Bab 5. Kejadian di sekolah

1248 Kata
Dengan anggun, Roro melangkahkan kakinya masuk ke sebuah sekolah dasar swasta yang ada di kota tersebut. Meskipun bukan termasuk sekolah swasta mahal yang bertaraf internasional, tapi kualitas pembelajaran di sana cukup bagus. Meskipun Roro pada akhirnya harus merogoh kocek lebih dalam, tapi demi pendidikan anak-anaknya, Roro rela. Tak peduli ia harus bekerja keras, ia akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya. Anak-anaknya adalah tanggung jawab mutlak dan prioritasnya. Apalagi kehadiran mereka karena keinginannya sendiri, maka dari itu ia akan melakukan apa pun untuk kebahagiaan dan masa depan mereka. Kedatangan Roro langsung disambut dengan ramah oleh pihak sekolah. Namun, berbanding terbalik dengan seorang wanita yang ia yakini adalah ibu dari anak perempuan yang sudah membuat masalah dengan anaknya. "Ini dia, akhirnya kau datang juga," ujar wanita itu sinis, tapi Roro melengos begitu saja. Ia pun duduk setelah dipersilakan. Seorang guru lantas menjelaskan apa yang sudah terjadi. "Seharusnya kau didik anakmu itu dengan baik. Itulah kalau punya anak tidak ada bapaknya, jadi kelakuannya pun benar-benar buruk," tukas wanita itu membuat Roro mendelik tajam. "Apa yang kau katakan? Sudahkah Anda tanyakan ke anak Anda itu apa yang sebenarnya terjadi? Tanya ke temannya, tanya ke orang lain yang kemungkinan menjadi saksi, dan yang paling penting, apa di sekolah ini tidak ada rekaman cctv sehingga tidak bisa mencari bukti dan kebenarannya?" ucap Roro tegas. "Tidak semua anak yang tidak memiliki bapak memiliki perilaku buruk. Tak jarang bahkan anak-anak yang memiliki orang tua lengkap justru perilakunya buruk. Bahkan sangat buruk. Berhenti menghakimi orang lain sebelum mencari kebenarannya terlebih dahulu," lanjut Roro. "Pak Guru, maaf, di sekolah ini tentu memiliki rekaman cctv 'kan? Apa bisa kami melihatnya? Jujur saja, saya tidak percaya dengan apa yang dia katakan. Namun, saya tidak akan menutup mata. Bila benar anak saya bersalah, tentu saya bersedia mereka diberikan sanksi. Namun, hal ini saya harap tidak hanya berlaku pada anak saya, tapi juga yang lainnya. Tidak ada tebang pilih. Nah, Bapak polisi yang terhormat, tentu setuju bukan dengan perkataan saya?" Roro tersenyum manis ke atas seorang pria berseragam polisi yang Roro ketahui merupakan suami dari wanita itu. Sontak saja, pria itu mengangguk membuat sang istri geram. "Pa," protes sang istri. Tapi pria itu justru memberikan tatapan tajam membuat sang wanita terpaksa tutup mulut. "Ada. Tentu ada. Kalau begitu, sebentar. Saya akan segera memeriksanya," ujar wali kelas dari Zavier. Sementara Zoya ada di kelas berbeda. Namun, karena masalah ini menyangkut keduanya, alhasil keduanya pun sedang berada di kantor. Tak lama kemudian, guru itu pun kembali. Ia segera memutar rekaman cctv tepat di hari di mana kejadian Sera yang menangis kencang dan mengadu kalau Zoya dan Zavier sudah mengganggunya. Saat video ditemukan, guru itu pun segera memutar rekaman tersebut. Roro tersenyum menyeringai membuat melihat video tersebut. "Anda sudah melihat bukan bagaimana kejadian yang sebenarnya. Jadi ... sebenarnya di sini siapa yang salah?" "Maafkan kami, Bu. Maafkan atas kelakuan anak kami. Maaf juga atas sikap istri saya yang mungkin membuat Anda tersinggung." "Pa ...." Wanita itu tidak terima suaminya justru meminta maaf pada Roro. "Lain kali, sebelum menuduh seseorang, cari tahu dulu kebenarannya. Jangan asal menuduh! Itu akibatnya kau yang terlalu memanjakan Sera. Sera jadi anak yang keras kepala dan tak mau mengakui kesalahannya. Ia justru menuduh orang lain yang salah. Sekarang segera minta maaf!" "Tapi Pa ...." Pria berseragam polisi itu mengangkat tangannya membuat si wanita terpaksa diam. Dengan terpaksa, wanita itu pun meminta maaf. Meskipun rasanya enggan, Roro pun terpaksa memberikan maaf. Setelah merasa semua persoalan selesai, Roro pun segera mengajak anak-anaknya pulang. Kebetulan memang sudah jam anak-anak kelas satu untuk pulang. Namun, baru saja Roro dan kedua anaknya sampai di pintu gerbang sekolah, suara seorang wanita sudah menginterupsi. "Itu akibatnya punya anak, tidak punya suami, jadi jangan salahkan kami kalau ada apa-apa, anak kalian yang lebih dahulu jadi tersangka. Kau sendiri yang menciptakan citra buruk bagi anak-anakmu," ejek wanita tadi. Roro pun segera memutar tubuhnya. Ia berjalan mendekat ke arah Sonya–ibu dari Sera. "Memangnya apa masalahmu aku memiliki suami atau tidak? Apa aku meminta makan darimu? Apa anak-anakku mengemis makan darimu? Apa aku pernah mengganggu hidupmu? Jangankan mengganggu, menyapa wanita sepertimu saja aku enggan," ucap Roro sinis. "Sepertinya kau ingin sekali melihatku memiliki suami? Bagaimana kalau aku menikah dengan suamimu? Sepertinya lumayan juga. Jadi aku tidak perlu bersusah payah bekerja dan mencari uang. Aku tinggal bilang, "Sayang, jatah uang belanjaku mana? Sayang, aku mau ke salon." atau "Sayang, anak-anak mau jalan-jalan, bagi uangnya dong," pasti dia akan kasi. Bagaimana? Kau setuju? Kalau boleh, aku akan segera meminta suamimu untuk menikahiku. Aku yakin, dia mau. Nah, kebetulan sekali, itu dia suamimu. Kalau kau setuju, aku akan segera mengatakannya pada suamimu kalau kau mau aku menjadi istri mudanya," ujar Roro sembari tersenyum lebar. Roro membalikkan badannya, pura-pura hendak mendekati suami Sonya. Sontak Sonya membelalakkan matanya. Ia pun segera memegang pergelangan tangan Roro membuat wanita itu membalikkan badannya lagi. "Apa lagi? Aku sudah berbaik hati mau menjadi istri muda suamimu lho. Dengan seperti itu, kau bisa bersenang-senang tanpa harus repot-repot mengurus suamimu sebab ada aku yang akan menggantikan tugas-tugasmu. Seharusnya kau senang dong," ucap Roro dengan memasang wajah berbinar-binar. Seolah begitu bersemangat ingin menjadi istri muda suami Sonya. "Ada apa ini? Apa kalian bertengkar lagi?" tegur suami Sonya. "Begini lho, Pak, tadi Bu Sonya bilang dia mau aku menjadi ...." "Tidak. Tidak ada apa-apa. Kami tidak bertengkar kok. Justru kami sekarang ingin berteman, iya 'kan, Bu Roro? Mulai sekarang kita berteman. Oh, ya, wajah anak-anakmu tampan sekali. Sepertinya mereka bukan asli orang sini." Sonya justru mengalihkan pembicaraan. Ia ketar-ketir sendiri bagaimana kalau suaminya tiba-tiba mengatakan setuju dengan apa yang akan Roro katakan. Tidak bisa ia pungkiri, Roro benar-benar cantik. Tubuhnya seksi dan padat berisi. Setiap lekuknya tercetak jelas dan indah. Belum lagi kulitnya yang putih mulus membuat Sonya iri bukan main. "Oh, tentu saja. Bu Sonya akhirnya sadar juga. Memang Papinya anak-anak bukan orang biasa. Kalau begitu, saya pulang dulu, ya, Bu Sonya, Pak ...." "Hasan. Nama saya Hasan," ucap suami Sonya sambil tersenyum lebar. Bu Sonya yang khawatir suaminya kepincut Roro pun segera menarik tangannya menuju mobil. Roro tertawa kecil melihat tingkah Sonya. Tak mau terlalu memusingkan, Roro pun segera naik ke atas motor, diikuti Zoya yang duduk di depan dan Zavier yang duduk di belakang. "Mi, kata Mami Papi pelgi kelja. Mau cali duit yang banyak, tapi kok nggak pelnah pulang-pulang, Mi? Nggak kayak mama papa temen Zoya yang seling pulang," ujar Zoya mengajak Roro berbicara sembari motor melaju. "Kan tempat kerja Papi jauh, Sayang." "Kalau duit Papi udah banyak, Papi pasti pulang 'kan, Mi?" tanya Zoya lagi. "Iya, dong. Papi pasti pulang," dusta Roro. Bagaimana ayah kedua anak-anaknya pulang, ayahnya saja tidak tahu kalau ia sudah memiliki anak. Jangankan ayahnya, ia saja tidak tahu siapa ayah dari anak-anaknya. Entah benih siapa yang sudah ia curi. Roro hanya bisa meminta maaf dalam hati. "Nanti kalau Papi pulang, Zoya mau minta beli es klim banyak-banyak. 'Kan Papi banyak uangnya pasti bisa beliin Zoya es klim banyak-banyak, iya 'kan, Mi?" "Oh, itu, pasti, Sayang. Zoya mau beli apa saja, pasti Papi kasi." "Yeay," pekik Zoya kegirangan sambil bertepuk tangan "Zaviel, kalau Papi pulang, kamu mau minta apa?" tanya Zoya. Zavier yang duduk di belakang menatap ke arah langit. Tiba-tiba sebuah pesawat lewat di atasnya. "Zavier mau minta belikan pesawat seperti itu biar Zavier bisa ajak Mami keliling dunia," seru Zavier seraya menunjuk ke arah sebuah pesawat tersebut. "Zoya juga mau," pekik Zoya dengan mata berbinar. Roro melirik ke arah pesawat kemudian terkekeh. "Apa pun itu, semoga impian dan harapan kalian bisa segera terwujud."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN