Ketakutan Aira

1634 Kata
“Sayang, kamu berikan gaun ini untuk Aira. Mas sengaja membeli gaun ini untuk acara makan malam kita nanti.” Rain memberikan paper bag kepada Karin. “Semoga Aira suka.” Karin mengambil paper bag itu. “Aira pasti suka. Mas, tenang saja, kalau begitu biar aku berikan dulu kepada Aira, agar dia segera bersiap-siap.” Rain menganggukkan kepalanya. Karin melangkahkan kakinya meninggalkan Rain dan menaiki tangga menuju kamar Aira. Ia lalu mengetuk pintu kamar Aira. “Sayang, boleh Tante masuk?” “Masuk saja, Tante,” sahut Aira dari dalam kamarnya. Karin membuka pintu kamar Aira secara perlahan, ia melihat Aira yang tengah kebingungan memilih gaun yang akan dia pakai. “Sayang, Tante punya sesuatu untuk kamu.” Karin melangkah masuk mendekati Aira. “Ini gaun untuk kamu pakai malam ini,” ucapnya sambil memberikan paper bag itu kepada Aira. Aira mengambil paper bag itu, ia lalu membukanya dan melihat isi paper bag itu lalu mengambilnya. “Tante, gaunnya indah banget,” ucapnya dengan kedua mata yang berbinar. “Om Rain sengaja membelikan gaun ini untuk kamu pakai malam ini. Kamu segera bersiap-siap, Tante tunggu di bawah.” Aira menganggukkan kepalanya. “Terima kasih ya, Tan.” “Sama-sama, Sayang. Jangan lupa untuk berterima kasih kepada Om Rain,” ucap Karin dengan senyuman di wajahnya. “Iya, Tan. Nanti Aira akan berterima kasih kepada Om Rain.” Karin lalu melangkah keluar dari kamar Aira, sedangkan Aira segera mencoba gaun yang diberikan Rain. Aira melepas pakaian yang dia pakai, ia lalu membalutkan gaun itu ke tubuh mungilnya. Aira tidak menyangka, gaun itu terlihat sangat pas pada tubuhnya, sangat indah dan cantik. “Gaun ini indah banget, aku tidak menyangka aku bisa secantik ini,” puji Aira untuk dirinya sendiri. Aira tetap terlihat cantik tanpa polesan make up sedikitpun. Ia sengaja membuat rambut panjangnya tergerai dengan indah, hanya dihiasi dengan jepitan rambut di sebelah sisi kanannya. Tidak lupa Aira memakai sepatu heels dengan tinggi 2 cm, karena Aira tidak terbiasa dengan sepatu high heels. Rain dan Karin begitu terpukau melihat penampilan Aira, pertama kalinya mereka melihat Aira memakai gaun seperti yang dia kenakan malam ini. “Mas, aku tidak menyangka, selera Mas sangat cocok untuk Aira,” puji Karin. Rain merangkul bahu Karin. “Aira kita sekarang sudah tubuh besar, jika memakai gaun itu, tidak akan ada yang tahu kalau Aira masih berumur 14 tahun.” Aira menghentikan langkahnya di depan Karin dan Rain. “Apa Aira cocok memakai gaun ini?” Rain dan Karin menganggukkan kepalanya, mereka juga mengacungkan dua jempol untuknya. Aira tersenyum senang. “Terima kasih ya, Om, atas gaun indah ini.” “Sama-sama, sayang. Ayo kita berangkat sekarang. Om sudah memesan restoran untuk kita makan malam,” ajak Rain sambil menggandeng tangan Karin. Karin menggandeng tangan Aira. “Ayo, Sayang.” Mereka berjalan keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobil. Aira duduk di belakang, sedangkan Karin duduk di depan bersama dengan Rain. Setelah satu jam perjalanan, mereka akhirnya sampai di restoran yang sudah di pesan oleh Rain. Restoran itu terlihat sangat mewah, Aira dan Karin terlihat sangat menyukai suasana restoran itu. Rain menarik kursi untuk Aira dan juga Karin, dengan senang hati mereka menduduki kursi itu. Tak berselang lama, datang dua pelayan yang membawa makanan dan minuman yang sudah di pesan Rain. Kedua pelayan itu menata makanan dan minuman itu ke atas meja, setelah itu kedua pelayan itu pamit undur diri. “Mas, semua ini makanan kesukaan aku dan Aira.” “Hem, Mas sengaja memesan semua ini untuk kalian berdua, malam ini Mas ingin menjadi malam terindah untuk kita bertiga,” ucap Rain dengan senyuman di wajahnya. Karin mengecup pipi Rain. “Terima kasih ya, Mas.” Rain menganggukkan kepalanya, ia lalu melihat Aira yang memalingkan wajahnya. Aira memang selalu memalingkan wajahnya saat melihat Karin dan Rain bermesraan di depannya. Ia berpikir, dirinya belum pantas melihat hal seperti itu, meskipun itu hanya sekedar kecupan di kening dan pipi. “Aira, ayo dimakan, Om sengaja memesan semua ini untuk kamu dan tante kamu.” Aira tersenyum. “Terima kasih, Om.” Mereka pun mulai menikmati hidangan yang sudah tertata dengan rapi di atas meja. Sesekali Aira melirik ke arah Rain dan Karin, seperti biasa, mereka selalu terlihat romantis, dengan saling menyuapi satu sama lain. “Mas, aku ke toilet sebentar ya,” pamit Karin lalu beranjak dari duduknya. “Mau Mas antar?” Karin menggelengkan kepalanya. “Aku bisa sendiri kok, Mas,” tolaknya lalu melangkah menjauh. Rain menatap Aira yang nampak tengah menikmati makanannya. “Sayang, coba kamu makan ini,” ucapnya sambil menyodorkan sepotong stick di depan mulut Aira. Aira menganggukkan kepalanya, ia lalu membuka mulutnya dan menerima suapan dari tangan Rain. “Enak, Om,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. Rain lalu kembali mengambil sepotong stick, lalu ia berikan lagi kepada Aira. Aira kembali membuka mulutnya dan menerima potongan stick itu. “Om, berapa lama Om akan berada di Australia?” “Em ... mungkin sekitar satu minggu, kenapa, apa Aira tidak ingin Om pergi?” Aira menundukkan wajahnya. “Bukannya begitu, Om. Tapi kalau tidak ada Om, rumah akan terasa sepi.” Rain berdiri, ia lalu beralih duduk di samping Aira. “Sayang, Om akan sering menghubungi kamu dan tante kamu. Om, juga akan berusaha untuk secepatnya menyelesaikan masalah perusahaan Om, dengan begitu Om bisa pulang lebih cepat.” Rain sangat terkejut saat Aira tiba-tiba memeluknya. “Ada apa, sayang?” tanyanya terkejut. “Om tidak akan meninggalkan Aira, seperti Ayah dan Ibu kan?” Rain memegang kedua bahu Aira. “Sayang, Om tidak akan pernah meninggalkan kamu, Om janji. Om sayang sama kamu. Om juga tidak mungkin meninggalkan Tante Karin kan? Jadi, kamu tidak perlu cemas, ok?” Aira menganggukkan kepalanya. “Aira hanya tidak ingin kehilangan orang-orang yang Aira sayangi. Sudah cukup Ayah dan Ibu yang meninggalkan Aira, Aira tidak ingin kehilangan Om dan Tante.” Rain menarik Aira ke dalam pelukannya. “Sayang, dengerin Om. Om dan Tante tidak mungkin meninggalkan kamu, karena kami sangat menyayangi kamu. Hilangkan rasa takutmu itu.” Karin yang sudah kembali dari toilet, begitu terkejut saat melihat Rain yang memeluk Aira. “Mas, Aira kenapa?” Rain melepaskan pelukannya. “Aira merasa kita akan meninggalkannya seperti ayah dan ibunya yang telah meninggalkan selamanya.” Karin terkejut mendengar ucapan Rain. “Sayang ....” Karin lalu melangkah mendekati Aira, ia lalu menarik kursi dan membawanya ke samping Aira lalu ia duduki. “Sayang, kenapa kamu berfikiran seperti itu? mana mungkin Tante dan om akan meninggal kan kamu?” Karin lalu memeluk Aira. “Sayang, kamu adalah satu-satunya keluarga Tante, keponakan Tante yang sudah Tante anggap seperti anak Tante sendiri. Jadi, Tante dan om akan selalu bersama dengan Aira.” “Tante janji, Tante tidak akan pernah meninggalkan Aira seperti Ayah dan Ibu?” Karin menganggukkan kepalanya. “Tante janji, Sayang.” Rain memeluk Aira dan juga Karin. “Om juga janji, kita akan bersama-sama sampai mau memisahkan kita.” Rain mengajak Aira untuk berbicara berdua, entah mengapa pembicaraan di restoran tadi membuat Rain tidak tenang. “Ada apa, Om?” tanya Aira lalu duduk di sebelah Rain. “Sayang, apa sesuatu yang kamu sembunyikan dari Om dan tante?” Aira mengernyitkan dahinya. “Maksud, Om apa? Aira tidak mengerti?” “Om merasa ada yang aneh dengan sikap kamu di restoran tadi, tidak seperti biasanya kamu ketakutan seperti itu? selain itu, kenapa kamu berpikiran kalau Om dan tante akan pergi meninggalkan kamu seperti ayah dan ibu kamu?” Aira menundukkan wajahnya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Apa ia harus jujur dengan apa yang ia takutkan selama ini? Tentang ucapan yang dulu Dini pernah katakan padanya? Soal dirinya yang anak pembawa sial... “Aira, kenapa kamu diam saja?” “Om, apa Om masih ingat dengan ejekan teman sekolah Aira?” “Ejekan? Yang mana sayang?” “Om masih ingat Dini, yang mengatai Aira anak pembawa sial? Aira hanya takut, apa yang dikatakan Dini itu benar. Aira takut, gara-gara kehadiran Aira di rumah ini, akan membuat Om dan Tante Karin menjadi sial. Aira takut, Om ... Aira takut sendirian,” ucap Aira sedih. Rain mendongakkan wajah Aira agar menatapnya. “Sayang, di dunia ini tidak ada yang namanya anak pembawa sial. Yang Om tahu, seorang anak itu dilahirkan untuk membawa kebahagiaan. Ayah dan ibu kamu, juga pasti sangat bahagia, karena memiliki putri yang cantik dan baik seperti kamu. Soal ayah dan ibumu yang sudah pergi lebih dulu, itu adalah takdir, dan bukan salah kamu.” Rain tidak tega melihat Aira menangis, ia pun menarik Aira ke dalam pelukannya. “Sayang, kamu boleh menganggap Om dan tante sebagai pengganti ayah dan ibu kamu. Setelah kehadiran kamu di rumah ini, Om merasa rumah ini menjadi lebih berwarna. Om bisa melihat senyum manis kamu, Om bisa mendengar gelak tawa kamu, yang bahkan belum pernah Om lihat sebelumnya.” Rain melepaskan pelukannya. “Besok Om sudah harus berangkat ke Australia, jadi Om minta sama kamu, buang jauh-jauh pikiran buruk kamu itu, karena Om tidak akan pernah meninggalkan kamu.” Aira mengangguk kan kepalanya, ia lalu menghapus air matanya yang sempat jatuh membasahi kedua pipinya. “Terima kasih, Om. Aira janji, Aira akan membuat Om dan tante bangga kepada Aira.” Rain mengusap puncak kepala Aira. “Itu baru Aira yang Om kenal, yang selalu bersemangat dan ceria. Tak pernah menyerah, selalu tersenyum meskipun sedang bersedih,” godanya. “Om ....” Aira mengerucutkan bibirnya. Rain tersenyum. “Bercanda, Sayang,” ucapnya sambil mencolek hidung mancung Aira. “Sekarang kamu kembali ke kamar gih, sudah malam, kamu harus tidur, besok sekolah.” “Baik, Om. Selamat malam, Om.” Aira lalu beranjak dari duduknya dan melangkah pergi meninggalkan Rain. Rain menatap kepergian Aira. “Om tidak akan membiarkan kamu pergi dari Om, sayang, karena kamu sangat berarti buat Om dan tante.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN