Bab 22

1617 Kata
Pagi ini Zeline berangkat kerja dengan mata sembab dan wajah yang pucat. Ia menangis semalaman dan baru bisa tidur pada pukul 3 pagi. Setelah meninggalkan Alina tanpa memberikan kabar, Zeline merasa bersalah dan akhirnya pagi ini dia terpaksa datang ke studio foto untuk menemui perempuan itu meskipun penampilannya sedang sangat kacau. “Ternyata kamu masih mengingat jalan untuk ke studio? Kupikir kamu sibuk dengan Dareen sehingga kembali menghilang sepanjang hari.” Seperti dugaan Zeline, Alina pasti akan marah ketika melihatnya datang. Bahkan Alina sama sekali tidak menatapnya, perempuan itu hanya berbicara sambil tetap melakukan kesibukannya yaitu memilih beberapa foto hasil pemotretan Zeline yang baru saja selesai diedit. “Aku sudah meminta izin padamu untuk tidak bekerja. Aku rasa kamu juga sudah mendengar jika aku memiliki acara penting.” Jawab Zeline dengan tenang. Alina sering menunjukkan kekesalannya ketika Zeline mulai tidak profesional, tapi akhirnya perempuan itu akan luluh dengan permintaan maaf Zeline. “Dareen lebih penting dari pekerjaan?” Tanya Alina sambil memutar tubuhnya, kini ia sepenuhnya menghadap ke arah Zeline. “Apa yang terjadi? Kamu menangis?” Tanya Alina sesaat setelah ia melihat mata Zeline yang sembab. Kalaupun Zeline mengelak, Alina tidak akan percaya. Mata sembabnya terlalu sulit untuk disembunyikan. Apalagi pagi ini Zeline datang dengan wajah pucat dan penampilan yang cukup kacau. Zeline tidak memikirkan kecocokan pakaian yang ia kenakan, satu-satunya hal yang Zeline lakukan ketika ia bangun adalah berusaha bersiap secepat mungkin agar dia bisa segera pergi dari rumah sebelum orang tuanya bangun untuk sarapan pagi. Rasanya memang cukup aneh ketika melihat kedua orang tuanya masih bisa duduk bersama untuk makan malam. Bahkan beberapa kali mereka berbicara dengan tenang mengenai bisnis masing-masing seakan tidak ada masalah besar yang sedang terjadi. Zeline masih belum bisa menerima keputusan orang tuanya, ikut duduk untuk sarapan bersama hanya akan membuat Zeline merasa tidak nyaman. Oleh sebab itu Zeline memilih untuk berangkat ke studio foto untuk menghindari kedua orang tuanya. “Maafkan aku, terjadi beberapa masalah di rumahku. Mungkin aku masih belum bisa melakukan pemotretan hingga beberapa hari kedepan.” Jelas Zeline. Alina tampak kebingungan, perempuan itu menepuk pipi Zeline beberapa kali untuk memastikan kulit pucat yang ada di depannya adalah wajah Zeline yang biasanya selalu bersinar sepanjang hari. “Seharusnya kamu tidak perlu datang jika memang ada masalah serius yang harus kamu tangani.” Alina tampak menyesal. Zeline tersenyum tipis. “Tidak masalah, aku memang ingin keluar dari rumah untuk mencari udara segar. Tapi tentu saja aku tidak akan bisa melakukan pemotretan dengan penampilan yang kacau..” “Baiklah, sekarang kamu akan pergi kemana? Menemui Dareen?” Tanya Alina. Selain memikirkan orang tuanya, Zeline juga memikirkan tentang Dareen sepanjang malam. Seperti hubungan kedua orang tuanya yang diwarnai dengan kesibukan dan karir masing-masing, Dareen dan Zeline juga menjalani hubungan yang sama. Mereka sering kesulitan mengatur waktu bertemu, sering lupa memberikan kabar satu sama lain, bahkan mereka bisa tidak bicara selama beberapa hari. Zeline bersyukur karena selama ini hubungannya dengan Dareen masih berjalan dengan lancar sekalipun mereka hanya bisa bertemu di akhir pekan saja, tapi bagiamana selanjutnya? Apakah mereka akan tetap seperti ini hingga beberapa tahun ke depan? Zeline memang masih muda, begitu juga dengan Dareen. Namun suatu saat mereka akan menikah, mereka akan hidup sebagai pasangan yang tinggal bersama dalam satu rumah. Bagaimana jika akhirnya mereka sulit mengatur waktu? Bagaimana jika suatu saat hubungan mereka berakhir seperti kedua orang tua Zeline? Tidak ada pertengkaran, tidak ada kekecewaan atau kemarahan, hanya permasalahan tentang waktu dan ambisi masing-masing yang saling berlawanan. Zeline merasa takut setiap kali ia memikirkan hubungannya dengan Dareen. Selama ini hanya Dareen yang memahami segala hal tentang Zeline, rasanya mustahil jika Zeline bisa menemukan pria lain yang mengerti bagaimana mimpi, karir, dan kesibukannya seperti yang selama ini Dareen lakukan. “Tidak ingin menemui Dareen?” Tanya Alina. Zeline mengerjapkan matanya sejenak. Merasa kehilangan arah dan tempat tujuan ketika ia tidak ingin pulang, tidak bisa bekerja, dan tidak bisa menemui Dareen. Kemana Zeline akan pergi? “Kalian bertengkar?” Tanya Alina. “Tidak. Kami baik-baik saja. Orang tuaku baru saja pulang, mereka akan bercerai.” “Oh?” Alina membelakkan matanya, tampak cukup terkejut dengan berita yang baru saja Zeline katakan. “Baiklah, kamu mungkin akan menghindari rumah untuk sementara waktu. Apakah kamu ingin menginap di apartemenku?” Tanyanya. Alina adalah orang pertama yang Zeline beri tahu tentang rencana perceraian orang tuanya. Untuk sementara waktu Zeline akan merahasiakan hal ini dari Dareen. Mungkin Zeline baru bisa berbicara dengan Dareen setelah ia benar-benar siap. “Aku tetap harus pulang agar orang tuaku tidak merasa khawatir. Mereka akan berada di Indonesia selama satu pekan ke depan. Setelah selesai mengurus dokumen perceraian, mereka akan kembali ke luar negeri dan menyerahkan semua urusan kepada kuasa hukum masing-masing.” Zeline mendengarkan penjelasan itu dari kedua orang tuanya saat mereka makan malam bersama. Ibunya mengatakan jika sebaiknya mereka kembali ke luar negeri selama beberapa saat sebelum kembali bertemu di sidang perceraian. Mungkin mereka membutuhkan waktu untuk menenangkan diri sebelum menghadapi persidangan tersebut. “Bagaimana jika kita mencari kafe yang dekat dari ini? Kamu bisa bercerita dengan leluasa tanpa perlu didengar oleh orang lain. Mungkin kamu merasa tidak nyaman jika harus bercerita di sini..” Alina mengusap punggungnya dengan pelan. Zeline menatap ke sekitarnya, hampir semua orang yang ada di studio mencuri pandang ke arahnya. Mereka merasa penasaran setelah melihat penampilan Zeline yang berbeda dari biasanya. “Tidak perlu, Alina. Masih ada banyak hal yang harus kamu kerjakan.” Zeline melihat beberapa dokumen foto yang ada di layar laptop. Saat ini Alina pasti sibuk memilih foto-foto hasil pemotretan Zeline beberapa hari yang lalu. “Jangan membuatku merasa bersalah karena sudah menyalahkanmu sepanjang hari. Aku sama sekali tidak sibuk, aku tahu kamu membutuhkan teman bicara..” Zeline tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Dia merasa sangat senang ketika Alina menunjukkan perhatiannya. Sebenarnya selama ini hubungan Zeline dan Alina lebih mirip dengan hubungan antara adik kakak dari pada model dengan managernya. Alina sering kali mengomel dan memberikan nasehat layaknya seorang kakak yang sangat cerewet. Dan perhatian itu membuat Zeline merasa lebih senang, setidaknya ia bisa mendapatkan perhatian dari seorang kakak meskipun ia anak tunggal. “Mungkin lain kali saja. Aku masih belum siap menceritakan apapun.” Kata Zeline. “Ya, baiklah. Terserah padamu.” Alina tampak menghembuskan napasnya dengan perlahan. “Kamu bisa menghubungiku kapanmu kamu membutuhkan bantuan.” *** Awalnya, setelah kembali dari studio Zeline ingin menghabiskan waktu untuk berjalan di taman kota sambil menghirup udara segar. Namun perjalanannya terhenti karena harus terjebak macet. Jalan ibu kota memang selalu sibuk di sepanjang waktu. Untuk sesaat Zeline jadi mengingat perjalanan pertamanya ketika ia akan menemui Kinara beberapa hari yang lalu. Saat itu dia juga terjeba macet bersama dengan Dareen sehingga akhirnya terlambat sampai di lokasi makan siang. Entah kenapa sekarang pikiran Zeline dipenuhi dengan Kinara dan keluarga kecilnya yang begitu hangat. Orang tua Kinara sangat perhatian, mereka terlihat sangat khawatir ketika melihat Kinara terluka. Rasanya.. rasanya Zeline juga ingin merasakan perhatian dari orang tuanya. Selama ini dia hanya menanggung lukanya seorang diri, hanya akan diperhatikan oleh pelayan yang bekerja di rumahnya. Lalu tanpa sadar, mobil Zeline telah berhenti di ujung gang rumah Kinara. Entah kenapa dia mengarahkan sopir untuk menuju ke lokasi tersebut, namun secara tiba-tiba Zeline ingin bertemu dengan keluarga Kinara. “Jalan ini tidak bisa dilewati oleh mobil, Nona.” Kata sopirnya. Zeline membereskan beberapa bingkisan yang sudah ia beli dalam perjalanan, hanya beberapa kotak roti dan makanan ringan sederhana. “Tolong tunggu saja di sini. Aku akan mengunjungi rumah temanku.” Kata Zeline. “Teman? Dimana rumahnya? Biarkan saya ikut turun bersama dengan Nona.” Zeline tersenyum maklum. Sopirnya selalu merangkap tugas menjadi pengawal di saat-saat yang genting. Pria itu terbiasa siaga dalam segala keadaan. “Jangan khawatir, aku sering bertemu dengannya. Keluarganya sangat baik, jadi.. tidak perlu mengikutiku.” Kata Zeline dengan tenang. “Nona, Anda jelas tahu jika—” “Jangan khawatir.” Potong Zeline dengan sopan. Akhirnya Zeline turun dari mobil sendirian, dia meninggalkan sopirnya yang masih tampak mengawasi dari dalam mobil. Jalan kecil dengan beberapa tanaman yang berada di pinggir pagar sepanjang lebih dari 50 meter tampak sangat sepi di siang hari. Terik matahari terasa membakar kulit Zeline, peluhnya juga mulai berjatuhan karena tidak terbiasa dengan udara panas. Mobil dan semua ruangan yang ia tinggali pasti selalu dilengkapi dengan pendingin udara yang akan mengatur suhu udara agar tidak terlalu panas. Sekalipun perjalanan menuju ke rumah Kinara tidak mudah untuk dilalui, Zeline tetap melangkahkan kakinya dengan tenang hingga akhirnya ia tiba di depan rumah Kinara. Pintu rumahnya terbuka, itu artinya Kinara sedang ada di rumah. Dengan keadaan kakinya yang masih sulit digunakan untuk bergerak, Kinara pasti akan selalu berada di rumah untuk beberapa hari ke depan. “Selamat siang, Kinara. Apakah aku boleh masih?” Ketika Zeline berada di ambang pintu, dia melihat Kinara sedang duduk di ruang tamu bersama dengan ibunya. Perempuan itu sedang memainkan ponsel, sementara ibunya sedang duduk di hadapannya dengan sepiring nasi yang ada di atas tangannya. Tampaknya Kinara sedang makan siang dengan cara disuapi oleh ibunya. “Zeline?” Kinara menolehkan kepalanya dan menatap Zeline dengan pandangan terkejut. Untuk sesaat Zeline menundukkan kepalanya, menatap penampilannya sendiri. Apakah dia terlihat aneh sehingga Kinara menatapnya sambil membelakkan mata? Apakah ada yang salah dengan penampilannya? “Apa yang kamu lakukan di sini?!” Tanya Kinara dengan suara tercekat. Zeline mengerjapkan matanya sejenak. Apa.. apa yang dia lakukan di sini? Astaga, jangankan Kinara, Zeline sendiri tidak tahu kenapa dia datang ke rumah Kinara. Entah kenapa rumah Kinara terlintas di pikiran Zeline yang sedang kacau karena memikirkan permasalahan di rumahnya. Tanpa berpikir panjang Zeline mengarahkan sopirnya untuk datang ke sini. Tapi sekarang Zeline jadi kebingungan sendiri. Alasan apa yang harus ia katakan kepada Kinara dan ibunya yang kini tengah menatap Zeline dengan pandangan terkejut? 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN