Part 8 – Kosong

1884 Kata
Hati berdesir lirih. Membuncah perasaan abstrak. Bulir-bulit pertanyaan itu luruh. Ketika Mahendra mengangkat sebuah telepon dari nomor tak dikenalnya itu. memadang pendengaran dengan sebaik-baiknya. Pandangannya tertuju hanya pada satu objek saja. “Selamat pagi Bapak Aditya Mahendra.” “Selamat pagi.” “Perkenalkan, Saya Gustav Wibowo, pengacara dari Ibu Rosma.” Mendengar nama istri di sebut. seolah sebuah guratan penuh makna itu terlihat di raut wajah Hendra. Matanya berotasi. setiap inci ruang hatinya seakan ingin kembali terisi oleh wanita yang teramat dicintainya itu. “Ada perlu apa?” “Apa surat saya sudah sampai? Terkait pengurusan perceraian saudarai Rosmalina. Mohon kerja samanya, Pak. Agar proses ini bisa berjalan dengan baik.” Perkataan sang pengacara membuat Hendra menutup langsung panggilan telepon itu. Amarahnya memuncak dibantingnya telepon genggam yang berada di tangan kanannya ke arah lantai. Tak peduli apa pun yang berada di sampingnya pun menjadi sasaran empukkedua tangannya. Jerit hatinya menggema. Tak pernah terbayangkan jika sang istri akan menggugat dirinya. Pernikahan yang hanya sebentar. Sisa-sisa cinta itu masih melekat erat di jiwa Hendra. Terasa tak bisa melepaskan dan melupakan cinta pertamanya itu. Mahendra tak pernah menjalin hubungan dengan siapa pun, selain Rosmalina. Hidupnya yang selalu diisi dengan pendidikan dan pekerjaan. Hampir tak pernah memikirkan keindahan cinta. Namun kala itu, Rosmalina yang melamar kerja di tempatnya, memancarkan sebuah rasa yang tak pernah dirasa sebelumnya. Interview pertama kali itu membuat Mahendra tak berhenti berpikir, tentang wanita cantik yang sangat menawan. Senyum bibirnya menancapkan keindahan cinta. Pandang matanya membius rasa yang melulihlantahkan jiwa. Bibirnya terhipnotis untuk terus memanggil nama sang pujaan hati. Pertemuan kedua Rosma dan Hendra. Cukup sederhana, Rosmalina yang buru-buru untuk masuk kantor itu membuanya harus menumpahkan air ke jas Hendra. Dia tak sengaja menabraknya. Rasa gugup penuh ketakutan pun menyelimuti dadaa Rosma. Sebagai karyawan baru, dia telah melakukan sebuah kesalahan. Basah jas Hendra tak membuat Hendra marah. Namun sebaliknya, hendra cukup tersenyum dan pergi. Lambat laun Hendra tak bisa membohongi perasaannya, yang terus saja memanggil wanita cantik dengan rambut hitam panjang itu. Hendra tetaplah Hendra, yang tak pernah menyatakan cinta. Berusaha untuk menghindar, tapi semesta seolah menyatukan. Hendra mencari cara bagaimana menyatakan cintanya. Internet selalu dijadikan acuannya. Tidak pada siapa pun, karena dia tahu jika internet tak akan menghianatinya. Beda dengan manusia yang memiliki perasaan yang lebih dari satu, bisa saja rahasia hatinya itu akan cepat terungkap. Lebih dari lima bulan Hendra menyembunyikan perasaannya. Diam-diam Hendra selalu memperhatikan Rosma. Mencuri foto wanita berbibir tipis itu di beberapa media sosial miliknya. Setiap menjelang tidur, Hendra selalu menatap senyum indah sang gadis pujaan. Hingga suatu saat Hendra tak bisa menahan lagi sesak di dadaanya karena cinta. Dia bertekad bulat, akan mengatakan perasaannya pada gadisnya. Dia yang sudah memiliki usia yang lebih dari cukup untuk membina rumah tangga. Kehidupannya yang juga sudah lebih dari mapan. Memiliki perusahaan sendiri, beberapa rumah yang dibelinya untuk investasi. Tabungan yang nilainya milyaran. Membuat Hendra meyakinkan diri untuk sebuah hati. Hendra tak romantis. Menyatakan perasaan pun tak memakai bunga atau pun cokelat.  