Episode 5

1324 Kata
Menyusun rencana Begitu membuka pintu, Alya tertegun memperhatikan kamar milik Adinda. Kamar bernuansa putih yang terlihat sangat rapi dan harum. Harum khas tubuh wanita yang kini sedang didiami oleh jiwanya. "Dia benar-benar wanita yang sempurna. Bukan hanya cantik dan baik hati, sepertinya Dinda penyuka wewangian dan tempat yang tertata." gumam Alya. Alya mulai menelusuri setiap sudut kamar untuk mencari petunjuk yang mungkin bisa menjelaskan kenapa jiwanya terjebak dalam tubuh Dinda. Mulai dari lemari pakaian, laci meja rias, pun sampai sudut terkecil, tak dilewatkan oleh gadis itu. Pencarian Alya berhenti saat tangannya menemukan sebuah buku yang disembunyikan dibawah tumpukan selimut. Buku berwarna merah muda yang memiliki aroma sama dengan kamar yang kini ditempatinya. Dengan hati-hati, Alya mulai membuka dan membaca buku tersebut. Day-1 Menjadi pengantin demi menyelamatkan perusahaan keluarga, sepertinya terdengar klise dan memuakkan. Tapi ternyata tidak seperti yang kubayangkan. Orang tua Dimas, sama seperti papa dan mama di rumah. Mereka sangat baik. Melihat mereka, seperti hiburan untuk hidup yang ku pertaruhkan. Aku hanya harus bertahan dan menjalani kehidupan baru sebagai seorang istri. Meskipun Dimas punya kekurangan, aku masih yakin kalau kami akan menjadi keluarga seutuhnya. Alya menutup buku dan merenungi seperti apa perasaan Dinda saat menuliskannya. Bisa dikatakan, Dinda anak yang berbakti dan penuh percaya diri. Alya memutuskan untuk tidak membaca buku Dinda dan mengembalikan buku tersebut ke tempat semula. "Aku tidak boleh mengintip perasaan pribadi seseorang." putus Alya. Gadis itu berjalan ke arah kasur dan mulai merebahkan diri. Tatapannya menerawang dengan pikiran mengembara kemana-mana. "Zein, apa sekarang dia baik-baik saja? Ah aku juga merindukan ayah. Apa ayah bersedih? Apa ayah makan dengan benar? Dalam kondisi seperti ini aku belum bisa melakukan apa-apa. Padahal aku harus mengunjungi Zein. Aku ingin menemui ayah. Tapi, apa aku boleh melakukannya dengan tubuh Adinda?" gumam Alya. "Aku harus memikirkan bagaimana cara keluar dari rumah ini tanpa diikuti oleh siapapun. Dalam kondisi lupa ingatan, mertua Adinda pasti akan meminta seseorang menemani kemanapun aku pergi. Sudah pasti orang yang harus menemaniku adalah Dimas. Huh, akan sangat merepotkan jika harus berurusan dengan Dimas. Apa yang sebaiknya ku lakukan?" tanya Alya pada dirinya sendiri. Alya terus menggerutu dan bergumam pelan sampai rasa kantuk mencuri kesadarannya. *** Pagi-pagi sekali Alya turun ke lantai bawah dengan tergesa. Maya dan beberapa orang yang melihat, cukup terkejut menyaksikan pemandangan itu. Mereka ingat betul kalau Adinda pernah jatuh dari tangga hingga menyebabkan majikan mereka lupa ingatan. Mereka pikir setidaknya Dinda akan mengalami trauma atas kejadian itu. "Hati-hati nyonya." ujar Maya khawatir. Alya terkekeh. "Ada apa sih? Kenapa wajah kalian tegang sekali?" "Ah bukan apa-apa." jawab Maya mengalihkan pembicaraan. Dalam kondisi ini Maya pikir Dinda pasti lupa penyebab kenapa dia terbaring koma dan lupa ingatan. "Apa mama dan papa sudah sarapan?" tanya Alya. "Mereka belum bangun, Nyonya. Semalam tuan dan nyonya besar pulang larut." jawab Maya. Alya tersenyum senang dan menyeret Maya ke teras depan. "Apa kau bisa menemaniku jalan-jalan? Aku ingin menghirup udara segar. Paling tidak, aku ingin mengunjungi mama dan papa. Kau bisa menemaniku?" tanya Alya penuh harap. Maya tampak salah tingkah. Gadis itu tersenyum kaku sembari menautkan jari dan menundukkan kepala. "Maaf nyonya, kami tidak diizinkan membawa nyonya keluar. Setelah kejadian waktu itu, nyonya besar meminta kami menjaga nyonya dengan baik. Kalaupun nyonya diperbolehkan keluar, itu atas izin nyonya besar atau pak Dimas." jelas Maya. "Apa-apaan ini? Memangnya aku tawanan?" gerutu Alya. "Bukan begitu nyonya. Nyonya besar sangat menyayangi nyonya. Nyonya besar yang sulit mempunyai keturunan, merasa nyonya adalah putri kandungnya sendiri. Jangan salah artikan tindakan nyonya besar yang terkesan over protektif." ujar Maya. "Iya aku paham. Padahal sudah bangun pagi-pagi. Ku pikir aku bisa melakukan rencana-rencana yang sudah ku susun." omel Alya sembari berlalu. "Memangnya apa yang kau rencanakan?" Dimas yang sejak tadi tidak sengaja mendengar pembicaraan Alya dan Maya, akhirnya mengeluarkan suara. Alya terperanjat dan mundur beberapa langkah. "Apa yang kau lakukan disini? Astaga kau hampir membuat jantungku keluar dari tempatnya." cecar Alya. "Kau mau kabur kemana? Jika kau bermaksud pulang, harusnya kau izin baik-baik ke orang rumah." "Itu karena aku tidak suka jika harus pulang bersamamu. Kalau aku izin, mama pasti akan memintamu menemaniku." balas Alya. "Ternyata kau pintar juga. Tapi, apa kau ingat jalan pulang?" tanya Dimas setengah mengejek. "Tentu sa..." Alya tak melanjutkan ucapan. Jika itu rumahnya sendiri, tentu Alya ingat dengan jelas kemana dia harus pergi. Tapi, yang harus dia datangi adalah rumah Adinda. Dari rumah Adinda, Alya baru bisa melanjutkan rencana-rencana yang semalam sudah dia susun. "Apa sekarang kau sudah mengerti kenapa kau harus tetap di rumah? Pikirkan perasaan mama jika tiba-tiba kau tersesat entah kemana. Aku sih tidak peduli. Tapi, jika itu menyangkut mama, aku tidak akan tinggal diam." tegas Dimas. "Kalian sedang membicarakan apa sih? Sepertinya seru." tanya Yuni. Lukman dan Yuni yang hendak menuju meja makan, menghentikan langkahnya saat melihat Alya dan Dimas yang sedang berdebat. "Dinda berencana mengunjungi rumah orangtuanya seorang diri." ujar Dimas. Yuni terlihat khawatir dan langsung menghampiri Alya. Dengan kesal, Alya melempar tatapan tajam ke arah Dimas. "Apa itu benar? apa kau tidak betah tinggal disini?" tanya Yuni. "Bukan seperti itu, Ma. Aku berencana membawa Maya bersamaku. Aku tidak mungkin pulang sendiri sementara aku tidak ingin dimana alamat rumahku." elak Alya. "Kenapa harus Maya? Bukankah kau bisa mengajak Dimas?" tanya Yuni lagi. "Anu, itu..." "Aku juga sudah menawarkan diri, tapi sepertinya Dinda tidak nyaman bersamaku." bohong Dimas. Alya tampak geram karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk membalas perlakuan Dimas. "Selamat pagi semuanya. Lho kenapa berdiri seperti ini? Apa ada rapat keluarga dadakan?" canda Kevin yang baru datang. "Akhirnya kau pulang juga." sambung Kevin saat matanya menangkap sosok Dimas. Dimas berdecak malas. "Aku tidak pulang atas kemauan sendiri." Kevin mengangkat bahu cuek sembari menyeret Alya ke ruang makan. Yuni dan Lukman mengekor dibelakang tanpa menghiraukan keberadaan Dimas. "Hari ini kau masak apa? Biasanya setiap pagi aku sarapan disini demi mencicipi masakan yang kau buat." ujar Kevin. Alya tampak risih karena lengan Kevin masih bertengger di bahunya. Jika dipikir-pikir, Kevin dan Dinda pasti memiliki hubungan yang cukup dekat. Jika tidak, akan sangat aneh melihat istri Dimas berada dalam rangkulan laki-laki lain. Sejauh ini Alya masih meraba-raba apa hubungan Dimas dan Kevin. "Seharusnya kau jelaskan dulu seperti apa kedekatan kalian sebelum Dinda lupa ingatan. Jika tiba-tiba kau bersikap seperti itu, Dinda pasti kaget." ujar Yuni. Kevin terkekeh. "Setiap hari aku akan datang untuk mengingatkan Dinda betapa dekatnya kami dulu. Untuk saat ini Dinda hanya boleh tau kalau aku adalah sepupu suaminya." "Ah terserah kau saja. Tante selalu kalah jika berdebat denganmu." tukas Yuni. Kevin tersenyum lebar. Disebelah Kevin, akhirnya Alya buka suara. "Apa kita sangat dekat?" tanya Alya penasaran. "Tentu saja." jawab Kevin yakin. "Kalau begitu, apa kau bisa menemaniku menemui mama?" Kevin mengangguk senang. Sesaat kemudiaan matanya melirik Dimas yang sama sekali tidak terganggu untuk hal itu. "Kalau kau tidak punya kegiatan, tolong antar Dinda pulang. Sepertinya dia merindukan Salma dan Jamal." perintah Lukman. "Saya punya banyak waktu luang, Om. Tapi, apa tidak sebaiknya Dinda pergi bersama Dimas? Bukankah Dimas sudah lama tidak bertemu mertuanya?" usul Kevin. "Kalau dia bersedia, tentu saja sejak tadi dia akan menawarkan diri. Sudahlah, dari pada membuat Salma jantungan, lebih baik kau saja yang mengantar Dinda." putus Yuni. "Benar sekali, Om Jamal dan Tante Salma pasti kaget melihat menantu yang menghilang sehari setelah menikahi putri mereka. Kau tidak berencana menjelaskan apapun?" tanya Kevin pada Dimas. "Urus saja urusanmu. Kalau kau begitu antusias terhadap hidup Adinda, kenapa dulu bukan kau saja yang menikah dengannya?" balas Dimas kesal. Kevin tersenyum simpul. Saat Kevin ingin menimpali, Yuni menghentikan laki-laki itu dengan isyarat mata. Alya dapat menangkap isyarat Yuni. Alya yakin, Yuni pasti ingin merahasiakan alasan kenapa Dimas pergi setelah menikah. "Jika cuma mau merusak selera makan seseorang, harusnya kau tidak usah datang." tambah Dimas sembari meninggalkan meja makan. Tak seorangpun berniat menghentikan Dimas. Lebih tepatnya, Yuni, Lukman, pun Kevin, masih marah dan kecewa atas sikap Dimas yang dinilai sudah sangat keterlaluan. 5 tahun bukan waktu sebentar. Selama 5 tahun tersebut, Dimas sudah menyia-nyiakan seorang istri yang nyaris sempurna. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN