Bunyi bel tanda pelajaran pertama telah selesai. Jam istirahat yang telah di tunggu-tunggu sejak tadi oleh Bagas, karena pemuda itu sudah sangat lapar.
“Ra, Fan, ke kantin yuk, aku lapar nih,” ajak Bagas sambil berdiri di samping meja Aira.
Fani menengok kebelakang.
“Kalian saja, aku mau ke perpustakaan saja.”
“Lho ... kenapa, Fan? Apa kamu tidak lapar?” tanya Bagas heran, biasanya Fani yang paling heboh kalau diajak ke kantin.
“Aku masih kenyang,” jawab Fani berbohong.
Aira mengernyitkan dahinya.
“Tumben kamu masih kenyang, biasanya kamu yang paling heboh saat Bagas kita mengajak ke kantin?” tanyanya penasaran.
Fani menepiskan senyumannya, ia lalu beranjak dari duduknya.
“Beneran, aku masih kenyang. Aku ke perpustakaan dulu ya,” pamitnya lalu melangkah keluar dari kelas.
Aira dan Bagas saling menatap, keduanya sama-sama mengedikan bahu, tanda tidak tahu apa-apa.
Tapi, Aira tidak begitu saja membiarkan sahabatnya itu kelaparan, hanya karena menahan rasa laparnya.
Aira lalu beranjak dari duduknya.
“Kamu ke kantin duluan saja, ada yang mau aku bicarakan sama Fani.”
“Tapi, kamu nanti menyusul kan?”
Aira menganggukkan kepalanya.
“Baiklah, kalau begitu aku ke kantin dulu,” ucap Bagas lalu melangkah keluar.
Aira juga melangkah keluar kelas, ia ingin menyusul Fani ke perpustakaan, karena ia merasa ada yang disembunyikan Fani darinya.
Aira melihat Fani yang tengah duduk di dekat jendela sambil menatap keluar jendela.
Aira masuk ke dalam perpustakaan itu, ia berjalan menghampiri Fani.
“Boleh aku duduk disini?”
Fani mengalihkan tatapannya, ia menatap Aira.
“Ra, kok kamu malah kesini, bukankah kamu mau ke kantin sama Bagas?”
Aira mendudukkan tubuhnya di depan Fani.
“Aku ingin ke kantin sama kamu juga.”
“Aku tidak lapar, Ra.”
“Apa kamu ada masalah? Atau kamu tidak diberi uang jajan lagi sama ibu kamu?”
Fani menundukkan wajahnya.
“Kamu memang tahu semua yang ada dalam pikiran aku, Ra.”
“Fan, kita sudah berteman selama dua tahun, tentu aku tahu semua tentang kamu.”
“Tapi, kenapa kamu masih mau berteman dengan aku, padahal kamu tahu, aku bukan orang kaya. Rumah aku saja tidak sebesar rumah kamu dan Bagas.”
Aira menggenggam tangan Fani.
“Bukankah kamu sudah tahu alasannya, kita itu sama. Dulu aku juga hidup sederhana, walaupun rumah aku yang dulu tidak buruk juga. Tapi, aku dan Ibu sama-sama bersyukur, atas apa yang kami miliki waktu itu.”
“Tapi sekarang kan beda, Ra. Om dan tante kamu, mereka sangat kaya, hidup kamu serba kecukupan, rumah kamu bagus, berangkat dan pulang sekolah diantar pakai mobil. Sedangkan aku...”
“Fan, aku juga tidak bisa berkata-kata apa-apa sih, karena sebenarnya aku juga sangat bersyukur masih mempunyai Om Rain dan Tante Karin yang sangat sayang sama aku. Tapi, jika aku bisa memilih, aku lebih baik memilih hidup sederhana tapi aku masih bisa tinggal bersama dengan kedua orang tuaku. Bagaimanapun kasih sayang orang tua itu lebih dari segala-galanya di dunia ini.”
Fani menepiskan senyumannya.
“Benar sih kata kamu. Mungkin aku yang kurang bersyukur kali ya, padahal aku masih punya Ayah dan Ibu, kakak aku juga sedang berjuang keras untuk melunasi hutang-hutang Ayahku.”
“Nah ... gitu dong. Sekarang kita ke kantin ya, tenang saja, aku yang traktir, aku tahu kamu pasti sangat lapar.”
Perut Fani tiba-tiba berbunyi, ia pun lalu menyengir kuda.
“Sangat, apalagi tadi aku belum sempat sarapan.”
Aira lalu beranjak dari duduknya.
“Kita ke kantin sekarang, nanti ke buru masuk lagi.”
Fani menganggukkan kepalanya, ia lalu beranjak dari duduknya. Mereka melangkah keluar dari ruang perpustakaan itu.
Untung suasana perpustakaan itu sepi, jadi Aira bisa leluasa bicara dengan Fani, jika tidak, ia pasti sudah kena tegur dari siswa lainnya yang mungkin akan merasa terganggu dengan pembicaraan mereka.
Sesampainya di kantin, Fani dan Aira terkejut, karena sudah ada tiga porsi bakso yang tertata di atas meja, belum lagi es campur kesukaan Aira dan Fani.
“Jangan di pelototin terus, apa kalian tidak lapar?” Bagas mulai memakan bakso itu.
Fani dan Aira mendudukkan tubuh mereka tepat di depan Bagas.
“Ini semua kamu yang pesan?” tanya Aira.
Bagas menganggukkan kepalanya.
“Tenang saja, aku yang traktir,” ucapnya dengan senyuman di wajahnya.
“Tumben.” Aira lalu mulai memakan bakso itu.
“Tapi makasih ya, tahu saja kalau aku ingin makan bakso.”
“Makasih ya, Gas. Besok traktir lagi juga boleh,” canda Fani lalu mulai menikmati bakso itu.
“Kebiasaan sih kamu, dikasih hati malah minta jantung,” sindir Bagas dengan nada bercanda.
“Biarin, uang kamu tidak akan habis juga.”
Aira menggelengkan kepalanya.
“Kalian ini ya, sama sekali tidak bisa akur. Aku doakan semoga kalian ini berjodoh, jadi kalian tidak akan sering bertengkar lagi.”
Bagas dan Fani yang baru saja menyeruput kuah bakso, tiba-tiba langsung terbatuk-batuk.
Aira langsung memberikan minuman kepada Fani dan Bagas.
“Kalian ini ya, tersedak saja kompak. Jangan-jangan kalian memang sehati kali ya,” godanya lagi.
Bagas dan Fani sudah merasa lega setelah minum air putih yang tadi Aira berikan pada mereka.
“Ra, kok kamu gitu sih. Masa kamu mendoakan aku sama Fani berjodoh, padahal aku kan ....” Bagas menghentikan ucapannya, ia tidak ingin sampai Aira tahu soal perasaannya padanya.
“Siapa juga yang mau berjodoh sama cowok tengil kayak kamu. Mendingan aku cari cowok lain.” Fani kembali menikmati kuah baksonya.
“Gas, tadi kamu mau bicara apa, kenapa tidak kamu lanjutkan?” tanya Aira penasaran.
Bagas menggelengkan kepalanya.
“Bukan apa-apa, aku hanya ingin bilang. Aku sama Fani hanya teman, iya kan, Fan?” tanyanya sambil menatap Fani.
“Hem ... tapi aku juga tidak tahu kalau diam-diam ternyata kamu naksir aku,” candanya.
“Tenang saja, aku sudah ada cewek yang aku suka,” ucap Bagas dengan senyuman di wajahnya.
Fani dan Aira saling menatap, mereka sama-sama mengernyitkan dahi mereka.
“Siapa?” tanya mereka bersamaan.
“Rahasia dong, nanti kalian juga akan tahu.”
Aira saat ini sedang menunggu Karin menjemputnya.
Bagas menawarkan diri untuk menemani Aira, karena dia juga belum dijemput oleh supir keluarganya.
Bagas senang, ia bisa berduaan dengan Aira, tanpa Fani tentunya.
“Ra, ini ....” Bagas memberikan sebotol air mineral kepada Aira.
Aira mengambil botol air mineral itu.
“Terima kasih.”
“Tumben tante kamu belum jemput, biasanya tante kamu sudah datang?”
“Tadi Tante Karin bilang, dia mau mampir ke kantor Om dulu, katanya mau mengantar berkas penting.”
Aira membuka tutup botol air mineral itu lalu meneguknya.
“Kamu sendiri juga tumben belum di jemput?” tanyanya balik.
“Tadi Pak Tino, ban mobilnya bocor saat dalam perjalanan, jadi harus dia harus mengganti ban mobilnya dulu.”
Aira hanya menganggukkan kepala mendengar penjelasan Bagas. Tak berselang lama, mobil Karin dan juga mobil jemputan Bagas sudah tiba.
“Ra, ayo masuk,” ajak Karin setelah menurunkan kaca mobilnya.
“Iya, Tante.” Aira lalu menatap Bagas, “kamu juga sudah di jemput tuh, aku masuk duluan ya, Tante aku sudah menunggu.”
Bagas menganggukkan kepalanya.
“Aku juga mau pulang, tidak mungkin kan aku terus disini.”
Aira dan Bagas lalu masuk ke dalam mobil mereka masing-masing. Karin melajukan mobilnya lebih dulu.
“Sayang, apa Tante boleh bertanya sesuatu?”
“Boleh dong, Tan. Apa yang ingin Tante tanyakan?”
“Kalau boleh Tante tahu, Bagas itu orangnya seperti apa?”
Aira mengernyitkan dahinya.
“Kenapa Tante tiba-tiba menanyakan soal Bagas?” tanyanya penasaran.
“Bukan apa-apa sih, sayang. Tante hanya ingin kamu mempunyai teman-teman yang baik.”
Aira seakan tengah berpikir untuk menjawab rasa ingin tahu tantenya.
“Bagas itu ... pria yang baik, dia juga selalu ada disaat Aira butuh teman. Seperti tadi, dia menemani Aira menunggu Tante menjemput Aira, meskipun sebenarnya Bagas juga sedang menunggu jemputannya sih.”
“Apa kamu menyukai Bagas?”
Aira membulatkan kedua matanya mendapatkan pertanyaan seperti itu dari tantenya.
“Tante ini ada-ada saja pertanyaannya. Aira itu masih kecil, Tan. Jadi Aira tidak mau memikirkan cinta-cintaan. Aira ingin fokus belajar dan memuat Tante dan Om bangga sama Aira.”
Karin mengusap puncak kepala Aira.
“Ini baru keponakan Tante, anak pintar,” pujinya.
‘Aira hanya ingin Tante dan Om tidak menyesal karena telah merawat Aira. Aira akan buktikan, jika Aira bukanlah anak pembawa sial’ gumam Aira dalam hati.
Kenapa Aira berkata jika dirinya anak pembawa sial?
Saat pertama masuk sekolah, ternyata di sekolah itu ada salah satu teman Aira saat masih SD.
Nama teman Aira itu adalah Dini. Suatu hari, Dini mengatai Aira anak pembawa sial, karena kedua orang tua Aira sudah meninggal dunia.
Rain dan Karin yang mendengar itu, merasa tidak terima, dan akhirnya melaporkan itu kepada kepala sekolah Aira.
Dini akhirnya diminta untuk meminta maaf kepada Aira, dan dia dijauhi oleh teman-teman sekelasnya.
Aira sebenarnya sudah memaafkan Dini, tapi kata-kata yang Dini ucapkan, masih sangat melekat di ingatannya sampai sekarang.
“Sayang, kenapa kamu melamun? Apa ada yang sedang kamu pikirkan?”
Aira menggelengkan kepalanya.
“Tidak kok, Tan.”
“Oya, tadi saat Tante datang ke kantor om kamu, om bilang sama Tante, kalau om mau mengajak kita makan malam di luar, karena besok om mau berangkat ke Australia. Perusahaan om yang ada di Australia sedang ada masalah.”
Aira menganggukkan kepalanya.
“Memang Om Rain akan ke Australia berapa lama, Tan?”
“Mungkin satu minggu, atau bisa lebih. Ya ... kita doakan saja, semoga masalahnya cepat selesai, agar om kamu bisa secepatnya pulang.”
Aira ragu ingin menanyakan itu kepada Karin, tapi ia juga ingin tahu tentang keluarga Rain.
“Em ... Tan. Apa Aira boleh bertanya sesuatu?”
“Apa itu, sayang?”
“Apa kedua orang tua Om Rain, masih tinggal di Australia? Apa Tante tidak rindu sama mereka?”
Karin tersenyum.
“Tante kira kamu mau bertanya apa. Ibu Om Rain, sudah meninggal dua tahun yang lalu. Kalau soal ayah Om Rain, beliau sudah menikah lagi dan sekarang tinggal di Jakarta. Kenapa kamu menanyakan itu, apa kamu ingin bertemu dengan kakek kamu?”
“Kakek ....”
“Iya, sayang. Kakek, kamu bisa memanggil beliau kakek. Selain itu, Om Rain dan Tante juga sudah memberitahu beliau tentang kamu, dan beliau juga ingin bertemu dengan kamu. Tapi, karena waktu itu kamu masih sangat sedih, jadi om dan Tante menundanya.”
“Tan, apa kakek mau menerima Aira?”
“Tentu dong sayang, jangan berpikiran yang macam-macam, ok,” ucap Karin sambil mengusap puncak kepala Aira.
Aira mengangguk mengerti, tapi ia juga merasa senang, jika ayah Rain mau menganggapnya sebagai keluarga juga, dengan begitu, Aira merasa sudah mempunyai keluarga yang lengkap.