Hidup terkadang memang bisa sekonyol itu. Sedang enak bersantai hanya berdua dengan Drupadi, tiba-tiba pintu terbuka dan Batara -ayah Dyandra- masuk ke ruangan dengan membawa seorang lelaki yang sejak detik pertama langsung melihat ke arahnya.
Dyandra terbelalak. ‘Mati aku! Jadi itu yang namanya Skylar? Ya ampun! Kenapa aku harus bertemu dia dalam kondisi begini?.’
Sang wanita berparas manis cepat berdiri lalu merapikan pakaiannya. Mata tajam Skylar yang menatap dingin membuatnya salah tingkah.
“Kamu sakit, Dyandra?” tanya Batara memperhatikan putri bungsunya. “Kenapa Ayah mendengar ada teriakan?”
“Tidak Ayah. Itu tadi hanya eee … ehm ….” Dyandra bingung mencari alasan.
“Ada kecoa terbang! Makanya Dyandra berteriak!” sambung Drupadi menyelamatkan adiknya dari rasa malu.
Dyandra mendelik, menatap Drupadi sambil menahan tawa, juga menahan kesal.
“Ini putri Bapak?” tanya Skylar pada Batara, tetapi melirik ke arah Dyandra.
“Iya, betul. Mereka yang selama ini mengurusi perusahaan. Kamu nanti akan bekerja sama dengan mereka, Skylar,” jawab Batara memperkenalkan kedua putrinya dengan bangga.
“Tidak ada anak lelaki? Saya tidak biasa bekerja dengan wanita,” gumam Skylar memalingkan wajah dari Dyandra dan Drupadi.
“Memang kenapa dengan kami wanita?” Dyandra berdesis kesal, tidak terima dengan ucapan Skylar yang terdengar meremehkan keberadaan seorang wanita di dunia bisnis.
Batara tertawa ringan mendengar ucapan Skylar yang meragukan kemampuan anak-anaknya. “Hahaha, saya paham maksudmu.”
“Ayah?” Dyandra protes karena sang ayah ikut tertawa kemudian merangkul Skylar.
“Tapi percayalah, Skylar. Anak-anak saya ini kemampuannya tidak kalah dengan lelaki mana pun. Mereka sukses menambah sepuluh cabang dalam lima tahun terakhir.” Batara kemudian memuji anak-anaknya.
“Ah, iya, betul sekali Ayah!” imbuh Dyandra. Wajahnya tersenyum bangga, melirik sombong pada Skylar.
Yang dilirik hanya diam. Entah merasa kalah atau malas berdebat. Wajah memesona miliknya itu berpaling dan ia mendengkus pelan.
“Dyandra, Drupadi, kenalkan ini Skylar Kiersten,” ucap Batara memperkenalkan siapa yang sejak tadi ada di sebelahnya.
Skylar Kiersten adalah anak dari seorang pengusaha terkenal. Ayah pemuda itu bersahabat erat dengan Batara sejak dulu. Demi memperluas cakupan bisnis, keduanya sedang mempertimbangkan untuk melakukan merger.
Ayah Skylar seorang pribumi, tetapi tidak dengan ibunya, yang merupakan warga negara German. Itulah mengapa ia memiliki wajah blasteran atau yang biasa disebut “bule”.
Matanya indah kecoklatan terang, seirama dengan warna rambutnya, yang cokelat kehitaman. Rahang kotaknya berpadu serasi dengan hidung mancung dan bibir tipis kemerahan alami.
Lahir dan besar di negeri ini, Skylar telah memiliki nama juga reputasinya sendiri. Baik dalam mengelola perusahaan, maupun dalam kehidupan sosialnya.
“Aku Skylar.” Ia memperkenalkan diri. Menjulurkan tangan, mengajak Dyandra bersalaman.
“Aku Dyandra.” Dengan berusaha sopan, Dyandra menjawab, lalu menjabat tangan Skylar yang dirasa dingin.
Keduanya sama-sama bersuara datar. Mata mereka beradu pandang walau hanya sedetik. Ya, hanya sedetik saja, sebelum keduanya kemudian sama-sama membuang muka ke arah lain.
“Aku Drupadi. Orang biasa memanggilku Dru. Sementara orang biasa memanggil adikku Dya,” seloroh Drupadi, mendekat dan menjabat tangan Skylar meski tidak sedang diulurkan kepadanya. Ia tersenyum simpul melirik bergantian pada Skylar dan juga adiknya.
Hanya sebuah anggukan kepala yang diberikan Skylar pada Drupadi. Senyuman pun sepertinya berat untuk dilakukan. Pemuda maskulin itu lebih memilih diam, daripada harus beramah tamah.
“Nah, karena kalian sekarang sudah saling mengenal seperti Ayah dengan Papanya Skylar, marilah mulai saat ini kita menjadi sebuah keluarga besar yang bahagia!” canda Batara menepuk pundak Skylar. “Kamu setuju, Skylar?”
Senyuman terpaksa sangat terlihat di wajah dingin putra mahkota kerajaan bisnis Kiersten. Dyandra sekilas melirik pada jari manis Skylar di tangan kanannya. Ada sebuah cincin emas putih bertahtakan berlian disana.
‘Hmmm, sepertinya dia sudah menikah? Membuatku jadi penasaran. Wanita mana yang tahan hidup bersama beruang kutub seperti dia? Dingin, tidak berperasaan, dan cenderung meremehkan wanita.’ Dyandra penasaran dalam hati.
Sementara itu, Skylar pun sesekali melirik jemari dan leher Dyandra. Ada dua buah simbol AD di sana. Seolah jelas mengatakan bahwa, dia tak lagi sendiri.
‘Aku rasa Dyandra ini sudah menikah. Dari bentuk tubuh yang masih seksi dan kencang, sepertinya dia belum memiliki anak. Tulisan AD itu, nama A pasti untuk suaminya. Kasihan sekali lelaki itu, memiliki istri yang cerewet dan judes seperti Dyandra.’ Kekeh Skylar juga dalam hati.
***
Hari sudah menjadi gelap saat Dyandra tiba di rumah. Setiap ia memarkir mobil di garasi, hatinya seolah enggan untuk turun. Karena dirinya mengetahui, rumah ini tidak lagi memberikan kebahagiaan padanya.
Bayangan Arka dan Cersey selalu menari-nari riang di kepalanya. Mengejek dan mencibir ketidakmampuannya untuk mengubah kenyataan. Selalu mengingatkan, bahwa ia tidak berdaya. Bahwa dia adalah wanita yang tidak sempurna dalam pandangan sebagian besar manusia di dunia.
Belum lagi bagaimana Moeryati sang mertua selalu mengatakan hal-hal menyakitkan hati kepadanya. Seandainya saja wanita itu merasakan bagaimana sedihnya divonis mandul tak bisa memiliki keturunan. Wanita mana yang tidak hancur jika berada dalam keadaan Dyandra sekarang?
“Kamu harus kuat, Dya! Kali ini kamu berada di bawah, tapi suatu hari nanti kamu pasti akan berada di atas! Yang penting, bayi itu harus ada di tanganmu dulu beserta seluruh surat resminya. Setelah itu, baru tinggalkan rumah ini!” gumamnya menguatkan diri.
Jemari lentik menghapus tetesan air mata yang menuruni lereng hidung. Ia tarik garis bibir ke arah belakang, memaksa diri untuk tersenyum. Mengingat saat dokter memperlihatkan keberadaan bayi di dalam rahim Cersey. Bayi itu berasal dari dalam dirinya. Satu-satunya hal yang membuat ia bertahan.
Dengan langkah gontai, Dyandra memaksa kakinya untuk berjalan keluar mobil, memasuki rumah, dan langsung menuju kamar tidurnya. Sebuah ruangan yang dahulu sangat ia gandrungi. Akan tetapi, kini menjadi tempat paling menyiksa baik secara batin maupun fisik.
“Kok tumben malam begini kamu baru pulang?” tegur Arka langsung saat melihat istrinya memasuki kamar.
“Aku yang pulang telat, atau kamu yang pulang awal, Mas?” balas Dyandra cuek, sambil melepas berbagai aksesoris dari badannya. Meletakkan jam tangan serta tas kerja di atas meja rias.
Saat ini sudah pukul tujuh malam. Arka biasanya baru pukul delapan sampai rumah. Oleh karena itu, benarlah ucap Dyandra, bahwa suaminya yang pulang lebih awal.
“Kamu marah lagi padaku, Dya?” tanya Arka menghela napas panjang. “Nada suaramu seperti marah padaku. Ada apa?” lanjutnya menyelidik.
“Aku cuma lelah saja. Dan aku tidak mau berdebat denganmu. Aku mau mandi.” Dyandra tetap menunduk. Menghindari tatapan sang suami. Ia mengambil handuk dan jubah mandinya, siap memasuki kamar mandi.
“Aku ikut mandi, ya?” rayu Arka mulai terlihat bernafsu dan menginginkan tubuh sang wanita. Turun dari atas ranjang sedemikian sigap, menghalangi istrinya untuk melangkah lebih lanjut.
Dyandra yang sudah mau memasuki kamar mandi, menghentikan langkahnya. Ia menatap kesal pada sang suami. “Setiap hari kamu mengajakku bercinta, Arka! Apa maumu? Aku lelah!” sentaknya emosi.
Mata Arka terbelalak saat dibentak seperti itu. Seketika, emosi naik sampai ke ubun-ubun. “Apa mauku? Aku suamimu, Dyandra! Apa salah aku ingin bercinta denganmu setiap hari?”
“Iya, tidak salah, tapi kita bukan pengantin baru! Berhentilah memaksaku!” tukas Dyandra melotot.
Ingin rasanya kuku tajam di jemari mencakar wajah tampan khas lelaki Melayu di hadapan. Menjerit dan memaki sang suami dengan berbagai umpatan kasar. Akan tetapi, ada bayi yang ia tunggu.
“Jadi ... jadi selama ini kamu merasa terpaksa?” Arka tertegun mendengar jawaban istrinya. Dadanya kembang kempis dan napas memburu cepat.
Dyandra menggigit bibir bawahnya, mengakui bahwa ia telah salah bicara. Ia terdiam dan menelan cairan di dalam mulutnya sendiri berkali-kali. Menunduk, kembali menghindari saling tatap.
“Jawab, Dya! Kamu merasa terpaksa?” cecar Arka terus mengejar sebuah jawaban.
“Aku mau mandi,” kelit Dyandra langsung masuk kamar mandi kemudian mengunci pintunya. “Jangan ikut! Aku butuh sendiri!”
‘Duh ‘kan, aku keceplosan bicara! Kenapa aku harus mengucapkan memaksa? Sekarang Arka akan selalu curiga kalau aku sebenarnya terpaksa melakukan semua ini!’ sesal Dyandra menggelengkan kepala.
Arka masih berdiri di samping pintu kamar mandi, membiarkan istrinya masuk dan tidak mengikutinya seperti permintaan Dyandra. Hatinya berkecamuk dengan perubahan-perubahan yang dirasa semakin tidak jelas setiap harinya.
‘Ada apa denganmu, Dyandra? Kenapa kamu seperti membenciku? Apa kamu tahu tentang aku dan Cersey? Kalau kamu tahu, kenapa kamu diam saja? Tidak mungkin kamu tahu dan diam saja, bukan?’
***
Dyandra selesai mandi dan mendapati Arka masih duduk di ranjang, menunggunya. Wajah suaminya itu langsung menoleh, begitu melihat ia keluar dari kamar mandi.
“Ayo, sini duduk bersamaku. Kita bicara dari hati ke hati,” pinta Arka menepuk-nepuk ranjang di dekat tangannya.
Dyandra menurut. Ia duduk di sebelah Arka sembari berpikir keras, pembicaraan apa yang akan ia dapatkan malam ini?
“Kamu masih cinta aku tidak, Dya?” tanya Arka pelan, menahan ledakan dari dalam dadanya. Ia terlihat begitu emosi akibat ucapan terpaksa dari Dyandra sebelumnya.
“Tentu saja aku masih cinta kamu! Maafkan aku sudah berkata kasar tadi. Aku tidak pernah merasa terpaksa,” ungkap Dyandra berusaha merubah pikiran suaminya.
Biar bagaimana pun juga, bayi mereka adalah yang utama untuk saat ini. Menjaga semuanya tetap tenang merupakan kunci utama agar sukses memiliki bayi yang diidam-idamkan.
“Kenapa kamu berubah? Apakah aku tidak cukup membahagiakanmu?” Arka masih galau, merasa istrinya sudah tidak cinta dan menyembunyikan sesuatu.
“Aku tidak paham akan maksudmu bahwa aku berubah. Aku tidak pernah merasa berubah!” sanggah Dyandra, merasa bahwa itu hanya alasan Arka saja untuk mencari pembenaran.
Mereka terdiam. Hati Dyandra laksana luka teriris yang kemudian disiram garam. Perihnya tiada tara. Melihat Arka, seperti melihat seorang pembohong besar. Ia muak, ia benci, dan ia jijik. Bisa-bisanya bertanya ada apa seakan dia tidak melalukan apa-apa.
Namun, jauh di dalam lubuk hatinya, Dyandra mengakui bahwa rasa cinta untuk Arka masih begitu membara. Ia sayang, ia rindu, dan ia berharap ... suaminya akan sadar dengan sendirinya. Meninggalkan Cersey, kembali kepadanya. Mungkin saja ... ya, mungkin saja ia mau memaafkan. Entahlah, Dyandra bingung sendiri.
“Sudahlah, aku tidak akan mendebatmu. Aku hanya merasa malu karena selalu kamu tolak. Sejak dulu, sampai sekarang. Aku juga punya harga diri, Dya,” desis Arka muram. “Lelaki kalau ditolak oleh istrinya, dia akan merasa kejantanannya berkurang. Kamu paham atau tidak?”
“Arka, aku….” Dyandra tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Arka sudah melangkah keluar kamar dengan cepat selepas mengucap pengakuan dengan wajah memerah, murung.
Pengakuan itu sedikit banyak menggugah batin Dyandra. Sebelum ada Cersey pun memang ia kerap menolak Arka untuk bercinta. Suaminya tidak salah saat mengucap kalimat itu. Akan tetapi, ia tidak kuasa untuk bercinta saat hatinya masih hancur lebur akibat vonis mandul dari dokter selalu bergelayut di batin.
Tidak lama kemudian suara deru mesin kendaraan terdengar. Melongok dari jendela kamar, Dyandra bisa melihat mobil Mercedes Benz suaminya meninggalkan rumah. Pergi, entah kemana. Entah menemui siapa. Jelas tidak mungkin Cersey ikut bersamanya.
‘Apa Arka ada simpanan lain di luar sana selain Cersey? Ke mana dia sekarang? Ke kantor juga tidak mungkin. Ah, sudahlah!’ dengkus Dyandra merebahkan diri ke atas ranjang.
‘Perasaan apa ini yang menjalariku? Perasaan bersalah? Ah, aku tidak mau merasa bersalah! Kalau pun benar aku berubah, bukan berarti dia bisa meniduri Cersey sesuka hatinya!’ Dyandra berusaha menguatkan diri sendiri. Apa pun alasannya, perselingkuhan Arka tidak dibenarkan!
***
Udara masih terasa sejuk, saat Dyandra datang ke kantornya. Sebuah Department Store yang cukup besar dan terkenal. Drupadi masih belum datang. Baru saja kakaknya mengabari bahwa ia akan terlambat. Anjani, anak bungsunya, mengalami demam sehingga ia harus ke dokter dulu pagi ini.
Dyandra membuka pintu ruangannya dengan santai ketika kemudian ia terbelalak. Pintunya sudah terbuka dan ada seseorang di dalam.
Skylar sudah ada di kantornya! Duduk dengan begitu percaya diri di kursi kerjanya. Bahkan kedua bola matanya mengamati foto-foto di atas meja Dyandra sambil sesekali tersenyum.
Batin Dyandra segera murka. Ia paling tidak suka kalau ada orang asing mengamati atau memegang barang-barang yang menjadi milik pribadinya. Dan di atas meja itu terdapat banyak foto dirinya sejak bayi sampai sekarang. Termasuk foto-fotonya bersama Arka, sang suami.
“Siapa yang mengijinkan kamu masuk ke kantorku seperti ini, hah?” hardik Dyandra marah besar, segera memasuki ruangannya. Berkacak pinggang, melotot pada pemuda gagah yang hanya menoleh sekali kepadanya.
Skylar tidak bergerak meski mendapat bentakan cukup keras dari calon partner bisnisnya. Senyum di wajahnya yang tadi terlihat saat memperhatikan foto-foto, kini telah menghilang.
“Apa kamu tidak melihat ada tulisan ruang tunggu di sebelah sana?” kesal Dyandra menunjuk sebuah ruangan di pojok lantai. “Semua tamu itu di sana tempatnya! Bukan langsung masuk begini!”
“Kamu pikir aku hendak melamar pekerjaan? Bisa-bisanya menyuruhku menunggu di ruang tunggu!” balas Skylar tetap datar, namun dengan nada yang agak tinggi.
“Siapkan kantor untuk aku. Karena sebelum memutuskan untuk merger, aku akan berkantor di sini dulu selama enam bulan,” perintah Skylar ketus.
Dyandra mengomel di dalam hati, melihat perilaku Skylar yang sangat “bossy”. Walau ia mengakui, bahwa dengan setelan pakaian kerja berupa jas fit body dipadu dengan celana kain senada, lelaki itu terlihat sungguh menawan hingga ia enggan untuk berkedip.
“Ada apa menatapku begitu?” tegur si lelaki membuat Dyandra gelagepan. “Kagum dengan ketampananku, ya?” seringai nakal tergambar jelas di garis rahang yang sempurna.
“Siapa yang menatap kamu? Cuih! Sok sekali! Jangan karena mentang-mentang tampan lalu kamu pikir semua wanita suka melihat wajahmu!” cibir Dyandra menutupi rasa malunya.
“Jadi ... kamu mengakui kalau aku tampan?”