Rencana yang Gagal

2478 Kata
Hari ini aku menitipkan Evan kepada Fani. Aku yakin Fani bisa menjaga Evan. Mereka pasti akan senang-senang di panti asuhan milik keluarga kami, ketimbang bersamaku yang mungkin akan mendapatkan banyak permasalahan. Sementara Evan dan Fani berkunjung ke panti asuhan, aku akan berkunjung ke rumah ibu dan ayah mertua. Walaupun sebenarnya aku dilarang untuk bertemu mereka, tetapi mudah-mudahan Mas Ardan tidak tahu kalau aku datang. Ini hidupku. Tidak jauh dari memenuhi peraturan Mas Ardan. Tidak boleh melakukan ini, tidak boleh melakukan itu, termasuk tidak boleh mengunjungi ayah dan ibu mertua jika tidak bersama Mas Ardan. Aku sangat tahu peraturan itu dibuat untuk tujuan aku yang tidak berbicara macam-macam kepada mereka, terutama dengan keadaan dunia pernikahan kami yang sangat amat berantakan. Lantas aku menurutinya? Tentu saja tidak. Aku tidak mungkin menjadi seorang istri yang sangat penurut dengan hal-hal seperti itu. Aku lebih baik nekat dan tentu saja diam-diam melakukannya. Sangat beruntung karena mertuaku bukan tipe orang yang sering bercverita, sehingga kapan pun aku datang, tidak pernah diceritakan kepada Mas Ardan. Jadi aku punya hak untuk pergi ke mana pun selagi bisa. Jangan dengan statusnya sebagai suami aku harus menuruti keinginannya yang salah. Mungkin hari ini akan menjadi hari bahagia untuk aku dan Ibu. Kami membuat beberapa kue dan hidangan lain. Sudah lama kami tidak mengacaukan dapur Ibu. Biasanya sebulan sekali kami sering melakukan ini, tetapi semenjak setengah tahun terakhir semenjak emosi Mas Ardan terus meningkat akhir-akhir ini, kami tidak pernah melakukannya. "Bagaimana kabar Evan, El? Cucu Ibu sehat-sehat aja, kan?" tanya Ibu dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Tatapan matanya yang binar seolah mengharapkan kabar baik dariku. "Evan sehat, Bu. Beberapa minggu ini tidak ada penurunan kondisi kesehatan. Mudah-mudahan kita semua sehat selalu." Seandainya saja Ibu mengetahui semuanya yang terjadi. Apa yang akan Ibu lakukan? Aku tidak bisa membayangkan bagaimana marahnya Ibu kepada Mas Ardan. “Usahamu gimana? Ada kendala?” tanya Ibu lagi. Usaha toko beras yang baru aku dirikan bulan lalu atas izin ibuku dan ayahku sendiri. Tentu tanpa sepengetahuan Mas Ardan. Semua modal dari tabunganku dan tentunya untuk biaya hidup aku dan Evan nanti. Rasanya sudah sangat ingin mengakhiri pernikahan ini tanpa harus menunggu anak lagi darinya. Perjanjian konyol! “Aman, Bu. Semuanya aman. Paling kendala saat pengiriman barang dari produsen aja, sih. Soalnya kan lumayan jauh tempatnya. Jadi suka terlambat datang gitu. Kalau habis stok di toko, kadang sampai beberapa jam tutup. Makanya mulai disiasati untuk dikirim sebelum habis stok aja,” jawabku. “Ya jangan sampai habis. Pamali! Mending kamu stok banyak, terus kalau menipis kamu kirim lagi. Kalau takut nanti kutuan, kamu pisahin dulu yang lama, lalu kamu tumpuk di atas yang baru. Jadi tetap barang yang lama akan kamu jual duluan,” kata Ibu. Mungkin bisa aku lakukan semua itu. “Iya, Bu.” "Kapan-kapan ajak suamimu ke sini juga, El! Sudah lama kami tidak bertemu," sahut Ibu yang langsung membuatku terdiam. “Kamu kalau ke sini selalu saja sendirian, tidak pernah bareng Ardan. Memangnya dia sangat sibuk atau ada urusan apa di luar sana?” Andaikan aku bisa mengajak Mas Ardan untuk pergi mengunjungi Ibu. Aku saja dilarang olehnya untuk datang ke sini. Bagaimana bisa aku mengajaknya? "Iya, Bu. Kapan-kapan nanti El ajak ke sini. Justru aku ingin tanya ke Ibu, apa Mas Ardan sering ke sini sendirian? Soalnya dia nggak pernah cerita kalau datang ke sini.," jawabku. “Suamimu kalau ke sini kalau ada urusan sama ayahnya saja. Habis itu pergi. Mukanya juga selalu ditekuk kalau datang. Entah apa yang mereka bicarakan, Ibu juga tidak tahu,” kata Ibu. “Sikap Mas Ardan memang keras. Makanya dia sering marah-marah. Berharap saja dia tidak cepat tua dan ubanan,” sahutku. Kami pun tertawa dengan lepas. “Sangat berbeda dengan kakaknya dewasa. Bicara seperlunya, menurut jika ucapan orangtuanya benar, dan menemukan solusi jika apa yang aku atau ayahnya katakana itu salah. Kalau Ardan langsung berontak dan marah-marah. Habis itu dia pergi ke apartemen berminggu-minggu. Nanti kalau si Fani telepon, baru dia pulang,” kata Ibu. Semenjak kami menikah, aku belum pernah tahu siapa kakaknya Ardan. Baru dengar juga kalau Ardan punya Kakak. “Mas Ardan punya Kakak? Kenapa El baru dengar hal ini?” “Ardan tidak cerita, toh? Dikirain sudah cerita ke kamu, El,” kata Ibu sambil duduk di bangku dan memotong brownis yang sudah matang. “Ardan itu punya satu kakak dan satu adik. Dia itu anak tengah. Sayangnya, kakaknya Ardan sudah nggak ada. Insiden delapan tahun lalu itu penyebabnya. Bahkan sampai saat ini juga kami tidak bisa menemukan jasadnya Theo.” Jadi, Theo namanya. Kenapa Mas Ardan tidak pernah menceritakan hal itu kepadaku? “Ibu bersyukur karena perjodohan kamu dan Ardan itu berjalan dengan lancar. Awalnya, kan, Ibu sempat takut kalau kalian sering bertengkar. Secara, perjodohan itu tidak ada yang berjalan mulus-mulus banget,” kata Ibu. “Ya lancar lumayan. Ada pasti permasalahan, tapi gak terlalu besar. Aku juga sempat kecewa sama Ayah karena terlalu memaksa Mas Ardan untuk menikah denganku. Kalau dia punya pacar di luar sana, pasti Mas Ardan akan sangat kecewa.” Setelah itu, sikap Ibu berubah diam. Dia melihatku dengan tatapan penuh selidik. “Yang memaksa untuk menikah denganmu itu aku, El. Kedua orangtuamu tidak pernah memaksa Ardan. Kamu juga seharusnya menikah Theo, bukan dengan Ardan. Namun, karena insiden itu, kamu harus menikah dengan Ardan. Apa Intan tidak pernah menceritakan semua ini?” Nah loh? Jadi, yang seharusnya menikah denganku adalah Theo. Kalau dia masih ada, apakah kehidupan pernikahanku akan seperti ini? Sepertinya tidak. Didengar dari cara Ibu menceritakan sosok Theo, dia adalah orang yang dewasa. “Oh begitu ….” “Maaf Ibu harus cerita sekarang. Kalau ternyata kalian baik-baik saja, berarti Ardan menerima semua ini.” Sayangnya, Mas Ardan tidak menerima pernikahan ini seutuhnya. Aku yang menjadi korban kekecewaannya. "Gimana kue browniesnya? Apa adonan yang El buat enak, Bu?" Ibu ambil sepotong kue yang tadi sudah aku potong-potong. Kemudian dia mulai memakannya. Ibu menutup matanya sambil mengunyah kue yang ada di dalam mulut. Tangan kanannya diangkat dan ibu jarinya dia naikkan. "Enak banget rasanya, El. Harusnya tadi kita buat adonannya yang banyak. Jadi kalau nanti Ibu pengin, bisa langsung dikukus aja." Seketika tawa kami berdua pecah mendengarnya. Kalau bukan karena memasak, aku yakin hubungan aku dan Ibu tidak akan pernah sedekat ini. Kesamaan kami tercipta saat acara keluarga pertama dulu dan kami sama-sama suka membuat kue. Namun, itu semua awal dari hubungan belakang ini dimulai. Aku harus sering datang dan membuat kue Bersama tanpa sepengetahuan Mas Ardan. Drrt ... drrrt .... Mata kami berdua melirik ponsel yang berada di atas meja makan. Nama Mas Ardan terpampang di sana, dengan tombol hijau yang bergerak naik-turun. Lalu, Ibu tertawa dengan gelinya. “Sudah ditelepon saja, padahal baru jam empat. Dia khawatir apa gimana? Eh, sudah jam empat. Ardan memangnya pulang jam berapa?" tanya Ibu. Aku menggeleng menjawab pertanyaan Ibu. Entah kenapa aku juga jadi bingung. Aku tahu kapan Mas Ardan pulang. Namun, aku terlalu takut kalau Mas Ardan mengetahui keberadaanku sekarang. "Sebentar, Bu. El angkat telepon Mas Ardan dulu." Aku menyentuh ponsel tadi dan membawanya pergi dari ruang makan. Tentu saja Ibu tidak boleh mengetahui percakapan aku dengan Mas Ardan. Ibu pasti terkejut kalau mengetahui sikap anaknya selama ini. "Eliana! Di mana kamu?!" tanya Mas Ardan dengan penakanan di setiap ucapannya. Hatiku mulai berdebar setelah mendengar suaranya. Mengapa Mas Ardan sampai marah seperti ini? "A-aku lagi ...." Gawat, alasan apa yang harus aku beri untuknya kali ini? "A-aku lagi di panti asuhan, Mas. Ada apa?" tanyaku. Suara tawa Mas Ardan justru membuatku kebingungan. Selalu seperti ini. Dia selalu bisa membuatku ketakutan. "Panti? Siapa yang tadi ke panti?" tanya Mas Ardan dengan suara yang sangat mengejek. Lalu, tiba-tiba terdengar suara anak kecil yang bersuara gelagapan. "A-aku, Ayah ...." “Evan? Kamu sama Ayah, Nak?” tanyaku dengan nada pelan, berusaha membuat Ibu tidak curiga. Padahal hatiku sudah sangat ketakutan. "Kamu dengar sendiri apa yang anakmu katakan, bukan? Apa kamu tahu ibumu ada di mana, Evan?" tanya Mas Ardan. Aku berjalan ke luar rumah dengan tergesa-gesa. Aku tutup pintunya rapat-rapat dan kemudian berbicara. “Mas, tolong jangan apa-apakan Evan. Dia tidak salah di sini, kesalahan sepenuhnya di aku. Tolong dengerin aku untuk kali ini.” Entah didengar atau tidak, tetapi langsung terdengar suara Evan kembali. "Mama la-lagi di rumah Nenek." Sangat lirih terdengar suaranya. Hatiku sakit mendengar lirihan suara Evan. "Sudah berani berbohong kamu, ya, Eliana? Kamu pergi seenaknya dan kamu titip Evan ke Fani. Ke mana saja kamu selama ini saat aku kerja? Apa kamu menyewa pria lain juga?” tanya dia Kembali. “Mas, kamu di depan Evan jangan berbicara seperti itu! Tidak baik!” bentakku dengan tegas. “Oh, tenang saja. Dia sudah aku tutup telinganya dengan headphone yang aku bawa. Kamu tidak perlu khawatir!” katanya. Fani, ke mana perginya kamu? Bagaimana Evan bisa dengan Mas Ardan? "Aku pulang dan kamu pulang, aku akan jelasin semuanya di rumah, tapi aku mohon jangan pukul Evan! Aku pulang sekarang, tapi aku mohon sama kamu jangan sentuh anak kita!" Tidak terdengar suara Mas Ardan dari telepon. Aku hanya mendengar sesenggukan suara tangis Evan di sana. "A-ampun, Ayah. Evan minta maaf. Jangan melihat Evan seperti itu!" "Mas Ardan tolong biarkan Evan sendiri. Aku mohon kamu jangan melotot ke arahnya, Mas. Evan takut nanti. Aku mohon sama kamu, Mas ... jangan lukai Evan!" Setelah suara Evan menghilang, aku hanya mendengar deru napas Mas Ardan yang begitu teratur. Setelah itu, dia berbicara. "Sebaiknya kamu segera pulang sebelum nyawa Evan menghilang. Jangan lupa bilang Fani untuk tidak datang ke sini! Suruh dia pulang!" Panggilan pun diputus, tanganku bergerak memanggil nomor Fani. Aku pikir hari ini akan berjalan lancar. Ternyata takdir Tuhan memang tidak ada yang mengetahui. Ini semua salahku. Kalau saja tadi aku tidak nekat untuk datang ke rumah Ibu, mungkin saja Evan tidak akan bertemu dengan Mas Ardan. "Halo, Fan!" ucapku setelah panggilan dijawab. "Kak akhirnya nelepon juga. Si Evan hilang, Kak. Tadi waktu Fani tinggal ke dalem panti, Evan ada di halaman. Terus waktu Fani datang, evan sudah menghilang dari sana. Fani minta maaf, ya? Fani lagi berusaha nyari Evan, nih." Satu pertanyaan yang terbesit di benakku, mengapa Mas Ardan bisa mengetahui kalau Evan ada di panti asuhan? Siapa yang memberikan informasi untuknya? "Fani kamu tenang, ya! Evan ada di rumah. Tadi temen Kakak lihat Evan di pinggir jalan, terus dia bawa Evan pulang. Kamu langsung pulang aja nggak apa-apa. Kakak lagi di jalan pulang sekarang." “Serius? Syukur kalau begitu. Ya sudah, Fani minta maaf ya Kak. Fani pulang ke rumah Kakak aja, mau lihat keadaan Evan,” jawabnya. “Jangan!” larangku dengan tegas. “Sedikit lagi aku sampai rumah. Kamu tenang saja. Lebih baik kamu pulang saja! Biar Kakak yang urus Evan.” *** Aku sudah tidak tahu iblis mana lagi yang merasuki Mas Ardan. Rasanya sudah tidak sanggup untuk menahannya. Suamiku, orang yang seharusnya menjadi andalan sebagai contoh anakku, justru bersikap tanpa perasaan. Air mataku turun setelah melihat tubuh kecil Evan sedang meringkuk di sudut kamar. Wajahnya dia sembunyikan dengan kedua telapak tangan sementara Mas Ardan sedang duduk di Kasur dan menatap Evan dengan tajam. Kehadiranku menyadarkan Mas Ardan rupanya. Pria itu menoleh ke arahku dengan wajah datar. Tidak ada emosi di sana, tetapi tatapan matanya justru membuatku tidak bisa berkata-kata. Apalagi ingin melakukan protes, aku sudah tidak bisa berbuat apa-apa "Evan!" Aku berlari dan merengkuh tubuh jagoan kecilku. Aku peluk dia dan kukecup puncak kepalanya. "Maafkan Mama, Nak." Tidak ada balasan dari Evan. Anakku hanya diam bahkan dia tidak membalas pelukanku juga. Wajahku menoleh ke belakang dan menatap bengis Mas Ardan. "Sudah aku bilang untuk tidak melukai Evan." Mas Ardan berdecak dan mengalihkan pandangannya. Tangan yang memegang ikat pinggang tadi membuatku semakin yakin kalau dia memecut anakku. Namun, setelah aku perhatikan Kembali, tidak ada luka di tubuh Evan. Tidak ada yang terluka dari Evan. Dia hanya ketakutan. Aku pandang lagi wajah Mas Ardan dan sekarang gentian dia yang berbicara. "Apa? Kamu pikir aku sudah gila memukul dia dengan ikat pinggang?!" tanya dia. "Ya! Kamu memang sudah gila!" balasku tak kalah sengit. Mas Ardan berdiri dan berjalan mendekat ke arah kami. Ikat pinggangnya dia lempar dan seketika dia berjongkok di dekat kami. "Tanyakan pada anak manjamu! Apa yang aku lakukan padanya?" Mas Ardan mengulurkan tangan menyentuh Evan. "Jangan sentuh dia!" pekikku kesal. Evan langsung merapatkan tubuhnya kepadaku. Dia sangat ketakutan. “Kenapa, sih? Dia anakku juga, bukan?!” tanya dia dengan sengit. “Biarkan aku mengelus rambutnya. Tanyakan pada dia. Ayo!" Mas Ardan langsung mengusap kepala Evan. Dia langsung mendongak dan menatapku. Wajahnya memerah, matanya ikut menyipit. Namun, dia menggelengkan kepalanya. "Hei, Anak Manja! Bilang mamamu apa yang sudah aku lakukan!" gertak Mas Ardan. Evan langsung memejamkan matanya mendengar suara Mas Ardan. Dia kembali menggeleng. "A-ayah ... ajak Evan pulang aja, Ma. Ayah beliin Evan donat." “Dengar sendiri, kan? Aku tidak buat apa-apa,” sahut Mas Ardan. “Terus kenapa dia ketakutan?” tanyaku lagi. Mas Ardan pun mengangkat kedua bahunya sambil berdiri meninggalkan kami berdua di sudut kamar. “Benar Ayah tidak melakukan apa-apa?” Anakku menggeleng. “Evan takut lihat mata Ayah, Ma. Ayah marah sama Evan, ya?” Tanganku mengusap air mata yang membasahi pipinya. Senyumku mengembang dan berusaha menenangkan hati Evan. "Ayah nggak marah sama Evan dan nggak marah sama siapa-siapa. Anak Mama di kamar dulu, ya? Donat dari Ayah nanti dimakan di kamar aja." Evan kembali menggeleng. Dia melirik Mas Ardan yang berada di sebelahku dengan sorot mata ketakutan. "Evan nggak boleh makan di kamar." Aturan dari Mas Ardan. Evan tidak mungkin lupa akan hal itu. "Untuk kali ini Ayah bolehin." Setelah berbicara itu, Mas Ardan langsung menarik lenganku untuk pergi dari kamar Evan. Dia menarik kasar ke lantai dua dan masuk ke dalam kamarnya. "Sudah berani melanggar perintahku rupanya?" tanya Mas Ardan sambil mengunci pintu kamar. Aku sudah pasrah. "Aku minta maaf, Mas. Ibu minta aku datang ke sana.” Mas Ardan langsung membuka kancing kemejanya. Dasinya dia kendurkan dan mulai berjalan ke arahku di pojok kamar. "Ibu hanya mau buat kue. Kami nggak ngomongin apa-apa. Aku berani bersumpah." "Pembohong!" desis Mas Ardan di depan wajahku. “Sekarang kamu menyalahkan ibuku? Semuanya kamu salahkan, El! Kamu yang salah di sini dan terus kamu yang salah. Apa yang mau kamu terima sebagai hukuman? Cambuk? Atau dikurung di Gudang?” Rahangnya mengeras, mengartikan kalau dia memang sudah sangat marah. "Lihat tadi! Aku bisa mengambil hati Evan jika aku mau, El. Bisa aku tarik dia untuk jauhin kamu! Namun bukan hanya hatinya yang bisa aku ambil. Kamu tahu aku bisa ambil satu hal lagi dari dia, kan? Apa kamu mau dia pergi selamanya?” "Tolong menjauh dari dia, Mas. Kalau kamu benci sama aku, cukup benci saja aku! Aku akan berusaha agar cepat hamil dan melahirkan anak lagi, tapi aku mohon jangan sentuh Evan!" Sayangnya Mas Ardan justru membalas dengan senyum miring. Dia kembali mendekatkan wajahnya. "Aku bisa mengambil nyawa dia sekaligus, El. Apa kamu tega melihat Evan tergeletak tak bernyawa?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN