Part 10 - Salah Arah

1797 Kata
Malam dengan larut bintang yang sudah mulai tak tampak lagi. Nirmala masih dengan pikiran-pikiran semu yang memenuhi otaknya. Bayangan pernikahan itu terlihat sangat jelas di pelupuk matanya. Menjadi seorang istri yang mengabdi pada suaminya. Setelah itu dia akan memiliki anak dan merawat anaknya. Kehidupan ibu rumah tangga dengan mengurus pekerjaan sebagai istri pun mengurus suami dan anak. Nirma menepis semua itu. Dia tak mau bila hidupnya harus berakhir tanpa sebuah impian. Harapan Nirma masih cukup jauh untuk diraihnya. Menjadi seorang guru anak. Demi sebuah hutang. Dia harus rela mengubur untuk sementara mimpi itu. Lima hari lagi dirinya harus mendapatkan uang dengan nilai tak sedikit. Bila itu tak segera di tangan. Nirma harus dinikahkan. Tiba-tiba saja ingatan Nirma berpacu pada sebuah pertemuan singkat dirinya dengan pemesan makanan beberapa waktu lalu. Si wanita penghiburr yang memesan jasanya. Entah mengapa sosok wanita itu seakan menjadi sebuah harapan baginya. Sisa waktu lima hari akan membuat dirinya pasti mendapatkan uang yang sesuai dengan harapan. Bekerja seperti sosok wanita yang ada di dalam ingatannya. Lalu Nirma pun segera mengambil ponselnya. Sebelumnya dia sudah menyimpan nomor wanita bernama Wulan itu. ragu di dadaanya seakan menerpa. Tapi Nirma mencoba bahwa inilah jalan satu-satunya. Dia berencana untuk bekerja sesuai dengan kebutuhan saja. Bila uangnya sudah didapat. Nirma akan berhenti dari tindakan itu. Dia hanya ingin menemani. Tanpa harus melakukan hal yang lebih dari itu. Selamat malam mbak, perkenalkan saya Mala. Saya butuh uang yang nilainya tak sedikit Tiga ratus juta Bisakah Mbak Wulan membantu saya Saya mau kerja seperti Mbak Wulan Tapi hanya untuk menemani berpergian saja Tolong bantu saya, Mbak Pesan itu segera dikirimkan oleh Nirma. Mengenalkan diri dengan nama Mala, berharap tak ada yang tahu tentang panggilan umum namanya. Nirmala membanting ponselnya. Ada gurat kebodohan menyinari dua kelopak matanya. Nirma berubah pikiran. Dia ingin menghapus pesan itu. Namun saat dilihat, pesan itu telah dibaca oleh Wulan. Nirma terlihat gugup dan bingung. Hatinya berdesir, bila mana pesannya itu akan mendapat respon dari sosok wanita yang sama sekali belum dikenalnya dulu. Tak lama sebuah pesan masuk. Nirma segera membukanya. Temui saya besok jam dua belas siang di Berlian Caffe Jawaban itu diterima Nirma. Hatinya terbagi menjadi dua ruang. Sedih dan senang. Dia tak tahu apakah langkah yang diambilnya ini tak sesuai aturan. Namun hanya sebatas menemani seseorang saja, tanpa melakukan apa pun. Hanya saling ngobrol, mau diajak pergi ke mana-mana tapi dibayar mahal. Nirma pun membalas pesan itu. Dia bersedia datang. Saat jam makan siang. Dia akan memenuhi janjinya pada Wulan. Sekarang Nirma segera masuk dalam mimpi. Memejamkan mata dengan pelukan mesra pada gulingnya. *** “Ijinkan saya untuk mengundurkan diri, Pak.” Ucapan sang baby sitter membuat Hendra garuk-garuk kepala. Sang perawat bayinya kini mengajukan untuk mengundurkan diri. “Kenapa? Apa gaji yang saya berikan kurang?” “Tidak, Pak.” “Lalu apa? tolonglah, saya butuh kamu untuk merawat anak saya.” “Mohon maaf, Pak. Saya belum bisa. Saya harus pulang kampung. Bapak Saya sedang sakit. Saya harus merawatnya.” “Apa tidak sebaiknya kamu cuti sementara? Jika Bapakmu sudah sembuh, kamu bisa kembali ke sini lagi.” “Mohon maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa. Beliau adalah satu-satunya orang yang saya punya di dunia ini. Saya ingin menjaganya di usia rentanya.” Mendengar jawaban itu. Hendra tak bisa bergeming lagi. Dengan terpaksa Hendra pun mengijinkan si baby sitter itu untuk mundur sebagai pengasuh anaknya. “Kalau begitu bisakah kamu pergi setelah saya mendapat penggantimu dulu?” “Tolong maafkan saya, Pak. Bapak saya hari ini sudah dibawa ke rumah sakit. Saya harus pergi sekarang, Pak.” Hendra mengangguk. Dia tak bisa menahan kepergian si baby sitter. Hendra berusaha memahami kondisi hidupnya. Karena pengabdian untuk orang tua tak bisa dinilai dengan apa pun. tak lama pengasuh sang anak itu pun segera pamit untuk pulang. Hendra memberikan gaji terakhirnya. Kini dia dibuat bingung untuk mencari pengganti. “Ma, hari ini Hendra ada rapat yang tak bisa ditinggalkan. Hendra titip Asila, ya.” “Cepat kamu cari pengganti pengasuh anakmu. Hubungi saja kantor penyalur pengasuh anak.” “Hendra tadi sudah minta di agen penyalur, tapi masih belum tersedia, nanti Hendra coba lagi. Hendra pamit kerja dulu, Ma.” Mama Rose seperti tengah merasakan kegundahan hati putranya. Guratan kekecewaan itu menghiasi kedua bola matanya. Berusaha untuk tetap sabar menghadapi ujian yang kini telah menghadang keluarganya. Putri Asila terdengar menangis begitu keras. Mama Rose pun segera menggendong cucunya. s**u formula diberikan agar Asila tak menangis lagi. Menimang-nimang dengan kasih sayang. Asila menjadi candu baginya. Kasih sayangnya tercurahkan semua pada malaikat kecil yang sedang digendongnya. *** Nirmala yang bekerja di kantor merasa gugup saat jam yang melingkar di tangannya sudah menunjukkan pukul sebelas siang. Satu jam lagi dia akan bertemu dengan Wulan. Menyelesaikan pekerjaan secepat mungkin. Nirma tak boleh datang terlambat. Pukul setengah dua belas Nirma sudah menyelesaikan tugasnya. Dia pun segera ke luar kantor. Menuju Berlian Caffe dengan segera. Untung saja tempat yang akan dituju itu jaraknya tak terlalu jauh dari kantor Nirma. hanya sekitar satu kilo meter saja. Belum sampai jam dua belas. Nirma sudah berada di Berlian Caffe. Dia tak mau bila Wulan tahu kalau Nirma adalah seorang pekerja kantoran. Nirma pun menuju kamar mandi untuk mengganti kostumnya dengan baju biasa yang dia bawa sebelumnya. Setelah dirasa semua aman. Nirmala kembali menuju ke meja yang telah dipilihnya. Dia kini menunggu kedatangan Wulan. Ada hal yang seolah mengganjal di hati Nirma. Tentang apa yang dia lakukan kali ini. Namun kebuntuan Nirma membuatnya bertindak bodoh dan mencoba menepis bayangan kebodohan itu dengan cepat. *** “Jeng jadi datang, kan?” “Sepertinya saya absen, lagi jaga cucu di rumah.” “Cucunya dibawa saja ke sini, lagian Jeng Rose sudah lama sekali absennya.” “Saya takut rewel. Tenang saja Jeng, kita gak lama di sini. Kita tunggu ya.” Mama Rose sebenarnya sedang ada acara arisan bersama dengan teman-temannya. Namun kondisinya sekarang seperti sangat tidak mungkin untuk pergi. Tapi Mama Rose memang sudah lama sekali absen. Hari ini telepon dari sahabatnya membuat dirinya seakan tergerak hati untuk datang berkumpul dengan teman-temannya. Mama Rose bergidik dalam pikirannya. Suaminya yang sedang dinas luar kota pasti tak akan membuatnya repot untuk melayani ketika di rumah. Tapi wajah manis sang cucu membuat mama Rose seakan ragu. Mama Rose menginginkan istirahat untuk meringankan beban di pikirannya. dia merasa bahwa keluar sebentar dari rumah adalah solusi terbaik. Mama Rose pun memenuhi panggilan temannya. Segera bersiap dan tetap akan membawa cucunya untuk pergi. Diantarkan sopir pribadi membuat mama Rose sedikit terbantu. Asila yang memejamkan mata itu pun membuat beban mama Rose sedikit ringan. Setelah sampai di tempat yang dituju itu. Stroller bayi itu pun membuat Mama Rose tak kesulitan membawa Asila. Didoronganya benda beroda itu menuju meja yang sudah dipenuhi oleh teman-teman Mama Rose. Canda tawa menyelumuti. Cerita demi cerita tersajikan. Asila yang pulas dengan tidurnya itu pun membuat Mama Rose sangat bahagia. Dua kegiatan yang bisa dilakukan dengan baik. Sedikit penat berkurang dengan saling berbagi informasi bersama teman-temannya. *** “Apa yang bisa kubantu?” tanya Wulan pada Nirmala. “Maafkan saya Mbak, jika ...” “Jangan banyak basa-basi. Kamu butuh uang, kan?” “Iya, Mbak.” “Untuk apa?” “Membayar hutang ayahku?” “Berapa?” “Tiga ratus juta, Mbak. Tapi aku harus mendapatkannya dalam waktu empat hari.” “Oke. Berdandanlah secantik mungkin. Rubah penampilanmu, dan datanglah ke tempat ini nanti tujuh malam.” Wulan memberikan alamat kepada Nirmala. Setelah itu tak ada lagi pembicaran di antara mereka. Wulan meninggalkan Nirmala seorang diri. Sedangkan Nirmala terus menatap seuil kertas berisi alamat yang diberikan padanya. Malam nanti dia harus menuju ke alamat itu. merubah penampilan. Dan dia tak tahu apa yang harus dikerjakan Nirmala di tempat itu. Dia hanya bergumam dengan memangku dagu. Tak lama, suara tangisan bayi membuat lamunannya berakhir. Dilihatnya seorang ibu menggendong bayinya dan terlihat bingung. Nirmala mendekat dengan cepat. “Kenapa, Bu?” “Saya mau ke kamar mandi, tapi cucu saya menangis.” “Biar saya bantu, Bu.” Nirmala pun mencoba membantu wanita yang tak lain adalah mama Rose. Asila yang menangis meraung itu pun digendong Nirma. mama Rose segera ke kamar mandi. Dalam dekap Nirma, tangisan Asila seolah terhenti. Bayi mungil itu kembali tertidur dengan meminum s**u dari botol bayi itu. Mama Rose yang melihat pemandangan itu pun terasa sangat aneh. Dirinya merasa bahwa wanita yang menggendong cucunya punya keterampilan untuk mengasuh sang cucu. “Namamu siapa?” “Saya Nirmala, Bu.” “Sudah bekerja?” Nirma mengangguk. Sembari menaruh Asila di strollernya. Asila tetap saja pulas dengan tidurnya. Nirmala mohon undur diri untuk pergi. Tapi Mama Rose menahannya sebentar. “Apa kamu mau menjadi pengasuh cucuku?” “Maksud Ibu?” “Saya sedang membutuhkan pengasuh untuk cucu saya, saya lihat cucu saya sangat nyaman ketika tadi ada didekapanmu.” “Tapi ...” “Kamu bisa minta bayaran ke saya berapa pun itu. Asalkan kamu bisa menjadi pengasuh terbaik untuk cucu saya.” “Nirma pikirkan dulu, ya, Bu” “Baiklah, ini kartu nama Sya, tolong kabari saya secepatnya.” Keduanya pun berpisah dengan urusan masing-masing. Nirma terburu-buru menuju ke kantornya. Dia tak mau mengambil waktu jatah makan terlalu lama. Mama Rose terpaku dengan perjumpaannya pada gadis itu. *** Gelap temaram menyapa. Nirmala membuka lemari bajunya. Memilih baju yang dirasa pantas untuk dipakai. Namun lebih dari satu jam dia tak juga mendapatkan apa yang dirasa sesuai dengan kata hatinya. Panggilan Wulan menghiasi layar ponselnya. Nirmala pun menekan tombol hijau untuk memulai panggilan jarak jauh itu. “Iya Mbak Wulan?” kata Nirma. “Sepuluh menit lagi, Kamu harus sudah sampai di tempat ini.” Wulan menutup panggilan udara itu. Nirma yang masih menggenggam sehelai baju membuatnya seakan merenta dalam keadaan. Tiba-tiba saja teleponnya berdering lagi. Kali ini dari sahabatnya, Nuna. Nirma mengacuhkan panggilan itu. Dia kembali bersiap-siap untuk menuju ke tempat yang diarahkan oleh Wulan. Baju yang dirasa nyaman pun sebenarnya tak didapatkan oleh Nirma. Semua bajunya tak ada yang sebagus dipakai Wulan. Namun dirinya tak peduli. Yang penting Nirma bisa segera mendapatkan uang yang banyak, untuk membayar hutang ayahnya. Sepuluh menit waktu yang sangat singkat. Nirma tak memoles wajahnya dengan apa pun. lima belas menit Nirma baru sampai di tempat yang Wulan tunjukkan padanya. Sebuah rumah kecil yang terlihat sepi. Nirma memencet bel di pintu gerbang. Tak lama Wulan pun membukakan pintu gerbang itu. Nirma segera masuk. Di dalam rumah itu Wulan mengganti pakaian Nirma dengan pakaian yang lebih mini. Lalu dia pun memoles wajah Nirma dengan hiasan beberapa alat kecantikan. Nirma seolah tak nyaman dengan pakaian yang dikenakannya. Apalagi dengan sentuhan make up  di wajahnya. Membuat Nirma seakan igin menghapusnya. Suara bel rumah Wulan berbunyi. Ada lagi orang yang sedang bertandang ke rumahnya. Nirma hanya diam tanpa bertanya. Namun Wulan hanya berbisik lirih di telingan Nirma. “Laki-laki yang mengingkanmu sudah datang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN