Penyadapan

2051 Kata
Kakinya lunglai sekali. Proposal masih belum ada tanda-tanda membaik. Ia mengangguk saja. Pasrah. Mendadak kehilangan ide pula untuk meneruskannya. Haaah. Lantas harus bagaimana? Ia benar-benar bingung. Usai diomeli di ruangan dosen pembimbing, ia pamit. Kemudian kembali ke kantor Rangga. Tak ada yang istimewa hari ini. Semuanya berjalan dengan baik dan santai seperti biasanya. Kemudian pulang ke rumah dan esoknya ia bersiap berangkat ke Kemenlu untuk menghadiri sebuah seminar penting sekaligus konferensi sebetulnya. Ia hanya mendaftarkan diri sebagai peserta di sini. Niat hati memang ingin mencari kenalan dari beberapa profesor luar negeri yang sudah ia bidik. Tujuan utamanya adalah profesor dari salah satu kampus ternama di Australia. Ia sangat tertarik dengan bidang spesifik yang digeluti oleh lelaki itu. Tiba di Kemenlu, ia mengikuti petunjuk arah untuk memasuki lift. Kemudian mengantarkannya tiba di salah satu aula yang sangat besar. Bentuk ruangan memang seperti studio besar dunia pertelivisian yang sangat lumrah ia temui. Ia menyimak pembukaan acara yang tentu saja dibuka secara spesial oleh Menteri Luar Negeri Indonesia saat ini. Zakiya tak begitu fokus mendengar sebetulnya. Ia malah sibuk mencari sosok-sosok penting yang berada di bangku khusus tamu VVIP. Yeah, deretan tamu VVIP yang tidak hanya mengundang pejabat tapi juga para profesor luar negeri yang rata-rata memang berlatar politik hingga ekonomi. Zakiya mengecek satu per satu foto dengan wajah yang sekiranya ia bisa lihat dari bangkunya yang di berada di atas ini. Tentu sulit melihat ke bawah. Tapi ia harus menajamkan matanya lalu mengira-ngira posisi duduk para profesor itu. Namun perhatiannya malah teralihkan dengan sosok profesor dari Korea Selatan yang turut menjadi pembicara dan memberikan banyak masukan kepada permasalahan yang sedang dihadapi oleh Indonesia saat ini. Kim Jae In. Zakiya mengeja nama itu. Nama itu muncul di layar besar yang ada di depannya. Kemudian ia mencari namanya di internet. Mencari informasi di mana lelaki itu mengajar dan juga keahliannya. Ia memang sedang mencari-cari ide penelitian baru yang kalau bisa berkolaborasi dengan profesor luar negeri. Niat hati memang bukan hanya sekedar mengejar penelitian gratis tapi juga koneksi. Bagi Zakiya, hal itu jauh lebih penting. Jika kita sudah memiliki hal itu, tentunya akan lebih mudah dalam bernegosiasi. Zakiya mengangguk-angguk. Kemudian tersenyum senang usai membaca biodata dan juga keahlian lelaki itu. Beliau adalah salah satu profesor di Dankook University, sebuah kampus yang ada di Korea Selatan. Keahliannya tentu saja terkait dengan jurusan yang juga digeluti Zakiya saat ini sebagai mahasiswi politik UI. Latar belakang Zakiya itu beragam sebetulnya. Ia lulusan sarjana jurnalistik di UIN Jakarta dan juga komunikasi dari salah satu kampus swasta. Jangan tanya bagaimana ia menjajaki dua kampus sekaligus sebagai tempat belajarnya ketika sarjana. Lalu semakin dalam pengalamannya sebagai aktivis kampus dan juga jurnalis akhirnya membawanya untuk mendalami ilmu politik yang menurutnya akan selalu berkaitan erat dengan ranah jurnalis. Ya memang luas tapi isu-isu politik selalu menjadi yang terhangat hingga saat ini. Lalu matanya terbelalak saat membuka-buka informasi di kampus tersebut di mana mereka sedang membuka tawaran untuk bekerja sama dalam sebuah penelitian antara mahasiswa Indonesia dan Korea Selatan. Bahkan salah satu yang akan menjadi pembimbing adalah lelaki tersebut. Zakiya memperdalam hasil pencariannya. Ia juga mencari isu baru yang mungkin relevan dengan topik kerja sama penelitian yang ditawarkan. Setelah menimbang-nimbang, ia akhirnya memberanikan diri untuk turun ke bawah dan melirik ke arah Kim Jae In yang tampak mengobrol dengan beberapa tamu lainnya. Zakiya menunggu-nunggu waktu istirahat yang akan mulai sebentar lagi untuk mencegat lelaki itu. Haaah. Sebetulnya ia gugup. Tapi hal semacam ini bukan yang pertama kan? Zakiya adalah seorang jurnalis yang tentu saja kerap bertemu banyak orang penting. Meski kali ini urusannya berbeda. Dan ketika melihat lelaki itu berdiri, Zakiya juga berjalan mendekat. @@@ Lelah. Perjalanan dari Kemenlu ke rumahnya lumayan jauh. Mobilnya ada di garasi. Ia malas memperbaikinya ke bengkel. Nanti saja. Kalau ayahnya sudah mengomel baru ia bergerak. Kini ia baru saja tiba di rumah dan baru saja melepas sepatunya. Ibunya seperti biasa, sibuk di dapur. Ini sudah hampir magrib. Ia pulang cukup awal dibandingkan dengan biasanya. "Abang udah pulang?" "Tau tuh Abangmu. Paling nongkrong sama temen-temennya." Zakiya mengangguk-angguk. Ya terserah lah, pikirnya. Ia tak mau ambil pusing. Lebih baik segera mandi dan menyegarkan diri. Usai solat magrib dan mengaji, ia baru turun lagi untuk makan malam bersama. Andra baru muncul di pintu rumah. Semua orang di rumah ini mengira kalau ia nongkrong lagi. "Tumben," celetuk Zakiya. Kepalanya digetok dan ia meringis. "Awas lo, Bang!" kesalnya lalu memilih duduk untuk ikut makan. Ia sibuk membuka ponselnya, hanya sekedar untuk mengecek kalau emailnya tadi tak salah. Ia tentu saja sudah berkenalan dengan profesor yang sangat ramah tadi. Zakiya langsung jujur dengan maksud perkenalannya hingga akhirnya diberikan alamat email yang berbeda dari yang tercantum di website. Itu tandanya, alamat email yang mungkin lebih sering dibuka oleh lelaki itu ketimbang yang lainnya. Ini jelas membuka peluang. Dan sepertinya ia akan lembur untuk mengerjakan proposal penelitiannya sampai dengan selesai. Baru kemudian menghubungi dosen pembimbingnya. Ia berencana untuk mengirimkannya begitu selesai. "Kalau mau makan ya makan," dumel mamanya. Mungkin jengkel karena melihat anak gadisnya sibuk dengan ponsel dan nasinya hanya diaduk-aduk sedari tadi. Zakiya nyengir lantas melepas ponselnya. Usai makan, Andra baru muncul. Lelaki itu baru selesai mandi. Mamanya bertanya kenapa ia pulang dijam-jam magrib. Katanya macet. Tadi terhalang oleh beberapa mahasiswa yang masih aksi karena kasus penembakan mahasiswa tempo hari. Zakiya mengangguk-angguk. Ia tak terlalu memikirkan hal itu karena larut dengan urusan proposalnya. Kini ia semudah kembali ke kamar dan khusyuk mengerjakan semuanya. Disaat ia sama sekali tak menggubris ponsel dan hal-hal lainnya, dikala itu lah sesuatu menyeruak ke permukaan. Andra, ibunya, dan ayahnya masih duduk di depan televisi. Biasa, membicarakan urusan bisnis. Ayahnya kan pengusaha. Namun bukan itu yang menjadi masalah. Yang menjadi masalah justru pemberitaan yang sudah cukup menghebohkan mendadak muncul. Bahkan breaking news muncul secara khusus dari salah satu media nasional. Nando Ignatius terlihat di dalam berita itu, dikabarkan ditangkap oleh pihak kepolisian setelah buron hampir setahun di Singapura. Hal yang sungguh mengagetkan. Bahkan Rangga belum lama tiba di rumah pun mendadak harus kembali ke kantor. Ia menggetuk-getuk pintu kamar adiknya. "Mai! Mas tinggal gak apa-apa ya? Pintunya dikunci!" teriaknya sembari berlari membawa beberapa barang penting. Maira menguap saat mengunci seluruh pintu rumah. Ia tak tahu urusan apa yang membuat Masnya harus pergi secara mendadak. Biasanya urusan yang darurat. Yang menjadi masalah sebetulnya bukan hanya urusan Nando yang mendadak ditangkap. Melainkan inisial ZRF yang turut terbawa-bawa. Apalagi profesinya juga dicantumkan, yaitu sebagai aktivis dan jurnalis sebuah LSM. Yang Rangga pun tahu pemberitaan itu mengarah pada Zakiya. Tiba di kantornya, Revan dan Lona juga muncul. Zakiya masih belum bisa dihubungi. Gadis itu benar-benar larut dengan proposalnya. "Udah tidur kali, Mas!" seru Lona. Ia juga sudah beberapa kali meneleponnya. Rangga hanya mengangguk. Mereka rapat mendadak malam ini Meski tak begitu banyak yang datang. "Yang jadi masalah, kenapa pemberitaannya jadi miring begitu?" "Itu yang lagi kita cari, Lon." "Iya sih." Lona mengangguk-angguk. "Tapi bukannya Mas Rangga juga ketemu dia? Mas Rangga justru gak disebut sama sekali. Lihat deh, Mas. Semua pemberitaan hanya menyebut nama Zakiya." Rangga terpekur. Ia bahkan tak begitu memikirkan hal ini. Ia justru berpikir dengan ditangkapnya Nando berarti kepolisian melacak komunikasi antara Nando dan Zakiya bukan? "Dan yang lebih anehnya lagi nih, Mas. Biasanya kalau ada buronan ditangkap, mereka hanya akan menyampaikan kalau buronan ditangkap jam sekian dengan kronologinya juga demikian. Lah ini? Malah nama Kiya dibawa-bawa. Apa gak aneh? Apa gak disengaja?" Rangga juga baru kembali menyadari. Ia berpikir keras namun belum menemukan solusinya bagaimana. Ia khawatir nama Zakiya akan jatuh. Nama LSM-nya juga dipertaruhkan tapi ia tak begitu perduli. Hanya saja, fitnah ini menyakitkan hati. @@@ Belum banyak yang tahu kalau inisial ZRF yang diduga adalah Zakiya. Orang-orang menebak kalau ZRF ini adalah orang yang berpengaruh di media massa. Tapi Zakiya tentu saja tak sehebat itu. Bahkan belum menuju ke arah sana. Masih jauh sekali. Apa pula yang diincar mereka dari Zakiya? Ada dua hal yang muncul dibenak Zakiya ketika mengetahui segala kehebohan ini. Yang pertama adalah ancaman untuknya karena sudah berani terlibat ke dalam kasus yang amat besar ini. Urusan dengan konglomerat itu memang tidak mudah. Tapi Zakiya tak merasa diancam. Ia bahkan tak menerima ancaman apapun. Nomornya bahkan tak ia ganti meski ia ganti ponsel kan? Lalu yang kedua, menurutnya ini hanya pengalihan isu dari beberapa pemberitaan yang hangat selama beberapa hari terakhir ini. Yang pertama tentu saja urusan demo mahasiswa yang berujung penembakan. Yang kedua, urusan pengadilan terhadap salah satu menteri yang melakukan korupsi dan sedang dilobi pengurangan hukumannya. Ketiga, kasus DPR yang sedang mendiskusikan sebuah peraturan baru untuk menyingkirkan suku-suku tradisional yang tinggal di hutan-hutan sebagai penduduk tetap di sana. Karena mereka hendak menjadikan beberapa wilayah untuk pembukaan lahan perkebunan dan juga pembangunan wilayah industri baru. Tentu saja ini cara kotor untuk mendapat keuntungan dari para pengusaha yang melobi hal itu. "Itu Kiya!" Teman-temannya berseru. Zakiya terburu-buru keluar dari taksi lalu ikut masuk ke dalam rapat. Dan di depannya sudah banyak artikel yang menulis berbagai pemberitaan tentangnya. Tentu saja tak akan ada yang memujinya. Ia justru dijatuhkan sejatuh-jatuhnya. "Kiya! Ponsel lu sini!" Revan meminta. Ia segera memberikan ponselnya. Ia mana tahu kalau ternyata sebuah aplikasi yang biasanya ia gunakan sebagai alat komunikasi dan juga emailnya sudah disadap diam-diam sejak lama. Bahkan Kang Syamsul datang dengan informasi yang ia dapatkan dari salah satu rekannya di media nasional di mana kopian pesan-pesan Zakiya dengan Nando baik melalui email maupun aplikasi sudah tersebar luas di kalangan para jurnalis. Ini tentu saja sesuatu yang sangat serius. Bagaimanapun Zakiya adalah jurnalis yang kepentingannya seharusnya dilindungi. Awalnya mereka berpikir kalau kopian pesan itu berasal dari Nando. Karena mungkin saja kan? Tapi ternyata dari Zakiya. Itu sangat jelas dari pesan-pesan yang dikirim itu ada di sebelah kanan. Penerima ada di sebelah kiri. Rangga sangat fokus akan hal ini. Ia juga marah. Apalagi pemberitaan yang muncul dari kepolisian bahwa mereka telah memanggil Zakiya untuk dimintai keterangannya sebagai saksi tapi Zakiya tak pernah datang. Zakiya jelas bingung lah. "Mereka bahkan gak pernah hubungi gue. Gue juga baru denger soal ini." Zakiya terkaget-kaget. Masalah ini rupanya berkembang dengan sangat serius. Ia juga tak sadar kalau alat komunikasinya sudah disadap sejak lama. Ia tak begitu memerhatikan hal semacam itu karena selama ini memang belum pernah merasakan hal-hal semacam ini. Walau yaa para jurnalis lain yang sudah lebih senior biasanya bahkan menerima ancaman akan dibunuh. "Inisial ZRF diketahui memiliki hubungan khusus dengan tersangka utama Nando Ignatius! Sinting!" Teman-temannya tertawa. "Gila kali ya mereka? Siapa sih yang mengeluarkan pemberitaan pertama kali?" Teman-temannya baru tersadar. Mereka akhirnya melacak semua pemberitaan. Butuh waktu hampir sepuluh menit amutnuk bisa menemukan media massa mana yang sudah mengeluarkan pemberitaan itu pertama kali. Dan ternyata sudah dirilis sejak jam enam sore kemarin. Tapi baru diberitakan di televisi pada pukul delapan malam. Dikala itu, Zakiya benar-benar tak tahu apa-apa. "The Asean Post," sebut Lona. Mereka terlambat menyadari hal ini. Revan menyadari hal lain. "Bukannya Nando ditangkap jam enam juga?" Yang lain sibuk lagi menggeledah semua pemberitaan. Mereka menyatukan semua pemberitaan. Semua media massa yang memuat berita ini jelas menyebutkan jam penangkapan yang sama. "Ada yang aneh?" tanya Rangga. Cowok itu kembali muncul. Ia sibuk sekali menghubungi beberapa seniornya untuk meminta tolong akan hal ini. Masalahnya, media-media massa lainnya menyerang Zakiya dengan membabi buta juga. Bahkan ada yang mulai membawa-bawa ranah privasinya. Ini jelas sudah salah arah. Seperti ada sesuatu yang sengaja disusun secara rapi dan sistematis yang menjadi dibalik semua kejadian ini. Iya kan? "The Asean Post yang mulai pemberitaan ini, Mas. Terus media massa lain ikut menyerang dengan membabi buta dan--" "Gue yang seharusnya dimintai keterangan atau orang-orang di sini yang juga harusnya dimintai keterangan, sama sekali gak diwawancarai. Ini jelas gak etis banget, Mas," potong Zakiya. Ia hanya sakit hati dengan cara media massa lain menyerang dirinya padahal tak tahu apa-apa tentangnya. Mulut bisa membunuh maka demikian pula dengan tulisan. Bukan kah sesepele apapun tindakan akan dimintai pertanggungjawaban? Rangga mengangguk. Memang benar. Ini juga yang menjadi konsentrasinya. Setidaknya ia agak tenang karena ada salah satu seniornya yang merupakan direktur dari sebuah redaksi nasional yang sudah sangat besar dan netral, mau membantunya untuk menelisik urusan yang sangat-sangat ganjil ini. "Kiya!" Revan mengalihkan perhatian semuanya. Cowok itu menunjukan kalau semua percakapannya sudah disadap sejak awal Nando menghubunginya. "Kita gak lagi dijebak sama dia kan?" Zakiya menyipitkan matanya demi melihat apa yang ada di layar. Ia juga tak paham apakah ia dijebak atau kah Nando juga dijebak. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN