendiri.
Begitu banyak tutur kata yang ingin Satria suarakan, tapi kelam memaksanya diam. Ingin sekali berteriak sekencang mungkin tanpa kekang, tapi semesta seakan menguncinya dalam ruang hampa. Ia sudah tahu seperti apa rasanya tinggal dalam sebuah terungku, sesulit itu.
Memaksa hidup di dunia yang asing tanpa batas waktu, tanpa ia tahu kapan waktu memihak hingga pedih itu lekas berlalu.
Masa SMA adalah masa ke-emasannya saat ia bebas menjadi siapa, hidup seperti apa, dan mutlak menjadi dirinya. Namun, bebasnya ia yang dulu tetap bebas yang tak pernah diinginkan, tapi sekarang semua masih tetap kontradiksi. Saat ia diperhatikan sang ayah, hidupnya terjamin bahkan melanjutkan kuliah di luar negeri seperti yang banyak anak inginkan, tetap saja tak ada celah untuk Satria mengaku bahagia.
Dia hampa, masih seperti masa SMA.
Jika dulu banyak orang-orang di sekelilingnya, masih sanggup mendengar canda tawa teman-teman, bisa lakukan apa saja yang diinginkannya tanpa aturan, dan tahu rasanya jatuh cinta yang beriringan dengan patah hati. Lalu sekarang, semua seolah mati, ia merasa tinggal di kota mati sekalipun hiruk-pikuk bisa ditatap netra pekat itu.
Di Melbourne tak ada bising dari celotehan teman-teman, tak ada yang mengajarkannya berjuang, sebab sekalipun maju selangkah saja ia sudah kalah, karena tak ada ruang baginya bergerak.
Ia hanyalah bidak permainan catur yang harus mengikuti aturan, yang hidup monoton seperti bangun pagi dan langsungkan kuliah, setelah itu kembali pada rutinitas membosankan di apartemen. Satria sangat menutup diri dari dunia luar, ia tak ingin berteman dengan siapa-siapa, sebab teman sejati adalah kesepian tak berkesudahan.
Semakin hari semakin abu-abu saja setelah ia meninggalkan pelanginya tanpa suara, tanpa sepatah kata yang menjadi jawaban kenapa. Di Melbourne, tak ada jatuh cinta, hanya patah hati setiap hari, waktu demi waktu yang mengukir rindu hingga wajah kuarsa itu tak mampu sembunyikan sendu.
Dunia seolah hanya ditinggali sendiri, tak ada siapa-siapa yang temani, baginya semua telah mati. Satria benar-benar sabar melakoni skenario yang dibuat sang ayah, ia belajar menjadi aktor yang handal selama beberapa tahun kehidupannya di Melbourne. Andai Satria cengeng, mungkin setiap hari ia akan menangis dan meronta agar dipulangkan ke Indonesia, tapi manusia yang sering tampilkan ekspresi melankolis itu lebih pandai menutup rapat-rapat perihal kebenciannya berada di Melbourne.
Ia sendiri, sang ayah hanya datang setiap enam bulan sekali, tapi bukan berarti Hasan benar-benar membiarkan sang putra hidup tanpa pengawasan. Pria itu memiliki beberapa bodyguard yang sengaja disewanya untuk menjaga Satria tanpa laki-laki itu tahu.
Sedangkan Satria sendiri selalu merasa kembali ke masa kecilnya, masa di mana ia ditinggalkan di panti asuhan setelah sang ayah hanya berbohong dengan janji-janji. Semua orang masih suka meninggalkannya dengan segudang alasan, menyedihkan.
Desau angin siang itu membuat beberapa helai poni Satria jatuh menutupi sebagian wajah, rambut laki-laki itu sedikit gondrong, dagunya dipenuhi brewok tipis setelah empunya tak peduli dengan urusan penampilan.
Punggung Satria bersandar pada tembok di belakangnya, kaki kiri ia luruskan, dan lutut kanan tertekuk guna menahan gitar yang dipangkunya. Jemari-jemari itu sibuk memetik senar hingga tercipta bunyi yang cukup selaras, balkon dan gitar adalah sesuatu yang selalu menghiburnya.
Matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat tanpa niat melontar kata, ia nikmati semilir angin yang setia manjakan paginya itu. Pagi yang sama, membosankan.
Namun, dering ponsel membuat ketenangan Satria buyar. Ia akhiri petikan senar gitar dan sandarkan benda itu di ruang kosong sebelah kirinya, Satria rogoh saku celana dan angkat panggilan masuk dari Hasan.
"Kamu sudah siap?"
"Aku selalu siap kapan pun."
"Oke, papa tunggu di bandara."
Panggilan itu berakhir, empunya tiupkan udara lewat bibir sebelum terpejam sesaat, ia harap omong kosong yang baru dibicarakannya tadi bukanlah mimpi, ia harap semua sesuai ekspektasi, ia harap rasa rindunya lekas berhenti.
Kelopak mata itu terbuka. "I miss you."
***
Lampu merah perempatan baru saja menyala, mobil-mobil yang melaju akhirnya berhenti hingga jarak beberapa meter, kepadatan Jakarta sore itu cukup dirasakan pengguna jalan yang mulai kesal saat macet panjang merangkak di beberapa ruas jalur tertentu, terkecuali mereka yang sudi menerobos jalan lain demi menghindari kemacetan yang tak pernah absen dari jadwal rutinitas di ibukota.
Lagu Sang Dewi yang dinyanyikan Titi Dj masih saja menjadi pengisi kosong yang menghiasi telinga Elsa sekalipun mobilnya berada di deretan ke-lima saat empat mobil lain berada di depannya setelah lampu merah menyala. Ia sendiri baru pulang dari Puncak setelah sepuluh hari habiskan waktu syuting yang melelahkan, dan menghadapi kemacetan beberapa kali benar-benar cukup membuat tubuh itu semakin remuk.
Ia hanya sendiri, tanpa Mentari atau Radit, bahkan tanpa asisten pribadi yang dibayar sang ibu. Karena sebenarnya ia tak izin pada siapa-siapa ketika putuskan pulang sendiri, ponsel bahkan sengaja Elsa matikan agar tak ada yang mengganggu. Ia ingin sendiri, pikirannya mulai risau menjelang hari pertunangan yang telah ditentukan sang ibu.
Awak media tahu, satu Indonesia juga pasti tahu, mereka para penggemar akan berseru senang dan berbondong-bondong berikan doa karena kabar bahagia dari couple goals kesayangan mereka. Sedangkan gadis itu sendiri sama sekali tak miliki rasa senang menjelang hari bahagia, ekspresinya datar.
Lagi-lagi tugas berat harus diembannya agar semua orang senang, agar karirnya di dunia hiburan semakin gemilang seperti yang diinginkan Mentari, sebab Elsa masih tetap manekin yang wajib tersenyum palsu pada banyak orang.
"Ayo dong, maju." Elsa mulai emosi karena mobil di depannya melaju lambat, beberapa kali ia tekan klakson tanpa memedulikan cibiran pengemudi kendaraan lain.
Ketika mobilnya berhasil melewati zebra cross tepat di bawah lampu hijau yang menyala, kendaraan itu melaju dengan kecepatan tinggi mumpung jalanan lenggang. Elsa miliki janji untuk temui Lova setelah sampai di Jakarta, sekalipun tubuhnya benar-benar lelah, tapi jika harus bertemu orang-orang terkasih pun akan Elsa tepis rasa lelah itu. Lova masih menjadi tempatnya berkeluh kesah, pendengar yang baik tanpa pernah menghakimi setelah begitu banyak yang Elsa lalui, sekelumit pelik hidup yang ia nikmati sendiri.
***
Hampir tiga puluh menit Elsa duduk di sudut Kafe Pelangi sekadar menunggu kehadiran Lova, hujan sore itu membuat waktu terulur cukup panjang mengingat kesibukan Lova juga cukup padat setelah perempuan itu menikah dengan Affan dua tahun lalu, tapi dengan setianya Elsa tetap menunggu seraya nikmati segelas espresso yang tinggal setengah, ia juga sibuk menaklukan game dalam ponselnya. Gadis itu miliki dua ponsel, satu khusus untuk berhubungan dengan Radit, Mentari dan segala crew yang dunia entertainment pun modeling. Satu ponsel lainnya Elsa khususkan untuk berhubungan dengan teman-teman dekat saja, jadi ponsel lain masih tetap Elsa non-aktifkan, lagipula Mentari tak tahu kalau anak gadisnya miliki dua ponsel.
Seorang perempuan kenakan dress kuning selutut yang dipadukan cardigan putih terlihat memasuki kafe setelah melepas payung di pelataran tempat itu, ia melangkah hati-hati setelah sepatu yang dikenakannya tersentuh basahnya air hujan. Maklum saja, Lova hamil muda dan harus selalu over protective dengan diri sendiri.
Lova tersenyum menatap Elsa yang belum sadari kehadirannya setelah game online merebut fokus gadis itu, Lova lantas menghampiri teman baiknya dan duduk di sebelah Elsa.
"Ehem, sibuk banget ya," cibir Lova, temannya itu baru menengadah dan hampir melempar ponsel jika saja tangannya tak sigap menangkap kembali.
"Astaga, Lova! Untung nggak mati!" pekik Elsa membuat beberapa pengunjung kafe menatapnya sinis.
Lova terkekeh. "Siapa yang mati? Elo atau itu hape? Lagian sibuk banget sampai temannya datang nggak tahu."
"Ya maaf."
"Sori ya, lama. Tadi ada yang perlu diurus dulu, apalagi Affan di kantor telepon terus ngomong ini-itu biar gue selalu hati-hati."
"Iyalah, namanya juga hamil muda." Elsa letakan ponselnya di meja. "Mau pesan apa?"
"Entar aja, El. Gue lagi mual-mual terus soalnya, maklumlah trimester pertama ya gini, malu kalau mual-mual di sini."
"Malu kenapa? Kan hamil ada suaminya." Perkataan itu membuat Lova sontak mendelik, dan Elsa terkekeh.
"Gue sih udah hamil, elo mah nikah aja belum. Eh iya, yang mau tunangan menghitung hari."
Elsa terdiam, tawanya lenyap seketika. "Kenapa harus bahas itu?"
Lova mencubit kedua pipi Elsa. "Ya ampun, sensitifnya Elsa melebihi orang hamil kayak gue. Tapi serius, gue kepo soal itu. Kita kan lama enggak ketemu, paling chatting aja, jadi kayak banyak banget yang mau gue bahas di sini, Elsa."
Gadis blasteran itu kembali bergeming, ia sandarkan punggung pada bahu sofa dan menoleh ke jendela kaca tebal yang memperlihatkan guyuran hujan di luar tempat itu. Terkadang ia sadar betul kalau yang dijalaninya hanyalah rekayasa belaka, tapi Radit menganggap hubungan mereka begitu nyata. Elsa takkan pungkiri kalau laki-laki itu memang sosok yang lembut dan penuh perhatian, tak pernah kehabisan ide untuk mengajak Elsa bicara sekalipun sering dipatahkan dengan jawaban sederhana atau sesuatu yang membuat Radit bungkam.
Mungkin Elsa adalah gadis bodoh yang tak bisa mencintai seorang Raditnya Angkasa ketika begitu banyak kaum hawa tergila-gila padanya, fanbase di mana-mana hingga beberapa penggemar sering datang ke lokasi syuting demi bertemu Radit. Sedangkan Elsa sendiri lebih sering mengabaikan laki-laki itu dengan segudang alasan.
Elsa sendiri tak bisa gunakan alasan belum move on sebagai tameng menolak perasaan Radit, ia bahkan tak miliki siapa-siapa yang perlu disimpannya dalam relung hati, Elsa hanya sadar kalau perasaan yang dimilikinya telah lama mati dan sulit ditumbuhkan lagi. Ia tak bisa mempercayakan hatinya pada siapa-siapa, semua yang Elsa punya tak sudi untuk dibagi, semua hanya karena sosok yang membuatnya patah berkali-kali hingga pergi dan menjadi ilusi.
Elsa menoleh pada Lova yang ikut bergeming memperhatikannya. "Hidup gue itu cuma permainan yang dikendaliin sama remote control punya mama, gue nggak bisa apa-apa selain ikutin semua keinginan dia, gue cuma boneka."
***