Sudah lima hari dari batas waktu yang kujanjikan pada Ibu Peri. Lusa aku harus memberi tahu keputusanku padanya. Aku tidak pernah bercerita pada bapak, ibu atau Mas Rendra, buat apa nanti mereka malah berpikir yang tidak-tidak. Masalahnya adalah statusku ini.
Pletaak…
Lagi-lagi aku ditampar oleh dua makhluk itu. Kenapa sih mereka selalu datang di saat begini?
Status status, emang statusmu apa? Status palsu? Aku tahu itu pasti Si Hitam yang mengomporiku. Entah kenapa akhir-akhir ini dia hobi sekali mengajakku ribut.
Itu alamat palsu, bukan status palsu. Dasar setan jadi-jadian! Nah kalau ini pasti Si Putih.
Aku bukan anak indigo tapi entah kenapa dua sisi suara hatiku ini sangat mendominasi jika aku sedang memikirkan sesuatu, seperti sekarang ini. Beruntung ini di kamar kostku, jadi kalaupun aku mendumel sendiri tidak ada orang yang tahu.
Kembali ke soal penawaran Ibu Peri itu, apa yang sebaiknya aku lakukan? Memang sekarang aku tanpa status alias jomlo. Pacarku, eeh lebih tepatnya mantan pacarku melanjutkan studinya di antah berantah entah di mana. Kabarnya sih di Queensland, tapi entah itu benar atau tidak aku tidak tahu. Kami putus baik-baik kok, karena aku yang memang belum mau diajak menikah olehnya. Waktu itu aku baru lulus SMA, gila aja kalau langsung nikah. Cita-citaku masih setinggi langit, makanya waktu si mantan bilang mau melamar, tentu saja aku gak mau. Biar deh, kata ibu nanti akan datang Pangeran Berkuda Putih untukku. Menyelamatkanku dari kegabutan gak jelas ini.
Pangeran berkuda putih? Halu lagi ya neng? Hari gene pakai kuda di Jakarta? Yang ada tuh kusir delman tahu!
Uhukk… Aku tersedak air minumku, memikirkan ucapan Si Hitam yang kali ini entah kenapa benar.
Kamu kenapa sih selalu mengganggu Rein? Dasar sirik… Hmm baiklah sekarang Si Putih mulai menunjukkan dirinya.
Aku tuh cuma ingin memberikan realita pada Rein, siapa tahu kudanya sekarang menjadi kuda jingkrak warna hitam kan? Tapi tanpa empat kaki, melainkan empat roda. Waah Rein, kalau kuda jingkrak seperti itu yang akan dibawa pangeranmu, aku mendukung banget!
Dasar setan gak tahu diri, Rein bukan cewek matre, dia juga berasal dari keluarga mampu, sebentar lagi juga lulus program master dan cita-citanya sungguh mulia. Kamu kan tahu itu!
Hmm daripada aku semakin pusing memikirkan mereka berdua, lebih baik aku menimbang baik buruknya deh tawaran ibu peri itu.
***
Ponselku berdering, hari ini hari Minggu, tadi usai subuhan dan beberes kamar, aku ketiduran lagi. Malas banget keluar rumah, jadi bubu cantik ada di daftar agendaku selanjutnya. Kulirik nama penelpon, tertera Ibu Peri.
Ibu Periii?? Loh memang ini sudah seminggu? Kan belum. Aku tentu saja menjadi panik. Ini masih jauh dari seminggu dan aku belum punya jawaban.
“Hallo assalamualaikum…” Jawabku akhirnya, mau tak mau menjawab jeritan gawaiku.
“Waalaikumusalam Rein, maaf saya mengganggumu di hari Minggu ini. Tapi mumpung ini hari libur dan keluarga kami sedang berkumpul, saya ingin mengundangmu datang ke rumah ya, sekalian membicarakan hal yang kemarin itu. Nanti Pak Sudin akan menjemputmu tiga puluh menit lagi ya, Rein. Bersiaplah. Assalamualaikum.” Tiba-tiba terdengar bunyi tuut tuut tanda telpon sudah tidak tersambung lagi.
Aku memandang layar ponselku dengan heran. Ini beneran ya? Bukan mimpi kan? Si ibu peri itu menelponku baru saja? Loh aku kan belum bilang aku mau atau enggak, setuju atau enggak, kenapa dia tiba-tiba bilang mau kirim supir tiga puluh menit lagi sih? Aah peduli amat, aku lanjut tidur lagi saja deh.
Baru saja hendak kembali pulas tertidur, alarm ponselku berdering nyaring. Oh ternyata alarm untukku menelpon dr Rina. Malas-malasan aku mengambil handuk dan segera mandi, jadi nanti pas menelpon dr Rina badanku sudah segar.
Aku sedang menyisir rambutku yang panjang melebihi bahu, kukucir asal saja. Memakai baju rumah kesayanganku dan siap menelpon dr Rina. Baru saja aku mau menelpon dr Rina kembali ponselku berdering dan tertera nomor ibu peri. Nih ibu peri kenapa nelpon melulu sih?
“Halo assalamualaikum…”
“Waalaikumusalam, Rein. Pak Sudin sebentar lagi sampai kost-mu ya, saya akan kirim nomer ponsel Pak Sudin jadi kalau kamu belum siap, dia bisa menunggumu dulu. Segera datang ya, gak usah bawa apa-apa, Rein, di sini banyak makanan loh. Saya tunggu Rein.”
“Eeh.. eeh bu… Bu Peri….” looh looh kok kok gini sih? Eeh astagfirullah. Itu tadi beneran ya ternyata yang aku harus ke rumahnya? Haduuuh gimana ini? Baju… bajuu… Aku yang kebingungan segera mencari dress yang sekiranya pantas untuk kukenakan untuk acara di siang hari dadakan ini. Beruntung aku menemukan dress batik selutut tanpa lengan yang kupikir cukup pantas dipakai. Batik kan bisa dipakai untuk acara formal atau non formal.
Baru juga mau dandan, tiba-tiba ada pesan masuk ke ponselku, nomer tidak dikenal. k****a pop up pesan itu, ternyata Pak Sudin sudah sampai di parkiran kost-anku ini. Aku langsung membalas pesan itu, kuminta beliau untuk menunggu sekitar lima menit lagi.
Pada saat seperti ini aku sungguh bersyukur karena dikaruniai wajah yang cantik - kata ibuku sih, yang pasti setiap ibu akan memanggil putrinya cantik kan? Subyektif! - Nah, jadi hanya tinggal touch up seperlunya saja. Kulitku memang agak pucat karena darah bule dari eyang buyut buyut walau sudah generasi keberapa masih saja ada. Eyang buyut dari buyutku orang Belanda asli. Jadi yaa sampai generasiku tetap saja aku kebagian kulit pucat, hidung mancung dan rambut kecoklatan.
Dulu aku sering iri pada sepupuku yang lebih muda, Gadis. Dia tipikal wanita Indonesia asli. Rambut hitam legam, hidung bangir, kulit kuning dan bertubuh mungil. Tapi kata ibu ini semua adalah berkah yang harus disyukuri, jadi ya sekarang aku memang baru merasakan sih. Hanya perlu touch up seadanya saja, beri lipstik warna pink agar aku tidak semakin pucat. Rambut kusisir dulu, dan seperti biasa aku kucir tinggi kemudian aku cepol saja, yang tampak asal tapi malah membuatku tampak semakin seksi. Ini sih kata mantanku, karena aku jadi mengekspos leher jenjangku.
Done! Sekali lagi aku mematut di depan cermin dan puas dengan hasil dandan dadakan ini. Segera aku mengambil tas dan memakai flat shoes. Jangan sampai Pak Sudin menunggu terlalu lama, dan juga agar aku tidak terlambat sampai di rumah ibu peri.
Tak terlalu lama, kami sudah sampai di rumah ibu peri. Seperti sudah kuduga, pastilah ibu peri ini holang kayah bingid banget. Kawasan rumah elit di Jakarta Selatan ini, hanya orang-orang tertentu saja yang hartanya gak akan habis tujuh turunan, delapan tanjakan, sembilan kelokan.
Hmm… Rein, yakin nih yang kaya gini mau kamu tolak? Sayang Rein, sayang…. kesempatan tidak akan datang dua kali. Si Hitam kembali mengomporiku. Aku tersenyum pada Pak Sudin dan berucap terima kasih padanya saat dia membuka pintu untukku. Yaelaah pak, saya tuh cuma dibukain pintu mobil pas balita doang. Baru kali ini dibukain lagi deh.
Acuhkan dia, Rein. Pernikahan itu hanya sekali seumur hidup, kalau bisa sih. Jadi kalaupun kamu terima ya jangan karena harta benda ibu peri ini. Seperti biasa Si Putih memberi nasehat logis padaku.
Sambil berusaha menghalau pertengkaran dua makhluk tak terlihat ini, aku berjalan ke taman samping, dibimbing oleh seorang pelayan. Aku tidak bisa untuk tidak menyembunyikan kekagumannku. Perabotan dan barang-barang yang aku tahu berharga sangat mahal, karena eyang buyut rumahnya dulu penuh barang mahal seperti ini, tapi ini lebih luxury. Sampai di taman keluarga itu aku sempat tertegun, bingung, apa sih yang ada di kepalaku hingga aku nekat mau datang ke mari? Cari makan siang gratisan? Waah itu tidak ada di kamusku, karena bapak dan ibu tidak akan pernah membuatku kekurangan uang.
“Heiii Rein, wah tepat waktu kamu datangnya. Kemari nah, saya kenalkan ke anak-anak saya.” Ibu peri melambaikan tangannya padaku, tanda agar aku diminta mendekatinya. Kulangkahkan kakiku dengan canggung mendekati mereka. Aku mengedarkan pandangan mataku. Sebagian besar yang hadir adalah laki-laki, yang perempuan hanya ibu peri dan anak tertuanya, serta aku. Tapi aku kok tidak melihat si Zayn itu ya? Yang kulihat ada Kevin, yang tersenyum dengan ramahnya padaku. Terus entah ada siapa lagi, sepertinya seumuran Kevin. Tapi itu bukan Zayn, karena wajahnya berbeda dari foto yang kemarin diperlihatkan oleh ibu peri.
“Sini… sini… Rein, saya kenalkan sama anggota keluarga saya. Ini Fayzha, putri tertua saya dan itu suaminya, ini putra bungsu saya, Kevin, kamu kemarin sudah lihat fotonya kan? Nah satu lagi itu Keanu, keponakan saya. Keanu juga punya kakak, Ganda, tapi tidak berada di Indonesia. Kami sering berkumpul saat hari libur seperti ini biar tambah akrab.” Ibu Peri menjelaskan padaku panjang kali lebar.
Aku menyalami mereka satu per satu, sambil tersenyum semanis mungkin. Duh Gusti ini yang namanya Kevin imuuut banget yaak. Bisakah aku dijodohkan sama Kevin aja dibanding si misterius itu?
“Sebentar ya, saya minta agar Zayn dipanggil dulu. Tadi dia sedang menemani eyang di perpustakaan. Biasa deh, eyang nostalgia mengingat eyang kakung. Dan hanya Zayn yang sanggup menemani eyang serta mendengarnya bercerita.” Kata ibu peri lagi.
Setelah ibu peri pergi, langsung saja aku dikerubuti oleh anak-anak dan keponakannya itu. Tak kusangka, mereka ramah, kupikir semua holang kayah itu sombong, tapi sepertinya keluarga ini low profile. Mereka menerimaku dengan baik. Tidak membedakan status sama sekali.
Kami mengobrol cukup seru, ternyata Kevin dan Keanu asyik diajak ngobrol. Aku yang memang pada dasarnya tidak banyak bicara hanya sesekali saja menimpali. Hingga aku dengar suara decit kursi roda dan suara ibu peri memanggil namaku.
“Rein… sini… “
Aku menoleh ke arah sumber suara, dan melihat eyang di kursi roda beberapa waktu lalu yang aku temui di klinik dr Rina, tertawa lebar melihatku. Tangannya terulur ke arahku. Seperti ingin agar aku mendekat ke arahnya.
Dengan langkah mantap aku mendekat ke arah eyang itu, aku berjongkok, bertumpu di rerumputan agar bisa menyamakan tinggi dengan eyang. Kucium punggung tangan yang sudah keriput itu. Mengigatkanku pada eyang di kampung. Tapi eyangku masih sangat sehat, syukurlah. Eyang kursi roda ini, kembali tertawa dan mengeluarkan suara kekehan khas.
Yang kutahu kemudian semua tampak takjub dengan tawa eyang, pun aku juga. Tapi yang membuatku takjub bukanlah tawa eyang melainkan sosok lelaki tampan, gagah yang mendorong kursi roda itu.
Untuk sesaat mata kami beradu, hanya sesaat saja, karena kemudian aku merasa ada yang menarik dress batikku. Tapi, mungkin seperti inilah sosok lelaki yang sering k****a ada di n****+ romansa atau di platform baca online.
Seorang lelaki tampan, ganteng banget bak dewa yunani - padahal ketemu saja belum pernah kenapa bisa tahu dewa yunani ganteng? - tubuh proporsional, mungkin dengan perut kotak-kotak, kaya raya - unicorn, decacorn mungkin -, mata setajam elang yang melihat ke arahmu seperti mangsanya. Seperti mata tajam lelaki ini yang melihatku seperti elang yang tidak mau kehilangan mangsanya.
Jadi ini toh yang namanya Zayn? Ganteng ya Allah… sempurna sekali sebagai lelaki.
***
Tanpa Rein tahu, karena kegantengannya itulah hidupnya akan mulai seperti roller coaster.
Rein - Zayn - Medusa (kata ibu peri)
Tiga hati, dua cinta, dan dua pernikahan!
***
Jadi cerita ini sebelum Ganda Gadis ketemu ya. Kurang lebih setahun sebelum Omdud (Baca di A Boss Desire) mudik ke Indonesia. Rein itu kakak sepupu Gadis, usianya lebih tua 4 tahun, Rein 24 tahun, Zayn 27 tahun, Medusa 28 tahun. Semoga jadi jelas yaa....