Saling membenci
"Jadi kau benar-benar lupa ingatan?" ejek Dimas setelah mereka berada di dalam kamar.
"Begitulah." jawab Alya singkat.
"Sejak lupa ingatan sepertinya kau berubah jadi sosok orang lain. Jangan-jangan kau punya saudara kembar?" tebak Dimas.
Alya tersenyum mengejek. "Kembaran? Cih, ternyata orang pintar sepertimu bisa membuat spekulasi seperti itu juga. Bagaimana kalau ku katakan bahwa jiwa yang ada di dalam tubuh wanita ini bukanlah jiwa milik Adinda. Apa kau akan percaya?"
"Aku masih terlalu waras untuk mempercayai cerita tidak masuk akal itu. Setelah jatuh dari tangga, ternyata bukan hanya ingatanmu yang bermasalah. Sepertinya kau juga jadi gila." balas Dimas.
Kali ini Alya tertawa. "Percaya atau tidak itu urusanmu. Sekarang jelaskan kenapa kau memintaku kemari?"
Raut wajah Dimas tampak serius. Laki-laki itu melipat tangan di d**a dan memperhatikan Alya dengan seksama. Alya tak mau kalah. Dengan berani, Alya balas menatap Dimas.
"Apa kau ingat alasan mengapa kita menikah?" tanya Dimas.
"Selain untuk menyelamatkan kelangsungan perusahaan keluarga, aku tidak mengingat apapun." jawab Alya sekenanya.
Dimas meraih ponsel yang sejak tadi terletak di atas meja. Tanpa malu, Dimas mengarahkan sebuah foto ke hadapan Alya.
"Dia pacarku." ujar Dimas tegas.
Alya tertegun. Bukan karena cemburu atau kesal terhadap foto yang Dimas tunjukkan. Alya justru tertegun karena mengenali orang yang ada di foto tersebut.
"Pacar?" ulang Alya.
Dimas mengangguk. Seketika Alya tertawa terbahak. Dimas yang tidak menyangka reaksi Alya akan seperti itu, tampak menahan kesal sembari menyingkirkan ponsel dari hadapan Alya.
"Kenapa? Kau terkejut? Kau kecewa?" geram Dimas.
"Terkejut? Kecewa?" Alya langsung menggeleng sembari berusaha menahan tawa.
"Aku tidak tau apa maksudmu menunjukkan foto lelaki dan mengatakan kalau dia adalah pacarmu. Aku mencoba menebak-nebak, tapi aku ingin mendengar sendiri alasan kenapa kau menyebutnya sebagai pacar." lanjut Alya.
"Ternyata kau benar-benar bodoh. Aku gay. Pernikahan kita adalah tameng untuk menutupi perilaku menyimpang anak seorang konglomerat sepertiku." tegas Dimas.
"Gay?" tanya Alya tidak percaya.
Dimas mengangguk mantap. Alya melongo. Sekali lagi Alya memperhatikan penampilan Dimas dari kaki sampai kepala. Dimas nyaris sempurna tanpa cela. Siapa sangka Dimas justru pecinta sesama jenis. Menyadari kenyataan itu, Alya berdiri sambil mondar-mandir dihadapan Dimas.
"Berhenti mondar-mandir seperti itu, Dinda. Kepalaku pusing melihatnya." cecar Dimas.
"Jadi aku masuk ke keluarga ini untuk menyelamatkan perusahaan ayahku juga menyelamatkan wajah keluargamu dari berita tidak sedap? Apa dulu aku melakukannya dengan sukarela? Siapa yang membuat kesepakatan konyol itu? Apa orangtuaku?" tanya Alya penasaran. Lebih tepatnya Alya penasaran terhadap kehidupan yang dijalani Adinda.
Dimas bersandar di kepala ranjang sembari meluruskan kakinya mencari posisi yang lebih nyaman. Sementara Alya tampak berdiri tidak sabar disebelah Dimas.
"Mereka tidak akan mencapai kesepakatan jika hanya disetujui oleh satu pihak. Soal kau melakukannya dengan sukarela atau terpaksa, kau bisa menanyakan itu pada orangtuamu." jawab Dimas.
Alya manggut-manggut mengerti. Sesaat Alya lupa kalau Dimas bisa saja sedang membohonginya.
"Maaf jika ini terlalu privasi tapi aku harus menanyakannya. Apa kau dan Dinda, ah maksudku apa kita pernah tidur bersama?" tanya Alya lagi.
Kali ini Dimas tertawa. "Untuk ukuran wanita Indonesia, kau cantik, bahkan sangat cantik. Tapi terus terang, wajah dan tubuhmu sama sekali tidak membuatku tertarik. Sudah ku katakan. Aku tidak seperti lelaki pada umumnya. Aku penyuka sesama jenis. Kurasa kau sudah bisa menyimpulkan jawaban yang ingin kau cari dari apa yang sudah ku jelaskan."
"Kalau begitu aku tidak harus pindah kamar dong. Bukankah kau juga tidak tertarik pada tubuhku?" tantang Alya.
"Beberapa saat yang lalu kau ngotot ingin pindah kamar. Beberapa saat kemudian kau langsung berubah pikiran. Aku tidak suka berbagi kamar dengan perempuan. Kau, silahkan cari kamar lain." tegas Dimas.
"Yang aneh adalah kenapa kau harus bersusah payah mengatakan ini padaku? Padahal sepertinya semua orang sedang menutupi kenyataan memalukan itu? Seolah-olah kau sedang membangun dinding." tukas Alya mengalihkan pembicaraan.
"Aku mengatakannya agar kau berhenti menatapku dengan tatapan penuh kekaguman. Aku sama sekali tidak berniat untuk mencintai perempuan." ujar Dimas angkuh.
"Kau memang mempesona. Tapi, itu tidak ada gunanya jika kau penyuka sesama jenis. Astaga dosa apa yang sudah kulakukan hingga harus tinggal satu rumah dengan seorang gay." omel Alya.
Saat Dimas hendak membalas, Alya sudah lebih dulu berbalik arah dan meninggalkan Dimas di kamar. Dimas menggerutu tidak jelas.
"Cih sejak kapan dia berubah menjadi wanita menyebalkan dan banyak omong? Apa jangan-jangan dia benar-benar bukan Adinda? Tidak mungkin. Sepertinya saat itu aku terlalu cepat menilai. Setelah 5 tahun, dia baru menunjukkan wujud aslinya." geram Dimas.
***
"Jadi aku benar-benar tidak tidur di kamar itu?" tanya Alya.
Maya, asisten rumah tangga keluarga Dimas, mengangguk singkat. Alya akhirnya berhasil mengorek informasi tersebut setelah Maya mendatanginya saat Alya sedang melamun di teras belakang. Alya yakin, Maya dan Dinda cukup akrab. Keyakinan itu didapat Alya setelah beberapa kali Alya memergoki Maya menatap penuh khawatir kepadanya.
"Kamar nyonya berlawanan arah dengan kamar tuan. Hanya saja, nyonya besar melarang kami mengatakan kenyataan itu. Nyonya besar bilang, nyonya tidak perlu mengetahui masa lalu seperti apa yang nyonya jalani di rumah ini sebelum hilang ingatan. Tapi saya tidak tega. Kalau nyonya ingin mengingat apa yang terjadi, setidaknya saya harus mengatakan sesuatu. Nyonya orang yang sangat baik. Semua orang, termasuk tukang kebun dan petugas keamanan, sangat menyayangi dan menghormati nyonya." jelas Maya dengan mata berkaca-kaca.
Alya tertegun. Ternyata Dinda adalah sosok yang begitu dikagumi dan disayangi oleh orang-orang disekitarnya. Bukan itu saja, sepertinya Dinda menunjukkan peran sebagai istri dengan baik meskipun Dimas meninggalkannya selama 5 tahun.
"Apa Dimas tidak pernah pulang 5 tahun terakhir ini?" tanya Alya penasaran.
Maya mengangguk. "Sehari setelah melangsungkan pernikahan, tuan Dimas pergi begitu saja. Ah sebelum pergi Tuan Dimas sempat bertengkar hebat dengan tuan Besar. Sepertinya tuan Dimas tidak suka dengan pernikahan kalian. Maaf nyonya, saya tidak bermaksud lancang. Tapi saya benar-benar tidak bisa melihat orang sebaik nyonya terus diperlakukan tidak adil oleh tuan Dimas."
Maya tampak menunduk takut. Alya tersenyum lembut sambil menyentuh bahu gadis itu.
"Kenapa harus meminta maaf? Kau sedang mengatakan kejujuran, apa yang salah dengan itu? Mama dan papa sepertinya sengaja menyembunyikannya agar aku dan Dimas bisa memulai kehidupan pernikahan secara benar. Tidak ada yang salah dalam hal ini. Jadi tolong jangan meminta maaf." ujar Alya bijak.
"Jika nyonya besar tau, ..."
"Mama tidak akan mengetahui apapun, aku berjanji. Terimakasih untuk kejujurannya, Maya. Jika ada sesuatu yang ingin ku ketahui, jawablah dengan jujur seperti ini." potong Alya.
Maya mengangguk patuh. Hari sudah cukup malam kala itu. Alya meninggalkan Maya dan memintanya segera tidur. Beruntung orang tua Dimas sedang menghadiri perjamuan bisnis. Dengan demikian, Alya bisa mengorek banyak informasi dari Maya.
Saat hendak ke kamar, Dimas mendahului Alya dan menghadang gadis itu di depan pintu.
"Aku tidak bermaksud untuk tidur satu kamar denganmu. Aku hanya ingin mengambil barang-barang yang bisa ku bawa." jelas Alya malas.
"Tunggu disini! Aku akan mengeluarkan barang-barang milikmu." tegas Dimas.
Tak mau ribut, Alya akhirnya menunggu di depan kamar sambil mondar-mandir.
"Jelas-jelas foto yang ditunjukkan Dimas adalah foto Senopati. Dia sama sekali tidak menunjukkan perilaku menyimpang atau penyuka sesama jenis saat masih SMA. Bahkan Senopati terkenal playboy lantaran kaya dan berwajah tampan. Ada dua kemungkinan. Yang pertama, Senopati menyimpang setelah bekerja di Belanda atau Dimas sebenarnya laki-laki normal yang pura-pura jadi gay. Ini sedikit memusingkan. Jika dia laki-laki normal, lalu apa alasan Dimas menolak wanita secantik Dinda?" gumam Alya pelan.
Karena sibuk berpikir, Alya tidak menyadari kalau Dimas sudah keluar dengan menenteng kotak besar ditangannya.
"Jika kau sudah menentukan kamar, minta pak Umar memindahkan barang milikmu. Aku tidak yakin tubuhmu yang kurus itu mampu menahan bobot kotak ini." ejek Dimas sembari meletakkan kotak berisi tumpukan pakaian Dinda di lantai.
"Kenapa baju-baju ini ikut dikeluarkan? Aku berencana untuk tidak memakainya lagi. Harusnya kau biarkan aku masuk dan mengambil sendiri barang yang ingin ku bawa." kesal Alya.
"Kau tidak punya hak mengeluarkan pendapat." tegas Dimas.
Alya memilih beberapa helai pakaian dan meninggalkan Dimas begitu saja. Tanpa ragu Alya memasuki sebuah kamar yang diyakininya sebagai kamar milik Dinda.
To be continue...