"Mami ..." pekik Zoya.
Roro yang sedang masak pun sontak menghentikan kegiatannya untuk melihat apa yang terjadi dengan putrinya itu. "Pasti bertengkar lagi.,"gumamnya sambil geleng-geleng kepala seraya melangkahkan kakinya menuju kamar si kembar setelah sebelumnya ia mematikan kompor terlebih dahulu.
"What the hell, Zoya? Ada apa ini? Mengapa kamar kalian berantakan sekali?" pekik Roro kesal saat melihat sprei, bantal, selimut, bahkan alat-alat tulis tidak berada di tempatnya. Hari sudah menunjukkan pukul 6.50, sementara ia harus membuka toko laundry-nya pukul 7.30. Tetapi pekerjaannya di rumah ini seakan tiada hentinya akibat ulah kedua anak kembarnya itu. Roro rasanya ingin menjambak rambutnya sendiri.
"Ini semua kerjaan Zaviel, Mam," adu Zoya.
"Benar seperti itu, Zavier?" tanya Roro seraya memicingkan mata.
"Salah dia sendiri sudah mencoret buku gambarku," ucap Zavier acuh tak acuh. Seperti tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Tapi aku tidak sengaja, Mam," ucap Zoya. "Aku sudah meminta maaf, tapi Zaviel tetap saja malah." Mata Zoya sudah memerah. Roro sangat hafal, bila tidak segera ditenangkan, maka tangis Zoya akan segera pecah. Yang lebih memusingkannya lagi, ia belum bisa diam bila ia belum memeluknya cukup lama sambil berbaring di kasur.
"Astaga, Zavier! Oke, kau marah pada Zoya, tapi tidak seperti ini juga. Kau tau, Mami capek. Mami masih masak untuk sarapan kalian. Belum lagi, mesti antar kalian sekolah. Setelahnya, Mami harus cepat-cepat buka laundry sebelum para pelanggan kita lari ke laundry yang lain. Mami capek, Nak. Kenapa kalian tidak bisa sedikit saja mengerti Mami? Huhuhu ...."
Sebelum tangis Zoya yang pecah, lebih baik Roro lebih dulu pura-pura menangis. Kedua bocah kembar itu begitu sensitif bila melihat ibunya menangis. Jadi jalan ninja Roro agar tangis Zoya tidak meledak adalah lebih dulu menangis.
"Mami, Mami, maafin, Zoya, Mi. Mami jangan nangis! Zoya minta maaf. Zaviel, aku minta maaf kalena nggak sengaja mencolet bukumu. Sungguh, aku benal-benal nggak sengaja," ucap Zoya menahan tangis.
"Mami, jangan nangis! Maafin, Zavier! Zavier janji nggak nakal lagi deh! Zavier juga akan segera membereskan semua yang berantakan. Mami jangan nangis lagi, ya!" mohon Zavier membuat Roro tertawa dalam hati.
"Dasar bocah-bocah lugu!" Roro tertawa dalam hati.
Roro menyeka air matanya. Kemudian mengangguk. "Oke, Mami nggak nangis lagi. Tapi tolong beresin kamar ini sekarang juga, ya! Udah kayak kapal pecah, tau."
"Memangnya Mami pelnah liat kapal pecah, Mi? Ada fotonya nggak Zoya mau liat," ujar Zoya polos.
"Em, pernah. Mami pernah liat, tapi di tivi." Roro nyengir kuda. Anak polos itu pun hanya ber'oh ria. Roro pun segera kembali ke dapur setelah meminta para bocah enam tahun itu membereskan kamar mereka.
Ya, Zoya dan Zavier adalah anak-anak Roro dari benih hasil inseminasi dulu. Roro sempat frustasi saat di bulan pertama ia tidak mendapati tanda-tanda kehamilan. Roro terlalu parno untuk mencoba alat test kehamilan. Ia sedikit trauma sebab ia sudah sering menggunakan alat tersebut, tetapi tak pernah sekalipun hasilnya sesuai harapan. Selalu saja garis satu. Hal itulah yang membuat perasaannya semakin trauma.
Untuk mengurai kesedihannya, Roro pun menggunakan sisa uang tabungannya yang sudah ia tarik semua untuk membuka usaha laundry. Ia sengaja menarik semua sisa tabungan untuk menghindari orang-orang yang bisa saja melacak keberadaannya melalui rekening yang terdaftar di rumah sakit. Selama satu bulan di tempat pelariannya, Roro memang tidak bekerja. Hal itu ia lakukan demi keberhasilan program inseminasi yang ia lakukan. Namun, karena sudah satu bulan berlalu, tetapi ia tak kunjung mendapatkan tanda-tanda kehamilan, ia pun memilih membuka laundry berharap ia bisa mengalihkan pikirannya dari program kehamilannya yang ia pikir gagal.
Dua bulan kemudian
Saat memakai pakaian, Roro merasa semua pakaiannya terasa sesak saat dipakai. Roro pun mencoba menimbang berat badannya. Matanya melotot saat berat badannya melonjak drastis. Padahal selepas bercerai, berat badannya sudah sedikit turun. Meskipun masih terlihat gemuk, tapi ia tidak terlalu gemuk seperti saat masih menikah.
"Astaga! Kenapa berat badanku bisa melonjak sedrastis ini?" beo Roro terkejut setengah mati. Terlalu sibuk membuatnya tidak begitu menyadari bobot tubuhnya yang baik drastis.
Bayangkan saja, berat badan Roro yang awalnya 63 kg kini naik drastis jadi 75 kg. Saat diingat-ingat, memang akhir-akhir ini nafsu makan Roro naik drastis. Ia juga suka tiba-tiba menginginkan suatu makanan. Dengan perasaan antah berantah, Roro pun memberanikan diri memeriksa urinnya menggunakan test pack. Dan betapa terkejutnya Roro saat melihat garis dua di benda pipih itu.
Roro yang ingin lebih meyakinkan dirinya pun segera memeriksakan dirinya ke klinik terdekat. Dan ternyata benar, Roro hamil. Bahkan ada dua kantung di dalam rahimnya yang artinya ia mengandung bayi kembar. Roro jelas bahagia sekali. Ia pun mulai mengurangi kesibukannya dengan merekrut karyawan untuk membantunya mengurus usaha laundry.
***
Sesampainya mengantarkan Zoya dan Zavier ke sekolah, Roro pun membelokkan motornya untuk pulang ke rumah. Toko laundry Roro ada di samping rumah Roro sendiri. Jadi ia tidak perlu pergi jauh-jauh untuk bekerja karena tempat usahanya menempel dengan rumah kontrakannya.
Rumah yang Roro tempati memang bukan rumahnya sendiri. Atas izin si pemilik rumah, Roro mendirikan bangunan kecil di sisa tanah yang ada untuk membangun tempat usahanya. Lokasi yang ada di pinggir jalan mempermudah Roro mengembangkan usahanya. Meskipun bukan laundry besar, setidaknya ia sudah memiliki lumayan banyak pelanggan tetap. Khususnya para para pekerja pabrik yang tinggal di mess di dekat sana.
"Mbak, bajuku kemarin udah?" tanya seorang pemuda.
"Oh, Abdi. Udah kok. Mau diambil sekarang?"
"Nggak. Nanti sore aja. Aku cuma mau anter ini." Laki-laki bernama Abdi itu menyerahkan pakaian yang mesti dicuci. Roro pun menerimanya dan menimbang beratnya.
"Tiga kilogram. Mau yang delapan jam atau sehari selesai?"
"Sehari aja deh, Mbak. Jadi besok aku bisa kemari lagi ketemu Mbak Roro," ujar pemuda itu membuat Roro terkikik.
"Dih, ngapain ketemu aku? Ada-ada aja."
"Ya biar bisa liat Mbak cantik lah."
Bukan satu dua kali ini saja Roro mendapatkan pujian seperti itu, tetapi hampir tiap hari. Karena itu, laundry Roro tampak selalu ramai. Membuat iri pada wanita dan ibu-ibu sebab Roro yang memang sudah menjadi idola di sana.
Bukan tanpa alasan, selepas melahirkan, penampilan Roro berubah drastis. Bila wanita lain selepas melahirkan, maka tubuhnya akan menjadi gemuk, maka Roro sebaliknya. Tubuhnya justru menjadi langsing dan singset. Tak ada lagi Roro yang gendut dan jerawatan. Yang ada hanyalah Roro yang cantik, mulus, dan seksi. Hal inilah yang membuat Roro menjadi idola di sana.
Sementara Roro sedang sibuk menimbang pakaian yang akan di laundry sebelum diserahkan ke karyawannya untuk dicuci, maka di sekolah tampak Zoya sedang menatap sengit seorang bocah perempuan yang usianya di atas Zoya.
"Belhenti ngatain aku nggak punya papa. Aku memang nggak punya papa. Kalena yang aku punya itu papi, tau. Punya papa jelek aja bangga," balas Zoya saat ada salah seorang kakak kelasnya yang mengatainya tidak memiliki ayah.
"Kamu ini bodoh apa begok sih? Papa sama papi itu sama, bodoh," hardik anak perempuan itu. Dia merupakan salah seorang tetangga Roro. Anak itu membenci Zoya karena pengaruh ibunya yang suka menjelek-jelekan anak-anak Roro.
"Jangan menyebut Zoya, bodoh! Kau sendirilah yang bodoh. Udah kelas tiga, tapi nggak bisa baca jadi siapa yang bodoh?" balas Zavier yang tidak terima Zoya dikatai bodoh oleh orang lain.
"Kau ... kau berani ngatain aku? Papaku polisi lho."
"Emangnya aku takut," sengit Zavier merasa kesal.
"Kau ... Huaaa Mama, liat ada yang nakal sama Sera," jerit anak perempuan itu sambil menjerit-jerit membuat ia menjadi bahan perhatian sekitar.