Apalagi puisi dan juga barang mewah. Cukup dengan satu kalimat. “Rosma, maukah kamu jadi istriku?”. Saat itu Rosma merasa terkejut, bahkan Hendra sempat ingin mundur, dia merasa sangat kaku. Bibirnya tiba-tiba terkunci dan tak bisa terbuka lagi. Rosma memandang dengan tatapan penuh, pada seorang atasan di kantornya itu. Hendra seolah tak menyangka, bila jawabannya langsung didapatkannya. Rosma mengangguk penuh senyum. Menandakan ajakannya diterima. Hendra tak peduli dengan latar belakang Rosma. Baginya cintanya sangat berarti di hatinya. Dia akan terus memperjuangkannya hingga titik darah penghabisan. Bahkan kedua orang tua Hendra yang berpendidikan tinggi pun sempat meragukan kualtas diri Rosma. Namun Mahendra selalu menjadi garda terdepan untuk selalu membela kekasihnya. Banyak wanita yang selalu diunggulkan dan bahkan dikenalkan langsung kepada Mahendra. Namun tak ada satu pun yang bisa meluluhkan hatinya. Wanita-wanita yang dihadirkan itu tak kalah cantik, bahkan lebih berpendidikan tingga dan jelas martabat kedua orang tuanya. Tapi Mahendra tetap pada pilihannya. Beberapa argumen itu selalu diperdebatkan, demi sebuah kemenangan cinta. Bagi kedua orang tua Hendra, mereka merasa sudah tak kuat untuk menghentikan langkah anak semata wayangnya, sehingga restu itu pun diberikan. Mereka akan bahagia jika Hendra pun bahagian dengan pilihan hatinya. Pernikahan digelar dengan sangat meriah dan mewah. Ribuan tamu undangan menghadiri hari bahagia mereka. Senyum terpancar penuh suka cita. Hati keduanya bersatu dalam ikatan rumah tangga.  Tak lama Tuhan pun hadirkan anugerah terindah dengan hadirnya bayi mungil itu. Namun kini Mahendra seperti tertampar. “Permisi, Tuan. Ini ada surat untuk Tuan.” Asisten rumah tangganya mengantarkan sebuah surat kepadanya. Membuat Mahendra berhenti mengenang sebuah kehadiran cintanya saat itu. meraih sepucuk surat beramplop putih dan terdapat kop surat di amplopnya. Membuka dengan cepat. Mahendra membacanya dengan cepat. Lalu jeritan itu kembali terdengar mengaung di penjuru kamarnya. Hatinya seakan hancur berkeping-keping. Seperti dedaunan runtuh diterpa angin. Jatuh dan tak bisa menyalahkan angin yang menjatuhkannya. Matanya berkaca-kaca. Tak rela bila Rosma akan pergi, rosma sang belahan jiwa, cinta pertamanya, kekasih hatinya dan juga ibu dari anaknya. Hendra tak bisa berpikir. Mengunci pintu kamarnya segera. Dia ingin sendiri, menikmati kenangan yang pernah dilalui bersama. Meninggalkan pekerjaan. Ponselnya yang terus saja berdering pun diabaikannya. Dia hanya menatap tajam foto istrinya dengan penuh rasa cinta. Waktu yang terus saja berputar, mengubah pagi menjadi siang. Kedua orang tua Hendra yang mengetuk pintu kamarnya pun tak dihiraukan. Hendra benar-benar ingin merasakan keindahan kenangan dengan sang wanitanya. *** Dua sejoli itu telah dilanda cinta. Menjalin kembali cinta yang pernah tertunda. Cinta yang dulu bersemi tanpa penghalang, dan kini cinta itu hadir kembali meski dalam keadaan yang sudah sangat berbeda. Rosmalina sang cinta pertama bagi Roy. Begitu pun sebaliknya. Rosmalina selalu menggandrungi ketampanan kekasihnya itu. Dulu saat keduanya di bangku kuliah, Rosma bersaing dengan banyak wanita untuk memperebutkan sang raja kampus. Perasaan yang sama antar keduanya menjadikan Roy pun menyatakan cintanya. mengambil jurusan yang sama, memiliki hobi yang sama dan juga selalu menghabiskan waktu bersama saat di bangku kuliah. Keduanya saling mengisi. Namun sebuah keputusan sepihak menjadikan cinta mereka karam. Ayah Rosma melarang keras dirinya berhubungan dengan laki-laki tanpa masa depan itu. Rosma tak peduli, dia tetap saja memilih Roy sebagai tambatan hatinya. Rosma harus menentang sang ayah hingga ayahnya tak bisa melanjutkan hidupnya. ayah Rosma tutup usia. Kepergian sang ayah membuat Rosma sangat terpukul. Satu-satunya orang tua yang dimilikinya kini telah tiada untuk selama-lamanya. Saat itu Rosma harus memperjuangkan hidupnya. Dia harus menghidupi keperluan dirinya sendiri. Belum lagi kebutuhan rumah yang harus jadi perhatiannya. Sedangkan Roy masih saja setia menjadi mahasiswa abadi. Dia belum juga lulus dari perkuliahan. Hal itu membuat Rosma seakan jenuh dengan perilaku Roy yang tak cepat menyelesaikan studinya.  Rosma berjuang sendiri untuk menghidupi dirinya. Melamar pekerjaan kemana-mana, sendiri tanpa Roy. Dia benar-benar dikecewakan oleh kekasihnya. Rosma semakin geram, dia terus saja berusaha dengan semangat baja. Hingga akhirnya usaha terjawab dengan indah. Perusahaan Hendra menerimanya sebagai karyawannya. Sejak saat itu Rosma memutuskan untuk melupakan Roy. Waktu membuat mereka terpisah tanpa kata-kata. Rosma memilih untuk menghilang dari kehidupan Roy karena rasa kecewanya. Namun waktu  seakan memberikan mereka sebuah ruang untuk kembali menyapa. Semesta menghadirkan kembali Roy di hidup Rosma. Laki-laki yang kini berdiri dengan kekuasaan dan kekayaan. Memiliki segala-galanya, membuat Rosma seakan berbalik arah. Dia mengambil keputusan yang sangat berani. Meninggalkan suami dan juga bayinya. Bagi Rosma, Mahendra memang tak buruk. Tapi kenyamanan itu tak didapatkan sepenuhnya pada suaminya. Bahkan semenjak menikah, bayangan cinta yang dulu berputar-putar di kepalanya sama sekali tak pernah terjadi. Roy dan Hendra memang tak sama. Keduanya bagaikan bumi dan langit. Roy lebih bisa membahagiakan Rosma dengan caranya, lebih romantis dan sangat peka dengan perasannya. Sedangkan Mahendra, laki-laki setia yang tak banyak bicara. Hidupnya seperti diatur waktu. Pekerjaan menjadi nyawa bagi hidupnya.Sedangkan Rosma merasa bahwa dirinya hanya sebagai pelengkap saja. “Hari ini kita mau jalan-jalan ke mana?” tanya Rosma. “Hari ini kita akan pulang ke Swiss,” jawab Roy. “Kamu serius?” tandas Rosma. “Iya, kita akan memulai hidup baru di sana, lagian Aku rasa sudah cukup kita berada di sini.” “Tapi bagaimana dengan perceraianku?” “Pengacaramu akan mengurus itu.” “Apa semuanya akan baik-baik saja?” “Tentu, Swiss akan menjadi masa depan kita.” “Baiklah.” “Segera berkemas, pesawat kita akan terbang empat jam lagi.” Cinta membutakan keduanya. Roy bertekad dengan rasa yang menggelegar di hatinya. Begitu juga Rosma. Dia rela meninggalkan semuanya. Rumah, mobil, suami, mertua bahkan bayinya yang baru saja berusia beberapa hari itu. Rosma sangat buta. Cinta mengalahkan logikanya. Membuat dirinya jauh dari bayi yang seharusnya masih membutuhkan dirinya. Namun Rosma mengorbankan semuanya. Hanya karena cinta pertama. Dia merobohkan dan menghancurkan istananya sendiri. Kini Rosma akan berencana membuat istana baru. Istana yang akan dihuni dengan raja yang kembali menaklukkan hatinya. Dirinya akan kembali menjadi ratu di istana baru itu. Rosma dengan cinta kelam yang membutakan mata hatinya. *** Menghabiskan waktu seharian hanya berada di dalam kamar. Mahendra tak bosan untuk terus mengingat pujaan hatinya. Pikirannya terus saja tertancap pada kecantikan Rosma. Foto pernikahan itu di dekapnya. “Hendra, anakmu menangis terus, tolong lihat dia!” Suara Mama Rose terdengar di balik pintu kamarnya. Kaki Hendra terasa berat untuk melangkah. Dia tetap dengan posisinya. Duduk di atas sofa dengan tangan menggenggam foto pernikahan. Mahendra tak bergeming. Dia seolah tak memikirkan bayinya. Hanya Rosma yang kini menjadi prioritas dalam pikirannya. “Jika Kamu juga tak mau mengurus bayimu, Mama akan tarus bayi ini di panti asuhan.” Suara itu membuat Hendra tertohok. Namun dia tetap dengan posisinya. Diam di atas Sofa dengan pandangan nanar, menatap foto sang istri yang amat dicintai. Entah bagaimana tiba-tiba saja wajah cantik sang putri berkelibat pada kedua bola matanya. Hendra segera berdiri dan membuka pintu kamarnya. Namun tak didapati mamanya. Hendra dengan kalut pikirannya. Melangkah untuk mencari mamanya. Menuruni anak tangga dengan perasaan membuncah penuh sayatan. Hendra mempercepat langkahnya. Menuju ruang putri kecilnya. Namun tak ada siapa-siapa. Box bayi itu kosong. Mahendra mencari baby sitter. Namun dia juga tak mendapatinya. Teriakan panggilan itu tak mendapatkan jawaban sama sekali. Mahendra berbalik menuju ke kamar mamanya. Namun saat pintu kamar itu dibukanya, tak ada siapa pun di dalamnya. Hendra pun dilanda kebingungan. Tak berdiam diri di situ. Dia segera mencari di halaman belakang. Berharap bayi mungilnya itu berada di sana. Namun lagi-lagi Mahendra tak mendapatkan jawaban. Rumahnya kosong tanpa siapa pun. Mama papanya tak terlihat wujudnya. Asisten rumah tangganya pun juga tak ada. Hanya ada satu yang kini akan ditujunya. Satpam penjaga gerbang yang berdiri tegak itu menjadi tempat Hendra untuk mengetahui di mana keberadaan keluarganya. “Di mana Mama dan Papa?” tanya Hendra. “Semua pergi, Pak,” jawab satpam. “Siapa saja?” “Bapak, Ibu, bayi dan juga baby sitter.” “Bibi kemana?” “pergi ke supermartket untuk belanja bulanan, Pak.” Mendengar keterangan satpam. Hendra terasa buntu. Dia takut dengan ucapan terakhir mamanya padanya. Ponsel itu diambil dengan cepat. Berusaha menelepon mamanya, namun tak ada jawaban. Mahendra tak diam, bila mamanya tak menjawab teleponnya. Kini nomor papanya menjadi tujuannya. Namun lagi-lagi Mahendra tak mendapatkan jawaban. Hatinya bergidik. Bagaimana jika putri kecilnya akan dititipkan di sebuah panti asuhan. Dia tak menginginkan itu terjadi. Mahendra bergerak cepat. Mengambil mobil dan melajukan dengan cepat. Meski dirinya belum tahu panti asuhan mana yang akan menjadi pijakan kakinya. Dia akan terus mencari. ^Cengkir^ "Becik ketitik, ala ketara." (Perbuatan baik akan selalu dikenali, dan perbuatan buruk nantinya juga akan diketahui juga.)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN