Kenyataan Evan

2097 Kata
Sejak awal aku tidak pernah menduga tentang hukuman apa yang akan Mas Ardan berikan. Namun, dari perkataannya tadi sore sempat membuatku merasa kalau malam ini, dia ingin aku melayaninya. Hany aitu yang terlintas di dalam benakku. Sekarang, yang terjadi. Dia justru memintaku untuk memijat punggungnya yang pegal-pegal. Entah kerasukan setan dari mana, yang pasti dia sangat aneh hari ini. “Mas, mending kamu jujur aja sama aku. Kamu ini sebenernya mau mulai hubungan kayak dulu lagi, tapi kamu terlanjur gengsi sama aku, kan?” Sengaja aku tanya begitu biar dia sadar. Malah dijawab. “Nggak usah berharap! Kamu semakin lama justru semakin aneh!” “Bukan aneh, kamu bersikap kayak begini agar aku nurutin keinginan kamu lagi, kan?” tanyaku lagi. Kembali lagi kita ke permasalahan kehamilan. Apa yang sedang aku pikirkan sebenarnya? “Kamu harus jawab, siapa yang meminta aku agar hamil lagi? Sebab Ayah nggak minta aku untuk hamil lagi. Dia sudah cukup dengan Evan katanya,” lanjutku. Sontak Mas Ardan pun membalik tubuhnya. Dia terbaring di kasur sementara aku terduduk di bibir kasur. “Kamu nanya ke ayah kamu? El, kamu ini sudah kehilangan otak rupanya!” “Kehilangan otak bagaimana? Kamu yang bilang kalau itu keinginan Ayah agar kita bisa diizinkan pisah. Terus sekarang Ayah nggak minta anak lagi, kamu ini sebenarnya menyembunyikan apa, sih?” Akhirnya Mas Ardan mengenakan kembali pakaiannya. Dia duduk di sebelahku dengan tatapan yang sama tajamnya. “Aku salah lagi? Kalau aku salah nanya ke Ayah, seharusnya kamu bilang yang sebenarnya!” Terlihat Mas Ardan mengacak-acak rambutnya, seolah frustrasi. Lalu, dia menunduk dan melirik ke arahku sedikit. “Aku bilang ke kamu, ya. Kamu cukup beri aku satu berita kalau kamu hamil, itu saja. Kamu tidak perlu bertanya alasan aku! Tidak penting! Ingat, El! Kamu hanya seorang wanita yang dititipkan ke aku, bukan istri aku sesungguhnya.” Satu hal pahit lagi yang harus aku telan mentah-mentah. Sebisa mungkin aku tersenyum di depannya, sambil menjawab. “Iya, aku bukan istri kamu, aku paham. Cuma kamu harus paham, dua bulan sebelum kehamilan Evan itu bukan waktu yang singkat untuk kita memulai hubungan. Apa kamu pikir aku tidak bisa cinta ke kamu? Apa kamu pikir aku tidak baper dengan semua perlakuan kamu? Sekarang aku juga punya Evan, Mas. Anak yang harus kita rawat agar dia bisa menjadi pribadi yang baik. Bagaimana dengan itu kalau kamu sendiri selalu minta untuk pisah?” “Sejak awal aku tidak pernah sangat setuju untuk menikah denganmu. Dua bulan yang kamu bilang tadi hanyalah kepura-puraanku di depanmu,” jawabnya. Aku tidak tahu harus menjawab apa lagi. Mungkin sudah bulat tekadnya untuk pisah. “Kamu benar-benar ingin pisah?” tanyaku. “Ya. Hamil, El! Ketika kamu hamil, aku akan menceraikan kamu saat itu juga.” "Sampai kapan pun aku tidak akan mau hamil lagi," sahutku. "Oh tentu kamu mau. Jika kamu tidak mau, cara lain yang aku pakai, El. Masih ada cara lain." *** Jahat! Lelaki jahat yang aku kenal saat ini adalah Ardan, suamiku sendiri. Apa dia tidak punya otak untuk berpikir kalau meninggalkan wanita yang sedang hamil adalah hal buruk? Segitu tega dan egoisnya dia karena ingin lepas dari aku. Apa yang sebenarnya dia rencanakan dari hal itu? Apa dia benar-benar memiliki simpanan lain untuk dia nikahi setelah pisah denganku? Siapa dia? “Mama kenapa nggak cerita kalau orang yang dijodohkan dengan El seharusnya adalah Theo, kakaknya Ardan?” Sekarang aku sedang ada di rumah Mama. Evan sedang sekolah, aku meninggalkannya. Sudah terlalu banyak permasalahan yang harus aku usut satu per satu. Tentang apa yang terjadi di masa lalu dan kenapa aku tidak pernah mendengar cerita mereka. “Mama dan Papa tahu, tetapi kalian tidak cerita ke El. Apa sebenarnya yang kalian pikirin, sih?” tanyaku kembali. “Memangnya ada apa? Ada masalah antara kamu dengan Ardan sekarang?” tanya Mama kembali dengan nada penuh selidik. “Ada permasalahan atau nggak, itu bukan masalah penting. Mama harusnya kasih tahu El yang sebenarnya. Jangan diam aja!” Akhirnya, Papa keluar dari kamar sambil membawa secangkir kopinya yang sudah dingin. Dia duduk di depanku, kemudian tersenyum tipis. “Kamu yo ngomong opo, Ndok? Kamu udah ngawur! Sudah, sekarang kamu kan sudah menikah. Untuk apa memikirkan masa lalu?” “Justru itu yang harus aku tahu. Kenapa aku harus sama Ardan? Kalau memang Theo yang dijodohkan dengan aku sudah pergi, seharusnya jangan paksa Ardan!” “Ardan marah sekarang? Nanti biar Papa telepon!” jawab Papa. Aku langsung menyerobot menjelaskan. “Eh! Jangan! Mas Ardan nggak marah. Sekarang El hanya kasihan aja.” “Ngapain kasihan kalau dia nggak merasa terbebani?” Mama yang bertanya. Semuanya sudah rumit. “Nggak berguna cerita ke kalian. Kenapa ribet banget untuk ngomong, sih?” Tidak berapa lama kemudian, teleponku berdering. Menampilkan nama Mas Ardan di sana. Aku pun mengangkatnya. “Ya. Halo, Mas?” “Kamu di mana, El? Ada tamu di rumah.” Mas Ardan berkata begitu dingin. Nadanya ditekan seolah geram. “Maaf, aku nggak tahu kalau ada tamu di rumah. Memangnya ada siapa di rumah?” tanyaku sok penasaran. Padahal aku sudah ingat tentang tamu yang Mas Ardan ceritakan semalam. “Kamu pulang sekarang dan temui tamu itu! Aku mau ketika pulang nanti atau ketika tamu itu bertemu denganku, dia menceritakan hal baik tentang aku, bukannya berkata kalau dia tidak dijamukan dengan baik.” Panggilan diputuskan sebelah pihak. Selalu saja demikian caranya. Dia yang menghubungi hanya untuk mengatakan hal-hal penting. Padahal menanyakan keadaan Evan itu tidak sulit. Tidak pernah sekali pun Mas Ardan melakukannya. Aku letakkan kembali ponsel ke meja. Papa yang melihatnya langsung tertawa. “Sana pulang! Suamimu sudah memanggil! Jangan pikirkan Theo! Dia sudah masa lalu dan sudah pergi. Sekarang fokus ke kamu dan Ardan. Bantu dia untuk menghadapi masalah dirinya yang sedang tidak percaya diri.” Setelah itu, aku pulang. Aku kira akan ada banyak tamu yang sudah menunggu di depan rumah atau di halaman rumah. Namun, yang aku dapatkan hanya kekosongan. Tidak ada siapa-siapa. Mobil tidak ada, pastinya tidak ada tamu juga. “Pak, tadi ada tamu?” tanyaku saat sampai di dekat pos satpam. “Kata Mas Ardan ada tamu di rumah.” Seorang pria tua Bernama Alex langsung menjawab. “Iya, Bu. Tadi ada yang datang tiga orang. Duanya cewek terus satunya cowok. Katanya ingin ke sini sambil nunggu Pak Ardan. Terus waktu dia tahu kalau Ibu juga pergi dan di rumah nggak ada orang, mereka langsung pergi gitu aja. Nggak bilang mau balik lagi, cuma pamit mau keluar sebentar.” Sudah cukup menjelaskan kalau tamu itu tidak senang. Apa yang akan aku dapatkan setelah ini adalah sebuah bentuk hukuman dari Mas Ardan. Sebenarnya aku sendiri sudah bosan mengakui kesalahan yang berujung hukuman. Padahal di luar sana ada banyak perempuan yang sangat dimanja oleh suaminya. “Terima kasih, Pak. Saya masuk dulu,” kataku sambil berlalu. Aku dan Evan yang berjalan kaki pun tidak punya pikiran apa-apa selain menghampiri pintu utama. Namun, sinar lampu yang sedikit dipudarkan cahaya matahari lumayan membuat kami menoleh ke belakang. Tumben sekali Mas Ardan pulang jam segini. Ada dua kemungkinan, mungkin dia harus pulang untuk menemui tamunya atau dia ingin langsung menghukumku. Hal yang langsung aku dapatkan setelah menoleh, Evan bersembunyi di belakang tubuhku sambil memeluk. Sangat disayangkan karena orang yang seharusnya bisa menjadi pelindung Evan, justru menjadi sosok yang paling Evan takuti. “Nggak apa-apa, itu hanya Ayah. Ayo sini!” kataku. Evan tetap bersembunyi di belakang. “Kamu diam, ya!” Mas Ardan pun berhenti di sebelah kami. Dia membuka kaca jendela dan terlihatah sosok Mas Ardan dengan kaca mata hitam yang dia pakai. “Dari mana saja kamu? Ke rumah Ibu?” “Aku main sama teman aja, nggak ke rumah Ibu. Kamu tumben sudah pulang. Biasanya sore,” sahutku. “Sudah dapat info kenapa kamu menikah denganku dan bukan dengan Theo? Dia sudah mati, dan kamu tidak perlu ingat lagi tentang dia dan jangan mengalihkan pembicaraan, Eliana! Gara-gara kamu main, tamunya jadi pergi. Buruan masuk!” Aku yang mengerti pun langsung berjalan ingin masuk ke dalam mobil. Jarak pos satpam dengan rumah memang jauh. Sekitar seratus meter mungkin. Sehingga yang aku pikirkan, Mas Ardan menyuruh kami masuk ke mobilnya. Padahal saat aku ingin menarik pintu tengah, Mas Ardan langsung meninggalkan kami di posisi yang sama. “Padahal tadi dia yang menyuruh untuk masuk. Sekarang dia yang pergi duluan. Dasar aneh!” Akhirnya aku pun berjalan berduaan dengan Evan ke dalam rumah. Aku antar dia ke kamarnya dan juga sekaligus mengganti pakaiannya. Setelah itu, aku berikan dia cemilan dan beberapa mainan untuk menghibur dirinya sementara aku menghampiri Mas Ardan. Walaupun aku malas bertemu dengannya, tetapi sangat jelas kalau Mas Ardan sangat ingin bertemu denganku sekarang, sangat terlihat dari raut wajahnya tadi. Aku hampiri dia ke kamarnya sendiri. Dia yang sudah bertelanjang d**a pun langsung berdiri dan berjalan ke arahku. Dia langsung memegang kedua pundakku dan kami berciuman. Ciuman yang sangat lembut dan tidak terkesan seperti orang yang sedang berada dalam kemarahan. Padahal setengah jam yang lalu, wajahnya terlihat sangat merah dan alisnya pun menajam ke bawah. “Kamu tahu apa hukumanmu hari ini, El?” tanya dia sambil terus menjamah tubuhku. “Layani akua tau aku buat Evan menderita!” Langsung aku dorong tubuhnya dengan kasar hingga mundur tubuhnya beberapa Langkah. Terlihat sangat marah saat itu, aku pun sebenarnya ketakutan. “Jangan karena kamu yang memiliki uang di rumah ini, kamu bisa mengaturku seenaknya. Apa kamu pikir aku ini bisa tahu segalanya? Biar aku jelaskan, aku tidak pernah tahu kalau akan ada tamu di rumah yang mengerikan ini. Jangan salahkan aku jika ada tamu dan aku tidak menjamunya!” Jawaban yang mampu membuat Mas Ardan terdiam seketika. Sekitar beberapa detik Mas Ardan terdiam, lalu dia terduduk di tepian kasurnya. Wajahnya yang tadi merah pun berubah dan tentunya tidak ada lagi alis mata yang menajam ke bawah. “Kamu tahu, kelemahanmu ada di Evan,” kata Mas Ardan. “Tamu itu penting karena aku ingin menunjukkan kalau aku memiliki istri yang baik. Lantas kamu hancurkan semua itu dengan menjadi istri yang terus pergi-pergian tanpa sepengetahuan suami. Itu yang kamu pikir istri baik?” Aku tidak tahu kalau itu niat Mas Ardan menyuruhku pulang buru-buru. Dia ingin menunjukkan kalau aku adalah istri yang hebat. Namun, tetap saja dia juga yang membuat aku begitu. “Aku begini karena kamu terus menyembunyikan alasan kenapa kamu ingin cerai. Katakan kalau kamu punya simpanan di luar sana, Mas! Aku tidak akan terkejut kalau kamu jujur. Justru aku terkejut kalau kamu bilang tidak punya simpanan di luar sana!” “Memang tidak ada simpanan di luar sana.” “BOHONG!” bentakku dengan lantang. Mas Ardan sudah begitu emosi di tempatnya. Apa yang dia lakukan nanti, aku sudah siap. Dia mau hukum aku dengan kasar, aku sudah terima. Untuk saat ini, aku ingin kejelasan. “Ceraikan aku dan kita pisah. Tidak perlu berharap anak lagi dariku karena aku tidak akan mau berhubungan lagi denganmu,” ucapku akhirnya pasrah. Dengan suara bergetar, aku berbicara denganya. “Atau aku yang nanti ke pengadilan agama dan urus surat gugatannya.” Mas Ardan langsung menunjuk wajahku dengan tatapan melotot. “Jangan pernah kamu coba untuk menggugat cerai aku sebelum aku yang melakukannya! Keputusan di tangan aku, El!” Tidak perlu lagi pembicaraan ini. Yang ada hanyalah kesakitan yang aku hadapi. Berontak tidak bisa, bertahan pun semakin sakit. Apa yang dia lakukan saat ini adalah bentuk penyiksaan. “Apa kamu sadar kalau kamu adalah orang paling egois yang aku kenal?” tanyaku. “Tidak. Aku tidak egois karena semua permintaanku adalah mutlak dan kamu harus menurutinya,” jawab Mas Ardan. “Ceraikan aku sekarang!” pekikku sekali lagi. “Hamil dan buktikan kalau aku bisa menghamilimu, El! Cukup itu!” Saat itu juga, denyut nadiku seolah terhenti beberapa saat. Agar dia bisa membuktikan bahwa dia bisa menghamiliku. “Maksud kamu ngomong itu?” Mas Ardan langsung keluar dari ruangan dan beralih ke balkon rumah. Dia tutup pintu balkon itu rapat-rapat sampai aku tidak bisa membukanya. Lantas, aku hanya terdiam di kamarnya. Evan …. Aku sampai tidak bisa berpikir panjang untuk hal ini. “Evan anak kamu, Mas!” pekikku begitu kencang. Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku tidak pernah bermain dengan siapa pun selain Mas Ardan. Apa itu tidak bisa menjadi bukti kalau Mas Ardan bisa menghamiliku? Apa yang dia katakan sebenarnya? “Dia anak kamu! Jangan buta! Lihat Evan, dia persis seperti kamu!” kataku dari balik jendela. Aku yakin dia bisa mendengar semua ucapanku. “Dengar aku, b******k! Jangan pura-pura tuli!” Mas Ardan pun berbalik. Dia menggelengkan kepalanya. Entah apa yang dia harapkan, tetapi aku tahu arti dari itu semua. Evan bukan anaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN