Menuju Hukuman

2316 Kata
Setelah pergi dari kamar Evan, awalnya aku pikir Mas Ardan akan membawaku ke kamarnya dan kemudian akan memberikan hukuman untuk aku jalani. Namun, ternyata aku salah. Dia justru melakukan hal yang tidak pernah aku duga selama ini. Mengajakku ke dapur sambil tanganku dipegangnya dengan erat. Aneh! Padahal dia selalu membiarkanku berjalan sendiri bahkan lebih sering tidak peduli, sekarang justru seperti pria yang posesif saja. Sesampainya di dapur, aku langsung bertanya karena begitu penasaran. “Kita ngapain ke dapur?” tanyaku. “Aku kira kita akan ke kamarmu. Kamu tidak berniat menghukumku di dapur, kan, Mas?” Lalu, dia lepaskan tanganku dan kemudian dia duduk di salah satu bangku meja makan. Wajahnya terlihat tidak peduli, datar menatapku dan terkesan sangat dingin, sementara matanya menatapku dengan sinis. “Apa? Kenapa melihat seperti itu?” tanyaku lagi dengan nada sewot. Kemudian, dia mengarahkan pandangannya ke arah meja kompor, yang kulihat sudah ada satu bungkusan di sana. “Kamu pikir kamu itu siapa ingin ke kamar saya? Kalau kita tidak berhubungan badan, kita tidak akan ke kamar saya. Sekarang siapkan makanannya! Gara-gara kamu lancang ke rumah Ayah, saya jadi lapar di rumah,” kata dia dengan nada yang dingin. Satu kata yang terlintas, tumben. Biasanya dia tidak pernah meminta makan, selalu aku yang berinisiatif untuk membuatkannya dulu baru dia makan. Dia juga tidak pernah membeli makanan untuk di rumah kami, selalu saja aku yang memasak walaupun akhirnya dia bilang kalau masakan aku tidak enak. “Buruan! Ngapain bengong?!” gertaknya dengan nada pelan. “Aku udah lapar.” Segera aku bergegas untuk menyiapkan makanan untuknya. Tanpa banyak protes. Tidak ada yang kata yang keluar dari mulutku, sebab aku tidak mau memulai permasalahan di depannya lagi. Sudah Lelah rasanya diri ini menghadapi sikap dia yang begitu absurd. “Siapkan dua piring! Saya beli untuk kamu juga,” katanya. “Kamu lagi sariawan?” tanya Mas Ardan. Akhirnya aku pun menoleh melihatnya. Menatap dia dengan tatapan kebingungan dan kemudian menjawab, “Enggak. Kenapa emang?” “Diem aja dari tadi. Kalau sariawan bilang, biar dibeliin obatnya! Jangan diem mulu kayak patung,” sahutnya. Diam salah, giliran aku berbicara nanti dibilang membantah ucapannya terus. Di sini memang aku yang salah sepertinya telah menyetujui pernikahan ini. “Tumben banget kamu beli lauk sendiri. Biasanya makan di luar sama temen-temen kerja yang aku sendiri nggak tau itu siapa aja.” “Jadi, kamu cemburu kalau saya makan di luar bareng teman kerja?” tanya dia. “Enak aja! Ngapain cemburu sama orang kayak kamu,” kataku menyahut. Tidak lama kemudian, dia duduk bersandar di meja dapur. Melihatku dengan tatapan senyumnya dan kemudian tertawa. “Orang kayak saya maksudnya gimana? Kamu ini nggak sadar lagi bicara dengan siapa? Kamu ini bicara dengan suami kamu, El! Kalau ngomong itu yang bener!” “Tepatnya suami yang seharusnya menjadi ipar,” sahutku. Mas Ardan mengubah raut wajahnya menjadi datar kembali. Dia seperti paham arti dari perkataanku yang baru saja diucap. Apa benar kalau ucapan Ibu hari ini benar? “Apa maksud kamu yang seharusnya jadi ipar?” tanya dia dengan nada dingin. “Ngomongin apa saja kamu dengan mereka tadi?” Setelah aku selesai menyajikan makanan di piring, aku berbalik menatapnya. “Hanya membicarakan siapa itu Theo yang seharusnya dijodohkan dengan aku. Kenapa? Apa itu salah? Jelasin, dong!” Mas Ardan pun tidak menyahut. Dia memilih untuk mengambil piring dan mangkuk tadi dan dia bawa ke meja makan. “Jawab, Mas! Kenapa kamu kelihatan terkejut?” tanyaku lagi. Aku dekati dia dan duduk di depannya. “Kamu ngomong sesuatu, dong! Benar itu semua? Jadi, itu alasan kenapa kamu tidak menginginkan perpisahan kita karena kamu sebenarnya terpaksa menikah denganku?” “Sok tahu!” balasnya dengan dingin. Mas Ardan tidak menyahut dan menatapku lagi. Akhirnya aku ikuti dia untuk makan juga, sambil menunggu waktu yang tepat untuk berbicara. Dia terdiam sambil mengamati pergerakanku. Dengan keadaan seperti ini, aku jadi semakin tidak bisa bebas bergerak. “Ngapain ngeliatin mulu, sih?!” tanyaku lagi. “Ya adanya kamu di sini, siapa lagi yang harus aku perhatikan?” tanya dia dengan nada sewot. “Bisa apa aja. Kamu bisa lihat apa kek. Makanan kamu juga bisa. Jangan lihat ke arah aku!” bentakku. Masa bodoh kalau dia marah. “Kamu pasti ada hal yang ingin diminta, kan?” tanyaku sambil membawa makanan ke meja makan. “Enggak. Kata siapa aku ingin minta ke kamu? Aku bisa lakuin sendiri, ngapain minta ke kamu,” kata dia mengelak. “Kamu ingin apa?” tanyaku lagi. Kini kami sudah duduk berhadapan. Dengan Mas Ardan yang melihat ke arahku dengan tatapan menusuknya. Yang aku harap, dia marah kali ini dan menegurku. Tidak masalah jika dia menghukumku, tidak masalah kalau aku akan mendapatkan cacian atau yang lainnya, yang penting aku puas. “Makan saja dulu! Aku tidak ingin mengganggu makan soreku dengan celotehanmu yang tidak bermutu!” Dia duluan yang makan, aku tidak mau mengganggunya. Aku justru pergi ke kamar Evan dan memeriksa keadaannya. Dia sedang tertidur dengan nyaman di balik selimut. Hal yang paling sering aku periksa saat dia habis bertemu dengan Mas Ardan, aku selalu memeriksa keadaan tubuhnya. Walaupun Mas Ardan memang tidak pernah menyakiti Evan barang secuil pun. Dia selalu menggertakku saja. Namun, tetap saja, hal itu yang memicu diriku untuk berjaga-jaga karena takut. “Sudah puas periksa keadaan tubuh anakmu?” Suara bariton itu muncul tiba-tiba dari arah belakang tubuhku. Dengan tidak siapnya mendengar, aku terkejut hingga hampir berteriak. “Kamu selalu takut tubuh anakmu aku lukai padahal kamu yang bilang kalau itu anakku juga. Kamu lupa atau sudah mulai pikun?” tanya dia Kembali. Aku langsung berdiri dan menghampirinya. Dengan tatapan yang dingin pula, aku dorong tubuhnya keluar dari kamar Evan. Aku tidak ingin Mas Ardan merusak nyamannya anakku tertidur. Aku tutup pula pintu dan aku bawa Kembali dia ke dapur. Makanan belum dihabiskan, dia sudah pergi saja. “Makananmu habiskan dulu!” kataku. Mas Ardan pun berdecak kesal. “Kamu makan juga! Aku ingin makan di depan kamu sekarang.” Apa maksudnya dia, sih? Dasar aneh! “Kamu sedang tidak kerasukan jin dari tempat lain, kan?” Mas Ardan pun Kembali menitahkanku untuk duduk di kursi. Sementara dia juga duduk dan melanjutkan makannya. “Kamu ini selalu curiga sama aku akan ngelukain Evan. Kamu pikir aku pria jahat yang bisa melukai anak kecil?” “Kalau yang kamu maksud melukai termasuk luka batin, sepertinya itu pernyataan yang sangat salah. Kamu sering menyakiti batin Evan kalau kamu lupa,” sahutku. Jawaban yang langsung membuat Mas Ardan melotot ke arahku. Tangannya pun menggenggam erat garpu serta pisau dengan erat. Seolah dia kesal dengan jawaban tadi. Padahal itu biasa saja menurutku. “Apa? Memang itu kenyataannya. Kamu selalu ancam dia, marahin dia. Kamu pikir itu tidak termasuk ke dalam melukai anak kecil?” Dia melanjutkan Kembali aksinya. Sementara aku mulai makan hidangan yang dia beli tanpa curiga. Bisa saja ketika aku pergi, dia memberikan racun kepadaku bukan? Entah apa lah yang aku pikirkan, tetapi aku sudah sangat tidak peduli dengan status suami istri ini yang terkesan berbohong. “Kamu sadar kalau yang kamu lakukan hari ini dan berkali-kali sebelumnya adalah pelanggaran?” tanya Mas Ardan. Aku langsung terdiam mendengarnya. Perlahan-lahan aku menatapnya dengan ketakutan. “Maksudnya?” “Kamu sudah sering ke rumah Ayah, kan? Tidak perlu menutupi apa pun dari aku karena aku sudah tahu semuanya. Apa yang kamu pikirkan sebenarnya, El? Apa kamu lupa dengan perjanjian kita?” tanya Mas Ardan lagi. “Kita berstatus suami istri di hadapan semua orang, tetapi tidak di rumah ini. Pengecualian untuk kepuasan nafsu kamu yang tinggi, kamu bebas meminta hak kapan pun. Apa lagi? Oh ya, satu lagi. Aku tidak boleh meminta apa-apa kecuali diberikan oleh dirimu. Ada yang tertinggal?” Mas Ardan tersenyum licik menyambut semua pernyataan yang keluar dari mulutku. Tampaknya dia memang sudah mendekati gila untuk disebut sebagai manusia. “Kamu memang pandai bersilat lidah. Aku tidak pernah bilang kamu tidak boleh meminta. Aku selalu bilang minta kepadaku kalau aku dalam keadaan senang hati,” sahutnya. “Bukanya kamu yang pandai bersilat lidah? Boleh meminta dalam keadaan senang hati, padahal setiap masuk rumah ini aura kamu tidak pernah senang. Apa kamu pernah tersenyum saat masuk rumah ini?” sewotku dengan geram. Mas Ardan pun mengangguk sambil tertawa kecil. “Baiklah aku salah. Pokoknya kamu harus dihukum. Jangan pikir karena tidak ada yang cerita kepadaku termasuk Ayah dan Ibu, aku tidak tahu kalau kamu sering datang ke rumah mereka. Ingin hukuman ringan atau berat?” “Terserah.” Aku langsung bangkit dan meninggalkannya sendirian di sana. “Sebaiknya kamu bersiap karena malam ini akan jadi malam yang Panjang. Tentunya melelahkan juga. Beli obat kuat untuk menghadapiku nanti malam,” sahutnya. Mungkin terdengar aneh, tetapi yakinlah kalau semua itu memang akan terjadi. Namun, siapa aku di sini? Bisa melawannya? Tentu saja aku bisa, tetapi apa Evan bisa? Aku begitu takut terhadap apa yang Mas Ardan bisa lakukan kepada Ervan ketimbang apa yang bisa aku lawan. “El, aku terpikirkan satu ide. Kenapa kita tidak melakukan program hamil? Mungkin tes Kesehatan juga bisa. Siapa tahu kamu sedikit … mandul?” tanya Mas Ardan yang sangat ringan nada bicaranya. Membuatku sampai melotot ke arahnya. “Mas kamu sudah gila atau bagaimana, sih? Evan lahir dari rahim aku, kamu pikir itu bisa terjadi kalau aku mandul? Mungkin sebaiknya kamu yang tes, bisa jadi kamu yang mandul!” sahutku. Sontak Mas Ardan langsung terdiam mendengarnya. Dia tidak menyahut lagi, tetapi tetap menatapku seolah mengancam. “Kamu bener-bener ingin punya anak lagi?” tanyaku yang akhirnya luluh. Aku benar-benar muak dengan sikapnya yang seperti anak kecil. “Lebih baik kamu jujur dengan dirimu sendiri untuk menjawab pertanyaanku tadi. Apa benar yang dibicarakan Ibu?” “Kalau benar kenapa?” tanya dia. “Kalau salah kenapa?” “Kalau benar, itu berarti memang kamu berbohong untuk menjadi suami aku? Kamu terpaksa, kan? Permintaan punya anak itu permintaan siapa? Kamu atau ayahku?” Aku benar-benar sudah kehabisan napas untuk tenang. Tidak ada lagi suasana hangat atau pertengkaran kecil tadi. Denyut nadiku terasa lebih cepat sekarang. “Aku ingin kamu hamil dan punya anak lagi, kemudian kita akan berpisah. Hanya itu yang aku minta dari kamu, El. Apa salahnya dari satu permintaan itu? Apa kamu lupa dengan perjanjian kita?” Mas Ardan pun berdiri lalu berjalan ke arah kulkas. Dia mengambil sebuah botol minuman bersoda dan meminumnya. “Kita akan pisah, itu yang dulu kita janjikan. Kamu juga setuju akan hal itu.” Pisah. Pisah. Pisah dan pisah. Itu terus yang dia bicarakan sampai kali ini terasa sangat sakit. Sungguh, dia seolah sangat mudah mengatakannya saat aku sudah benar-benar … mungkin tidak bisa berpisah dengannya. “Kamu menangis, El? Kenapa kamu menangis? Kamu tidak ingin pisah dengan aku? Memangnya apa sih yang kamu dapat dari aku selain sakit hati?” Aku sampai tertawa hambar mendengarnya. “Oh ternyata kamu sadar apa yang kamu lakukan sampai membuatku sakit hati? Lantas apa dengan kesadaran itu belum cukup membuat perbuatan jahat kamu berhenti? Bukannya aku tidak sanggup menghadapinya, tapi aku kasihan dengan Evan.” “Tidak, Aku menikmatinya. Memangnya kamu tidak menikmatinya?” Mas Ardan pun tertawa. Dia sampai memberikan senyumannya untukku. “Lihat! Aku tersenyum.” “Sepertinya otakmu memang tidak waras. Bagaimana dengan seluruh karyawanmu di kantor? Apa mereka tidak merasa tertekan secara batin karena memiliki bos yang sangat terganggu mentalnya?” sindirku. Aku biarkan dia mengoceh Panjang lebar di meja makan. Dia berbicara sesuka hatinya termasuk bilang kalau keluargaku termasuk keluarga benalu yang bisanya menumpang hidup. Dia juga bilang pernikahan ini adalah salah satu bentuk betapa parasitnya keluargaku. “Kita menikah agar kamu bisa hidup aman sementara bisnis ayahmu sedang dilanda kebangkrutan. Apa itu kurang untuk membuatku melek? Sadar, El! Keluargamu butuh aku. Sudah untung kamu hanya aku suruh untuk buat anak sebagai penerus bisnis, bagaimana kalau aku suruh kamu menjadi Wanita malam? Apa yang akan kamu hadapi di luar sana itu lebih berbahaya.” “Evan bisa, Mas! Dia bisa jadi penerus bisnis kamu. Apa yang kurang dari dia?” “Dia anakmu!” pekik Mas Ardan dengan lantang. Aku sempat terdiam beberapa saat setelah mendengarnya. Perkataan yang seolah menunjukkan bahwa Evan bukanlah anaknya. “Lantas kamu pikir dia bukan anakmu juga?” tanyaku lagi. Mas Ardan pun berbalik badan, membelakangiku. “Jangan samakan anakmu dengan anakku, El! Dia anakmu dan sampai kapan pun dia akan menjadi anakmu.” “Hal apa yang bisa membuat kamu tidak mengakui kalau dia anakmu? Apa karena dia manja? Apa karena dia penakut dan berbeda dari ayahnya yang begitu percaya diri sampai semenyeramkan ini?” “Cukup, El! Kamu tidak perlu tahu banyak hal tentang Evan! Cukup beri aku satu anak lagi dan kita akan berpisah. Seluruh keinginanmu akan aku turuti kalau kamu mau memberikan aku satu anak lagi. Hanya itu, El ….” “Apa kamu sudah selesai mengocehnya?” tanyaku sambil berbalik menghadapnya. Mas Ardan duduk dengan senyum yang lebar. Pria tampan yang berhati iblis, entah kenapa aku bisa jatuh cinta kepadanya setelah menikah. Padahal sejak awal aku sudah berjanji kepada diri sendiri kalau aku tidak akan mencintainya karena dia adalah bentuk sesungguhnya dari iblis yang jahat. “Kamu ingin mendengar aku mengoceh lagi?” tanya dia yang kemudian berjalan ke arahku. “Apa kamu lebih senang mendengar ocehanku? Padahal aku lebih senang mendengarmu mengerang di bawahku sambil menikmati apa yang aku lakukan.” Sudah mulai dengan ketidakwarasannya. “Lebih baik kamu mandi! Badanmu sangat bau!” Aku langsung berjalan ke belakangnya dan seolah berjalan dan mengabaikan apa yang dia katakan. Namun, satu hal yang bisa aku pedulikan saat dia mengoceh dan itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulutnya. “Besok akan ada seseorang yang datang. Kamu bisa berikan dia jamuan yang istimewa! Jangan sampai dia kecewa karena hidangan di rumah ini tidak enak.” “Hidangan di rumah ini selalu enak. Hanya tuan rumahnya yang tidak pernah menyukai hidangannya karena punya simpanan perempuan yang makanannya lebih enak dari aku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN