Winston yang saat itu sedang menyesap kopinya tiba-tiba tersedak hingga terbatuk-batuk. Juna yang duduk di kursi belakang pun gegas bergerak dan menepuk-nepuk punggung W
sang Tuan.
"Tuan, Anda tidak apa-apa?" tanya Juna dengan sorot mata khawatir. Baru kali ini ia melihat Tuannya itu tersedak hingga terbatuk-batuk. Bahkan wajah Winston sudah sangat memerah kini.
Winston diam. Ia sendiri bingung mengapa ia bisa tiba-tiba tersedak.
Tiba-tiba ia teringat dengan benihnya yang dicuri oleh si perawat gendut. Hingga sekarang, Winston tak tau di mana wanita itu. Ia juga tidak tahu apa alasan perawat gendut itu mencuri benihnya.
"Dia seorang janda cerai, Tuan. Dia dicerai karena mandul."
Itu yang Juna sampaikan beberapa tahun yang lalu padanya setelah ia meminta asisten pribadinya itu mencari informasi mengenai Roro.
"Juna, apa tidak d kabar sama sekali tentang wanita itu?" tanyanya pada Juna yang masih berdiri di dekat kursinya. Ia sedang berada di dalam burung besi hendak pergi ke suatu tempat.
"Wanita? Wanita mana, Tuan?" Juna sudah lupa. Wajar bukan, pencarian sosok Roro hanya dilakukan selama satu tahun setelah kehilangan saja. Karena tak kunjung menemukan keberadaan Roro, pencarian pun dihentikan. Lagipula tak ada hal aneh yang terjadi. Winston pikir, mungkin Roro hendak melakukan inseminasi. Hanya saja, kondisinya yang mandul membuat proses inseminasi itu gagal.
"Wanita itu. Wanita yang sudah mencuri benihku itu," tukas Winston.
"Apa? Kenapa Anda menanyakannya tiba-tiba?" Dahi Juna berkerut.
"Jawab saja pertanyaanku! Kenapa kau justru balik bertanya?" sentak Winston membuat Juna tergagap.
"Maaf. Tapi bukankah Anda sudah meminta saja menghentikan pencarian terhadap wanita itu?" ucap Juna sebenarnya.
Winston menghela nafas panjang. Memang benar apa yang Juna katakan, hanya saja, kenapa sekarang ia justru tiba-tiba kembali memikirkannya?
"Berapa lama lagi kita sampai?" Winston berusaha mengalihkan pikirannya.
"Sebentar lagi, Tuan. Kira-kira 10 menit lagi."
Winston mengangguk. Ia akan mendatangi sebuah kota di mana ia memiliki project pembangunan tempat wisata yang cukup luas.
Seperti yang Juna katakan, 10 menit kemudian, pesawat pribadi milik Winston pun mendarat di sebuah landasan yang ada di kota tersebut. Winston turun dari pesawat dengan gagah. Auranya begitu mendominasi membuat siapa saja yang melihat begitu segan padanya.
Sebelum meninjau lokasi, Winston terlebih dahulu mampir ke sebuah vila di mana ia akan menginap selama berada di sana. Ia beristirahat sejenak sebelum akhirnya ia mengajak Juna untuk berkeliling mengenal daerah itu.
Mobil yang membawanya melintasi jalan raya yang tidak begitu lebar. Hingga tibalah mereka di salah satu lampu merah, Winston menoleh ke luar jendela. Matanya tiba-tiba mengerjap saat melihat sosok wanita yang sedang mengendarai sepeda motor dengan sebuah box di belakangnya. Di box itu tertulis R Laundry. Namun, yang menjadi perhatian Winston adalah sorot mata itu. Saat pengendara itu menoleh ke arahnya, ia seakan familiar dengan sorot mata itu. Winston ingin memperhatikannya lebih jelas, tetapi sayang, warna lampu lalu lintas berubah. Lalu pengendara motor itu pun berlalu dengan kecepatan yang cukup tinggi membuat Winston reflek tersenyum apalagi saat melihat motor itu dengan santai menyalip kendaraan di depannya.
"Kota ini kecil, tapi lokasinya strategis. Tuan Revo memang sangat pintar memilih tempat untuk mengembangkan usahanya," ujar Winston. Ia turun ke tanah lapang yang sedikit bebatuan. Namun, ada bagian yang ditumbuhi padang rumput.
"Tapi Tuan, menurut kabar, masih banyak warga yang belum bersedia daerah mereka dibangun tempat wisata. Mereka khawatir pembangunan justru akan merusak tatanan yang sudah ada. Bahkan sebagian warga masih belum bersedia menjual tanah mereka pada Tuan Revo," ujar Juna seraya menyodorkan tablet miliknya pada Winston.
Winston memperhatikan layar segiempat itu dengan seksama hingga tiba-tiba sebuah bola terlempar ke arahnya hingga tablet itu jatuh dan layarnya retak.
"Astaga, tabletku," pekik Juna yang nyaris menangis saat melihat tablet kesayangannya yang baru saja lunas cicilan jatuh tak berdaya di tanah bebatuan.
Winston yang mengalami itu jelas kesal. Rahangnya mengeras. Ia sudah akan mengumpati orang yang sudah melemparkan bola ke arahnya. Namun, saat seorang anak laki-laki berdiri dan menatapnya datar, Winston justru tertegun.
Anak kecil itu mengambil tablet itu lalu menghela nafas.
"Paman, maaf! Zavier nggak sengaja. Tolong jangan minta ganti rugi, ya. Kasian Mami kalau harus ganti ini. Ini pasti mahal banget 'kan," ucap anak laki-laki yang tak lain adalah Zavier itu. Lucunya ekspresi Zavier justru datar. Tidak ada tampang memelas.
"Tapi layar tablet ini jadi pecah karena kau," ujar Winston datar.
"Bukannya Paman orang kaya, ya? Pasti punya banyak uang 'kan? Berarti bisa dong Paman beli lagi," ujar Zavier.
"Saya memang bisa beli lagi. Bahkan beserta pabriknya sekaligus pun mampu saya beli, tapi yang terpenting di sini adalah tanggung jawab kamu yang sudah membuat tablet ini rusak. Cepat, antarkan aku ke orang tuamu. Mereka harus bertanggung jawab atas perbuatanmu ini," ucap Winston tegas.
Mendengar Winston meminta diantarkan ke rumahnya jelas Zavier panik. Namun, ekspresi di wajahnya justru terlihat kesal.
"Paman menyebalkan. Mami itu bukan orang kaya, mana punya uang untuk beli barang seperti ini. Papi belum pulang. Papi masih cari uang yang banyak. Kalau Papi pulang, Zavier pasti akan ganti benda ini. Tapi jangan sekarang. Apa Paman paham?" tegas Zavier membuat Juna cengo di tempatnya. Baru kali ini ada seseorang yang berani berbicara seperti itu dengan atasannya. Yang lebih mencengangkan, seseorang itu adalah anak kecil. Lucunya, sikapnya itu sama persis dengan sikap tuannya, yaitu tidak mau mengalah dan tegas.
"Tunggu, tunggu, kok muka anak ini familiar ya? Mirip ...."
"Kau ... Dasar anak kecil! Kau yang berbuat salah, tapi malah tidak mau bertanggung jawab!" kesal Winston.
Juna mengalihkan pandangannya pada Winston. Mulutnya seketika ternganga.
"Mirip. Kenapa mereka berdua mirip?" Mata Juna sampai mengerjap beberapa kali. Ia kembali mengarahkan pandangannya pada Zavier, lalu kembali ke sang atasan–Winston. Kembali lagi pada Zavier, begitu terus.
"Bukannya Zavier tadi sudah minta maaf. Zavier bukannya tidak mau bertanggung jawab. Mami nggak punya banyak uang. Papi pergi nggak pulang-pulang. Bagaimana Zavier bisa gantinya kalau uangnya nggak ada? Kasihan Mami kalau harus ganti rugi. Mami sudah capek cari uang untuk makan sama sekolah kami. Zavier nggak mau Mami makin kecapekan gara-gara harus bayar ganti rugi benda ini. Nggak. Zavier nggak mau. Kasihan Mami," pekik Zavier dengan mata yang sudah merah dan berkaca-kaca.
Winston sampai tertegun mendengar kata-kata Zavier pun melihat matanya yang memerah. Jantungnya seketika berdegup dengan kencang. Perasaannya mendadak tidak nyaman. Ada perasaan aneh yang menelusup di benaknya. Entah perasaan apa itu, Winston sendiri tidak tahu.