Asing

1103 Kata
                Berita tentang kebangkrutan orang tuanya sudah menyebar luas kemana-mana, berita di televisi seminggu terakhir, di timeline sosial media, di semua pusat informasi memberitahukan bahwa Hartawan Group harus meninggalkan dunia bisnis di Indonesia, Ratu menjadi kesal sendiri sebab akibat ulah papa nya ia harus selalu mematikan ponselnya dan tidak bisa kemana-mana untuk sementara waktu, bisnisnya yang sudah hancur pun kini semakin hancur akibat berita bodoh itu, hanya karena ia menyandang nama belakang Hartawan para wartawan tak gentar untuk mencarinya kemana-mana.                 “Raja belum pulang?” Tanya Ratu kepada salah satu pelayan di rumah mereka.                 “Belum nyonya, tuan belum pulang.” Jawabnya.                 “Cih.” Desisnya kesal, setidaknya kalau Raja tiba-tiba pulang ke rumah, mungkin wartawan di depan rumah mereka akan bubar dan Ratu bisa pergi dari sana. Dengan bosan, Ratu menyalakan televisi sembari menonton acara membosankan yang sudah seribu kali ia hina, namun ujung-ujungnya ia juga tetap menonton acara yang sama setiap kali menonton televisi. Entah akan sampai kapan Ratu akan berdiam diri di rumah, entah sampai kapan masalah ini akan hilang dari perbincangan masyarakat, baru seminggu saja Ratu sudah bosan setengah mati. Di saat sedang sibuk menonton, tiba-tiba salah seorang pelayan datang membawa telepon di tangannya, memberitahu Ratu bahwa Bennedict baru saja menelepon.                 “Nyonya.” Panggilnya.                 “Kenapa?”                 “Bapak Bennedict menelepon.”                 “Bilang saya gak ada di rumah.”                 “Katanya penting nyonya tentang Villa mendiang ibunya nyonya.” Mendengar hal itu Ratu mau tidak mau jadi harus berbicara dengan Bennedict, penting atau tidaknya, Ratu masih harus tetap mengetahui perkembangan villa itu. “Ya?” Dengan malas, Ratu memulai percakapannya dengan Bennedict, walau sudah berusaha menutup diri dengan mereka, Ratu tetap harus meladeni mereka. “Maaf kalau saya mengganggu nona.” Ucap Bennedict, masih sopan. Ratu terkekeh pelan begitu mendengar Bennedict masih memanggilnya dengan kata nona setelah apa yang terjadi. “Ayolah Ben, kamu tidak lagi bekerja sama saya, gak usah formal-formal banget.” Ratu berusaha santai, toh lagipula memang benar adanya sekarang Bennedict sudah tidak bekerja untuknya lagi dan lambat laun Bennedict juga tidak akan bekerja lagi pada keluarganya. “Maaf nona, saya mau memberitahukan kalau kompleks Villa milik mendiang nyonya Amber, sudah di jual habis.” Ucapan Bennedict barusan berhasil membuat Ratu membulatkan matanya, belum sampai satu bulan sejak papa nya memberitahu bahwa mereka bangkrut dan sekarang aset ibunya lah yang paling cepat laku, bagaimana bisa? “Secepat itu?!” Tanya Ratu tak percaya. “Iya nona.” “Orang bodoh mana yang mau membeli aset itu padahal aset itu sedang kacau-kacau nya?! Siapa yang membeli aset itu?” Ratu masih menolak percaya begitu mendengar ucapan Bennedict barusan, tidak, tidak normal jika bangunan setengah jadi itu yang menjadi paling pertama laku, padahal masih ada beberapa aset lain yang nilai dan kesempurnaannya masih jauh bisa di terima oleh akal sehat. “Suami Nona sendiri.” Sekali lagi Bennedict kembali membuat Ratu kaget setengah mati, Ratu bahkan sampai terduduk di sofa dengan pandangan kosong ke depan begitu mendengar setiap kata yang di ucapkan oleh Bennedict melalui telepon. “Hah?!” “Tuan Raja Sabian Mahendra. Suami Nona sendiri.” “Raja?! RAJA?!” “Iya nona. Bangunan itu laku sebesar enam belas triliyun.”  Tanpa pikir panjang, Ratu segera menutup pembicaraannya dengan Bennedict, emosinya tentu saja terpancing begitu mendengar penjelasan dari Bennedict. Apa-apaan Raja sampai membeli aset penting milik ibunya itu? apa ia mau mempermainkan Ratu dengan cara memiliki aset yang selama ini Ratu jaga? *****                 Sementara itu, Raja sedang bersama dengan Raina, duduk di sebuah gazebo dengan berbagai macam makanan di hadapan mereka, di sekitar mereka ada sawah dan juga sungai kecil yang membuat suasana semakin terasa nyaman. Pria dengan kaos polo hitam, serta bercelana pendek itu, diam memandangi pemandangan indah di hadapannya, Raina yang menatapnya dari samping tentu saja senang, Raja benar-benar terlihat tampan dan terasa bisa ia gapai, ia juga maish tidak menyangka kalau saja bisa di ajak makan di tempat yang seperti ini.                 “Kamu kenapa lihatin saya?” Tanya Raja tanpa menatap Raina. matanya masih fokus ke depan, menatap burung-burung yang beterbangan kesana kemari, teliganya juga fokus mendengar suara aliran sungai yang terasa menyegarkan telinga.                 “Mas ganteng soalnya.” Jawab Raina, polos. Raja terkekeh pelan. Ia sadar, bahwa Raina terlalu manis untuknya, selama menikah dengan Ratu wanita itu mana pernah bersikap manis kepadanya? Bertahun-tahun mereka bersama, yang ada hanyalah pertengkaran yang terjadi hampir setiap hari di antara mereka berdua.                 “Kamu lagi berusaha menggoda saya?”                 “Nggak mas, kan emang kenyataannya mas tuh ganteng.”                 “Terimakasih Raina.” Jawab Raja. Raina tahu bahwa sekarang pasti ada sesuatu hal yang membebani pikiran pria itu, bahkan dari tatapannya saja, Raina sudah bisa tahu bahwa pria di sampingnya sedang banyak pikiran. Raut wajahnya tidak seperti biasanya, sejak tadi alis pria itu saling bertautan walau tak sedang berbicara, Raina ingin sekali bertanya kepada Raja namun di satu sisi ia juga takut Raja akan merasa aneh jika harus terus-terus menggangu Raja.                 “Kamu kenapa?” Tanya Raja setelah menyadari bahwa Raina diam cukup lama.                 “Mas yang kenapa?” Balas Raina.                 “Daritadi mas kayak lagi banyak pikiran, tuh muka mas kusut banget kayak gak di setrika, mas kalau ada apa-apa bisa cerita ke aku kok. Mas ada masalah apa? masalah keluarga kah? Atau masalah apa? mas bangkrut? Mas cerita aja kalau gak bisa di simpan sendiri.” Ucapan Raina barusan sukses membuat Raja terkekeh pelan, bagaimana mungkin gadis itu bisa berpikir sampai di titik seperti itu? bangkrut? Bisa-bisanya Raina berpikir demikian, padahal setelah mengeluarkan uang sebesar enam belas triliyun, Raja masih memiliki ratusan triliyun lainnya yang bahkan sulit ia habiskan.                 “Nggak-nggak, gak mungkin bangkrut Rain. Ini Cuma masalah keluarga, but sorry I cant tell you about the problem.” Oke, Raja tidak salah kan? Permasalahannya dengan Ratu adalah masalah keluarga yang tidak ada habisnya? Saat ini yang ada di pikirannya adalah perceraian dengan Ratu yang sedang ia susun di kepalanya, bagaimana ia harus memberi tahu orang tuanya tentang rencana perceraian mereka, toh lagipula mau dipertahankan seberapa lama pun tidak ada harapan yang bisa di harapkan dari hubungan mereka berdua.                 Raina tersenyum kecut begitu ia mendengar ucapan Raja, Raina pikir mereka sudah cukup dekat sehingga ia bisa tahu apa saja tentang pria itu, namun ternyata ia salah besar, Raja masih terlalu dingin untuknya, pria itu bahkan masih memasang kuat-kuat tembok besar di antara mereka berdua, seakan Raina masih orang asing yang tidak ada artinya baginya. “Yasudah mas gak apa-apa kalau gitu, tapi kapanpun mas mau cerita, aku siap kok dengerin, kapanpun.” Titah nya. Raja mengangguk Ragu, dan tersenyum manis, ya dia beruntung setidaknya masih ada satu sosok manusia yang mau mendengarkannya tulus.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN