Beberapa panti asuhan telah didatangi Hendra. Namun tak ada jejak kedua orang tuanya. Hendra menarik napas panjang. Dia hampir saja putus asa. Menghubungi mama dan papanya berkali-kali. Namun tak ada balasan. Menghentikan mobilnya di pinggir jalan. Dia berusaha berpikir lagi dengan fokus.
“Dibawa kemana putriku?” ucap Hendra pelan.
Hendra menundukkan kepalanya di atas setir. Dia tak tahu bagaimana akan melangkah lagi. Pada siapa Hendra bisa meminta bantuan tentang jejak putrinya yang tak diketahui olehnya. Hendra terdiam cukup lama.
***
Nirma, melingkari tanggal pada kalender yang berada di samping meja riasnya. Hari demi hari silih berganti. Waktu untuk mengembalikan uang si tuan tanah pun semakin dekat. Nirma berusaha sekuat tenaga. Sepulang kerja kadang dirinya mencari tambahan lain. Dia rela menjadi tukang ojek online. Agar bisa menambah pemasukan.
Namun saat dikalkulasi, pendapatan yang diterimanya masih sangat jauh dari jumlah yang akan dibayarkan pada tukang tanah. Nirma merebahkan tubuhnya. Hatinya riuh resah. Tak ada orang lain untuk membuatnya berkeluh kesah, selain sahabatnya, Nuna.
Tapi malam ini selembar kertas itu menjadi saksi tentang sebuah isi hati. Kepala Nirma pening, dan terasa ingin memecahkannya. Nirma mengambil foto sang ibu. Dia memeluk erat dengan kedua tangannya. Air matanya luruh, hadir dalam kegundahan yang sangat menguras pikiran. Sendiri tanpa saudara, sebatang kara tak ada kerabat. Nirma harus bisa menjalani alur hidupnya tanpa harus mengeluh.
Bayangan sebuah perjanjian itu melekat dalam batinnya. Nirma akan dinikahkan dengan anak si tuan tanah. Bila dirinya tak kunjung melunasi hutang sang ayah. Baginya semua itu sangat berat. Tak pernah membayangkan bila hidupnya akan memikirkan masalah sebesar itu, selain ditinggal kedua orang tuanya untuk selama-lamanya.
Nirma mencoba menelisik tentang senyum ibunya yang terpampang jelas di bingkai foto. Dia akan terus mencoba seperti sang ibu. Nirma meyakinkan dirinya sendiri. Menguatkan diri yang sudah mulai rapuh. Membentuk kembali butir-butir semangat yang mulai mengecil. Sesaat dirinya pun terlelap dalam penjagaan sang malam.
***
***
Hendra kembali ke rumahnya. Dia sudah tak tahu lagi akan ke mana kakinya berpijak untuk mencari putri kecilnya. Dia pasrah. Kali ini letih badannya membuat Hendra membaringkan tubuh di atas sofa. Sebelum akhirnya kedua orang tuanya datang dengan tetap membawa cucu mereka.
Mata Hendra terbelalak. Getir rasa itu seakan hilang. Tergantikan dengan senyum penuh kekhawatiran. Dengan cepat kedua tangannya meraih bayinya yang digendong sang mama. Ada rasa tertohok saat mendengar sang anak akan dipindahkan ke panti asuhan.
“Makanya punya bayi juga harus diperhatikan, sedih boleh, tapi masih ada nyawa yang butuh untuk tetap diperjuangkan.”
Celoteh sang mama membuat Hendra hanya diam tanpa membantah. Dia memang sadar tentang apa yang dilakukannya setelah Rosma pergi dari hidupnya. Hendra seperti tak punya prioritas lagi. Kantor yang tak pernah dikunjungi, diri yang semakin kurus karena tak mendapat asupan yang baik. Belum lagi perhatian yang seharusnya diberikannya untuk sang putri tercinta. Hendra telah melupakan semua, namun tidak dengan Rosma.
“Harusnya kamu itu sadar. Rosma sudah pergi. Tak perlu ditangisi. Ada bayi yang harus kamu kasihi, bukan seorang ibu yang menelantarkan anaknya yang terus kamu ingat!”
Mama Hendra tak berhenti dengan amukannya. Namun sang papa mencoba untuk menenangkan. Mengajak istrinya untuk melangkah ke dalam dan menghindari sebuah perdebatan. Hendra tak bicara. Dia hanya meresapi setiap kalimat yang keluar dari mulut mamanya.
Hati Hendra seolah tak bisa berbohong. Mamanya telah membenci Rosma. Namun dia tetap saja berharap Rosma akan kembali. Meski begitu Hendra menyadari bahwa putri kecilnya memang butuh perhatian khusus.
***
Nirma, waktu untuk membayar hutangmu, kurang satu minggu.
Membaca pesan itu Nirma seolah ingin menepi. Pada keramain dunia yang tak pernah terisi dengan kepuasan. Ratap hatinya berdesir seketika. Gemuruh jiwa merongrong pada aliran darahnya. Pikirannya terus saja tertuju pada tiga ratus lima puluh juta.
Menikah belum ada di kamus Nirma untuk saat ini. baginya mengejar mimpi untuk memenuhi keinginan sang ibu lebih dari segelanya. Namun jika dia harus mengorbankan hidup dengan menjadi seorang istri di waktu yang tak diinginkan. Hati dan bibirnya menolak untuk itu.
Nirma memutar otak kembali. Jika terus saja mengandalkan gaji dan kerja tambahan. Satu minggu tak akan memperoleh hasil yang ingin dicapainya. Dalam minggu-minggu terakhir Nirma sudah bisa memperoleh lima puluh juta. Kini bayangan tiga ratus juta memenuhi seluruh isi otaknya.
Ponselnya berbunyi. Sebuah orderan masuk untuk membelikan makanan dari pengguna aplikasi ojek online. Nirma tak punya rasa lelah. Dia pun segera bersiap menjalani profesi kerja tambahan itu. semangat baja terus saja ditumbuhkan hingga dirinya tak merasa bahwa masalah itu ada.
Nirma mengambil makanan dan ternyata dia harus mengantarkan ke sebuah tempat yang aneh dan asing baginya. Sebuah rumah yang terlihat pernah membanjiri media sosial. tentang sebuah hiburan malam yang pernah menuai kasus.
Nirma sangat ingat bahwa tempat yang kini digunakanan kakinya untuk berpijak adalah tempat yang dia lihat dalam berita. Kaki Nirma seolah gemetar. Dia memencet bel di sebelah gerbang. Namun belum saja bergerak dari tempat itu. Seorang wanita cantik itu seakan menyadari bahwa dirinya sedang memesan makanan.
Tubuh elok dengan pakaian minim itu mencuri perhatian Nirma. Wajahnya yang sangat cantik, terlihat jika dirawat sepanjang masa. Nirmala menyerahkan makanan itu seketika. Namun wanita yang sudah siap untuk melangkah pergi itu pun memberikan makanan ynag dipesannya untuk Nirma.
Nirma merasa terkejut. Wanita itu tersenyum dengan ramah. Memberikan uang, Nirma menerimanya dan segera mengambil kembalian. Namun wanita itu menolak uang kembalian dari Nirma.
“Sudah, Mbak. Ambil saja kembaliannya. Dan jangan lupa makananya dimakan, ya.”
Nirma membalas dengan senyum terima kasih. Lalu wanita itu masuk ke dalam mobil dan menghilang dari pandangan Nirma.
Ada hal yang ingin dikaji olehnya. Tentang wanita hiburan malam. Dia tahu pekerjaan itu menghasilkan nilai rupiah yang tak sedikit. Bahkan bisa satu kali melakukan hal yang tak baik, uang seakan menanti.
Puluhan, ratusan bahkan milyaran. Akan didepat hanya dengan sebuah keterampilan. Nirmala tak segera pergi. Dia mengecek kembali aplikasinya. Melihat sebuah nama pemesan. Wanita cantik denga indah tubuhnya itu bernama Wulan. Beserta nomor ponsel si pemesan makanan itu pun dicatatnya.
Setelah itu Nirmala segera menyalakan motornya. Sembari mencari kembali pelanggan yang mau memakai jasanya. Diam menikmati aspal hitam dengan penuh lalu lalang kendaraan. Nirmala bergidik, memorinya terus saja mengingat wanita pemesan makanan.
Masalahnya, menyudutkan partikel-partikel rasa itu pada sebuah hal yang tak diinginkan. Namun hati kecil itu tak mau menelaah lebih dalam. Hanya saja logikanya ingin mengakhiri masalahnya dengan jalan instan. Dia tak mau menikah untuk saat ini, hanya karena sebuah kesalah yang dilakukan sang ayah.
Nirmala menginjak rem. Tiba-tiba saja wajah wanita pemesan makanan itu ada di pelupuk matanya. memasuki pusat pembelanjaan. Wanita itu digandeng pria yang umurnya seakan jauh di atasnya. Namun wanita itu terus saja memamerkan senyum dengan tingkah manjanya. “Pasti dia dibayar mahal.” Cetus Nirma dalam benak hitamnya.