Suara perawat dengan seragam putih itu menggelegar. Saat dilihatnya pasien bernama ibu Rosma itu tak ada di tempat tidurnya, Hendra yang semula masih terlelap pun segera membuka matanya dengan penuh kebingungan. Dicarinya sang istri tercintanya itu di setiap sudut, membuka pintu kamar mandi, berlari menuju taman rumah sakit dan hasilnya nihil. Rosma tak dapat ditemukan. Hendra teringat akan bayinya, langkah kakinya bergerak cepat menuju ruangan bayi. Dilihatnya Putri Asila yang membuka matanya dan diam dengan tenang. Hendra menghela napas panjang. Mengambil ponselnya di saku. Berulang kali mencoba menghubungi Rosma tapi nomor itu sudah tidak aktif dan tak bisa tersambung. Dalam kebingungan Hendra pun meminta pihak rumah sakit untuk mengecek melalui CCTV.
Perasaan hendra berkecamuk menghiasi kekhawatiran yang luar biasa menggerogoti celah-celah harapnya. Di depan komputer berukuran 20 inch itu Hendra melihat dengan penuh seksama, saat Rosma berjalan mengendap dengan langkah yang begitu pelan. Hingga saat Rosma masuk ke dalam mobil silver, dilihatnya laki-laki yang membuka pintu untuk Rosma, terlihat sangat mesra. Hendra terdiam dalam pikiran yang tak pasti. Rekaman CCTV itu membuat dirinya hancur, wanita yang dicintainya sepertinya telah pergi dengan laki-laki yang dikenalny. Meninggalkan seorang putri yang sangat dinantikan, buah cinta keduanya. Namun kini Rosma telah mengkhianati ikatan suci yang dibina selama hampir satu tahun. Tubuh hendra lemas, dia pun terduduk kaku tak mengeluarkan suara sedikit pun, hatinya kelu, menderu dalam buaian yang menyakitkan.
Hari ini Putri Asila, bayi mungil itu sudah bisa dibawa pulang ke rumah, Hendra tak bisa berpikir dengan jernih. Dia hanya diam dengan tatapan kosong. Duduk di kursi panjang denga rasa yang tak bisa digambar lagi. Dari arah jauh terlihat mama dan papa Hendra datang berkunjung untuk melihat kondis cucu dan menantunya. Melihat anak semata wayang yang terduduk seorang diri papanya pun menghampiri dengan menepuk pundak Hendra.
“Kenapa diluar? Bagaimana kondisi Rosma dan bayimu?”
Pertanyaan pertama yang didengar Hendra seolah menusuk tanpa disengaja, Hendra mencoba tenang, diajakanya mama dan papa untuk duduk bersama di kursi tunggu itu.
“Mama mau ke dalam Hendra, ingin melihat Rosma dan bayimu”
“Duduklah dulu di sini Ma,” pinta Hendra.
Mama dan papa Hendra saling berpandangan, tak mengerti dengan apa yang dikatakan anaknya itu, sedangkan Hendra sibuk mengatur napasnya, seolah berat untuk kembali memulai pembicaraan.
“Dengarkan Hendra, Ma, Pa”
“Ada apa?”
“Rosma...Rosma..”
“Kenapa dengan Rosma?”
“Rosma telah pergi tanpa pamit, meninggalkan aku dan juga bayiku”
Perkataan Mahendra membuat suasana hening seketika, lalu gempita suara sang mama menerobos kebingungan yang dirasa Hendra.
“Kenapa Rosma meninggalkan kalian? Apa kalian sedang bertengkar?”
Hendra menggelengkan kepalanya lesu, lalu memandang lantai putih di bawahnya tanpa lepas.
“Kamu menyakitinya?” sahut papa.
“Demi Tuhan, aku merasa tak pernah menyakiti Rosma.”
Mata Hendra masih tertuju pada lantai yang dipijakinya, tak tahu lagi harus bagaimana dia menjelaskan pada kedua orang tuanya.
“Apa engkau sudah mencarinya?”
“Apa sudah telepon dia?”
“Semua sudah kulakukan, rekaman CCTV rumah sakit memperlihatkan Rosma pergi dengan laki-laki. Aku tak tahu siapa dia.”
Tanpa mengangkat kepalanya, Hendra menjawab dengan kejujuran yang dimilikinya. Semua terdiam lagi tanpa pertanyaan. Hendra masih tertunduk lesu. Pikirannya kacau, dia masih belum bisa menerima dengan apa yang sekarang hadir di depan matanya. Ditinggal oleh seorang istri yang sangat dicintainya. Menjadikan luka yang bersemayam dalam dirinya. Tak mampu menahan untuk menyembunyikan rasa itu, kristal bening menetes di wajah hendra, segera diusapnya dengan begitu cepat agar kedua orang tuanya tak sampai melihatnya.
“Sudahlah ... nanti kita pikirkan lagi tentang Rosma, ayo kita tengok putrimu, kita bawa ke rumah kita sekarang,” pinta papa.
Melihat senyum Asila, bayi mungil yang masih berusia satu minggu itu membuat Mahendra tak sanggup melangkahkan kakinya meninggalkan rumah sakit. Didekapnya bayi itu dengan penuh kasih sayang, memasuki mobilnya Mahendra masih saja tak bisa menyembunyikan rasa sakitnya. Bahagianya dengan Asila tapi sakitnya ditinggalkan istri yang amat sangat dicintai. Tanpa pesan yang tersurat, Rosma tak memberikan tanda apa pun tentang kepergian itu. Hendra yang masih berpikir penuh, tak disangkanya bila Rosma menginggalkan dirinya dengan cinta yang masih utuh tanpa berkurang sedikit pun, dia masih berharap Rosma akan kembali dalam waktu yang cepat untuk dirinya dan Asila, putri semata wayangnya.
***
Sudah sembilan bulan. Nirmala tak mendapatkan telepon dari tuan tanah. Dirinya memang baru bisa mengumpulkan uang senilai seratus lima puluh juta. Media sosialnya yang tak bisa dilihat, karena ponsel Nirma yang rusak dan tak bisa diperbaiki. Meski begitu Nirma tetap saja berusaha untuk tetap mengumpulkan uang.
Setidaknya sembilan bulan Nirmala bisa bernapas lega. Dia tak dihubungi lagi oleh tuan tanah itu. Nirma tak akan kabur. Dia tetap akan membayarkan hutang ayahnya. Walau pun hasil tabungannya masih belum cukup.
Nirmala masih menjadi bagian dari kantor papa Nuna. Setelah tiga bulan masa kontrak berakhir. Tenaga Nirmala masih dibutuhkan untuk tetap berada di kantor papa Nuna. Sambil tetap mencari sekolah yang diinginkan, Nirmala pun menyibukkan diri dengan tetap bekerja di kantor itu.
Hari minggu dengan rutinitas biasanya. nirmala menerima order panggilan setrika dan juga cuci baju. Seharian penuh dia menghabiskan waktunya untuk tetap bekerja. Hanya karena sebuah tanggung jawab.
Malam dengan hias bintang. Nirma sudah lelah dengan segudang aktivitas di pagi hari. Merebahkan tubuhnya yang letih. Matanya pun terpejam dengan cepat.
***
Alarm berbunyi dengan sangat keras. Nirmala bergegas untuk segera bersiap ke kantor. Tak butuh waktu lama. Nirmala yang jarang berhias itu akan segera berangkan ke kantor. Saat membuka pintu betapa terkejutnya Nirma. Si tukang tanah telah menunggunya di depan. Seolah napas Nirma terhenti. Tubuhnya kaku dan dia tak bisa menggerakkan tubuhnya untuk melangkah.
“Sudah hampir sepuluh bulan, aku tak mengunjungimu. Itu Aku lakukan agar kamu bisa membayar hutang-hutang ayahmu.”
“Silakan duduk dulu, Pak. Nirma ambilkan minuman sebentar.”
“Tidak perlu, mana uangnya?”
Nirma menghela napas. Matanya berotasi. Seolah mencari jawaban atas apa yang akan dikatakannya. Dirinya pun cukup heran, bagaimana tuan tanah itu bisa tahu di mana dia tinggal.
“Kamu heran, kenapa Aku bisa tahu alamat kosmu? Jangan berpikir kolot, Nirmala.”
“Maafkan Saya, Pak.”
“Bekerja di sebuah kantor ternama dengan gaji fantastis, cepat serahkan lima ratus juta sekarang.”
“Nirma baru saja ada uang seratus lima puluh juta, Pak.”
“Berapa? Memalukan!”
“Sisanya Nirma usahakan untuk melunasinya bulan depan, Pak.”
“Baiklah, kalau begitu Aku minta kamu tanda tangani dulu perjanjian ini.”
Si tuan tanah menyodorkan selembar kertas dari tasnya. Nirma pun segera menerimanya. Dibaca isi perjanjian itu dari atas sampai bawah. Betapa terkejutnya, isi perjanjian itu sangat bertolak belakang dengan isi hatinya.
“Pak, mohon ijin bisakah Bapak mengganti poin kedua dari perjanjian ini?”
Nirma menatap kedua mata tuan tanah itu dengan penuh harap. Binar matanya seolah bergidik. Mencoba dengan merendahkan nada bicaranya. Agar si tuan tanah bisa memenuhi keinginan Nirma.
“Tidak bisa, jika kamu tak mau tanda tangan, lebih baik urusan ini Aku bawa saja ke jalur hukum.”
Nirmala tertegun. Napas dan detak jantungnya seakan terhenti. Dia tak tahu harus bagaimana menyikapi keangkuhan si tuan tanah. Nirmala bak simalakama. Poin dari perjanjian itu membuatnya sulit mendapatkan jalan.
Nirma masih saja diam, sembari memegang selembar kertas itu. Bibirnya terkunci rapat, namun dalam hati Nirma berbisik sebuah doa. Dia inginkan sebuah pertolongan dari Tuhannya. Tak ada daya baginya, hanya menjalankan sebuah skenario yang sekarang terasa terjal bagi jalan langkahnya.
“Baik, Aku akan bayar lunas semua hutang Ayahku bulan depan!”
Nirma memegang pena lalu menandatangani perjanjian itu. Dia berusaha acuh dengan poin kedua yang sangat tak diinginkan itu. Tapi keyakinan besar Nirmala mengatakan dia pasti bisa dapatkan lima ratus juta bulan depan.
Nirmala tak peduli lagi. Dia segera pergi dari tuan tanah. Mengendarai motornya dan segera melaju dengan cepat menuju tempat kerjanya.
***
“Bagaimana hidup bersamaku?”
“Aku sangat nyaman, Aku mau kamu menikahiku secepatnya!”
“Urus dulu ceraimu dengan Mahendra, setelah itu kamu akan jadi milikku seutuhnya, Rosma.”
Dua sejoli yang kini sedang dimabuk cinta. Roy dan Rosma dalam satu ruangan. Tak dipedulikan apa yang telah dilanggar oleh keduanya. Hanya menuruti sebuah hasrat yang tak bisa dikendalikan.
Rosmalina, wanita tercantik di kantor Mahendra kala itu. Sekarang dia seakan tak peduli dengan anak dan suaminya. Cinta pertamanya telah membuat Rosmalina buta segalanya.
Rosma tak butuh waktu lama lagi. Segera menelepon pengacara. Meminta bantuan untuk mengurusi perceraiannya. Dia tak mau berlama lagi. Mahligai cinta pertama telah menantinya dalam sebuah ikatan. Rosma bahagia.
***
“Nun, aku harus mengembalikan hutang ayahku bulan depan.”
“Tuan tanah itu menagih lagi, Aku kira dia lupa setelah sembilan bulan lamanya tak menemuimu.”
“Aku bingun, bagaimana dapatkan uang sebanyak itu, sedangkan sembilan bulan saja aku baru dapat seratus lima puluh juta.”
“Jangan resah, nanti kita pikirkan.”
“Jika Aku tak bisa mengembalikan uang itu bulan depan, maka Aku harus menikah dengan anak laki-laki si tuan tanah.”
“Apa?! Kamu tidak salah!”
“Aku sudah menandatangani perjanjian itu, Nun.”
“Nirma, kenapa Kamu tidak berpikir dulu sebelum bertindak, bagaimana jika ...”
“Jangan berpikir negatif untuk masa depan. Aku percaya akan ada jalan untuk itu.”
“Tapi, Nirma.”
“Ayo balik, jam makan siang hampir saja habis.”
“Sebentar, kamu ingat sama bosku?”
“Ya ingatlah, kan Kamu ajak Aku ke pernikahannya.”
“Dia sudah punya anak, tapi ditinggal istrinya.”
“Istrinya meninggal?”
“Bukan, pergi jauh.”
“Kasihan sekali bayinya, sudahlah jangan ngomongin orang, dosa!”
“Aku cuma cerita, Nirma.”
Keduanya bergegas untuk meninggalkan restoran. Kantor Nirma dan Nuna berdekatan. Sehingga setiap makan siang keduanya sering menghabiskan waktu bersama. pikiran-pikiran Nirma terus saja menderu. Menaruhkan hidup dan matinya.
***
Mahendra mengunci diri di kamarnya. Laki-laki yang dinilai kuat itu ternyata rapuh karena cintanya. Mahendra yang tak mudah jatuh cinta, harus menerima kenyataan pahit yang merobek hatinya. Bayangan wajah sang istri terus saja menari-nari di benaknya. Keindahan cinta yang dibina bersama selama berumah tangga, kini pupus. Hilang dan terbang bersama angin.
Mahendra meneteskan air mata. Saat sebuah foto Rosmalina itu digenggamnya. Hendra tak bisa melupakan wanitanya itu. Bias kecantikan Rosma terus membuatnya rindu. Mengisi setiap tempat di ruang hatinya. Meski hancur tapi cintanya untuk Rosma belum berakhir.
Suara bayi Asila terdengar. Hendra menghapus air matanya. Keluar kamar dan menuju kamar putri cantiknya itu. Baby sitter telah memberikannya s**u formula. Tapi si bayi terus saja meraung. Suaranya menggelegar, memenuhi isi rumah keluarga Mahendra yang mewah nan megah itu.
Mahendra mencoba untuk menggendongnya. Namun si bayi tak bisa diam. Terus saja menangis tanpa henti. Papa dan mama Hendra pun seolah merasa haru. Mencoba menggantikan posisi baby sitter, namun bayi Asila tak mau diam dengan tangisannya. Hendra ke luar kamar. Menuju kembali ke kamarnya. Menguncinya dengan rapat. Tangannya bergerak untuk memukul dinding kamarnya.
Perasaan Mahendra seperti diaduk. Darah yang keluar dari tangan kanannya itu tak dihiraukan. Meluapkan emosi yang masih menggumpal di daadanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Sebuah nomor yang tak dikenal meneleponnya. Hendra menatap tajam, berharap panggilan itu dari istrinya, Rosmalina.
^ Cengkir ^
"Ngono ya ngono ning aja ngono."
(Boleh saja engkau berperilaku sekehendakmu, namun jangan sampai melanggar nilai atau norma)