Malam mingguan

1815 Kata
Bagas melihat Aira yang tengah duduk di pojokan kelas sambil menatap keluar jendela. Ia berniat untuk mendekati Aira, karena tidak seperti biasanya Aira melamun seperti itu. Bagas mendudukkan dirinya di samping Aira, ia lalu duduk menghadapnya. “Tumben kamu sendirian disini, apa kamu sedang ada masalah?” “Kenapa kamu disini, bukankah kamu sedang di kantin sama Fani? Kalau kamu disini, sekarang Fani sama siapa?” tanya Aira tanpa menatap Bagas. Bagas yang merasa curiga dengan sikap Aira, ia sontak lalu menarik kedua bahu Aira, agar dia menatapnya. “Kalau kamu sedang ada masalah, kenapa kamu tidak cerita sama aku?” Aira menundukkan wajahnya. “Maaf, bukannya aku tidak mau menceritakan masalah aku sama kamu, tapi aku juga bingung harus cerita dari mana dulu.” “Ceritakan semuanya, aku akan menjadi pendengar kamu,” ucap Bagas dengan senyuman di wajahnya. Aira menghela nafas, ia lalu kembali menatap keluar jendela. “Sudah dua hari ini, Om Rain pergi ke Australia, tapi sampai sekarang dia belum menghubungi aku. Aku juga sudah bertanya soal ini sama Tante Karin, tapi Tante Karin menyuruh aku untuk tidak berpikiran buruk. Tapi, entah mengapa aku merasa sesuatu sedang terjadi dengan Om Rain.” “Ra, apa aku boleh bertanya sesuatu sama kamu?” “Kamu mau bertanya soal apa?” “Apa kamu begitu dekat dengan om kamu itu?” Aira mengalihkan tatapannya menatap Bagas. “Tentu saja aku dekat dengan Om Rain. Tapi, baru setahun ini aku bisa dekat sekali dengan Om Rain. Awalnya aku sangat canggung saat berbicara dengannya, tapi setelah melihat ketulusan serta merasakan kasih sayangnya yang tulus, aku mulai membuka diri kepada Om Rain. Bagiku, Om Rain adalah pengganti sosok ayah ku yang sudah tiada.” “Mungkin apa yang di katakan tante kamu benar, semua itu hanya perasaanmu saja. Mungkin karena rasa takut kamu, yang membuat perasaan kamu merasa tidak enak. Jika tante kamu bisa setenang itu, itu berarti om kamu baik-baik saja.” Aira menyandarkan kepalanya di bahu Bagas. Bagas begitu terkejut dengan sikap Aira, karena ini pertama kalinya Aira bersandar pada bahunya. “Gas, kamu tahu ... aku bersyukur mempunyai sahabat sebaik kamu. Tanpa kamu dan Fani, mungkin aku tidak akan senyaman ini sekolah disini. Apalagi setelah kejadian setahun yang lalu.” “Maksud kamu soal Dini, sahabat kamu itu?” Aira menganggukkan kepalanya. “Jika tidak ada kamu, Fani, Tante, dan Om Rain, mungkin saat ini aku tidak akan berada disini bersama dengan kamu sekarang.” “Ra ... jangan bicara seperti itu lagi. Kapanpun kamu butuh bantuan aku, aku akan selalu ada buat kamu.” Aira kembali mengubah posisi duduknya, ia lalu menatap Bagas dengan senyuman di wajahnya. “Terima kasih. Kamu memang sahabat terbaik aku.” Tapi, aku ingin menjadi lebih dari sekedar sahabat, Ra. Bagas tengah menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Em ... Ra, nanti malam kan malam minggu, apa aku boleh main ke rumah kamu?” tanyanya ragu-ragu. Aira mengernyitkan dahinya. “Jangan bilang kamu mau mengajak aku malam mingguan? Tapi kita kan teman.” “Memangnya malam minggu hanya untuk sepasang kekasih, enggak kan?” “Ya, enggak sih, tapi kan rasanya gimana gitu. Tapi jika kamu mau main ke rumah aku sih boleh saja, aku tidak akan melarang kamu untuk main ke rumah aku.” Bagas tersenyum. “Tunggu aku ya, aku pasti akan datang.” Bagas berdiri di depan cermin besar yang berada di kamarnya, ia menatap penampilannya saat ini. “Perfect. Ini malam minggu pertama aku dengan Aira, semoga ini awal yang baik untuk hubungan kami nantinya.” Setelah selesai bersiap-siap, Bagas melangkah keluar dari kamarnya. Ia menuruni tangga satu persatu, lalu melangkah menghampiri papa dan mamanya yang tengah duduk di ruang tengah. “Sayang, kamu mau pergi kemana, sudah rapi gitu?” tanya mamanya. “Bagas mau ke rumah Aira, Ma.” Papa Bagas mengernyitkan dahinya. “Apa kamu mau malam mingguan di rumah Aira?” “Sayang, apa Aira itu kekasih kamu?” tanya mamanya terkejut. “Bukan, Ma, Pa. Aira itu sahabat Bagas, tapi Bagas memang ada rasa sama Aira. Hanya saja, Bagas tidak memberitahu Aira tentang perasaan Bagas, karena kita sama-sama masih kecil untuk mengenal hal kayak gitu.” Papa Bagas tersenyum. “Tumben anak kita berpikiran dewasa, Ma,” goda nya. “Bagas hanya tidak ingin sampai Aira menjauhi Bagas setelah tahu perasaan Bagas yang sebenarnya. Tapi, jika sudah saatnya nanti, Bagas akan memberitahu Aira yang sebenarnya.” Mama Bagas beranjak dari duduknya, ia lalu memeluk putra semata wayangnya. “Ini baru anak kesayangan Mama. Kamu tenang saja, Mama dan papa akan mendukung kamu. Mama lihat, Aira itu gadis yang baik, dia juga berasal dari keluarga berada.” “Ma, buat Bagas, mau kaya atau miskin sama saja, karena bagi Bagas, yang terpenting adalah hatinya.” Papa Bagas mengacungkan jempol kepada putranya. “Kalau itu Papa juga setuju. Yang terpenting gadis itu juga mempunyai perasaan yang sama seperti yang kamu rasakan.” Bagas tidak mau terlambat ke rumah Aira, ia pun lalu berpamitan dengan mama dan papanya. “Bagas pergi dulu ya, Ma, Pa,” ucapnya sambil mencium punggung tangan mama dan papanya. “Hati-hati ya, sayang,” ucap mamanya. “Iya, Ma.” Bagas lalu melangkah keluar dari rumah, ia meminta supir pribadinya untuk mengantarkannya ke rumah Aira. Bagas juga sudah menyiapkan kado kecil untuk Aira. Sesampainya di rumah Aira, mobil Bagas secara perlahan memasuki halaman rumah Aira. Bagas lalu keluar dari mobilnya dan meminta supir pribadinya untuk menunggu. “Semoga Aira suka dengan hadiah kecil ini,” ucap Bagas sambil menatap kotak kecil yang sudah dibungkus dengan kertas kado dan diberi aksen pita berwarna pink, warna kesukaan Aira. Bagas lalu melangkah menuju pintu utama, dengan perlahan ia mulai memencet bel di dekat pintu sebanyak tiga kali. Tak berselang lama pintu itu mulai terbuka, asisten rumah tangga Aira, kini tengah berdiri di depan pintu. “Maaf, cari siapa ya?” “Bibi lupa sama saya, ya? Saya Bagas, Bi, teman sekolah Aira.” Bagas kembali memperkenalkan dirinya. “O ... Den Bagas, apa Den Bagas mau mencari Non Aira?” Bagas menganggukkan kepalanya. “Apa Aira nya ada, Bi?” “Ada, Den, mari silahkan masuk.” Bagas menganggukkan kepalanya, ia lalu melangkah masuk ke dalam rumah Aira. “Silahkan duduk, biar Bibi panggilkan Non Aira dulu.” Wanita paruh baya itu lalu melangkah meninggalkan Bagas untuk memanggil Aira. Aira saat ini tengah bersama dengan Karin, mereka baru saja selesai berbicara dengan Rain di telepon. “Non, di depan ada Den Bagas sedang menunggu Non Aira,” ucap wanita paruh baya itu saat sudah berdiri di samping Aira. Karin mengernyitkan dahinya. “Bagas? Untuk apa Bagas datang kesini, sayang?” tanyanya penasaran. “Maaf, Tan. Aira lupa kalau Bagas mau datang kesini.” “Ini kan malam minggu sayang, jangan bilang dia mau mengajak kamu malam mingguan? Apa kamu dan Bagas ... kalian ....” Aira sontak langsung menggelengkan kepalanya. “Ini semua tidak seperti yang Tante pikirkan. Aira dan Bagas hanya berteman. Malam minggu kan bukan hanya untuk sepasang kekasih, Tan.” “Tapi sayang, jika seorang cowok datang ke rumah cewek saat malam minggu, sudah tentu si cowok suka sama si cewek.” “Tapi itu tidak berlaku untuk Aira dan Bagas, Tan. Kami hanya teman, selamanya akan tetap seperti itu.” Aira lalu beranjak dari duduknya. “Bi, tolong buatkan minuman dan camilan untuk kami ya, saya tunggu di depan.” Wanita paruh baya itu menganggukkan kepalanya. “Baik, Non,” ucapnya lalu pamit undur diri. “Tante, Aira mau menemui Bagas dulu, kasihan dia sudah menunggu lama.” Karin menganggukkan kepalanya. “Tapi Tante boleh menyapa Bagas, kan?” “Tantu dong, Tan. Aira akan semakin senang kalau Tante mau gabung ngobrol sama kami nanti.” “Nanti Tante jadi obat nyamuk dong, selain itu Bagas pasti akan merasa tidak nyaman kalau ada Tante. Jadi lebih baik, Tante akan menyapa saja, setelah itu Tante biarkan kamu bicara berdua dengan Bagas, tapi kalian tidak boleh pergi kemana-mana.” Aira mengangguk mengerti, mereka lalu berjalan beriringan menuju ruang tamu, tempat Bagas menunggu. Bagas beranjak dari duduknya saat melihat Aira dan Karin yang tengah berjalan menuju ke arahnya. Ia lalu mengucapkan salam dan mencium tangan Karin. “Apa kamu tidak malam mingguan dengan pacar kamu, Gas,” goda Karin. Bagas menggelengkan kepalanya. “Saya tidak punya pacar, Tante. Makanya saya datang kesini, untuk mengajak Aira mengobrol.” “Baiklah, kalau begitu kalian mulai mengobrol saja, Tante akan ke kamar dulu.” Setelah mendapat anggukkan kepala dari Bagas dan Aira, Karin melangkah pergi meninggalkan Aira dan Bagas. Bagas terlihat sangat canggung duduk berdua dengan Aira, padahal biasanya ia tidak pernah merasa seperti ini jika sedang berada di dalam kelas. Entah suasana yang membuatnya merasa seperti itu. “Kok diam saja, kamu datang kesini cuma untuk diam kayak gini,” goda Aira dengan senyuman di wajahnya. Bagas menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. “Ya nggak gitu juga. Tapi kenapa aku menjadi canggung seperti ini ya.” “Makanya, kalau malam minggu itu, pacar dong yang di apelin, bukannya malah aku,” canda Aira sambil menggelengkan kepalanya. Bagas mengerucutkan bibirnya. “Pacar dari mana coba, kamu kan tahu, aku tidak punya pacar. Mendingan ngapelin kamu, siapa tahu kamu mau jadi pacar aku,” godanya sambil menggerakkan kedua alisnya naik turun. “Dasar! Bercanda melulu kamu bisanya.” Wanita paruh baya berjalan menuju ruang tamu sambil membawa minuman dan camilan, lalu ia letakkan ke atas meja. “Silahkan, Non, Den.” “Makasih, Bi,” ucap Aira dan Bagas bersamaan. “Sama-sama, Non, Den. Kalau begitu Bibi pergi dulu.” wanita paruh baya itu lalu pergi meninggalkan Aira dan Bagas. “Silahkan diminum dulu, tidak usah canggung gitu. Kayak kita tidak pernah ngobrol berdua saja.” “Iya sih, aku juga tidak tahu, kenapa aku bisa se-grogi ini.” Bagas lalu mengambil segelas jus jeruk. “Aku minum ya,” ucapnya lalu mulai minum jus jeruk itu. “Gas, kapan-kapan kita main ke rumah Fani yuk, sudah lama kita tidak main ke rumahnya.” Bagas meletakkan gelas minuman itu ke atas meja. “Aku sih mau-mau saja, tapi apa kamu tidak takut dengan ayah Fani? Ayah Fani kan galak.” “Ya takut sih, tapi kan ayah Fani selalu kerja, pulangnya juga malam terus.” “Betul sih, boleh deh. Kamu bareng sama aku saja, nanti pulangnya aku antar. Tapi, kamu izin dulu sama tante kamu.” Aira menganggukkan kepalanya. “Aku mana berani main tanpa izin dulu sama Tante. Bisa-bisa nanti tante lapor sama Om Rain lagi.” “Buy the way soal om kamu, apa om kamu sudah menghubungi kamu? Bukannya tadi kamu galau karena om kamu sudah dua hari tidak menghubungi kamu?” Aira tersenyum. “Om Rain sudah menghubungi aku, tapi lewat ponsel Tante Karin. Tadi aku juga ngobrol lama sama Om Rain. Katanya tiga hari lagi, Om Rain akan pulang, itupun jika tidak ada halangan.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN