Hadiah

1843 Kata
Aira bangun lebih pagi dari biasanya, karena ia mempunyai janji dengan Bagas untuk pergi ke rumah Fani. Setelah selesai mandi dan berpakaian, Aira keluar dari kamarnya, ia menuruni tangga satu persatu. Aira tengah mencari sosok tantenya yang sejak tadi belum kelihatan batang hidungnya. “Bi, lihat Tante Karin nggak?” “Nyonya Karin ada di halaman belakang, Non. Sedang memberi makan ikan.” “Terima kasih ya, Bi.” Aira lalu melangkah menuju belakang rumahnya. Ia melihat tantenya yang sedang duduk di tepi kolam ikan sambil memberi makan ikan. “Tante ngapain duduk disini sendirian?” “Tante ingin menghirup udara segar, Sayang.” Karin melihat penampilan Aira yang sudah rapi. “Sayang, kamu mau kemana?” “Em ... sebenarnya Aira ingin meminta izin sama Tante. Aira ingin ke rumah Fani, boleh kan, Tan?” “Kamu perginya sama siapa?” “Sama Bagas. Nanti Bagas akan datang kesini untuk menjemput Aira.” Karin mengernyitkan dahinya. “Hanya kalian berdua?” Aira menggelengkan kepalanya. “Masih ada supirnya Bagas, Tan. Jadi kami tidak hanya berdua. Aira janji, Aira akan langsung pulang setelah dari rumah Fani. Aira tidak akan main kemana-mana lagi. Boleh ya, Tan,” pintanya dengan wajah yang memelas. Karin tersenyum. “Sayang, Tante tidak pernah melarang kamu untuk main sama siapa saja. Asal kamu memegang kepercayaan Tante. Kamu tahu sendirikan gimana om kamu, om kamu itu sayang banget sama kamu, om kamu tidak mau sampai terjadi apa-apa sama kamu.” “Aira tahu kok, Tan. Makanya Aira minta izin sama Tante dulu. Kalau Tante tidak mengizinkan, juga tidak apa-apa, biar nanti Aira hubungi Bagas dan membatalkan acara hari ini,” ucap Aira sambil menundukkan wajahnya. Karin beranjak dari duduknya, ia lalu memeluk Aira, ia tidak ingin melihat keponakan kesayangannya bersedih. “Sayang, Tante tidak akan melarang kamu pergi ke rumah Fani.” Ia lalu melepaskan pelukannya. “Nanti biar Tante yang bicara sama Bagas.” Aira menganggukkan kepalanya. Wajahnya berubah mencari ceria. “Apa kamu sudah sarapan?” Aira menggelengkan kepalanya. “Kalau begitu, sekarang kita sarapan dulu.” Aira menganggukkan kepalanya. Terdengar suara bel berbunyi, asisten rumah tangga Aira kini tengah berjalan menuju pintu utama. “Den Bagas,” sapa bibi setelah ia membuka pintu utama. “Aira-nya ada, Bi?” “Ada, Den. Mari silahkan masuk.” Saat Bagas ingin masuk ke dalam rumah, Aira dan Karin terlihat sedang berjalan menghampirinya. Bagas melihat Aira yang begitu cantik dengan kaos dan celana jeans panjang yang dikenakannya. Bagas lalu mencium tangan Karin, saat Karin dan Aira sudah berada di depannya. “Bagas, Tante tahu, kamu datang kesini untuk menjemput Aira. Tante tidak melarang kamu untuk mengajak Aira jalan, tapi Tante ingin kamu mengantar Aira tepat waktu. Sebelum jam 15.00, kamu sudah harus mengantar Aira pulang.” Bagas tersenyum, ia senang Aira diizinkan pergi dengannya. “Iya, Tan. Saya akan mengantar Aira pulang tepat waktu.” “Terima kasih, Tan.” Aira lalu mencium tangan Karin, “kalau begitu Aira pergi dulu,” pamitnya kemudian. “Hati-hati ya, sayang.” Aira menganggukkan kepalanya. Bagas mencium punggung tangan Karin, setelah itu mereka keluar dari rumah, berjalan menuju mobil Bagas. Bagas membukakan pintu mobil untuk Aira. “Makasih,” ucap Aira lalu masuk ke dalam mobil. Bagas menutup pintu mobil dan melangkah menuju pintu mobil satunya, ia lalu duduk di samping Aira. “Jalan, Pak.” Pria paruh baya itu menganggukkan kepalanya, ia lalu melajukan mobilnya keluar dari halaman rumah Aira. “Ra, aku tidak menyangka tante kamu akan mengizinkan kamu pergi sama aku. Tapi, kalau ada om kamu di rumah, mungkin aku akan dimarahi sama om kamu, karena mengajak kamu jalan.” “Ini juga Tante tidak bilang-bilang sama Om Rain, kalau sampai Tante bilang sama om, mungkin om akan langsung menghubungi aku dan menyuruh aku pulang.” “Sebenarnya aku penasaran, kenapa om kamu melarang kamu pergi sama aku. Apa aku terlihat seperti cowok yang nggak bener?” Aira mencubit lengan Bagas. “Aww ... sakit, Ra!” pekik Bagas. “Makanya, jangan berpikiran buruk tentang Om Rain.” Bagas mengerucutkan bibirnya, ia terus mengusap lengannya yang terasa panas. “Habisnya, orang ganteng gini di curigai.” Tak berselang lama, mereka akhirnya sampai di rumah Fani. Mereka memang belum memberitahu Fani, kalau mereka akan datang ke rumahnya. Rumah Fani tampak sepi, seperti tak berpenghuni. “Gas, sepertinya Fani tidak ada di rumah.” Bagas mengambil ponselnya dari saku celananya. “Coba aku telpon, siapa tahu dia hanya keluar sebentar.” Ia lalu menekan nomor Fani dan menghubunginya. “Halo, Fan,” sahutnya saat panggilan itu mulai tersambung. “Ada apa kamu menelponku?” “Kamu sekarang dimana? Aku sama Aira sekarang ada di rumah kamu.” “Hah! kenapa kalian tidak menghubungi aku dulu kalau mau ke rumahku?” tanya Fani terkejut. “Ya, kan niatnya kami ingin membuat kejutan buat kamu. E ... ternyata malah kami yang yang dikejutkan dengan kamu yang tak ada di rumah,” kesalnya. “Aku sedang di rumah Nenek aku sekarang, mungkin nanti sore baru pulang.” Bagas membulatkan kedua matanya. “Apa?” Aira menyentuh lengan Bagas. “Ada apa?” tanyanya penasaran. “Ya sudah.” Bagas lalu mengakhiri panggilan itu. “Fani sedang di rumah neneknya sama ibunya.” “Ya ... percuma dong kita jauh-jauh kesini,” ucap Aira dengan ekspresi kecewa. “Em ... Ra, kamu mau nonton film sama aku nggak?” Aira nampak tengah berpikir. “Tapi, Gas. Aku kan izinnya cuma mau main ke rumah Fani.” “Aku tahu, tapi kan tadi tante bilang, kamu harus pulang tepat waktu, sedangkan sekarang masih siang. Jadi, masih banyak waktu untuk kita pergi nonton.” Bagas melihat Aira yang nampak tengah berpikir. “Sudah ayo, kalau sampai tante kamu marah, aku yang tanggungjawab.” Ia lalu menarik tangan Aira dan mengajaknya masuk ke dalam mobilnya. Bagas meminta supir taksinya untuk mengantarkannya ke bioskop. “Gas, ini pertama kalinya aku bohong sama Tante Karin.” Bagas menggelengkan kepalanya. “Tapi kan kita memang ke rumah Fani, hanya saja Fani-nya tidak ada di rumah, jadi daripada bingung mau kemana, ya mending kita nonton saja. Lagipula, sudah lama aku ingin mengajak kamu nonton.” Bagas lalu mengambil kotak kecil dari dalam saku jaketnya. Kado yang belum sempat ia berikan kepada Aira semalam. “Ra, aku punya sesuatu sama kamu. Aku harap kamu mau menerimanya,” ucapnya sambil memberikan kotak kecil itu kepada Aira. Aira tidak langsung menerima kotak kecil itu. “Ini apa? aku kan tidak sedang berulang tahun?” tanyanya sambil melihat kotak kecil yang berada di tangan Bagas dan sudah dibungkus kertas kado. “Ini memang bukan hadiah ulang tahun kamu, tapi sudah lama aku ingin memberikan ini sama kamu.” Aira menggelengkan kepalanya. “Aku tidak bisa menerimanya, maaf.” “Ra, jika kamu masih menganggapku teman, aku ingin kamu menerima hadiah ini,” ucap Bagas sedikit memaksa. “Tapi ....” “Aku mohon. Aku tidak ada maksud apa-apa kok, ini murni hanya hadiah untuk pertemanan kita selama ini.” Aira menghela nafas, ia tahu betul bagaimana sifat Bagas. Dia akan tetap memaksa sampai dirinya menerima pemberiannya. Aira menatap kembali kado itu. “Baiklah, aku mau menerima hadiah ini, hanya karena pertemanan kita.” Bagas menganggukkan kepalanya. “Semoga kamu mau memakainya.” Aira mengambil kado itu. “Memangnya apa isinya?” tanyanya penasaran. “Buka saja, daripada penasaran.” “Jadi, boleh aku buka sekarang?” Bagas menganggukkan kepalanya, “kalau begitu, aku buka ya.” Aira lalu membuka bungkus kado itu, ia melihat ada kotak kecil berwarna merah. Aira tahu, kotak apa itu, tapi ia tidak tahu apa yang ada di dalam kotak itu. Gadis itu pun lalu membuka kotak merah itu. “Gas, yakin ini untuk aku?” Aira tidak menyangka, Bagas akan memberikan barang mahal seperti itu kepadanya. Bagas menganggukkan kepalanya. “Aku yakin, itu akan terlihat semakin cantik kalau kamu yang memakainya.” Aira menggelengkan kepalanya, ia lalu menutup kembali kotak kecil itu. “Maaf, Gas. Aku tidak bisa menerimanya, ini terlalu bagus untuk aku. Lebih baik, ini kamu berikan kepada cewek yang kamu suka.” Bagas menggenggam tangan Aira. “Aku khusus membeli ini untuk kamu, jadi aku mohon, terima ya,” pintanya dengan memelas. “Tapi, apa yang harus aku katakan sama Tante dan Om aku nanti kalau mereka bertanya?” “Ya ... kamu bilang saja, itu hadiah dari aku, gampangkan.” “Tidak segampang itu juga kali, Gas. Ini barang mahal, kecuali kamu kasih aku jam tangan, baju atau apa, itu baru yang namanya hadiah yang wajar. Lah ini ... sangat tidak wajar menurut aku.” Aira menengadahkan tangan Bagas. “Maaf, aku tidak bisa menerima hadiah kamu ini,” ucapnya sambil meletakkan kotak kecil itu ke telapak tangan Bagas. Bagas menggenggam erat kotak kecil itu. “Kalau kamu tidak mau menerimanya., lebih baik aku buang. Aku membeli ini untuk kamu, jadi tidak ada gunanya juga benda ini ada di tangan aku.” Bagas yang hendak membuka kaca jendela mobil, di cegah oleh Aira. “Gas, kok kamu gitu sih. Itu barang mahal lo, masa mau kamu buang gitu saja.” “Aku kan tidak mungkin juga memakainya, jadi lebih baik aku buang.” “Kan bisa kamu berikan sama cewek yang kamu suka.” “Cewek yang aku suka itu ka ....” Bagas menghentikan ucapannya, ia hampir saja mengatakan isi hatinya kepada Aira. “Siapa cewek yang kamu suka?” tanya Aira penasaran. “Bukan siapa-siapa.” Bagas lalu memalingkan wajahnya. “Gitu saja malu,” canda Aira sambil menyenggol lengan Bagas. “Jauh-jauh sana, tidak usah dekat-dekat aku. Aku tidak ingin bicara sama kamu.” Bagas melipat kedua lengannya di d**a, ia terus menatap keluar jendela. Aira menghela nafas panjang, ini pertama kalinya Bagas ngambek seperti itu. “Gas, maaf ya. Bukannya aku tidak mau menghargai niat baik kamu. Tapi, aku tidak pantas untuk menerima itu.” “Sudahlah, Ra. Aku sadar kok, aku bukan siapa-siapa buat kamu.” “Gas, kok kamu ngomong gitu? Kamu itu sahabat terbaik aku, kamu adalah orang yang selalu ada disaat aku butuh teman.” Bagas mengalihkan tatapannya menatap Aira. “Kalau begitu, terima hadiah dari aku.” “Tapi ....” “Kalau begitu kamu bohong, aku bukan siapa-siapa kamu.” Aira menghela nafas. “Aku akan menerimanya, tapi aku tidak ingin kamu memberi aku hadiah lagi.” Bagas mengangguk kan kepalanya. “Aku janji. Apa aku boleh memakaikannya?” “Biar aku pakai sendiri saja.” “Please,” pinta Bagas dengan memelas. “Iya ... iya.” Aira selalu menyerah setiap melihat wajah memelas Bagas. Bagas mengambil kalung liontin itu dari dalam kotak kecil itu. “Sini mendekat dong,” pintanya. Aira duduk membelakangi Bagas. Bagas lalu memakaikan liontin itu ke leher Aira. Aira menatap kalung liontin itu, ada inisial namanya di liontin itu. Bagas membalikkan tubuh Aira. “Tuh kan, cantik. Liontin ini sangat cocok buat kamu,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya. “Terima kasih.” “Kalau om dan tante kamu tanya, aku yang akan menjawabnya, kamu tenang saja.” Aira menganggukkan kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN