Episode 6

1333 Kata
Tentang Adinda "Terimakasih kau sudah bersedia mengantar, Kev." ujar Alya setelah mereka dalam perjalanan. "Aku suka melakukannya. Tapi ngomong-ngomong, apa kau sudah benar-benar sehat?" tanya Kevin. "Selain tidak bisa mengingat apapun, ku rasa tubuhku baik-baik saja." Kevin terkekeh. "Melihatmu yang sekarang, aku seperti melihat orang lain. Kau yang sekarang, lebih lugas dan blak-blakan. Dulu kau selalu memendam semuanya sendiri dan enggan mengemukakan pendapat." "Apa aku seperti itu? Apa artinya aku adalah orang yang sangat sopan?" tanya Alya menarik kesimpulan. "Bukan hanya sopan, kau baik dan bijaksana. Kau pandai melakukan segala hal. Terlebih, kau sempurna sebagai seorang istri. Harusnya kau bertemu laki-laki yang pantas." sesal Kevin. "Untuk yang satu itu aku setuju. Harusnya Dinda bertemu laki-laki baik dan mencintainya sepenuh hati." ujar Alya. Kali ini Kevin tak dapat menahan tawa. "Seolah-olah kau sedang membicarakan orang lain." Alya tak lagi menimpali. Gadis itu mulai tertarik dengan pemandangan di luar yang sangat familiar dalam ingatannya. Itu jalan menuju rumahnya. Benar saja, tak berapa lama, Alya melewati pekarangan rumahnya sendiri. Alya hendak bertanya. Tapi gadis itu mengurungkan niat saat Kevin menghentikan mobil di pekarangan rumah mewah yang hanya berjarak 4 atau 5 rumah dari rumahnya. "Kita sudah sampai." ujar Kevin. Alya tertegun. Gadis itu mengamati bangunan yang nyaris sama dengan bangunan rumahnya. Yang berbeda hanyalah, rumah Dinda terlihat lebih asri karena memiliki banyak tanaman hias. "Takdir macam apa ini? Jadi sebenarnya aku dan Dinda tinggal di kompleks perumahan yang sama. Sayangnya semasa hidup kami justru tidak saling mengenal." gumam Alya nyaris tidak terdengar. "Kau bicara apa? Ayo turun. Om dan Tante pasti senang karena kita berkunjung." ajak Kevin. Alya menurut dan bergegas mengikuti langkah Kevin. Saat melihat Alya di ambang pintu, Salma bergegas menghampiri dan membawa Alya dalam pelukan. "Mama sangat merindukanmu sayang." ujar Salma bahagia. Mata Alya berkaca-kaca. Dalam pelukan Salma, dadanya bergemuruh. Alya tidak pernah dirindukan dan disambut dengan sukacita. Alya bahkan nyaris tak pernah dicari meskipun tidak pulang berhari-hari. "Biarkan Dinda istirahat dulu, Ma. Setidaknya ajak Dinda duduk." tegur Jamal. Salma nampak salah tingkah dan membimbing Alya ke ruang tamu. Meski asing, Alya merasakan hangatnya sebuah keluarga di dalam rumah Adinda. "Apa kau sudah mengingat sesuatu?" tanya Jamal setelah Alya duduk. Alya menggeleng pelan. Rasanya Alya tidak tega membohongi Jamal dan Salma perihal putri mereka. Melihat mata tua Jamal yang teduh, Alya jadi ingin mengatakan kejujuran kalau dia bukan putrinya. "Jangan merasa bersalah karena tidak mengingat apapun, Nak. Papa justru senang kau melupakan semuanya." lanjut Jamal. "Untuk yang satu itu, aku juga setuju Om. Hanya saja, aku sedikit sedih karena Dinda tidak mengingat bagaimana kedekatan kami dulu." canda Kevin mencairkan suasana. "Yang penting saat ini Dinda sehat dan Dinda baik-baik saja. Jika ingatannya hilang, maka Dinda bisa membuat ingatan baru yang lebih baik. Mama juga setuju dengan kalian." tambah Salma. "Aku tidak tau apa ini hal baik atau justru hal buruk. Tapi aku berjanji akan membuat hidupku baik-baik saja dan lebih berguna kedepannya nanti. Mama dan Papa tidak perlu mengkhawatirkan apapun." ujar Dinda. Sekali lagi Salma membawa Dinda dalam pelukan. Wanita paruh baya itu nyaris menangis jika Alya tidak segera menguatkan dan mengalihkan pembicaraan. *** Alya memperhatikan foto-foto Dinda yang terpajang rapi di atas meja. Kamar Dinda tidak jauh berbeda dengan kamar yang ada di rumah suaminya. Sepertinya Dinda juga penyuka warna putih dan wewangian. "Kau yakin bisa pulang sendiri? Harusnya kau tidak perlu meminta Kevin pulang lebih dulu." tanya Salma yang sejak tadi mengikuti Alya ke kamar. "Mama tidak perlu khawatir. Aku cukup pintar dalam mengingat sesuatu." jawab Alya. Salma memegang tangan Alya sembari membimbing wanita itu duduk. "Entah mama harus bersyukur atau sedih atas musibah yang menimpamu, Nak. Satu sisi, mama senang kau melupakan semuanya dan memulai hidup baru. Tapi disisi lain, perasaan bersalah terus menggerogoti jantung mama. Andai dulu kau tidak menikah dengan Dimas, mungkin saat ini kau sedang menjalani peran sebagai istri yang sebenarnya." sesal Salma. Alya memaksakan diri untuk tersenyum. Jika dipikir-pikir lagi, Dinda menjalani hidupnya dengan sangat baik. Terlepas dia bahagia atau tidak, tapi Dinda berhasil membahagiakan orang-orang disekitarnya. "Mama tidak perlu merasa bersalah. Aku menjalani hari-hari dengan sangat baik. Semua orang mencintaiku. Aku sama sekali tidak menyesal meskipun Dimas bukan laki-laki yang pantas untuk jadi seorang suami. Setidaknya, aku punya keluarga yang hangat dan menyayangiku seperti anak sendiri." "Tapi..." "Pasti ada alasan kenapa aku melupakan semuanya. Untuk itu, mama tidak perlu mengatakan apa-apa. Anggap saja Dinda sudah terlahir kembali. Seterusnya, jangan merasa bersalah untuk sesuatu yang tidak ku ingat. Akan lebih baik jika kita membuat ingatan baru yang lebih manis dan hangat." potong Alya. Salma membawa Alya dalam pelukan. Meski merasa asing dengan sikap putrinya, Salma justru merasa senang akan perubahan itu. Dinda yang sekarang, terlihat lebih tegar dan berani. Setelah cukup lama menghabiskan waktu, Alya akhirnya minta izin untuk pulang. Salma dan Jamal memaksa untuk mengantar, tapi Alya bersikeras menolaknya. Sudah jelas, Alya menolak agar bisa mengunjungi rumahnya sendiri sekaligus mampir ke rumah sakit. Alya sudah menyusun banyak rencana. Untuk itu Alya meminta Kevin pulang terlebih dulu. Jika masih bersama Kevin, Alya takut laki-laki itu mencurigai sesuatu. Saat taksi yang Alya pesan melewati pekarangan rumahnya, Alya meminta sopir berhenti sejenak. Dari kejauhan, Alya dapat melihat Darwin-ayahnya, sedang berbincang dengan Budi. Sesaat Alya hendak turun, tapi melihat Darwin buru-buru masuk ke rumah, Alya mengurungkan niat. Alya tidak kecewa. Cukuplah bagi Alya bisa melihat kalau Darwin baik-baik saja. Alya meneruskan perjalanan setelah Darwin tak lagi terlihat. Tidak butuh waktu lama, Alya tiba di rumah sakit dimana Zein sedang di rawat. Rumah sakit yang sama saat Alya terbangun di tubuh Dinda. Berbekal informasi yang berhasil Alya kumpulkan, akhirnya gadis itu menemukan kamar Zein. Hanya saja, meski sudah menemukannya, Alya tidak punya keberanian untuk mendekati tunangannya itu. Dari pintu yang tembus pandang, Alya bisa melihat Zein terbaring dengan berbagai peralatan medis melekat ditubuhnya. Alya memalingkan muka. Matanya berkaca-kaca, tak mampu menatap orang yang dia cinta dalam keadaan menderita. "Anda siapa? Kenapa berdiri di depan kamar Zein?" Alya buru-buru menyingkir sambil mengusap air matanya yang nyaris jatuh. Setelah yakin sudah terlihat baik-baik saja, Alya berbalik dan memaksakan diri untuk tersenyum. "Saya... " Kalimat Alya terputus. Perasaannya remuk redam. Saat netra gadis itu bertemu dengan mata teduh milik ibunya Zein, air mata tak mampu Alya cegah. Binar kebahagiaan tak lagi Alya tangkap dari wajah paruh baya yang kini berdiri didepannya. "Kenapa mama jadi begitu kurus? Mama harus menjaga kesehatan. Jika mama tidak sehat, lalu siapa yang akan menjaga Zein?" tanya Alya dengan suara tersendat. Nurul-ibu Zein, menatap Alya bingung. Pasalnya ini kali pertama mereka bertemu. Tentu saja Nurul tidak mengenali Alya yang kini ada di tubuh Dinda. "Apa kau temannya Zein?" tanya Nurul. Alya gelagapan. Gadis itu baru sadar bahwa dia telah mengatakan hal konyol yang tidak mungkin dimengerti oleh Nurul. "Ma-maafkan saya Tante. Sepertinya saya terlalu terbawa suasana." Nurul mendekat dan menyentuh tangan Alya. "Terimakasih sudah menghawatirkan Zein. Kalian pasti sangat dekat. Kau satu-satunya teman yang begitu peduli pada kondisinya." Alya tak dapat menahan diri. Dalam sekejap, Alya membawa Nurul dalam pelukan. "Zein pasti sadar. Zein laki-laki kuat dan sangat baik. Tante harus sehat untuk melihat Zein terbangun dari tidur panjangnya." ujar Alya dengan suara bergetar. Dalam pelukan Alya, Nurul ikut menangis. Banyak yang datang kemudian pergi. Tapi Alya satu-satunya orang yang terlihat begitu tulus bukan sekedar basa-basi. Nurul bisa merasakan itu dari suara Alya yang bergetar dan selalu menahan tangis. Setelah cukup lama diam, Nurul meminta Alya duduk dan menanyakan namanya. "Saya Dinda, Tante. Saya temannya Alya. Mungkin Zein juga tidak mengenali saya. Itulah alasan kenapa saya kesulitan menemukan Zein dan tidak langsung datang berkunjung." jelas Alya berbohong. "Ah ternyata kau teman Alya. Gadis malang itu..." "Saya sudah mendengar ceritanya, Tan." potong Alya. Alya tidak tega melihat Nurul menitikkan air mata saat nama Alya disebut. Sepertinya kepergian Alya membawa luka yang mendalam untuk Nurul. Apalagi saat ini Zein diambang hidup dan mati. Alya menghela napas berat. Rasanya tidak tega meninggalkan Nurul sendiri. Tapi Alya harus pulang. Jika pergi terlalu lama, keluarga Dimas pasti akan mencarinya. Dengan berat hati, Alya akhirnya pamit setelah berjanji akan datang dilain hari. To be continue...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN