Keesokan harinya, entah apa yang membuat Ratu hingga ia bangun jauh lebih dulu di banding Raja, pukul tujuh pagi ia sudah duduk manis di meja makan sembari menyesap teh jasmine hangat kesukaannya. Raja tadinya hendak sarapan juga di rumah namun ia tiba-tiba mengurungkan niatnya sebab ia baru saja di hubungi oleh asisten barunya bahwa ada kemajuan jadwal meeting yang membuat Raja harus segera berangkat ke kantor. Setelah mendapat pesan itu, Raja mengambil langkah lain kemudian menyambar tas kerja nya di tangan salah satu asisten yang bekerja di rumah mereka. Ratu melirik Raja dengan tatapan sinis, ia kemudian menghampiri Raja sembari melipat kedua tangan di depan d**a.
“Kenapa? Kenapa kamu gak jadi sarapan? Sana gih sarapan aku juga gak sudi sarapan sama kamu.” Ucap Ratu sembari menatap remeh suaminya sendiri.
Raja menghela napas, kemudian menggelengkan kepalanya pelan “Ratu, ini masih pagi.”
“Kamu bahkan nganggap aku bodoh? Kamu ngeremehin aku? everyone in this city knows that sekarang masih pagi. Sombong banget ya kamu?!” Suara Ratu menggelegar di seisi ruangan, ia bahkan mampu membuat suasana di rumah itu seketika menjadi hening di saat teriakannya menggema. Ratu tetaplah Ratu, apapun yang Raja katakan selalu terdengar sensitif di telinganya, tak jarang ia sengaja mencari masalah hanya untuk memancing emosi Raja.
“Sudahlah.” Raja beranjak dari tempatnya, mengabaikan Ratu yang masih tersulut emosinya. Merasa tidak tega di acuhkan seperti itu, Ratu tiba-tiba melempar gelas teh yang ada di tangannya tepat beberapa meter di depan Raja. Nyaris pria itu terkena pecahannya, Ratu bahkan tidak peduli dengan gelas yang ia lempar, gelas yang di beli oleh orang tua Raja yang harga per gelasnya bahkan bisa di gunakan untuk membeli satu unit motor baru.
“Kenapa? Apa yang bikin kamu sampai se emosi itu sekarang? Aku gak ada waktu buat bertengkar.” Sejak tadi Raja berusaha sebisa mungkin untuk tidak terpancing oleh kekacauan yang di buat oleh Ratu, walau kelakuan istrinya itu sudah di luar batas namun Raja berusaha untuk tetap diam. Bukan lemah, bukan tidak berani melawan Ratu, ia hanya berpegang teguh pada prinsipnya bahwa laki-laki tidak akan membalas kekerasan dan kekacauan yang di buat oleh wanita.
“I hate you.” Desis Ratu.
“Okay, then?”
“Go away. Aku gak mau lihat kamu.” Raja mengangguk kemudian ia meninggalkan tempat itu dengan perasaan hampa, sudah seperti makanan sehari-hari, bertengkar dengan Ratu sebelum berangkat untuk bekerja. Jika di tanya, apakah Raja menyukai Ratu, jauh dari lubuh hati terdalam Raja ada tempat tersendiri untuk wanita itu di sana, sekasar dan sejahat apapun Ratu kepadanya entah kenapa Raja tidak bisa membenci Ratu, Raja juga masih tidak tahu apa alasannya, ia juga sudah berusaha untuk membenci Ratu namun ia tidak bisa, lucunya Ratu bahkan tidak pernah berusaha untuk membuat Raja jatuh cinta kepadanya.
Hal pertama yang Ratu lakukan setelah Raja pergi adalah menghubungi Rio,kekasih nya. Bisa di bilang bahwa Rio adalah obat bagi Ratu setiap kali Ratu selesai menumpahkan emosinya kepada Raja maka Rio adalah orang pertama yang Ratu cari untuk menenangkannya. Ratu terlalu mencintai Rio, apapun yang bisa ia berikan kepada Rio akan ia berikan, selagi Rio masih mau menunggunya untuk bercerai dengan Raja, Ratu akan melakukan segalanya.
“Babe… aku mau ketemu!” Ucap Ratu ketika teleponnya dengan Rio mulai terhubung.
“I have to meet with my mom hon, sorry. Not today okay? How about tomorrow?” Ratu menghela napas setelah mendengar jawaban Rio barusan, ia kemudian mengangguk.
“Okay, see you tomorrow. Salam sama mama.” Ratu mematikan teleponnya, kemudian ia bergegas menuju kantornya, belum terlambat hanya saja Ratu sudah menyelesaikan semua yang ia harus selesaikan pagi itu di rumah.
Kantor bagi Ratu adalah rumah baginya, di sana ia bisa melakukan apa saja yang mau ia lakukan, ia bisa bertemu dengan Rio sesuka hati, ia bisa melakukan apa saja yang ia suka, ia bisa bergosip, ia bahkan bisa tertawa lepas. Sebenarnya ia juga bisa melakukan itu di rumah hanya saja kehadiran Raja di rumah itu seakan mengganggu nya, kekesalannya terhadap Raja selama bertahun-tahun tidak bisa hilang begitu saja, rasanya begitu kesal seakan-akan Raja adalah mahluk paling menyebalkan yang ingin ia musnahkan begitu saja.
Tok tok tok
“Ya masuk.” Ucap Ratu
Anna, sekretarisnya masuk sembari membawa lembaran laporan tagihan bulanan kartu kredit milik Ratu “Pagi bu, ini catatan pengeluaran ibu untuk bulan lalu, ini sudah lengkap bu semuanya.” Ucap Anna. Melihat tagihan-tagihan yang telah terbayar itu membuat mata Ratu seketika membelak sempurna jumlahnya tidak main-main, entah apa yang di beli oleh Rio sehingga tagihan kartu kredit itu membludak, melihat angka-angka yang tertera di sana membuat Ratu memijat kepalanya pusing.
“Babe…” Desis Ratu saat teleponnya dengan Rio mulai terhubung.
“Yes hon?” Balas Rio.
“Aku gak marah, I just want to know, itu tagihan kartu kredit kok bisa bengkak banget, kamu pakai belanja apaan emang?” Tanya Ratu. Ia berusaha bertanya sehalus mungkin agar Rio tidak tersinggung dengan pertanyaannya. Ya selama ini Rio memang hidup dari kartu kredit yang di berikan oleh Ratu kepadanya, kartu kredit dengan limit yang tidak main-main sengaja Ratu siapkan untuk Rio, hal itu sengaja Ratu lakukan untuk membuktikan seberapa ia mencintai Rio.
“Kenapa?” Tanya Rio, dingin.
“No, no, I just want to know. Ya kaget aja tiba-tiba bengkak banget tagihannya padahal bulan-bulan sebelumnya gak pernah se bengkak ini, gak apa-apa sih aku gak ngelarang kamu buat belanja apa aja, aku cuma pengen tau aja sayang.”
“Risih ya kamu? Apa gak ikhlas ya aku belanja gini?”
“Enggak, enggak. Aku gak risih, aku cuma pengen tau aja kamu belanja apaan gitu. Ya ampun, apapun yang aku kasih ke kamu itu gak usah kamu tanya lagi ikhlas enggak nya, what’s mine will be yours too sayang, jangan ngomong gitu ah.”
“Kalau kamu ikhlas berarti kamu gak usah tanya lagi dong. Ikhlas berarti yaudah, tinggal bayar aja tagihannya, beres.”
“Okay babe, sorry.”
“Aku lagi di jalan ke rumah mama, I’ll call you later.” Setelahnya telepon mereka terputus begitu saja, Ratu masih menatap miris angka yang tertera pada salah satu tagihan kartu kredit mereka, Ratu penasaran Rio apakan kartu kredit itu hingga tagihannya membengkak.
“Anna.” Panggil Ratu.
“Ya bu?”
“Bawa catatan pengeluaran kartu kreditnya yang lengkap, se lengkap-lengkap nya. Saya tunggu hari ini.” Ucap Ratu. Entah sudah kali keberapa Anna menyayangkan apa yang Ratu lakukan, mendapat sosok suami sempurna seperti Raja adalah impian semua orang, namun ia menyia-nyiakannya dan malah memacari pria tempramental seperti Rio dan membuat Rio seakan-akan memegang kendali atas hidup Ratu sepenuhnya, andai saja Ratu adalah tipikal orang yang bisa di beritahu mungkin sudah dari dulu Anna akan menyadarkan boss nya tersebut akan kesalahan yang sangat merugikannya.
“Kenapa?” Bisik Stacy saat melihat Anna keluar dari ruang kerja Ratu dengan raut wajah malas.
“Laporan kredit.”
“Oh.”
“Lima ribu delapan ratus.”
“hah?! Si ibu cuma bayar beban doang bulan ini? kok tumben?”
“Dollar.”
“Anj…”