Bab 9. Sidang ( Flashback )

1345 Kata
Happy Reading. Flashback sebelum kejadian itu. "Mom, mau ke mana?" tanya Arsenio. "E … I-itu, Mo-mommy mau ke depan sebentar ada barang Daddy yang ketinggalan. Kamu di sini aja jaga Ade ya, Mommy cuma ambil barang di mobil kok, nggak ke mana-mana." Selma terus berusaha tetap tersenyum untuk menutupi luka dan kesedihannya di depan kedua anak yang masih kecil. Sakit? Sesak? Sudah pasti Selma rasakan ketika melihat kedua wajah anak yang masih sangat polos. Tak terbayang olehnya jika seandainya rumah tangga ini kembali gagal, maka kedua malaikat itu akan menjadi korban. Untuk itu, sebisa mungkin Selma harus bersikap tenang. Dia lakukan ini supaya sang anak tidak merasa curiga apabila kedua orang tuanya memiliki masalah yang cukup menguras perasaan. "Yakin? Gak ada yang lain?" tanya Arsenio. Bola matanya mulai mencari sesuatu dibalik bola mata Selma. Anak itu benar-benar sangat teliti untuk melihat segala perubahan yang ada di wajah sang ibu. Gerak-gerik mencurigakan serta nada bicara Selma yang gugup berhasil menarik perhatian Arsenio. "Ya-yakin, kok, Sayang. Udah ya, Mommy mau ambil barang Daddy dulu. Jaga Alisha baik-baik, ajak adiknya main jangan dibuat nangis. Oke?" Tutur kata Selma yang diucapkan kepada Arsenio dalam keadaan tersenyum tetap tidak menghentikan rasa curiganya kepada kedua orang tuanya. Selma pergi begitu saja sebelum Alisha melihatnya karena anak itu sedang asyik bermain bersama babysitter sang kakak. Jika saja si kecil sampai menyadari sang ibu tidak ada di dekatnya, sudah dipastikan rumah akan menjadi ramai dengan tangisan gadis kecil yang menggemaskan. "Melihat dari mata Mommy dan gerak-gerik tubuhnya aku jadi penasaran. Sebenarnya apa yang lagi Mommy sembunyikan? Apa ini berkaitan dengan Daddy yang pulang dalam keadaan sempoyongan? Hem, menarik!" Arsenio terus berbicara di dalam hati sambil menatap kepergian Selma yang semakin menjauh dari pandangannya. Anak itu memang terlihat cuek, tetapi dia selalu mengamati setiap pergerakan di rumah ini. Jikalau sampai ada yang terlihat aneh, maka hanya dengan menatapnya saja sudah pasti anak laki-laki tersebut mampu menebak kalau ada yang mencurigakan. Arsenio langsung berdiri dan menatap wajah babysitter, "Sus, aku ke kamar mandi dulu, udah kebelet banget. Titip Dedek sebentar, nanti aku kembali. Udah gak tahan!" Anak laki-laki itu bertingkah layaknya orang yang sedang menahan sesuatu. Kedua kaki di silang, kedua tangan berada di aset berharganya, dan tak lupa memasang wajah melas. "Mau Sus temenin?" tanya Angel, babysitter Arsenio. "Gak perlu, aku sudah besar, Sus. Aku ke kamar mandi dulu sebentar!" Arsenio berlari membuat Angel sang babysitter hanya menggelengkan kepala sambil terkekeh kecil melihat anak asuhnya yang sedikit lucu saat menahan sesuatu. Akan tetapi, setelah melihat suasana aman terkendali, Arsenio malah memilih untuk masuk ke kamar utama bukan ke kamarnya sendiri. Pintu terbuka perlahan, lalu dia masuk tanpa menimbulkan suara. Langkah kaki mulai dipijakkan mendekati ranjang, kemudian melihat betapa pulasnya Nico tertidur membuat wajah sang anak berubah. "Baru kali ini aku melihat Daddy pulang langsung tidur seperti ini. Jika dipikir-pikir pekerjaan Daddy memang banyak, tapi setahuku setiap Daddy pulang pasti menyapa kami. Cuma, lihatlah sekarang. Jangankan menyapa, tidur saja sudah seperti orang tidak tidur berhari-hari." Arsenio mulai memperhatikan Nico dari ujung rambut sampai ujung kaki. Namun, tak sengaja matanya melihat bekas bibir merah yang sangat samar di dekat rahang daddynya. Tanpa bereaksi apa-apa, Arsenio menghapus jejak itu sebelum peperangan terjadi, "Sudah mulai berani bermain denganku, Dad? Sungguh menarik, bolehkah aku ikut serta di dalam permainanmu?" Arsenio tersenyum kaku dengan salah satu sudut bibir terangkat lebih tinggi diikuti pergeseran bola mata, berhasil membuat aura negatif dari anak di bawah umur mulai keluar. Senyuman itu selalu keluar ketika Arsenio mulai merasakan kejanggalan dari apa yang terjadi hari ini. Tanpa berkata apa-apa, anak itu keluar begitu saja sambil membuang tisu yang digenggamnya ke tempat sampah dapur supaya lebih aman. Bekas jejak tanda samar itu berhasil dihilangkan oleh Arsenio. Meskipun, reaksinya tidak heboh, tetapi jauh di lubuk hati anak laki-laki itu tersimpan sebuah alur permainan yang menarik. Arsenio kembali ke ruang tengah dalam perasaan lega setelah menuntaskan hajatnya. Semua itu dia tunjukkan demi mengalihkan Angel yang hanya tahu jika anak asuhnya cuma ke kamar mandi tidak lebih. **** Pagi hari yang cerah Nico baru saja terbangun dengan efek obat yang sudah pudar. Semua suana terlihat baik-baik saja tanpa adanya percekcokan. Namun, senyuman seringai perlahan terukir di wajah Arsenio dan Selma. Mereka semua sarapan pagi seperti biasa. Setelah itu Nico berangkat ke kantor bersama sopir pribadinya. Hanya selang 30 menit, Selma menyusul sang suami ke kantor tanpa membawa anak-anak. Sepanjang jalan Selma berusaha untuk tetap tenang, walaupun hatinya sangat gelisah tak menentu. Pikiran negatif terus menyelimuti hingga dia tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya. Setibanya di kantor, Selma disambut hangat oleh beberapa karyawan-karyawati yang ada di sana penuh kehormatan. Dengan anggun dan wajah yang terkesan tegas, dia mulai menaiki lift khusus yang sering digunakan Nico. Hanya membutuhkan waktu 5 menit saja, Selma sudah sampai di lantai tempat ruang suaminya berada. Kehadiran istri sang atasan membuat jantung seseorang berdebar kencang. Siapa lagi kalau bukan Galih, pemegang kunci dari kejadian kemarin. Galih keluar ruangan berpapasan dengan datangnya Selma, sehingga ketakutannya akan sesuatu yang terjadi nanti bertambah kali lipat. Lirikan mata Selma berhasil membuat Galih merinding. Kode tersebut diangguki oleh Galih yang napasnya mulai tidak beraturan. Selma masuk ke dalam ruangan Nico tanpa melihat Prilly yang sudah memberikan senyuman remeh. Pintu terbuka lebar sampai mengejutkan Nico yang baru keluar dari kamar pribadi di ruangannya setelah habis ke kamar mandi. "Loh, Sayang? Kamu di sini? Kangen ya, sama aku, hem?" tanya Nico wajahnya mulai bersinar. Kemudian, langkah kakinya perlahan mendekati sang istri. Baru ingin memeluknya, tiba-tiba saja Nico kembali dikejutkan oleh kedatangan Galih dan Prilly. Pintu pun ditutup rapat atas permintaan Selma. "Duduk!" titah Selma yang duduk lebih dulu, barulah diikuti oleh mereka bertiga. "Sayang, ini ada apa? Kenapa kamu panggil mereka? Apa maksudnya ini, aku bingung." Nico menatap Galih dan Prilly seakan-akan meminta mereka untuk membantu menjelaskan ketika istrinya sama sekali tidak menjawab bahkan juga tidak melihatnya. Namun, mereka juga enggan berbicara setelah melihat perubahan datar di wajah Selma. "Sayang …." Nico memanggil Selma penuh kelembutan, tetapi sang istri malah menjawab dengan nada ketusnya. "Tunggu! Masih kurang satu orang lagi. Dia dalam perjalanan ke sini!" Tak lama datanglah seseorang yang ternyata adalah sopir dari Nico. Baru kali ini sang suami merasa bingung ketika sang istri seperti sedang bermain teka-teki padanya yang memang tidak tahu menahu. "Duduklah, Pak! Saya akan mulai semuanya tanpa basa-basi!" pinta Selma. Pak sopir menganggukan kepala, kemudian duduk di kursi tunggak tak jauh dari Galih. "Tidak perlu basa-basi, Pak. Ceritakan saja apa yang Bapak ketahui kemarin sesuai yang saya tanyakan!" sambung Selma sambil melipat kedua tangannya. "Ada apa sebenarnya ini, Sayang? Apa hubungannya kamu mengumpulkan mereka di sini? Sumpah, aku nggak ngerti maksudmu ini. Aku benar-benar bingung," ucap Nico yang tidak tahu harus berkata apalagi di saat pikiran mulai buntu. Pak sopir mulai menjelaskan apa yang diketahui sesuai versinya. Nico menyimak apa yang akan mereka bahas di kantor. Namun, setelah mengetahui itu matanya terbuka lebar-lebar menatap Prilly. "Apa! Prilly bawa saya ke hotel?" Nico sontak terkejut bukan main, lalu matanya menatap tajam ke arah Prilly, "Apa yang dikatakan sopir saya benar, Prilly? Kamu bawa saya ke hotel buat apa, hahh? Bukannya waktu itu kita ada di perjalanan pulang?" Tanpa rasa bersalah, Prilly menjelaskannya dengan sangat tenang bahkan tidak terlihat gugup seperti sopir pribadi Nico. "Loh, Bapak sendiri yang minta kok, kenapa jadi menyalahkan saya. Tanya saja sama sopir Bapak sendiri!" Jawaban Prilly memang benar-benar di luar dugaan. Selma, Galih, dan Pak sopir saja sampai tidak dapat berkata ketika wanita itu malah memutar balikkan fakta. "Saya? Kapan? Saya tidak tahu dan saya tidak merasa mengatakan semua itu. Jadi, jangan membuat istri saya berpikir yang tidak-tidak!" seru Nico. "Cukup! Sekarang saya mau mendengar penjelasan dari Galih. Hanya dialah satu-satunya orang yang aku percaya saat ini!" bentak Selma, membuat Galih mengangguk dan mulai menceritakan apa yang terjadi. Keterkejutan Selma dengan kisah itu langsung membuat kedua matanya bertemu dengan mata sang suami. Nico melihat adanya kekecewaan, amarah, bahkan sakit hati. Hanya saja, Prilly tidak tinggal diam. Wanita itu terus mengelak membela diri karena Galih masuk ke hotel di saat dia tidak sengaja terjatuh. Alasan tersebut terus dilontarkan hingga Galih dan Prilly saling beradu argumen. Bersambung.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN