Kinara memejamkan matanya ketika dia mendengarkan keributan yang berasal dari kedua orang tuanya yang terkejut ketika melihatnya datang sambil digendong oleh Dareen. Benar, orangtuanya ada di rumah sesuai dengan kekhawatiran kinara di sepanjang perjalanan pulang.
Astaga, apa yang terlintas di pikiran Dareen dan Zeline ketika mereka masuk ke dalam rumah Kinara yang sangat kumuh ini?
“Kenapa ini bisa terjadi, Kinara? Astaga, kakimu langsung bengkak. Ayah akan membeli es batu sebentar”
Kinara tidak memberikan jawab apapun kepada ayahnya yang langsung berlari keluar rumah untuk membeli es batu ke tetangganya yang memiliki lemari es.
Benar, Kinara tidak memiliki lemari es. Ah, jangankan lemari es, televisi saja Kinara tidak punya. Kehidupan ini memang sangat tidak adil.
Kinara menatap ibunya yang tampak berkaca-kaca karena melihat keadaannya. Oh ya ampun, ini sangat memalukan. Bagaimana Kinara menghadapi Dareen dan Zeline setelah ini? Apa yang harus ia katakan? Apa yang harus ia lakukan?
“Tunggu di sini, ibu akan membuatkan teh hangat untukmu”
Teh hangat. Ya, memang hanya itu yang bisa dilakukan oleh ibunya. Setiap kali Kinara sakit, wanita itu hanya akan memberikan teh hangat karena memang hanya itu yang bisa dia berikan. Apakah teh hangat bisa menyembuhkan rasa sakitnya? Tentu saja tidak!
Kinara menghembuskan napasnya dengan pelan lalu menatap Zeline dan Dareen yang tampak duduk dengan tenang di depannya. Iya, mereka berdua duduk di atas sofa usang yang tampak sangat kontas dengan penampilan mereka.
“Kalian bisa pulang sekarang..” Kata Kinara dengan pelan.
Setelah hari ini Kinara tidak akan sanggup menemui Zeline dan Dareen lagi. Kinara sangat malu!
“Sudah, tenang saja.. kami tidak terburu-buru..” Kata Dareen dengan santai.
“Ini es batunya. Kakimu harus segera dikompres agar tidak terlalu bengkak” Kata ayahnya yang baru saja tiba dengan tas kresek yang berisi es batu.
“Kinara, minum teh hangat ini agar kamu sedikit lebih tenang..” Kata Ibunya yang baru datang dari arah dapur.
Oh ya ampun, mereka berdua memang sangat menggelikan.
Kinara berharap jika dia bisa bertukar posisi dengan Zeline saat ini. Atau jika permintaannya terlalu tidak masuk akal, Kinara berharap ia bisa menghilang saat ini juga.
***
“Maaf karena kami tidak bisa memberikan sajian yang pantas. Tapi.. terima kasih banyak karena sudah membantu Kinara.” Ibunya berbicara sambil menyajikan secangkir teh dan beberapa potong roti yang dibeli oleh ayahnya di warung depan rumah. Begitu menyadari jika ada tamu yang datang bersama dengan Kinara, ayahnya kembali keluar untuk mencari camilan agar bisa disajikan untuk menyambut tamu mereka. Sayangnya, Dareen dan Zeline tentu tidak akan mau menyentuh makanan dan minuman yang sudah disajikan. Kinara masih ingat dengan jelas jika Zeline menolak semua makanan yang ditawarkan oleh Dareen di restoran mewah tempat mereka makan siang. Jika wanita itu menolak makanan yang sudah terjamin rasa dan kualitasnya, mana mungkin dia mau menerima makanan dari tempat kumuh?
“Kalian sama sekali tidak perlu repot, bibi. Kami berteman dengan Kinara, jadi kalian tidak perlu repot menyiapkan sajian.” Jawab Zeline dengan suara lembut.
Hal yang paling mengejutkan adalah saat Zeline mengulurkan tangannya untuk mengambil cangkir berisi teh yang baru saja disajikan oleh ibunya.
Tanpa sadar, Kinara sampai membelakkan matanya dengan pandangan tidak percaya.
“Teh ini terasa sangat enak. Persis seperti buatan nenekku..” Zeline tampak antusias ketika ia mencicipi teh buatan ibunya.
Kinara menarik napasnya dengan susah payah. Kakinya memang masih terasa sakit, tapi kini ia sama sekali tidak peduli dengan keadaan kakinya. Satu-satunya hal yang menarik perhatian Kinara adalah keramahan Zeline yang mulai tampak akrab dengan ibunya. Mereka berdua membahas teh milik Zeline yang kini hanya tersisa setengah cangkir.
“Orang tua selalu memiliki selera yang sama.” Jawab ibunya sambil tersenyum.
“Kalian juga harus mencicipi kue ini. Kami terlalu panik untuk memikirkan makanan ringan apa yang pantas untuk disajikan.. “ Ayahnya ikut berbicara sambil menyodorkan piring hadiah yang mereka dapatkan setelah membeli sabun cuci baju.
“Kami baru saja makan kue, jadi—”
“Tentu saja. Terima kasih banyak, paman.” Zeline memotong kalimat Dareen dan segera mengulurkan tangannya untuk mengambil kue dengan potongan paling besar.
Sudahlah, apa yang Kinara harapkan? Dimanapun dan kapanpun, Zeline pasti akan menjadi pusat perhatian. Bukan hanya di restoran, tapi di rumahnya sendiri Kinara juga harus menghadapi hal yang sama. Eksistensi Zeline terlalu menarik untuk dilewatkan sehingga pandangan mata orang yang ada di sekitarnya pasti hanya tertuju pada wanita cantik itu. Bukan hanya cantik, tapi kinara harus mengakui jika Zeline memiliki sifat yang sangat baik.
“Dareen, cobalah kue ini.” Zeline mengambil potongan kecil dari kue yang ada di tangannya, lalu dia memaksa Dareen membuka mulut untuk menerima suapannya.
Ekspresi Dareen tampak kebingungan. Sepertinya pria itu ingin menolak suapan Zeline.
Kinara bisa melihat dengan jelas jika Dareen cukup terkejut dengan perbuatan Zeline. Pria itu tampak tidak keberatan dengan cara Zeline menyuapinya, tapi dia terlihat tida yakin ketika menatap potongan kue yang Zeline jejalkan.
Sekarang, tidak ada sedikitpun harapan yang tersisa bagi Kinara. Tidak ada, bahkan Kinara mulai kehilangan harga dirinya karena melihat Dareen dan Zeline. Mereka tampak sempurna, Kinara jauh berbeda dengan kehidupan mewah yang mereka miliki.
Sekalipun Zeline terlihat berusaha untuk terlihat biasa saja ketika mengetahui keadaan rumah Kinara, sejujurnya perempuan itu tidak bisa benar-benar menyembunyikan ekspresi terkejutnya. Atau lebih tepat disebut sebagai ekspresi prihatin.
“Kita terlalu sibuk dengan kue dan teh hingga kita melupakan keadaan Kinara.” Zeline menolehkan kepalanya dan menyentuh ujung kaki Kinara dengan gerakan pelan. Seakan tidak ingin membuat Kinara semakin kesakitan, Zeline menggerakkan tangannya dengan perlahan untuk mengusap kakinya. “Apakah sekarang kamu sudah baik-baik saja?” Tanya Zeline.
Kinara menatap ke sekelilingnya, kedua orang tuanya masih tampak khawatir. Sementara itu, Dareen yang duduk di samping kanan Kinara juga ikut menatapnya.
“Sudah lebih baik.” Jawab Kinara dengan pelan.
Ketika menyadari kepedulian Zeline, Kinara justru semakin kesal. Rasanya sangat tidak adil ketika Tuhan menciptakan seorang perempuan sempurna seperti Zeline. Dia cantik, baik, kaya, dan memiliki karir yang bagus. Apa yang tidak dimiliki oleh Zeline? Perempuan itu mendapatkan segala hal baik yang ada di dunia.
“Kita akan pergi ke tukang urut untuk mengobati kaki Kinara.” Kata ayahnya.
Kinara membelakkan matanya. Dia masih ingat jika hampir dua tahun lalu tangan kanannya terkilir karena terjatuh dari pohon mangga yang ada di depan rumahnya. Saat itu, kedua orang tuanya tidak memiliki uang untuk membawa Kinara berobat ke dokter, mereka memutuskan untuk pergi mengunjungi tukang urut dengan harapan tangan Kinara bisa sembuh tanpa perlu mengeluarkan banyak biaya. Akhirnya, tangan Kinara memang membaik, tapi tidak sepenuhnya sembuh. Hingga saat ini, ketika mengangkat beban yang terlalu berat, Kinara akan tetap merasakan sakit. Dan yang paling mengerikan adalah saat tangannya diurut, rasanya jauh lebih sakit dibanding saat terjatuh dari pohon.
Tentu saja Kinara tidak akan mengulangi kebodohannya untuk yang kedua kalinya. Kalaupun kedua orang tuanya keberatan untuk membiayai pemeriksaan di rumah sakit, Kinara akan memilih untuk tidak melakukan pengobatan apapun.
“Aku tidak mau pergi ke tukang urut. Sampai sekarang tangan kananku masih sakit.” Kinara berbicara dengan ekspresi kesal.
“Ada apa dengan tangan kananmu?”
Kinara menatap Zeline sekilas lalu menarik napasnya dengan pelan sebelum menjawab pertanyaan wanita itu.
“Aku pernah terjatuh dari pohon. Tanganku terkilir dan aku dibawa ke tukang urut. Sampai sekarang, aku masih sering merasa sakit jika mengangkat beban yang terlalu berat.” Kinara menjelaskan dengan singkat.
“Sebaiknya kamu pergi ke dokter, Kinara.” Dareen memberikan saran.
“Oh, ya.. tentu saja. Kami akan membawamu ke dokter, Kinara. Jangan khawatir.” Ayahnya berbicara sambil tersenyum. Pria itu mengatakan agar Kinara tidak khawatir, tapi dari caranya menatap, Kinara tahu jika ayahnya sedang merasa khawatir.
“Aku baik-baik saja, kalian bisa segera pulang..” Kinara sudah tidak sanggup lagi melihat Zeline dan Dareen. Mereka membuat keadaan Kinara jadi semakin buruk.
Zeline bersikap terlalu baik, perempuan itu layaknya malaikat berhati tulus dengan wajah rupawan yang sangat sulit untuk dibenci.
“Kinara, jangan berbicara tidak sopan pada temanmu. Mereka membantumu pulang ke rumah..”
Kinara memejamkan matanya lalu menyandarkan kepala ke arah kanan. Ibunya sangat jarang mengkritik cara bicara Kinara yang kadang memang terkesan kurang sopan, tapi kali ini ibunya menegur tepat di depan Zeline dan Dareen.
“Mungkin.. mungkin Kinara memang ingin istirahat.” Zeline berbicara dengan suara ragu. “Sebaiknya kami segera pulang agar tidak mengganggu Kinara.” Zeline menatap ke arah Kinara dan keluarganya secara bergantian.
“Jangan tersinggung dengan Kinara, dia memang—”
“Bu!” Kinara memotong kalimat ibunya.
“Kami.. kami sama sekali tidak tersinggung, bibi. Tapi sejujurnya, ini sudah saatnya bagi kami untuk pulang. Ada beberapa pekerjaan yang masih belum kami selesaikan. Mungkin besok atau lusa kami akan datang berkunjung untuk menjenguk Kinara..” Zeline berpamitan dengan sopan.
Kinara kembali menarik napasnya dengan pelan. Jika ia memiliki uang, maka Kinara akan memilih untuk pindah dari rumah ini dan menghindari pertemuan dengan Dareen dan Zeline. Hari ini Kinara sudah cukup dipermalukan, kedatangan Dareen dan Zeline adalah hal tidak terduga yang tidak pernah Kinara pikirkan sebelumnya. Setelah melihat bagaimana kehidupan Kinara, kira-kira apa yang mereka pikirkan? Kinara miskin dan memiliki kehidupan yang sengsara, setelah ini mereka pasti akan merendahkan Kinara.
“Terima kasih banyak karena sudah membantu Kinara. Kalian benar-benar teman yang baik..”
“Tentu, bibi. Semua orang yang ada di posisi kami pasti juga akan membantu Kinara.” Zeline menjawab sambil tersenyum. “Kinara, kami akan pulang. Semoga kamu cepat sembuh..”
Kinara hanya bisa menganggukkan kepalanya sambil tersenyum tipis. Sejujurnya Kinara ingin mengabaikan Zeline ketika perempuan berpamitan kepadanya, tapi rasanya Kinara tidak mampu mengabaikan kebaikan dan ketulusan yang sejak tadi diberikan oleh Zeline. Sekesal apapun Kinara kepada Zeline, tapi Kinara mengakui jika membenci orang baik adalah hal yang sangat sulit untuk dilakukan.