Pulang dari Singapura, ia kembali fokus pada hidupnya. Ada banyak hal yang harus diurus. Bukan hanya satu kasus itu saja meski sangat menarik. Lona dan yang lain juga sedang sibuk menyelidiki kasus pencemaran itu. Meski belum apa-apa, mereka sudah banyak mendapat penghadangan. Bahkan surat ancaman yang sengaja dilempar dari depan kantor. Hal yang menghebohkan ketika Zakiya baru saja sampai. Ia jelas bingung. Lalu Rangga langsung menggelar rapat.
"Mereka mengancam kita."
"Jangan takut lah, Mas. Justru kita independen di sini," sahut Revan. Ia justru semakin bersemangat karena ada hal-hal semacam ini. Yang lain juga mengangguk-angguk. Rangga juga berpendapat hal yang sama. Tapi mereka harus segera menyimpan ini. Sekaligus mencari bukti CCTV-nya.
Beberapa minggu kemudian, Zakiya hendak berangkat untuk meliput demo lagi. Mahasiswa memang akan menggelar demo yang kedua setelah yang kemarin sama sekali tak digubris pemerintah. Namun sialnya malah muncul pesan dan juga surat peringatan dari kampus kepadanya agar segera menyelesaikan tesisnya.
Ia menghela nafas. Terpaksa meminta izin kali ini. Karena ia benar-benar harus menyelesaikan proposalnya kali ini. Meski dengan penuh drama. Ia meminta izin pada Rangga dan tentu saja diiyakan oleh Rangga. Kemudian mulai fokus mengerjakan apa yang harus ia kerjakan. Rasanya benar-benar aneh kalau aktivis sepertinya tak turun lapangan. Ia ingin sekali menahan hasrat itu tapi terasa agak sulit. Namun akhirnya benar-benar tak datang ketika ia justru melihat berita di mana ada sebuah konferensi yang bisa ia ikuti dan mengundang banyak profesor dari luar negeri. Rencananya, acara itu akan diselenggarakan minggu depan di Kementerian Luar Negeri. Ia segera mendaftar. Kesempatan seperti ini mungkin langka. Meski hanya seminar biasa. Tapi yang lebih menarik adalah acara ini akan mengundang banyak akademisi luar negeri.
Gara-gara itu, pikirannya memang teralihkan. Setidaknya untuk dua jam pertama. Menjelang jam empat sore ia akhirnya bergegas mandi lalu solat dan berencana menyusul teman-temannya yang sedang meliput. Ia yakin, pasti akan seru ketika menyusul. Dan memang benar. Ia bahkan baru turun jauh sekali, tapi suasana sudah suram. Banyak gas air mata yang ditembakkan. Mahasiswa banyak yang bertahan. Tapi lebih banyak yang kocar kacir. Zakiya sudah siap dengan kacamata khususnya. Ia juga mengenakan rompi khusus untuk jurnalis dan juga tanda pengenal. Lalu ikut berlari menuju titiknya namun dikagetkan dengan suara sebuah tembakan. Jantungnya seakan berhenti sekejab. Pasalnya, ia melihat dengan jelas, kalau tembakan itu diarahkan ke salah satu mahasiswa yang masih berteriak di kejauhan sana. Bahkan kini suasana mendadak hening. Kaki Zakiya juga mendadak lemas. Karena ia benar-benar melihat yang menembak. Bukan pada barisan pertama dari mereka yang berbaju cokelat melainkan barisan setelahnya. Pistol itu terselip di antara barisan. Bahkan usai menembak, orang yang melakukannya langsung mundur. Sepertinya juga pergi. Zakiya segera bergerak namun ketika ia hendak berlari, dari arah belakangnya justru banyak mahasiswa yang berteriak. Marah atas kejadian yang barusan menimpa salah satu anggota mereka.
Perdemoan memang usai sore itu. Tapi dengan tangisan dan darah.
"KAMI BERSUMPAH ATAS NAMA RAKYAT, BAGI SIAPAPUN YANG MENEMBAK TEMAN DAN SAHABAT KAMI, YANG BERANGKUTAN, YANG MEMERINTAHKANNYA, YANG BERSERAGAM SAMA DENGANNYA, DEMI ALLAH! NERAKA JAHANNAM BALASANNYA! TIDAK ADA AMPUN BAGI MEREKA YANG ZALIM! ALLAHU AKBAR!"
Ketua BEM kampus kuning itu langsung berorasi. Mereka dibubarkan paksa dengan ditembak mati salah satu anggota. Suasana benar-benar kacau. Zakiya berusaha mengejar ambulans yang membawa korban tembakan tadi. Namun terperangkap di tengah-tengah kericuhan ini. Wajar kalau makin memanas. Karena peserta demo di sini diperlakukan seperti binatang. Padahal mereka adalah anak-anak bangsa yang hanya ingin menyuarakan nuraninya. Bukan untuk mengirim nyawa secara gratis di sini. Siapa yang mau pulang hanya tinggal nama?
"Lon! Lona!"
Ia berusaha menelepon Lona. Tapi yang didengar juga suara kericuhan. Zakiya berlari, mencoba menepi. Namun sepertinya percuma. Ia tak sengaja memaki ketika para polisi mulai berlari mengejar semua orang yang terlibat di dalam sini. Bahkan ia yang termasuk ke dalam salah satu jurnalis juga hampir dibawa.
"SAYA JURNALIS b******k!"
Ia tak bisa menahan mulutnya ketika diseret-seret. Matanya jelas menyalang. Tapi bukannya diperlakukan dengan lembut, ia malah ditempeleng. Zakiya kaget lah. Alih-alih membalas, ia segera mengeluarkan ponselnya dan mencoba untuk membuka kamera dari salah satu media sosialnya. Sialnya, ponselnya langsung dirampas dan diinjak-injak. Jelas ia mengamuk.
"KIYA!"
Rangga berteriak. Lelaki itu jelas kaget. Ia sedang mengumpulkan timnya tapi malah mendapati Zakiya di tengah-tengah gerombolan polisi yang sedang otoriter.
"SAYA JURNALIS! KALAU ANDA BERANI MENANGKAP SAYA DAN REKAN SAYA, SAYA AKAN LAPORKAN KALIAN!" ancamnya.
Tak menanggapi, kedua polisi tadi malah berlari ke arah lain lalu mencari sasaran empuk lainnya. Zakiya jelas marah lah. Ponselnya hancur begitu. Ia mengambil patahan-patahan yang bahkan sudah menjadi serbuk itu.
"Nanti kita selamatkan datanya."
Gadis itu hanya mengangguk. Ia menahan amarahnya. Lalu Rangga mengajaknya pergi dari sana. Cowok itu sejujurnya sedang mencari adiknya. Ia belum mendapatkan kabar dari siapapun. Bagaimana tak khawatir?
@@@
"Mereka gila semuanya."
Kata-kata itu yang keluar dari mulut Zakiya. Revan, Lona, dan Indra tertawa. Mereka berada di markas. Yang lain masih tersebar di beberapa tempat. Rangga juga sedang sibuk. Selain memastikan keselamatan teman-temannya, ia juga memastikan keselamatan adiknya.
"Lo bayangin, mereka ngelakuin itu di depan gue."
"Udah biasa, Kiya. Makanya mereka seonar-onarnya begitu."
"Ya sih. Tapi tetep aja. Dan lo lihat tadi? Gue lihat dengan jelas bagaimana pistol itu dengan sengaja diarahkan."
Ini informasi yang lebih menarik. Mereka saling bersitatap. Tentu saja ini soal serius.
"Iya, tapi harus dicek dulu CCTV-nya. Gimana, Rev?"
"s**l," sahut cowok itu. Ini jelas kabar buruk. Mereka segera mendekati laptop Revan dan melihatnya. "Sengaja dimatikan beberapa menit sebelum kejadian dan setelahnya eeh--!"
Mereka semua terkejut karena aksesnya mendadak ditutup.
"Pasti menteri yang perintahkan."
"Ini jelas udah terencana sejak awal."
Yang lain mengangguk-angguk.
"Yang ditembak juga?"
"Gak lah, Lon. Asal aja kalo kata gue. Kebetulan emang ajaknya di sana."
"Tapi kasihan banget. Mahasiswa kampus kuning katanya?"
"Iya! Katanya cewek. Makanya Mas Rangga lagi jantungan sekarang."
Mereka menghela nafas bersama. Jelas gugup lah kalau begini ceritanya.
"Terus kita lembur di sini untuk bikin apa?"
Lona menyadarkan tujuan mereka. Zakiya kembali bekerja. Meski ia sejujurnya tak tenang. Ia ingin sekali menghubungi Rangga namun ragu dan takutnya malah menganggu. Ia yakin kalau Rangga sedang kalut sekarang. Akhirnya ia menahan diri. Alih-alih menelepon Rangga, ia mencoba menghubungi kakaknya. Tentu saja dengan meminjam ponsel Revan. Ponselnya kan sudah tewas. Mungkin nanti ia akan merongrong Andra untuk meminta dibelikan ponsel baru. Hohoho.
"Abang di mana?"
"Eh? Oh?"
Andra kaget karena ada nomor asing menelepon dan ternyata suara adiknya.
"Hape lo di mana? Demo lagi kan?"
Ia terkekeh. Tentu saja Andra tahu. Di mana ada demo, di situ ada Zakiya. Andra berbeda dengan Zakiya. Cowok itu memang tak terlalu suka dengan demo. Maklum, anak band. Terlalu keren kalau harus tampil di depan kepolisian. Hahaha.
"Abang di mana? Belum di rumah kan? Jemput Kiya dong!"
Andra menghela nafas. Cowok itu memang belum pulang karena khawatir. Dari tadi menelepon Zakiya tapi nomornya tak aktif. Ia bahkan sudah berkeliling ke beberapa kantor polisi untuk memastikan kalau Zakiya takut tertangkap. Perdemoan sekarang jurnalis juga ditangkap dan itu adalah hal biasa yang sangat dikecam. Ya bagi yang mempunyai hukum di negara ini memang begitu cara membungkam media.
"Lo di mana?"
"Kantornya Mas Rangga."
Aaah. Andra bahkan tak berpikir untuk datang ke sana. Akhirnya ia bergerak, berlari menuju mobilnya yang terparkir. Kemudian mengemudikannya dengan cepat menuju kantor Rangga. Ia tentu tahu karena terkadang menjemput Zakiya di sini. Adiknya sudah menunggu. Zakiya pamit pada teman-temannya. Ia hendak ikut mencari Humaira sebetulnya.
"Bang pinjem hape lo."
"Hape lo ke mana sih?"
Ia heran. Meski tetap ia berikan. Zakiya membuka kuncinya karena sudah hapal. Hahaha. Andra itu sangat transparan dan mudah ditebak. Lalu ia menelepon Rangga. Andra pasti menyimpan nomornya karena ia yang menaruhnya di sana. Alih-alih menjawab pertanyaan Andra, ia malah memasang ponsel di telinganya.
"Assalamualaikum, Mas."
Andra menyipitkan mata. Jelas curiga.
"Di mana, Mas? Maira gimana?"
Aaaah. Ia langsung tahu.
"Ooh. Alhamdulillah. Terus Mas sekarang di mana?"
Zakiya mengangguk-angguk. Entah apa yang dikatakan Zakiya, Andra tak mendengar apapun. Ia sungguh penasaran. Hahaha.
"Ya udah. Mas hati-hati," tukasnya. Lalu ia menoleh ke arah Andra. "Bang, pulang," ajaknya.
"Yee emang mau pulang!"
Zakiya terkekeh. Ya sih memang akan pulang tapi setidaknya ia agak tenang dibandingkan dengan tadi.
"Si Maira kenapa lagi?"
"Enggak kenapa-napa sih katanya. Tadi cuma was-was aja. Kan ada mahasiswi yang tertembak."
"Oh ya? Siapa?"
Zakiya mengendikan bahu. Seharusnya sudah ada beritanya jadi ia gunakan ponsel Andra untuk mencari berita-berita tentang itu. Baru ada satu berita yang muncul namun belum menyebutkan siapa korbannya.
"Yang jelas ini menyangkut HAM sih, Bang. Masa menyuarakan nurani harus dihukum dengan tembak mati? Otoriter sekali."
"Ya namanya juga merasa punya kekuasaan. Gak akan aman selamanya juga. Udah banyak contoh mereka yang zalim terus tumbang."
Zakiya terkekeh. Memang benar kalau perkara itu. Kadang tak habis pikir. Tapi kenyataannya memang begitu. Sudah banyak contohnya kan? Tak perlu diragukan lagi.
"Di zaman ini gak akan pernah ditemukan lagi pemimpin yang benar-benar bersih bersama kroni-kroninya."
Zakiya mengangguk-angguk. Iblis pasti sangat senang karena ini adalah hasil kinerja mereka.
@@@
Sebelum pulang tadi, ia mendadak minta diberhentikan di sebuah konter ponsel di pinggir jalan. Kemudian meminta Andra keluar juga untuk menemani. Setelah memilih ponsel yang lumayan bagus dan lumayan mahal, ia meminta dibungkus lalu menyodorkan tangannya ke arah Andra. Abangnya itu mendengus. Hahaha. Benar-benar meeasa seperti ditodong. Meski begitu, ia tetap mengeluarkan kartunya. Zakiya berseru senang. Andra memang selalu pasrah kalau ia todong seperti itu.
Tiba di rumah, Zakiya langsung membersihkan diri. Sempat pula mengobrol dengan papanya yang baru saja membayar lahan kelapa sawit baru. Lahan kelapa sawit sengketa sebetulnya. Tapi dilelang karena yang punya tak bisa membayar hutang yang jatuh tempo. Zakiya hanya mengangguk-angguk. Ia kurang menyukai pembicaraan soal bisnis. Tapi lebih suka suatu konspirasi dibaliknya. Entah kasus-kasus persaingan usaha dan lain-lain. Kemudian masuk ke dalam kamar dan kembali tenggelam di dalam proposalnya yang tak kunjung usai. Lalu malah terjebak dalam lamunan mengenai obrolannya dengan Rangga dikala berada di Singapura kala itu.
"Kamu gak bertanya, siapa perempuan itu?"
Zakiya mendadak diam. Rangga terus memantau bagaimana reaksinya. Ia takut kecewa dan mendadak patah hati sebetulnya.
"Mungkin seseorang yang berada dekat dengan Mas Rangga."
Rangga mengangguk-angguk.
"Bagi Kiya, urusan pribadi rekan kerja itu menjadi urusannya sendiri."
"Apa aku hanya partner kerja bagimu?"
Zakiya tersenyum kecil. Ia memandang ke arah depan. Arah laut yang warnanya mengikuti warna lampu yang menyinarinya. Seperti permukaan air laut yang ada di depannya ini, yang didominasi warna merah.
"Mas itu seperti seorang atasan dan juga kakak. Soalnya Kiya gak punya kakak seperti Mas Rangga."
Rangga mengangguk-angguk. Ia memandang serius ke depan namun merasa sangat gugup. Sebelum berbicara, ia berdeham terlebih dahulu.
"Kalau sebagai seorang suami?"
Lalu apa yang dijawab oleh Zakiya kala itu?
"Eung....Kita gak bisa menjawabnya kalau soal itu."
Rangga terkekeh kala itu. "Kenapa?"
"Gak kompatibel aja kalau harus menjawab di posisi yang sekarang."
"Karena posisinya bukan sebagai seorang istri?"
Zakiya hanya nyengir. Merasa agak aneh juga dengan pembahasan ini. Rangga mengangguk-angguk.
"Kamu.....udah ada yang lamar?"
Ia berteriak sendiri. Hahahaa. Wajahnya mendadak merah padahal hanya mengulang ingatan tentang itu. Jujur saja, Zakiya punya ketertarikan pada Rangga. Yeah, sebatas tertarik, suka, dan rasa kagum. Ia tak berani mencintai karena Zakiya sudah pernah merasakan bagaimana kecewanya berharap pada manusia bukan? Ia tak mau patah hati. Jadi ia menyimpan hatinya nanti kepada seseorang yang benar-benar menjadi pelabuhan terakhir. Dan orang itu benar-benar masih menjadi misteri.
Zakiya tak keberatan kalau memang Rangga berkeinginan untuk melamarnya. Ia mungkin bisa memikirkannya. Tapi sebelum itu, ia menepuk keningnya. Astagaaa! Lupa dengan naskah di depan mata. Hahaha. Akhirnya, ia mencoba untuk fokus lagi. Meski sulit. Jelas lah. Apalagi pikirannya sudah melayang-layang pada Rangga yang sibuk memastikan kasus baru sekaligus keselamatan teman-temannya. Itu lebih penting sekarang.
"Maaaas!"
Suara adiknya terdengar. Gadis itu muncul. Tentu saja tak sendiri. Malah bertemu di sini. Almamaternya sudah lepas. Di belakangnya ada Agha.
"Kamu ngapain ke sini? Gak pulang aja?"
"Ada banyak temen Mai yang ditahan di sini."
Rangga mengangguk-angguk. Tapi merasa aneh. "Kalian gak lihat teman kalian yang ditembak?"
"Hah?"
Keduanya sama-sama kaget. Agha segera menghubungi salah satu ketua lantas bertanya kabar itu. Ia telat tahu. Lantas segera berbalik badan.
"Mai, mau ikut atau gimana?".
Maira menatap Masnya dan Agha secara bergantian.
"Ikut Agha aja. Di sini berbahaya," tukasnya. Nanti mereka makan ditahan karena tadi ikut demo. Meski beberapa mahasiswa lain juga hilir mudik.
"Ya udah, nanti Mas jemput loh!"
Rangga mengangguk. Ia biarkan adiknya pergi begitu saja. Sementara ia masih sibuk di sini.
@@@